Articles by "Voltaire"

Tampilkan postingan dengan label Voltaire. Tampilkan semua postingan

Epilog: Kebun Voltaire dan Biji-Biji yang Tak Pernah Padam

     Kebun Ferney masih berdiri, meski berabad-abad telah menggerogoti dinding-dindingnya. Di bawah pohon apel tua yang dahulu ditanam Voltaire, akar-akarnya menjalar ke dalam tanah seperti jaring-jaring rahasia yang menghubungkan masa lalu dan kini. Di sini, di antara dedaunan yang berbisik, bayang-bayang Candide, Zadig, dan Micromégas bergerak pelan—tak lagi sebagai tokoh fiksi, tapi sebagai roh yang mengawasi dunia yang mereka kritik.

     Candide, si optimis yang patah hati, kini menjelma jadi aktivis iklim muda di Berlin. Tangannya tak lagi memegang cangkul, tapi spanduk bertuliskan System Change, Not Climate Change!. Di depannya, para politikus berpidato tentang “pertumbuhan hijau” sambil mengizinkan tambang batu bara baru. “Ini yang terbaik dari semua kemungkinan?” Candide modern itu menggerutu, mengutip Pangloss dengan sarkasme yang sama pedasnya. Tapi ia tak menyerah: di tengah kota, ia dan kawan-kawannya menanam kebun urban di atas bekas parkiran mobil—kol-kol yang tumbuh di antara aspal adalah jawaban mereka pada filsafat usang.

     Zadig, sang detektif logika dari Babilonia, kini bersembunyi di kode-kode algoritma. Di suatu server di Islandia, AI bernama Zadig_AI bekerja membongkar dokumen rahasia korupsi, tapi setiap kali hampir menuntaskan misinya, ia di-reset oleh para teknokrat yang takut pada kebenaran. “Akal budi tanpa keberanian adalah ilusi,” mungkin akan bisik Zadig seandainya ia bisa menembus layar. Sementara itu, di media sosial, para bot menyebarkan narasi bahwa “ketimpangan adalah hukum alam”—suara Arbogad abad ke-21 yang mencoba membungkam rasionalitas dengan fatalisme.

     Micromégas, sang raksasa dari Sirius, mungkin sedang duduk di suatu nebula, mengamati manusia yang masih bersikap seolah Bumi adalah pusat semesta. Ia menyaksikan Elon Musk mengirim mobil listrik ke Mars sambil mencemari langit dengan roket, atau ilmuwan yang mematok harga “karbon dioksida” di pasar saham seolah alam adalah komoditas. “Mereka masih mengukur jiwa dengan timbangan yang sama,” gumam Micromégas, tertawa getir. Tapi di sudut lain galaksi, ia melihat perempuan-perempuan adat Amazon yang memetakan hutan dengan drone buatan sendiri—upaya kecil yang mungkin akan ia kirimi buku kosong bertuliskan Hakikat Segala Sesuatu, seperti dulu.

     Di Gaza, seorang perempuan tua menanam za’atar di antara puing-puing rumahnya. “Ini kebunku,” katanya pada kamera jurnalis, matanya berbinar seperti perempuan tua dalam Candide yang kehilangan pantat. Ketika rudal menghantam lagi, ia kembali menanam—setiap biji adalah perlawanan, setiap tunas adalah tawa di hadapan absurditas. Ia tak membaca Voltaire, tapi ia hidup dalam semangat yang sama: bertahan bukan dengan heroisme, tapi dengan tekad menggarap tanah yang tersisa.

     Voltaire, di suatu dimensi yang tak terjangkau waktu, mungkin sedang duduk di bangku kayu di kebunnya. Ia melihat Greta, Zadig_AI, perempuan Gaza, dan aktivis kebun urban—mereka semua adalah biji apel yang ia tanam dulu. “Lihatlah,” bisiknya pada Émilie du Châtelet yang mendampingi, “mereka menertawakan kesombongan zaman dengan cara mereka sendiri.” Di tangannya, ia memegang prasasti usang dari Ferney: Di sini, seorang manusia mencoba berpikir. Tapi di sudut bawah, dengan tinta segar, seseorang menambahkan: …dan biji-bijinya masih tumbuh di retakan dunia. 

     Malam ini, di kota-kota yang tak pernah tidur, di antara deru mesin dan hiruk-pikuk digital, biji apel tua dari Ferney jatuh di tempat tak terduga: di sela-sela panel surya di gurun Atacama, di antara kabel-kabel server bawah laut, bahkan di pot bunga kecil di kontrakan sempit Tamalanrea. Mereka bertunas—liar, tak diundang, dan keras kepala—seperti ide-ide Voltaire yang masih menggigit tiga abad kemudian. Di sanalah Pencerahan sejati bersemayam: bukan dalam patung atau buku usang, tapi dalam tindakan kecil yang nekad menantang angin.(part6 dari 6)


     Di sudut gelap sebuah kedai tua di Ferney, Voltaire duduk bersama petani setempat sambil menyeruput anggur merah. Seorang perempuan tua bercerita tentang hidupnya: suaminya tewas dalam perang, anaknya dijual sebagai budak, dan kini ia tinggal dengan seekor kambing buta. Voltaire tersenyum pahit. “Kau lebih bijak dari para filsuf Paris,” katanya. Perempuan itu mungkin tak tahu, tapi kisahnya akan menjadi benih untuk tokoh-tokoh kecil dalam karyanya—figur-figur yang diabaikan sejarah, tapi menjadi suara paling jujur dalam kritik sosial Voltaire.

