PROLOG:
Malam itu, di tahun 1759, kabut tebal menyelimuti Ferney. Voltaire duduk di ruang kerjanya, lilin di mejanya berkedip-kedip seperti mata lelah yang menolak tertidur. Di tangannya, naskah Candide hampir selesai—tinta masih basah, kata-katanya menusuk seperti pisau yang dibalut sutra. “Buku ini,” tulisnya dalam surat kepada sahabat, “adalah bom yang kusembunyikan di balik lelucon.” Ia tak berbohong. Dalam beberapa minggu, gereja dan istana gempar: Candide dilarang, dibakar, tapi diam-diam diselundupkan dalam peti mati, karung gandum, bahkan di balik gaun bangsawan. Voltaire tertawa. Bagi penulis yang pernah dipenjara di Bastille ini, larangan hanyalah bukti bahwa kebenaran terlalu kuat untuk dikubur.
Era Voltaire adalah zaman yang terbelah: Pencerahan menjanjikan akal budi, tapi gereja masih membakar buku; sains membuka langit, tapi monarki mengekang pikiran. Ia sendiri adalah paradoks berjalan: bangsawan fikiran tapi miskin darah, ateis yang membela toleransi beragama, penulis kaya yang suaranya selalu memihak kaum terinjak. Keempat esai ini adalah petualangan menyusuri tokoh-tokoh ciptaannya—Candide, Zadig, Micromégas, dan suara-suara kecil yang terlupakan—yang bersama-sama merobek topeng kemunafikan zamannya.
Candide, si anak manis yang terlempar dari istana palsu, mengajak kita mempertanyakan optimisme buta. Zadig, sang detektif bijak dari Babilonia, membuktikan bahwa logika bisa jadi senjata melawan tirani. Micromégas, raksasa dari bintang Sirius, menertawakan kesombongan manusia yang mengira diri pusat semesta. Dan di sudut-sudut gelap cerita, para perempuan tua, budak, serta petani berbisik: keadilan bukan milik para pemenang, tapi mereka yang bertahan dengan tawa dan cangkul.
Voltaire tak pernah menulis manifesto. Kritiknya tersembunyi di balik kisah-kisah absurd: gempa bumi yang menghancurkan Lisbon, perampok yang mengklaim “hukum alam”, atau kebun kecil tempat Candide menanam kol. Tapi justru di situlah kekuatannya: ia mengajak kita menertawakan kebodohan, lalu tersentak—karena tertawaan itu adalah cermin yang memperlihatkan wajah kita sendiri.
Di abad ke-21, di tengah gemuruh media sosial, krisis iklim, dan algoritma yang menggantikan inkuisisi, pertanyaan Voltaire masih menggantung: apakah kita benar-benar lebih maju? Ataukah kesombongan manusia hanya berganti kostum—dari jubah bangsawan ke setelan jas, dari takhayul agama ke dogma teknologi?
Esai-esai ini bukan sekadar kajian sastra.
Mereka adalah pisau bedah untuk membedah ilusi zaman: ketika “pertumbuhan
ekonomi” menjadi mantra baru Pangloss, ketika “post-truth” adalah agama Arbogad
modern, dan ketika kebun Candide harus diperluas jadi seluruh planet. Voltaire
mungkin akan tersenyum sinis—tapi di sudut bibirnya, kita masih bisa melihat
secercah harapan: selama manusia masih bisa menertawakan diri sendiri, selama
biji apel tua di kebun Ferney masih bisa bertunas di retakan trotoar,
Pencerahan belum mati. Ia hanya menunggu untuk ditanam kembali.(part1 dari 6)
Posting Komentar
...