Di antara hiruk pikuk sistem dan kebisingan ideologi yang sering kali menggiring manusia menjadi sekadar angka, persahabatan muncul dalam dunia Camus sebagai momen sunyi yang membebaskan. Tidak riuh. Tidak penuh deklarasi. Tapi justru karena itu, ia menyimpan daya subversif yang dalam. Persahabatan, dalam tafsir Camus, adalah bentuk pemberontakan yang tidak bising. Ia tidak melawan dengan kekerasan. Ia melawan dengan keberadaan itu sendiri. Di tengah dunia yang terus mengisolasi dan mendikte, persahabatan adalah ruang yang tidak tunduk, tempat manusia bisa tetap saling melihat, saling hadir, tanpa perlu saling menundukkan.
Dalam L'Étranger (Orang Asing), Meursault punya sedikit sekali teman. Tapi hubungan singkatnya dengan Raymond atau dengan Marie bukanlah semata relasi instrumental. Bahkan dalam jarak dan keterasingan, ada semacam pengakuan satu sama lain. Raymond yang keras dan bermasalah tahu bahwa Meursault tidak akan menghakimi, karena Meursault tidak tertarik menjadi hakim. Dalam dunia Camus, orang yang tidak mencoba menguasai orang lain adalah sekutu yang langka. Maka hubungan-hubungan semacam ini, meskipun tidak romantis atau heroik, adalah oasis kejujuran. Meursault dan Marie, misalnya, saling menyukai tanpa ilusi. “Kau cinta aku?” tanya Marie. Dan Meursault menjawab, “Aku rasa tidak. Tapi mungkin.” Jawaban semacam itu dalam dunia penuh kepura-puraan adalah bentuk cinta yang paling jujur. Hubungan mereka tidak tunduk pada romantisme sosial yang memaksa pengakuan manis. Mereka hanya ingin berjalan bersama, tidak saling menuntut, tidak saling menjebak dalam harapan. Dan justru karena itulah, mereka bisa menjadi sahabat dalam arti terdalam: mereka tidak mengharuskan dunia menjadi lain.
Namun yang paling menggetarkan dari konsepsi Camus tentang persahabatan muncul dalam La Peste (Sampar). Di sana kita menemukan Rieux dan Tarrou. Dua orang yang berbeda latar belakang, berbeda motivasi, bahkan mungkin tidak akan pernah bertemu jika bukan karena wabah. Tapi justru dalam keheningan kota Oran yang terkepung, mereka membentuk ikatan yang tidak didasarkan pada doktrin atau ideologi. Mereka tidak sepakat dalam hal metafisika—Tarrou menyimpan trauma akan hukuman mati yang membuatnya menolak segala bentuk kekuasaan, bahkan kekuasaan atas hidup sendiri. Rieux, sebagai dokter, tidak punya waktu untuk filsafat. Ia hanya tahu bahwa orang harus diselamatkan dari kematian jika masih mungkin. Mereka tidak perlu menyamakan posisi teoretis. Yang mereka lakukan adalah berbagi tindakan yang sama: mereka membantu orang. Mereka menguburkan orang mati. Mereka merawat yang sakit. Mereka berjalan bersama tanpa bising, dalam keheningan tindakan.
Yang menyatukan mereka bukan keyakinan yang sama, tapi penderitaan yang dilalui bersama dan keputusan untuk tidak berpaling. Ketika Tarrou menjelang kematian, mereka mandi di laut, larut dalam malam yang dingin, tanpa banyak kata. Laut itu dingin. Malam itu sunyi. Tapi di sana ada pengakuan diam-diam tentang arti hidup bersama manusia lain tanpa pretensi. Mereka tidak sedang berdiskusi tentang etika. Mereka sedang menjadi manusia, bersama. Dan dalam narasi Camus, itulah inti persahabatan: kehadiran. Persahabatan adalah pengakuan akan absurditas dunia, sekaligus keputusan untuk tidak meninggalkan satu sama lain di tengah absurditas itu.
Persahabatan juga berarti menolak sistem yang mengharuskan manusia memilih antara dua kutub besar. Dalam dunia yang didikte oleh ideologi totalitarian, baik kiri maupun kanan, persahabatan menjadi bentuk eksistensi yang tidak bisa dikotakkan. Ketika orang diminta untuk memilih menjadi “kawan atau lawan”, sahabat adalah mereka yang tetap berdiri di antara, tidak karena abu-abu, tetapi karena tahu bahwa hidup terlalu rumit untuk direduksi menjadi slogan. Camus sendiri menjalani pilihan ini dengan berat. Ia kehilangan banyak teman saat menolak mendukung komunisme secara mutlak, meski banyak intelektual Prancis pada masa itu menganggap komunisme sebagai satu-satunya jalan melawan fasisme dan kapitalisme. Camus ditinggalkan oleh Sartre, oleh jaringan intelektual kiri, tapi ia tidak berhenti percaya bahwa ada cara untuk tetap berdiri bersama manusia tanpa tunduk pada sistem yang meniadakan nurani individu.