     Cunégonde, sang “permata” yang menjadi pelacur dalam Candide, adalah karikatur sempurna romantisisme feodal. Awalnya, ia digambarkan sebagai “kecantikan yang memesona”, dengan “pipi merah seperti bunga mawar dan suara seperti buluh perak”. Tapi Voltaire segera membongkar ilusi itu. Setelah diperkosa oleh tentara, dijual ke bangsawan Yahudi dan Inkuisitor Spanyol, kecantikannya luntur menjadi “kulit kasar” dan “gigi hitam”. Candide tetap ingin menikahinya, bukan karena cinta, tapi karena sumpah masa lalu. Pernikahan mereka—dirayakan di kebun kumuh dengan makanan basi—adalah parodi kehancuran nilai-nilai bangsawan. Cunégonde bukanlah korban pasif; ia adalah produk sistem yang mengubah manusia menjadi komoditas. Dalam suratnya kepada Madame du Deffand, Voltaire menulis: “Kecantikan adalah mata uang yang cepat pudar. Tapi kebangsawanan? Itu lelucon yang lebih busuk.”

     Di sisi lain, ada perempuan tua dalam Candide yang kehilangan satu pantat. Kisahnya dimulai dengan kemewahan: ia adalah putri Paus Urban X dan Putri Palestina, hidup dalam istana dengan seribu pelayan. Tapi nasibnya berubah: diperkosa oleh tentara Maroko, dijual ke Turki, dan akhirnya kehilangan pantatnya untuk dimakan tentara kelaparan. “Lihatlah,” katanya sambil menyingkap kain, memperlihatkan bekas luka. Adegan ini bukan hanya lelucon gelap—ia adalah serangan Voltaire pada mitos “darah biru”. Di hadapan penderitaan, gelar bangsawan tak ada artinya. Perempuan tua ini, dengan segala ironinya, justru menjadi sosok paling bijak: “Aku telah kehilangan segalanya, tapi masih bisa tertawa. Itulah kemenanganku.”

     Lalu ada Si Tua dalam Candide yang hanya muncul sekali, tapi kata-katanya mengubah segalanya. Saat Candide dan kawanan lelah bertanya: “Untuk apa semua penderitaan ini?”, Si Tua menjawab: “Kita tidak berdebat; kita bekerja. Bekerja membuat tiga kejahatan hilang: kebosanan, keburukan, dan kemiskinan.” Lalu ia mengajak mereka mengolah kebun. Tokoh ini sering dianggap sebagai juru bicara Voltaire, tapi ia lebih dari itu. Ia adalah representasi rakyat kecil yang tak tercatat dalam sejarah—petani, tukang kebun, buruh—yang bertahan bukan dengan filsafat, tapi dengan kerja tangan. Voltaire, yang menghabiskan tahun-tahun terakhirnya mengelola tanah pertanian di Ferney, tahu bahwa kebijaksanaan sejati sering bersembunyi di balik cangkul dan lumpur.

     Dalam Zadig, Voltaire menciptakan Orcan, bangsawan korup yang memperkosa perempuan desa dan menghancurkan keluarga Zadig. Orcan adalah tiruan dari Duc de Rohan—bangsawan yang pernah memerintahkan pemukulan Voltaire. Tapi Voltaire memberinya akhir yang absurd: Orcan tewas tertimpa patung dewa yang ia sendiri pasang di istana. Kematiannya adalah sindiran pada keangkuhan kekuasaan: para tiran sering menjadi korban simbol-simbol yang mereka ciptakan. Di latar belakang, ada Arbogad, perampok yang membanggakan kekejamannya. “Aku membunuh karena itu hukum alam,” katanya. Tapi Zadig membalas: “Hukum alam juga menyuruh serigala memakan domba. Tapi kita manusia—bukankah kita punya akal untuk melampaui hukum itu?” Arbogad tertawa, lalu membiarkannya pergi. Di sini, Voltaire sedang bermain dengan ironi: bahkan penjahat pun bisa memiliki secara kebijaksanaan ketika dihadapkan pada logika.

     Tokoh-tokoh kecil ini adalah senjata rahasia Voltaire. Mereka muncul sekejap, tapi meninggalkan bekas. Seperti Itobad dalam Zadig, panglima bodoh yang mencuri baju zirah pahlawan sejati untuk mengklaim kemenangan. Atau Paquette, pelayan di istana Thunder-ten-tronckh yang menularkan sifilis pada Pangloss—metafora bagaimana kebejatan moral aristokrasi menyebar ke seluruh masyarakat. Voltaire tidak memberi mereka akhir bahagia, karena di dunia nyata, orang kecil jarang mendapat keadilan. Tapi dengan menjadikan mereka pusat satir, ia membalikkan hirarki sastra: yang sebelumnya hanya pahlawan dan raja yang layak diceritakan, kini para korban dan orang terbuang menjadi narator tak resmi sejarah.

     Voltaire sendiri adalah tokoh kecil di mata istana Versailles. Lahir sebagai François-Marie Arouet, anak notaris kelas menengah, ia tak punya darah bangsawan. Julukan “Voltaire” adalah ciptaannya sendiri—sebuah anagram dari “Arouet L(e) J(eune)” (Arouet Muda) yang ditulis dalam huruf Latin. Dengan nama ini, ia membangun identitas baru: penulis yang lebih besar dari raja. Tapi ia tak pernah lupa asalnya. Dalam The Century of Louis XIV, ia menulis: “Sejarah adalah kronik para raja, tapi jejak kaki mereka hanya menginjak kuburan orang tak dikenal.”

