Kesombongan Manusia dalam Kosmos

     Pada suatu malam di tahun 1734, di kediamannya di Cirey, Voltaire menyaksikan teleskopnya diarahkan ke langit oleh Émilie du Châtelet—matematikawan jenius yang juga kekasihnya. Bersama-sama, mereka mengamati cincin Saturnus dan bayangan Jupiter, terpesona oleh hukum gravitasi Newton yang merajut semesta. Tapi di balik kekaguman itu, Voltaire menyimpan kegelisahan: betapa kecilnya manusia di hadapan kosmos, tapi betapa congkaknya mereka mengklaim diri sebagai pusat segalanya. Delapan belas tahun kemudian, kegelisahan itu menjelma menjadi Micromégas—sebuah dongeng filosofis tentang raksasa dari bintang Sirius yang mengunjungi Bumi, menyibak tabir kesombongan umat manusia.

      Micromégas, sang protagonis, adalah makhluk setinggi 120.000 kaki yang hidup selama 10.000 tahun. Di planet asalnya, Sirius, ia diusir karena menulis buku ilmiah yang dianggap "terlalu berani" oleh para akademisi konservatif. Pengusiran ini adalah lelucon pertama Voltaire: bahkan di dunia yang lebih maju, kebebasan berpikir tetap dikekang. Dalam pengembaraannya, Micromégas tiba di Saturnus, di mana ia bertemu dengan Sekretaris Akademi Saturnus—makhluk berukuran 6.000 kaki yang mengeluh tentang keterbatasan indra mereka. "Kami hanya memiliki 72 indra," keluhnya, "dan itu tidak cukup untuk memahami alam semesta." Percakapan mereka adalah sindiran halus: manusia abad ke-18, dengan lima indra saja, sudah berani menyusun dogma tentang hakikat realitas.

      Perjalanan kedua makhluk ini ke Bumi dimulai sebagai lelucon kosmik. Dengan mikroskop raksasa, mereka mengamati lautan Atlantik dan mengira itu genangan air, melihat kapal-kapal sebagai "kutu yang membawa barang". Tapi ketika mereka mendengar suara filsuf-filsuf manusia berdebat, mereka terkesima: bagaimana makhluk sekecil kutu bisa begitu yakin pada klaim-klaim besarnya? Micromégas mengambil sebatang berlian, mengubahnya menjadi pengeras suara, dan bertanya: "Apa tujuan eksistensimu?" Seorang imam menjawab: "Untuk memuliakan Tuhan." Seorang ilmuwan berkata: "Untuk menguasai alam." Seorang pedagang menyela: "Untuk mengumpulkan emas." Jawaban-jawaban ini membuat Micromégas tertawa—bukan karena mereka salah, tapi karena keseragaman klaim mereka. Di Sirius dan Saturnus, perdebatan serupa terjadi, tapi setidaknya mereka tahu bahwa pengetahuan mereka terbatas.

      Voltaire menulis Micromégas di era ketika Eropa mulai goyah dari tahta antroposentrisme. Teori heliosentris Copernicus telah meruntuhkan gagasan bahwa Bumi adalah pusat semesta. Ekspedisi Kapten Cook membuktikan bahwa "dunia beradab" hanyalah sebagian kecil dari planet. Tapi Gereja masih bersikukuh pada doktrin bahwa manusia adalah mahkota penciptaan. Micromégas, dengan tubuhnya yang raksasa, adalah metafora untuk relativitas: apa yang besar bagi manusia mungkin kerdil bagi makhluk lain. Dalam adegan jenaka, ia duduk di atas bumi seperti orang duduk di atas batu, tak sengaja menghancurkan kota-kota dengan gesekan jubahnya. Bagi Voltaire, ini bukan sekadar fantasi—ini peringatan bahwa klaim kebenaran absolut hanyalah perspektif sempit yang bisa diinjak-injak oleh realitas yang lebih luas.

      Tokoh-tokoh manusia dalam cerita ini adalah karikatur intelektual abad ke-18. Ada filsuf Cartesian yang bersikeras bahwa "semua adalah materi dan gerak", padahal Micromégas baru saja melintasi ruang antar bintang dengan kecepatan melebihi cahaya. Ada teolog yang mengutip Alkitab untuk menjelaskan asal-usul gunung, padahal raksasa dari Sirius itu telah melihat planet terbentuk dari debu kosmis. Voltaire, melalui dialog absurd ini, mengejek baik ilmuwan dogmatis maupun agamawan fanatik. Tapi ia tidak memihak pada makhluk luar angkasa: Micromégas dan teman Saturnusnya juga memiliki keterbatasan. Mereka gagal memahami mengapa manusia saling membunuh atas nama "Tuhan" atau "kebenaran", karena di dunia mereka, konflik diselesaikan dengan debat matematika.

