Cunégonde, sang “permata” yang menjadi pelacur dalam Candide, adalah karikatur sempurna romantisisme feodal. Awalnya, ia digambarkan sebagai “kecantikan yang memesona”, dengan “pipi merah seperti bunga mawar dan suara seperti buluh perak”. Tapi Voltaire segera membongkar ilusi itu. Setelah diperkosa oleh tentara, dijual ke bangsawan Yahudi dan Inkuisitor Spanyol, kecantikannya luntur menjadi “kulit kasar” dan “gigi hitam”. Candide tetap ingin menikahinya, bukan karena cinta, tapi karena sumpah masa lalu. Pernikahan mereka—dirayakan di kebun kumuh dengan makanan basi—adalah parodi kehancuran nilai-nilai bangsawan. Cunégonde bukanlah korban pasif; ia adalah produk sistem yang mengubah manusia menjadi komoditas. Dalam suratnya kepada Madame du Deffand, Voltaire menulis: “Kecantikan adalah mata uang yang cepat pudar. Tapi kebangsawanan? Itu lelucon yang lebih busuk.”
Di sisi lain, ada perempuan tua dalam Candide yang kehilangan satu pantat. Kisahnya dimulai dengan kemewahan: ia adalah putri Paus Urban X dan Putri Palestina, hidup dalam istana dengan seribu pelayan. Tapi nasibnya berubah: diperkosa oleh tentara Maroko, dijual ke Turki, dan akhirnya kehilangan pantatnya untuk dimakan tentara kelaparan. “Lihatlah,” katanya sambil menyingkap kain, memperlihatkan bekas luka. Adegan ini bukan hanya lelucon gelap—ia adalah serangan Voltaire pada mitos “darah biru”. Di hadapan penderitaan, gelar bangsawan tak ada artinya. Perempuan tua ini, dengan segala ironinya, justru menjadi sosok paling bijak: “Aku telah kehilangan segalanya, tapi masih bisa tertawa. Itulah kemenanganku.”
Lalu ada Si Tua dalam Candide yang hanya muncul sekali, tapi kata-katanya mengubah segalanya. Saat Candide dan kawanan lelah bertanya: “Untuk apa semua penderitaan ini?”, Si Tua menjawab: “Kita tidak berdebat; kita bekerja. Bekerja membuat tiga kejahatan hilang: kebosanan, keburukan, dan kemiskinan.” Lalu ia mengajak mereka mengolah kebun. Tokoh ini sering dianggap sebagai juru bicara Voltaire, tapi ia lebih dari itu. Ia adalah representasi rakyat kecil yang tak tercatat dalam sejarah—petani, tukang kebun, buruh—yang bertahan bukan dengan filsafat, tapi dengan kerja tangan. Voltaire, yang menghabiskan tahun-tahun terakhirnya mengelola tanah pertanian di Ferney, tahu bahwa kebijaksanaan sejati sering bersembunyi di balik cangkul dan lumpur.
Dalam Zadig, Voltaire menciptakan Orcan, bangsawan korup yang memperkosa perempuan desa dan menghancurkan keluarga Zadig. Orcan adalah tiruan dari Duc de Rohan—bangsawan yang pernah memerintahkan pemukulan Voltaire. Tapi Voltaire memberinya akhir yang absurd: Orcan tewas tertimpa patung dewa yang ia sendiri pasang di istana. Kematiannya adalah sindiran pada keangkuhan kekuasaan: para tiran sering menjadi korban simbol-simbol yang mereka ciptakan. Di latar belakang, ada Arbogad, perampok yang membanggakan kekejamannya. “Aku membunuh karena itu hukum alam,” katanya. Tapi Zadig membalas: “Hukum alam juga menyuruh serigala memakan domba. Tapi kita manusia—bukankah kita punya akal untuk melampaui hukum itu?” Arbogad tertawa, lalu membiarkannya pergi. Di sini, Voltaire sedang bermain dengan ironi: bahkan penjahat pun bisa memiliki secara kebijaksanaan ketika dihadapkan pada logika.