     Di balik lelucon-leluconnya, Voltaire menyembunyikan kepedulian pada kaum tertindas. Kasus Jean Calas—pedagang Protestan yang dihukum mati palsu oleh pengadilan Katolik di Toulouse—menjadi bukti. Voltaire menulis Treatise on Tolerance (1763), menggunakan ketenarannya untuk membela keluarga Calas. Dalam risalah itu, ia mengutip kisah-kisah tokoh kecil: nelayan yang dituduh menghujat, petani yang dipenjara karena menolak pajik gereja. Bagi Voltaire, mereka adalah “Cunégonde dan Zadig di dunia nyata”—korban sistem yang mengorbankan manusia demi dogma.

     Relevansi tokoh-tokoh kecil Voltaire di era modern terasa menyakitkan. Di media sosial, kita melihat “Cunégonde-Cunégonde modern” yang dijual sebagai komoditas seksual, atau “Orcan-Orcan korup” yang merampas tanah rakyat. Tapi kita juga melihat “Si Tua” dalam bentuk aktivis lingkungan yang menanam pohon di tengah krisis iklim, atau pekerja migran yang bertahan dengan tawa seperti perempuan tua dalam Candide. Voltaire mengajarkan bahwa perubahan tidak selalu dimulai dari pahlawan besar—kadang dari mereka yang memilih mengolah kebun kecil di tengah reruntuhan.

     Di akhir hidupnya, Voltaire kembali ke Paris setelah puluhan tahun di pengasingan. Rakyat menyambutnya seperti pahlawan, tapi ia lebih memilih mengunjungi percetakan untuk memastikan edisi terakhir Candide tercetak sempurna. Saat meninggal pada 1778, Gereja menolak menguburkannya di tanah suci. Jenazahnya diam-diam dibawa ke Biara Scellières oleh keponakannya—sebuah akhir yang cocok untuk seorang penulis yang selalu memihak pada yang tersembunyi. Hari ini, di Ferney, kebun Voltaire masih tertata rapi. Tapi jika kita melihat lebih dekat, di antara bunga-bunga itu ada rumput liar yang tumbuh tanpa izin—seperti tokoh-tokoh kecil dalam karyanya. Mereka tak diundang, tapi memberi warna pada taman. Voltaire mungkin akan tersenyum: keindahan sejati, katanya, ada pada yang tak sempurna, yang bertahan, yang tak mau hilang dalam bayangan.


Di kebun Ferney yang sunyi, angin berbisik membawa benih-benih kisah ini ke kota-kota modern—tempat algoritma menggantikan inkuisisi, dan “kebenaran” diperjualbelikan seperti rempah-rempah. Tapi di antara gedung-gedung pencakar langit, bisakah benih Voltaire bertunas? (part5 dari 6)

     Pada suatu malam di tahun 1734, di kediamannya di Cirey, Voltaire menyaksikan teleskopnya diarahkan ke langit oleh Émilie du Châtelet—matematikawan jenius yang juga kekasihnya. Bersama-sama, mereka mengamati cincin Saturnus dan bayangan Jupiter, terpesona oleh hukum gravitasi Newton yang merajut semesta. Tapi di balik kekaguman itu, Voltaire menyimpan kegelisahan: betapa kecilnya manusia di hadapan kosmos, tapi betapa congkaknya mereka mengklaim diri sebagai pusat segalanya. Delapan belas tahun kemudian, kegelisahan itu menjelma menjadi Micromégas—sebuah dongeng filosofis tentang raksasa dari bintang Sirius yang mengunjungi Bumi, menyibak tabir kesombongan umat manusia.

      Micromégas, sang protagonis, adalah makhluk setinggi 120.000 kaki yang hidup selama 10.000 tahun. Di planet asalnya, Sirius, ia diusir karena menulis buku ilmiah yang dianggap "terlalu berani" oleh para akademisi konservatif. Pengusiran ini adalah lelucon pertama Voltaire: bahkan di dunia yang lebih maju, kebebasan berpikir tetap dikekang. Dalam pengembaraannya, Micromégas tiba di Saturnus, di mana ia bertemu dengan Sekretaris Akademi Saturnus—makhluk berukuran 6.000 kaki yang mengeluh tentang keterbatasan indra mereka. "Kami hanya memiliki 72 indra," keluhnya, "dan itu tidak cukup untuk memahami alam semesta." Percakapan mereka adalah sindiran halus: manusia abad ke-18, dengan lima indra saja, sudah berani menyusun dogma tentang hakikat realitas.

      Perjalanan kedua makhluk ini ke Bumi dimulai sebagai lelucon kosmik. Dengan mikroskop raksasa, mereka mengamati lautan Atlantik dan mengira itu genangan air, melihat kapal-kapal sebagai "kutu yang membawa barang". Tapi ketika mereka mendengar suara filsuf-filsuf manusia berdebat, mereka terkesima: bagaimana makhluk sekecil kutu bisa begitu yakin pada klaim-klaim besarnya? Micromégas mengambil sebatang berlian, mengubahnya menjadi pengeras suara, dan bertanya: "Apa tujuan eksistensimu?" Seorang imam menjawab: "Untuk memuliakan Tuhan." Seorang ilmuwan berkata: "Untuk menguasai alam." Seorang pedagang menyela: "Untuk mengumpulkan emas." Jawaban-jawaban ini membuat Micromégas tertawa—bukan karena mereka salah, tapi karena keseragaman klaim mereka. Di Sirius dan Saturnus, perdebatan serupa terjadi, tapi setidaknya mereka tahu bahwa pengetahuan mereka terbatas.