      Di balik satirnya, Micromégas adalah cerita tentang kerendahan hati. Saat mengamati seekor paus dan kawanan ikan kecil, Micromégas berkomentar: "Alam ini seperti taman di mana pohon-pohon raksasa dan rerumputan hidup bersama." Tapi manusia, yang ukurannya di antara paus dan ikan, mengira diri mereka penguasa taman itu. Voltaire, yang terinspirasi oleh tulisan Bernard le Bovier de Fontenelle tentang pluralitas dunia, ingin menunjukkan bahwa kecerdasan bukanlah hak eksklusif manusia. Dalam suratnya kepada Frederick II, ia menulis: "Semut mungkin mengira sarangnya adalah pusat semesta—kita tertawa pada mereka, tapi lupa bahwa kita melakukan hal yang sama."

      Kisah ini juga mencerminkan pengalaman Voltaire sebagai korban kesombongan manusia. Pada 1726, ia dipukuli oleh preman bayaran Duc de Rohan karena menertawakan kebangsawanannya. Saat mengadu ke pengadilan, hakim berpihak pada bangsawan itu, berkata: "Seorang Arouet (nama asli Voltaire) tidak punya kehormatan yang perlu dipertahankan." Di Micromégas, ketidakadilan serupa terjadi: manusia, meski kecil, menciptakan hierarki palsu berdasarkan keturunan dan gelar—sebuah lelucon pahit bagi makhluk yang umurnya hanya sepersekian detik dalam skala kosmis.

      Namun, Voltaire tidak jatuh ke dalam nihilisme. Adegan di mana Micromégas memberi manusia buku berisi "hakikat segala sesuatu" yang ternyata kosong adalah metafora brilian. Bagi Voltaire, kebenaran bukanlah doktrin yang bisa diwariskan, tapi proses pencarian yang tak berujung. "Mereka mengira buku itu akan menjawab semua pertanyaan," kata Micromégas, "tapi mereka harus menulisnya sendiri." Pesan ini selaras dengan semangat Encyclopédie yang Voltaire dukung: pengetahuan adalah upaya kolektif, bukan wahyu turun-temurun.

      Micromégas juga meramalkan krisis ekologis modern. Saat raksasa itu tak sengaja menghancurkan kapal manusia dengan bersin, Voltaire menyindir kepercayaan manusia pada kekuasaan mereka atas alam. Di era Antroposen, ketika aktivitas manusia mengancam keseimbangan planet, sindiran ini terasa nubuat. Micromégas mungkin tertawa melihat manusia yang mengklaim "menguasai alam" sambil meracuni sungai dan membakar hutan—tapi tawanya mengandung duka.

      Relevansi cerita ini di era eksplorasi antariksa dan kecerdasan buatan semakin nyata. Ketika kita mencari kehidupan di Mars atau menciptakan AI yang melebihi kecerdasan manusia, kita diingatkan pada pertanyaan Micromégas: "Apakah ukuran tubuh atau kecerdasan menjamin kebijaksanaan?" Elon Musk dan Jeff Bezos mungkin adalah versi modern dari filsuf Cartesian yang yakin pada teknosentrisme, tapi Voltaire mengingatkan: kemajuan tanpa kerendahan hati hanya mengulangi kesombongan masa lalu.

      Di akhir cerita, Micromégas dan teman Saturnusnya pergi dengan perasaan campur aduk. Mereka kagum pada keberanian manusia, tapi prihatin pada kebodohan mereka. "Mungkin suatu hari mereka akan belajar," kata Micromégas, "tapi saya tidak akan hidup cukup lama untuk melihatnya." Voltaire, melalui kalimat ini, menyiratkan bahwa Pencerahan adalah proyek yang takkan selesai dalam satu generasi. Seperti Micromégas yang terus mengembara, manusia harus terus bertanya, meragukan, dan memperluas batas pengetahuannya—tanpa pernah merasa sampai.

      Dalam tahun-tahun terakhir hidupnya, Voltaire menanam kebun di Ferney dan menulis surat kepada para raja tentang toleransi. Ia tahu dirinya hanyalah "kutu" di mata kosmos, tapi kutu yang gigih menggigit kesadaran zamannya. Micromégas bukanlah cerita pesimistis—ia adalah undangan untuk melihat diri kita sebagaimana adanya: kecil, tapi mampu berpikir besar; terbatas, tapi bisa merangkul keraguan. Di tengah gempuran klaim kebenaran mutlak hari ini, kisah ini berbisik: sudilah menjadi kecil, agar pikiranmu bisa mengembara ke bintang-bintang.


     Micromégas pergi, membawa serta pertanyaan yang tak terjawab. Tapi di Bumi yang ia tinggalkan, di balik gemuruh debu kosmis, terdengar bisik-bisik para perempuan tua, budak, dan petani—suara yang bahkan tak tercatat dalam katalog bintang.(part4 dari 6)

Label: ,

Posting Komentar

...

[blogger][facebook]

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.