Maka persahabatan, dalam dunia Camus, adalah juga bentuk keberanian untuk tidak menjadi bagian dari kerumunan. Persahabatan tidak dibangun di atas kesamaan ideologi, tapi pada kesediaan untuk hadir ketika yang lain terjatuh. Tarrou dan Rieux, Meursault dan Marie, bahkan Caligula dan Helicon dalam karya teatrikalnya yang gelap—semua menunjukkan sisi yang sama: persahabatan adalah pengakuan diam-diam bahwa absurditas dunia tidak bisa dilawan sendirian.
Ada satu momen sangat kuat dalam La Peste, ketika Rieux mencatat bahwa yang membuat manusia terus bertahan bukan karena mereka punya jawaban, tapi karena mereka tidak ingin melihat anak-anak mati sendirian. Solidaritas yang demikian bukanlah bentuk politik. Ia adalah bentuk cinta yang lebih dalam. Ia tidak berbicara dalam bahasa kekuasaan. Ia hanya hadir, menawarkan tubuh, menawarkan waktu, menawarkan kehadiran.
Inilah mengapa Camus percaya bahwa revolusi sejati dimulai bukan dari dokumen atau manifesto, tapi dari keputusan kecil untuk tidak membiarkan orang lain menghadapi penderitaan sendirian. Dalam dunia absurd, solidaritas bukanlah taktik. Ia adalah etika. Ia adalah bentuk pemberontakan yang paling sunyi, tapi paling radikal. Karena dunia berharap manusia menjadi individu yang terisolasi, yang patuh pada sistem, yang tunduk pada nalar institusi. Dan dalam dunia seperti itu, dua orang yang duduk diam bersama, saling memahami tanpa banyak kata, adalah ancaman. Mereka menciptakan dunia kecil yang tidak bisa dikontrol.
Maka kita bisa memahami mengapa Camus, yang begitu kritis terhadap segala bentuk totalitarianisme, tidak pernah membangun sistem filsafat tertutup. Ia tidak menginginkan sistem. Ia menginginkan dialog. Dan persahabatan adalah bentuk dialog yang paling jujur. Ia tidak bertujuan untuk menang. Ia tidak ingin meyakinkan. Ia hanya ingin berjalan bersama, di bawah matahari, atau di tengah sampar, atau di ujung malam, dalam kesadaran bahwa hidup ini absurd, dan karena itu, terlalu berharga untuk dijalani sendirian.
Persahabatan, pada akhirnya, bukan pelarian dari absurditas. Ia justru adalah bentuk perlawanan terhadap absurditas yang berusaha mengisolasi manusia dalam kehampaan. Persahabatan tidak menghapus penderitaan. Ia tidak menambal absurditas dengan makna palsu. Ia hanya membuat penderitaan bisa ditanggung, karena ada orang lain yang mengakuinya. Dan dalam pengakuan itu, kita menemukan bukan pelipur lara, tapi keberanian untuk tetap hidup.
Dalam dunia di mana segala sesuatu diukur dengan efisiensi, hasil, dan manfaat, persahabatan adalah tindakan yang tidak produktif. Tapi justru karena itu, ia menjadi ruang subversif yang mengingatkan kita pada nilai yang lebih purba: menjadi manusia. Maka dalam keheningan, dalam langkah bersama yang tidak membawa panji atau slogan, kita menemukan bentuk pemberontakan yang paling murni: berjalan bersama, tanpa ilusi, tanpa janji kemenangan, hanya dengan satu keyakinan—bahwa hidup, meskipun absurd, tidak harus dijalani sendirian.(part 5 of 8)
Eksistensialisme Albert Camus
➮ part 2: Absurditas Tanpa Ilusi
➮ part 3: Musim Panas di Dalam Dingin
➮ part 4: Aku Memberontak Maka Kita Ada
➮ part 5: Persahabatan Sebagai Penolakan Sistem
➮ part 6: Kebahagiaan Tanpa Harapan
➮ part 7: Relevansi Camus dan Zaman Kini
➮ part 8: Camus Dalam Gema Sunyi Zaman kita
Posting Komentar
...