      Voltaire menulis Micromégas di era ketika Eropa mulai goyah dari tahta antroposentrisme. Teori heliosentris Copernicus telah meruntuhkan gagasan bahwa Bumi adalah pusat semesta. Ekspedisi Kapten Cook membuktikan bahwa "dunia beradab" hanyalah sebagian kecil dari planet. Tapi Gereja masih bersikukuh pada doktrin bahwa manusia adalah mahkota penciptaan. Micromégas, dengan tubuhnya yang raksasa, adalah metafora untuk relativitas: apa yang besar bagi manusia mungkin kerdil bagi makhluk lain. Dalam adegan jenaka, ia duduk di atas bumi seperti orang duduk di atas batu, tak sengaja menghancurkan kota-kota dengan gesekan jubahnya. Bagi Voltaire, ini bukan sekadar fantasi—ini peringatan bahwa klaim kebenaran absolut hanyalah perspektif sempit yang bisa diinjak-injak oleh realitas yang lebih luas.

      Tokoh-tokoh manusia dalam cerita ini adalah karikatur intelektual abad ke-18. Ada filsuf Cartesian yang bersikeras bahwa "semua adalah materi dan gerak", padahal Micromégas baru saja melintasi ruang antar bintang dengan kecepatan melebihi cahaya. Ada teolog yang mengutip Alkitab untuk menjelaskan asal-usul gunung, padahal raksasa dari Sirius itu telah melihat planet terbentuk dari debu kosmis. Voltaire, melalui dialog absurd ini, mengejek baik ilmuwan dogmatis maupun agamawan fanatik. Tapi ia tidak memihak pada makhluk luar angkasa: Micromégas dan teman Saturnusnya juga memiliki keterbatasan. Mereka gagal memahami mengapa manusia saling membunuh atas nama "Tuhan" atau "kebenaran", karena di dunia mereka, konflik diselesaikan dengan debat matematika.

      Di balik satirnya, Micromégas adalah cerita tentang kerendahan hati. Saat mengamati seekor paus dan kawanan ikan kecil, Micromégas berkomentar: "Alam ini seperti taman di mana pohon-pohon raksasa dan rerumputan hidup bersama." Tapi manusia, yang ukurannya di antara paus dan ikan, mengira diri mereka penguasa taman itu. Voltaire, yang terinspirasi oleh tulisan Bernard le Bovier de Fontenelle tentang pluralitas dunia, ingin menunjukkan bahwa kecerdasan bukanlah hak eksklusif manusia. Dalam suratnya kepada Frederick II, ia menulis: "Semut mungkin mengira sarangnya adalah pusat semesta—kita tertawa pada mereka, tapi lupa bahwa kita melakukan hal yang sama."

      Kisah ini juga mencerminkan pengalaman Voltaire sebagai korban kesombongan manusia. Pada 1726, ia dipukuli oleh preman bayaran Duc de Rohan karena menertawakan kebangsawanannya. Saat mengadu ke pengadilan, hakim berpihak pada bangsawan itu, berkata: "Seorang Arouet (nama asli Voltaire) tidak punya kehormatan yang perlu dipertahankan." Di Micromégas, ketidakadilan serupa terjadi: manusia, meski kecil, menciptakan hierarki palsu berdasarkan keturunan dan gelar—sebuah lelucon pahit bagi makhluk yang umurnya hanya sepersekian detik dalam skala kosmis.

      Namun, Voltaire tidak jatuh ke dalam nihilisme. Adegan di mana Micromégas memberi manusia buku berisi "hakikat segala sesuatu" yang ternyata kosong adalah metafora brilian. Bagi Voltaire, kebenaran bukanlah doktrin yang bisa diwariskan, tapi proses pencarian yang tak berujung. "Mereka mengira buku itu akan menjawab semua pertanyaan," kata Micromégas, "tapi mereka harus menulisnya sendiri." Pesan ini selaras dengan semangat Encyclopédie yang Voltaire dukung: pengetahuan adalah upaya kolektif, bukan wahyu turun-temurun.

      Micromégas juga meramalkan krisis ekologis modern. Saat raksasa itu tak sengaja menghancurkan kapal manusia dengan bersin, Voltaire menyindir kepercayaan manusia pada kekuasaan mereka atas alam. Di era Antroposen, ketika aktivitas manusia mengancam keseimbangan planet, sindiran ini terasa nubuat. Micromégas mungkin tertawa melihat manusia yang mengklaim "menguasai alam" sambil meracuni sungai dan membakar hutan—tapi tawanya mengandung duka.

      Relevansi cerita ini di era eksplorasi antariksa dan kecerdasan buatan semakin nyata. Ketika kita mencari kehidupan di Mars atau menciptakan AI yang melebihi kecerdasan manusia, kita diingatkan pada pertanyaan Micromégas: "Apakah ukuran tubuh atau kecerdasan menjamin kebijaksanaan?" Elon Musk dan Jeff Bezos mungkin adalah versi modern dari filsuf Cartesian yang yakin pada teknosentrisme, tapi Voltaire mengingatkan: kemajuan tanpa kerendahan hati hanya mengulangi kesombongan masa lalu.

      Di akhir cerita, Micromégas dan teman Saturnusnya pergi dengan perasaan campur aduk. Mereka kagum pada keberanian manusia, tapi prihatin pada kebodohan mereka. "Mungkin suatu hari mereka akan belajar," kata Micromégas, "tapi saya tidak akan hidup cukup lama untuk melihatnya." Voltaire, melalui kalimat ini, menyiratkan bahwa Pencerahan adalah proyek yang takkan selesai dalam satu generasi. Seperti Micromégas yang terus mengembara, manusia harus terus bertanya, meragukan, dan memperluas batas pengetahuannya—tanpa pernah merasa sampai.