Tokoh-tokoh kecil ini adalah senjata rahasia Voltaire. Mereka muncul sekejap, tapi meninggalkan bekas. Seperti Itobad dalam Zadig, panglima bodoh yang mencuri baju zirah pahlawan sejati untuk mengklaim kemenangan. Atau Paquette, pelayan di istana Thunder-ten-tronckh yang menularkan sifilis pada Pangloss—metafora bagaimana kebejatan moral aristokrasi menyebar ke seluruh masyarakat. Voltaire tidak memberi mereka akhir bahagia, karena di dunia nyata, orang kecil jarang mendapat keadilan. Tapi dengan menjadikan mereka pusat satir, ia membalikkan hirarki sastra: yang sebelumnya hanya pahlawan dan raja yang layak diceritakan, kini para korban dan orang terbuang menjadi narator tak resmi sejarah.
Voltaire sendiri adalah tokoh kecil di mata istana Versailles. Lahir sebagai François-Marie Arouet, anak notaris kelas menengah, ia tak punya darah bangsawan. Julukan “Voltaire” adalah ciptaannya sendiri—sebuah anagram dari “Arouet L(e) J(eune)” (Arouet Muda) yang ditulis dalam huruf Latin. Dengan nama ini, ia membangun identitas baru: penulis yang lebih besar dari raja. Tapi ia tak pernah lupa asalnya. Dalam The Century of Louis XIV, ia menulis: “Sejarah adalah kronik para raja, tapi jejak kaki mereka hanya menginjak kuburan orang tak dikenal.”
Di balik lelucon-leluconnya, Voltaire menyembunyikan kepedulian pada kaum tertindas. Kasus Jean Calas—pedagang Protestan yang dihukum mati palsu oleh pengadilan Katolik di Toulouse—menjadi bukti. Voltaire menulis Treatise on Tolerance (1763), menggunakan ketenarannya untuk membela keluarga Calas. Dalam risalah itu, ia mengutip kisah-kisah tokoh kecil: nelayan yang dituduh menghujat, petani yang dipenjara karena menolak pajik gereja. Bagi Voltaire, mereka adalah “Cunégonde dan Zadig di dunia nyata”—korban sistem yang mengorbankan manusia demi dogma.
Relevansi tokoh-tokoh kecil Voltaire di era modern terasa menyakitkan. Di media sosial, kita melihat “Cunégonde-Cunégonde modern” yang dijual sebagai komoditas seksual, atau “Orcan-Orcan korup” yang merampas tanah rakyat. Tapi kita juga melihat “Si Tua” dalam bentuk aktivis lingkungan yang menanam pohon di tengah krisis iklim, atau pekerja migran yang bertahan dengan tawa seperti perempuan tua dalam Candide. Voltaire mengajarkan bahwa perubahan tidak selalu dimulai dari pahlawan besar—kadang dari mereka yang memilih mengolah kebun kecil di tengah reruntuhan.
Di akhir hidupnya, Voltaire kembali ke Paris setelah puluhan tahun di pengasingan. Rakyat menyambutnya seperti pahlawan, tapi ia lebih memilih mengunjungi percetakan untuk memastikan edisi terakhir Candide tercetak sempurna. Saat meninggal pada 1778, Gereja menolak menguburkannya di tanah suci. Jenazahnya diam-diam dibawa ke Biara Scellières oleh keponakannya—sebuah akhir yang cocok untuk seorang penulis yang selalu memihak pada yang tersembunyi. Hari ini, di Ferney, kebun Voltaire masih tertata rapi. Tapi jika kita melihat lebih dekat, di antara bunga-bunga itu ada rumput liar yang tumbuh tanpa izin—seperti tokoh-tokoh kecil dalam karyanya. Mereka tak diundang, tapi memberi warna pada taman. Voltaire mungkin akan tersenyum: keindahan sejati, katanya, ada pada yang tak sempurna, yang bertahan, yang tak mau hilang dalam bayangan.
Di kebun Ferney yang sunyi, angin berbisik membawa benih-benih kisah ini ke kota-kota modern—tempat algoritma menggantikan inkuisisi, dan “kebenaran” diperjualbelikan seperti rempah-rempah. Tapi di antara gedung-gedung pencakar langit, bisakah benih Voltaire bertunas? (part5 dari 6)
Posting Komentar
...