      Dalam tahun-tahun terakhir hidupnya, Voltaire menanam kebun di Ferney dan menulis surat kepada para raja tentang toleransi. Ia tahu dirinya hanyalah "kutu" di mata kosmos, tapi kutu yang gigih menggigit kesadaran zamannya. Micromégas bukanlah cerita pesimistis—ia adalah undangan untuk melihat diri kita sebagaimana adanya: kecil, tapi mampu berpikir besar; terbatas, tapi bisa merangkul keraguan. Di tengah gempuran klaim kebenaran mutlak hari ini, kisah ini berbisik: sudilah menjadi kecil, agar pikiranmu bisa mengembara ke bintang-bintang.


     Micromégas pergi, membawa serta pertanyaan yang tak terjawab. Tapi di Bumi yang ia tinggalkan, di balik gemuruh debu kosmis, terdengar bisik-bisik para perempuan tua, budak, dan petani—suara yang bahkan tak tercatat dalam katalog bintang.(part4 dari 6)

Senjata Melawan Ketidakadilan

     “Mengapa kau membunuh?” tanya Zadig pada Arbogad, sang perampok yang baru saja merampoknya. “Karena itu hukum alam,” jawab Arbogad, mengacungkan pedang berdarah. Zadig, dengan tenang menatap langit yang dipenuhi burung hering, berkata: “Hukum alam juga menyuruh hering memakan bangkai. Tapi kita manusia—bukankah kita punya akal untuk memilih tidak menjadi hering?” Percakapan absurd ini, di suatu bukit gersang dekat Babilonia, adalah inti dari pergulatan Voltaire: bisakah rasionalitas mengalahkan kebiadaban yang mengatasnamakan “kodrat”?

     Zadig, sang filsuf Babilonia, adalah antithesis dari Candide. Jika Candide adalah korban yang belajar melalui penderitaan, Zadig adalah pahlawan aktif yang menggunakan logika sebagai pedang. Ketika anjing ratu hilang, ia memecahkan misteri dengan mengamati jejak pasir dan dedaunan—sebuah metode empiris yang menggemakan semangat Newton. Ketika dua penyair berseteru atas helm tua, ia membelahnya menjadi dua, bukan untuk meniru Salomo, tapi untuk membongkar kepalsuan klaim mereka. Voltaire, melalui Zadig, sedang menawarkan tesis radikal: kebenaran bisa diraih tanpa wahyu agama atau kekerasan, cukup dengan observasi dan keberanian meragukan.

     Tapi dunia Babilonia bukan laboratorium steril. Setiap kemenangan logika Zadig berujung pada pengusiran. Saat ia menyelamatkan ratu dari perselingkuhan dengan membuktikan kejujurannya melalui analisis jejak kuda, sang ratu malah jatuh cinta padanya—dan Zadig diusir karena “mengancam kehormatan istana”. Di sini, Voltaire menguliti antitesis pahit: rasionalitas, di tangan manusia yang korup, adalah ancaman. Sistem yang dibangun di atas kebohongan tidak akan mentolerir kebenaran, sekalipun disampaikan dengan elegan.

     Kisah Zadig adalah cermin retak hubungan Voltaire dengan kekuasaan. Pada 1740, Voltaire diundang ke istana Frederick II dari Prusia, raja yang mengaku “filsuf”. Awalnya, mereka bertukar puisi dan diskusi tentang toleransi. Tapi ketika Voltaire menertawakan sajak buruk Frederick, sang raja mengirimnya ke penjara bawah tanah selama seminggu. Pengalaman ini diolah menjadi karakter Itobad dalam Zadig—panglima bodoh yang mencuri baju zirah pahlawan sejati lalu mengklaim kemenangan. “Kebenaran adalah permata yang membuat tirani tersipu,” tulis Voltaire dalam suratnya kepada Émilie du Châtelet. Zadig, seperti Voltaire, adalah permata yang terus menggores kaca kepalsuan.

     Namun, Voltaire bukanlah idealis naif. Adegan di Mesir, tempat Zadig menjadi budak pedagang Arab Setoc, adalah sindiran cerdas pada relativisme budaya. Setoc menyembah api dan membenci pemuja bulan. Zadig bertanya: “Jika bulan yang mengatur pasang-surut pantai bisa disembah, mengapa api yang menghangutkan makanan tidak?” Setoc membebaskannya, tapi Voltaire tidak sedang memuji relativisme—ia memperlihatkan bahwa semua agama, ketika dipaksakan, sama absurdnya. Solusinya datang di akhir cerita: “Agung M’borak”, agama fiksi dengan satu hukum, “Jangan lakukan pada orang lain apa yang kau tak ingin dilakukan padamu.” Ini bukan spiritualitas, melainkan etika universal yang lahir dari rasio—sebuah sintesis antara akal dan moral.

     Di balik satirnya, Voltaire menyelipkan keputusasaan halus. Ketika Zadig menjadi raja Babilonia, rakyat memberontak karena rumor bahwa ia menghina dewa-dewa. Ia turun tahta, berujar: “Lebih baik menjadi nelayan yang berpikir daripada raja yang dikelilingi kebodohan.” Ini bukan kekalahan, tapi pengakuan: rasionalitas saja tak cukup. Voltaire, yang menghabiskan 20 tahun membela Jean Calas—korban pengadilan agama—tahu bahwa kebenaran harus diperjuangkan dengan kesabaran dan strategi. Dalam Treatise on Tolerance, ia menulis: “Keadilan buta bukanlah keadilan—itu kebrutalan yang memakai topeng.”

     Zadig adalah alter ego Voltaire yang tak pernah lelah. Saat difitnah oleh para pendeta Babilonia, ia membongkar kebohongan mereka dengan logika: “Jika aku penyihir, mengapa aku tidak mengubah kalian menjadi kodok?” Tapi di dunia nyata, Voltaire harus menggunakan taktik lain. Saat membela keluarga Calas, ia tidak hanya menulis pamflet—ia memobilisasi jaringan intelektual Eropa, mempublikasikan surat-surat palsu, dan bahkan membuat drama tentang toleransi. Zadig mungkin bisa memenangkan debat di pengadilan, tapi Voltaire tahu: di luar halaman buku, keadilan membutuhkan pertunjukan.

     Kritik Voltaire terhadap sistem hukum terasa menusuk di era “post-truth” ini. Saat politikus mengklaim “alternatif fakta” atau algoritma media sosial memperkuat prasangka, Zadig mengingatkan kita bahwa rasionalitas adalah bentuk perlawanan. Tapi Voltaire juga mengajarkan fleksibilitas. Dalam adegan di mana Zadig pura-pura membaca mantra untuk menyelamatkan nyawanya, ia berkata: “Kadang, untuk melawan takhayul, kita harus berpura-pura menyembahnya.”

     Di akhir kisah, Zadig tidak menjadi raja atau pahlawan. Ia memilih mengembara, meninggalkan Babilonia yang tetap korup. Voltaire, melalui akhir ini, menolak solusi simplistis. Dalam suratnya kepada Catherine the Great, ia menulis: “Kebenaran adalah tanaman yang tumbuh perlahan. Kadang, kita hanya bisa menyiapkan tanah untuk generasi berikutnya.”

     Relevansi Zadig di abad ke-21 terasa paradoks. Di satu sisi, kita memiliki akses informasi yang tak terbayangkan di era Voltaire. Di sisi lain, kita menyaksikan kembalinya retorika “hukum alam” ala Arbogad—seperti politikus yang membenarkan kekerasan dengan dalih “survival of the fittest”. Zadig mengajarkan kita untuk memilih tidak menjadi hering, tapi Voltaire menambahkan: “Jangan juga menjadi domba.”

     Di kebun Ferney, tempat Voltaire menghabiskan tahun-tahun terakhirnya, ada prasasti kecil yang ia tulis sendiri: “Di sini tertanam hati yang mencintai kebenaran.” Tapi di bawahnya, dengan tinta hampir pudar, ada tambahan: “…dan tertawa pada kebodohan.” Zadig mungkin tidak bisa mengubah Babilonia, tapi ia memastikan bahwa di setiap zaman, akan ada yang memilih untuk tidak menjadi hering.


      Zadig menghilang di cakrawala gurun, meninggalkan Babilonia yang tetap korup. Tapi di suatu tempat jauh di atas sana, di antara gemintang yang tak terhitung, seekor raksasa bernama Micromégas sedang menyipitkan mata, heran pada makhluk-makhluk mikroskopis yang bersikap seolah alam semesta adalah hak waris mereka.(part3 dari 6)

     Pada suatu pagi di bulan November 1755, gempa bumi mengguncang Lisbon hingga reruntuhan gereja, istana, dan rumah-rumah rakyat menewaskan puluhan ribu jiwa. Bencana itu bukan hanya tragedi fisik, tetapi juga krisis filosofis: bagaimana mungkin Tuhan yang Mahabaik membiarkan penderitaan sedemikian masif? Voltaire, yang terhenyak oleh berita itu, menulis puisi panjang berjudul Poème sur le désastre de Lisbonne (1756). Dalam puisi itu, ia melontarkan pertanyaan yang mengusik: “Apakah penderitaan ini adalah harga yang harus dibayar untuk harmoni universal?” Tiga tahun kemudian, pertanyaan yang sama mengkristal dalam Candide—sebuah satir yang lebih pedas, di mana gempa Lisbon menjadi salah satu adegan kunci. Di sini, melalui tokoh-tokoh fiktifnya, Voltaire tidak hanya menyerang doktrin optimisme filsuf Jerman Gottfried Leibniz, tetapi juga menantang kita untuk mempertanyakan kemanusiaan dalam dunia yang penuh kekacauan.

     Candide, si protagonis naif, adalah produk dari pendidikan optimistik yang ekstrem. Ia dibesarkan di istana Baron Thunder-ten-tronckh di Jerman Barat, di bawah bimbingan Pangloss, sang guru yang meyakini bahwa dunia ini adalah “yang terbaik dari semua kemungkinan”. Bagi Pangloss, segala sesuatu—dari hidung yang dirancang untuk memakai kacamata hingga wabah sifilis yang menyebar ke Eropa—adalah bagian dari harmoni kosmis yang tak terbantahkan. Voltaire, dengan ironi khasnya, menggambarkan istana itu sebagai “surga kecil” di mana “semua harum, semua hijau, semua menyenangkan”. Tapi surga ini adalah ilusi. Ketika Candide diusir karena cintanya pada putri Baron, Cunégonde, ia memasuki dunia nyata yang jauh dari teori-teori indah Pangloss. Di sini, Voltaire tidak hanya mengejek Leibniz, tetapi juga seluruh tradisi filsafat yang mengabaikan jerit manusia demi konsep abstrak.

     Perjalanan Candide adalah parade penderitaan yang absurdis. Di tengah hutan, ia direkrut paksa oleh tentara Bulgaria yang “memberinya pilihan antara dihukum mati atau dihukum mati”. Di Belanda, ia bertemu pengemis yang ternyata adalah Pangloss—wajahnya cacar, lidahnya putus, giginya ompong—tapi masih berseru: “Semuanya untuk kebaikan terbaik!” Di Suriname, ia menyaksikan budak yang tangannya dipotong karena terlambat memanen tebu. “Ini harga yang harus kita bayar agar kalian di Eropa bisa makan gula,” kata budak itu dengan getir. Adegan-adegan ini bukan sekadar hiperbola; mereka adalah cermin dari dunia abad ke-18 yang dipenuhi perang, kolonialisme, dan ketimpangan. Voltaire, yang pernah dipenjara di Bastille dan diusir ke Inggris karena kritiknya pada aristokrasi, tahu betul wajah buruk zaman itu.

     Kematian Pangloss (yang kemudian ternyata tidak mati) dalam gempa Lisbon adalah momen simbolis. Saat kota itu hancur, Pangloss tetap bersikeras bahwa gempa adalah “hal yang perlu” dalam rantai sebab-akibat ilahi. Voltaire, melalui naratornya, menyindir dengan dingin: “Jika ini yang terbaik, lalu bagaimana yang terburuk?” Di tengah puing-puing, Candide mulai meragukan dogma mentornya. Ia bertemu Martin, seorang pesimis yang melihat dunia sebagai panggung kesia-siaan. Namun, Voltaire bukanlah pesimis; ia seorang realis. Martin bukanlah solusi, melainkan cermin dari ekstrem lain. Dialog antara Candide, Pangloss, dan Martin adalah triad filosofis: optimisme buta versus sinisme pasif, dengan Candide sebagai jiwa yang mencari jalan tengah.

     Di balik kisah-kisah absurd ini, Voltaire menyelipkan parodi cinta feodal. Cunégonde, yang awalnya digambarkan sebagai “permata berharga” dengan “kulit putih seperti susu”, perlahan berubah menjadi karikatur. Setelah diperkosa oleh tentara, dijual sebagai budak, dan menjadi gundik bangsawan-bangsawan korup, kecantikannya luntur. Pipinya “kempot”, hidungnya “meler”, dan giginya “hitam”. Candide tetap mencintainya, tapi ini bukan kisah romantis—ini sindiran Voltaire terhadap obsesi aristokrasi pada kemurnian darah dan kehormatan semu. “Aku tidak lagi mencintaimu,” bisik Candide di akhir cerita, “tapi aku akan tetap menikahimu karena aku seorang pria berjanji.” Pernikahan mereka, yang dirayakan dalam kebun kecil yang sunyi, adalah parodi kesempurnaan: dua orang yang hancur, dipersatukan bukan oleh cinta, tapi oleh kelelahan.

     Voltaire juga bermain dengan kontras antara dunia nyata dan utopia. Ketika Candide tiba di El Dorado, negeri emas yang dihuni orang-orang rasional tanpa gereja atau pengadilan, ia justru memilih pergi. Bagi Voltaire, surga yang statis tidak lebih baik dari neraka dinamis; manusia harus berjuang, bukan berkhayal. El Dorado adalah kritik terhadap romantisisme Jean-Jacques Rousseau yang memuja “keadaan alam” manusia. Bagi Voltaire, kemajuan tidak datang dari kembali ke alam, tapi dari kerja keras dan akal budi.

     Puncak kritik Voltaire ada pada akhir cerita. Candide, Pangloss, Martin, Cunégonde, dan si perempuan tua yang kehilangan satu pantat menetap di sebuah kebun kecil. “Kita harus mengolah kebun kita,” ujar Candide. Kalimat sederhana itu adalah antitesis dari spekulasi filosofis. Tindakan praktis, sekecil apa pun, adalah jawaban atas kekacauan. Tapi Voltaire tidak naif; kebun itu bukan solusi heroik. Mereka tetap miskin, Cunégonde semakin jelek, dan Pangloss masih sesekali berkoar tentang “dunia terbaik”. Namun, di tengah semua itu, ada kedamaian dalam kerja. “Bekerja tanpa berdebat,” kata Martin, “adalah satu-satunya cara untuk membuat hidup bisa ditanggung.”

     Voltaire sendiri adalah Candide yang selamat. Pada 1726, ia dipukuli oleh preman bayaran bangsawan yang ia kritik, lalu dipenjara di Bastille. Setelah dibebaskan, ia diusir ke Inggris, di mana ia terpukau oleh kebebasan berbicara dan kemajuan ilmiah—pengalaman yang menginspirasi Letters on the English. Seperti Candide yang terusir dari istana, Voltaire hidup dalam pengasingan di Ferney, dekat perbatasan Swiss. Di sana, ia menulis Candide dan mengelola tanah pertaniannya sendiri—sebuah “kebun” nyata yang ia olah sambil terus menyerang ketidakadilan melalui tulisan. Dalam suratnya kepada Frederick II dari Prusia, Voltaire menulis: “Kita harus bertindak seolah- segala sesuatu bergantung pada kita, meski tahu bahwa banyak hal di luar kendali.”

     Kritik Voltaire terhadap optimisme buta masih relevan di abad ke-21. Di era krisis iklim, di mana para pemimpin dunia bersembunyi di balik jargon “pertumbuhan hijau” sambil membiarkan hutan Amazon terbakar, kita melihat Pangloss-Pangloss modern. Di tengah pandemi, ketika orang-orang bersikeras “semua akan baik-baik saja” sementara rumah sakit kolaps, Candide hadir sebagai pengingat: optimisme tanpa aksi adalah pengkhianatan. Tapi Voltaire juga tidak menawarkan pesimisme ala Martin. Kebun itu kecil, kotor, dan melelahkan—tapi di situlah harapan itu tumbuh.

     Candide juga menjadi fondasi bagi sastra absurdis abad ke-20. Albert Camus, dalam The Myth of Sisyphus, menulis tentang “keabsurdan eksistensi” yang mirip dengan perjalanan Candide. Franz Kafka, dengan birokrasi neraka dalam The Trial, menggambarkan dunia di mana penderitaan tidak masuk akal—seperti tentara Bulgaria yang merekrut Candide. Tapi Voltaire lebih dari sekadar pendahulu; ia seorang humanis yang percaya bahwa di tengrah absurditas, manusia tetap bisa bertindak.

     Di akhir hayatnya, Voltaire menolak permintaan pastor untuk menarik kritiknya terhadap Gereja. “Biarkan aku mati dalam damai,” katanya. Seperti Candide yang menolak doktrin Pangloss, Voltaire memilih untuk berpijak pada realitas—bahkan yang pahit. Kebun kecil di akhir Candide bukanlah kemenangan, tapi gencatan senjata sementara. Di sanalah Voltaire meletakkan keyakinannya: bahwa di tengah dunia yang kacau, kita bisa menanam benih-benih kemanusiaan. Benih itu mungkin takkan tumbuh menjadi pohon raksasa, tapi cukup untuk memberi naungan sesaat.


     Candide mengubur cangkulnya di kebun yang sunyi, tapi di kejauhan, di padang pasir Babilonia kuno, seorang filsuf bernama Zadig sedang mengasah pedang logikanya. Jika Candide belajar bahwa dunia tidaklah sebaik klaim para filsuf, Zadig akan membuktikan bahwa kebenaran pun bisa menjadi senjata—jika kita berani memegangnya.(part2 dari 6)

PROLOG:

     Malam itu, di tahun 1759, kabut tebal menyelimuti Ferney. Voltaire duduk di ruang kerjanya, lilin di mejanya berkedip-kedip seperti mata lelah yang menolak tertidur. Di tangannya, naskah Candide hampir selesai—tinta masih basah, kata-katanya menusuk seperti pisau yang dibalut sutra. “Buku ini,” tulisnya dalam surat kepada sahabat, “adalah bom yang kusembunyikan di balik lelucon.” Ia tak berbohong. Dalam beberapa minggu, gereja dan istana gempar: Candide dilarang, dibakar, tapi diam-diam diselundupkan dalam peti mati, karung gandum, bahkan di balik gaun bangsawan. Voltaire tertawa. Bagi penulis yang pernah dipenjara di Bastille ini, larangan hanyalah bukti bahwa kebenaran terlalu kuat untuk dikubur.

     Era Voltaire adalah zaman yang terbelah: Pencerahan menjanjikan akal budi, tapi gereja masih membakar buku; sains membuka langit, tapi monarki mengekang pikiran. Ia sendiri adalah paradoks berjalan: bangsawan fikiran tapi miskin darah, ateis yang membela toleransi beragama, penulis kaya yang suaranya selalu memihak kaum terinjak. Keempat esai ini adalah petualangan menyusuri tokoh-tokoh ciptaannya—Candide, Zadig, Micromégas, dan suara-suara kecil yang terlupakan—yang bersama-sama merobek topeng kemunafikan zamannya.

     Candide, si anak manis yang terlempar dari istana palsu, mengajak kita mempertanyakan optimisme buta. Zadig, sang detektif bijak dari Babilonia, membuktikan bahwa logika bisa jadi senjata melawan tirani. Micromégas, raksasa dari bintang Sirius, menertawakan kesombongan manusia yang mengira diri pusat semesta. Dan di sudut-sudut gelap cerita, para perempuan tua, budak, serta petani berbisik: keadilan bukan milik para pemenang, tapi mereka yang bertahan dengan tawa dan cangkul.

     Voltaire tak pernah menulis manifesto. Kritiknya tersembunyi di balik kisah-kisah absurd: gempa bumi yang menghancurkan Lisbon, perampok yang mengklaim “hukum alam”, atau kebun kecil tempat Candide menanam kol. Tapi justru di situlah kekuatannya: ia mengajak kita menertawakan kebodohan, lalu tersentak—karena tertawaan itu adalah cermin yang memperlihatkan wajah kita sendiri.

     Di abad ke-21, di tengah gemuruh media sosial, krisis iklim, dan algoritma yang menggantikan inkuisisi, pertanyaan Voltaire masih menggantung: apakah kita benar-benar lebih maju? Ataukah kesombongan manusia hanya berganti kostum—dari jubah bangsawan ke setelan jas, dari takhayul agama ke dogma teknologi?

     Esai-esai ini bukan sekadar kajian sastra. Mereka adalah pisau bedah untuk membedah ilusi zaman: ketika “pertumbuhan ekonomi” menjadi mantra baru Pangloss, ketika “post-truth” adalah agama Arbogad modern, dan ketika kebun Candide harus diperluas jadi seluruh planet. Voltaire mungkin akan tersenyum sinis—tapi di sudut bibirnya, kita masih bisa melihat secercah harapan: selama manusia masih bisa menertawakan diri sendiri, selama biji apel tua di kebun Ferney masih bisa bertunas di retakan trotoar, Pencerahan belum mati. Ia hanya menunggu untuk ditanam kembali.(part1 dari 6)


Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.