Rasionalitas Sebagai Senjata

Senjata Melawan Ketidakadilan

     “Mengapa kau membunuh?” tanya Zadig pada Arbogad, sang perampok yang baru saja merampoknya. “Karena itu hukum alam,” jawab Arbogad, mengacungkan pedang berdarah. Zadig, dengan tenang menatap langit yang dipenuhi burung hering, berkata: “Hukum alam juga menyuruh hering memakan bangkai. Tapi kita manusia—bukankah kita punya akal untuk memilih tidak menjadi hering?” Percakapan absurd ini, di suatu bukit gersang dekat Babilonia, adalah inti dari pergulatan Voltaire: bisakah rasionalitas mengalahkan kebiadaban yang mengatasnamakan “kodrat”?

     Zadig, sang filsuf Babilonia, adalah antithesis dari Candide. Jika Candide adalah korban yang belajar melalui penderitaan, Zadig adalah pahlawan aktif yang menggunakan logika sebagai pedang. Ketika anjing ratu hilang, ia memecahkan misteri dengan mengamati jejak pasir dan dedaunan—sebuah metode empiris yang menggemakan semangat Newton. Ketika dua penyair berseteru atas helm tua, ia membelahnya menjadi dua, bukan untuk meniru Salomo, tapi untuk membongkar kepalsuan klaim mereka. Voltaire, melalui Zadig, sedang menawarkan tesis radikal: kebenaran bisa diraih tanpa wahyu agama atau kekerasan, cukup dengan observasi dan keberanian meragukan.

     Tapi dunia Babilonia bukan laboratorium steril. Setiap kemenangan logika Zadig berujung pada pengusiran. Saat ia menyelamatkan ratu dari perselingkuhan dengan membuktikan kejujurannya melalui analisis jejak kuda, sang ratu malah jatuh cinta padanya—dan Zadig diusir karena “mengancam kehormatan istana”. Di sini, Voltaire menguliti antitesis pahit: rasionalitas, di tangan manusia yang korup, adalah ancaman. Sistem yang dibangun di atas kebohongan tidak akan mentolerir kebenaran, sekalipun disampaikan dengan elegan.

     Kisah Zadig adalah cermin retak hubungan Voltaire dengan kekuasaan. Pada 1740, Voltaire diundang ke istana Frederick II dari Prusia, raja yang mengaku “filsuf”. Awalnya, mereka bertukar puisi dan diskusi tentang toleransi. Tapi ketika Voltaire menertawakan sajak buruk Frederick, sang raja mengirimnya ke penjara bawah tanah selama seminggu. Pengalaman ini diolah menjadi karakter Itobad dalam Zadig—panglima bodoh yang mencuri baju zirah pahlawan sejati lalu mengklaim kemenangan. “Kebenaran adalah permata yang membuat tirani tersipu,” tulis Voltaire dalam suratnya kepada Émilie du Châtelet. Zadig, seperti Voltaire, adalah permata yang terus menggores kaca kepalsuan.

     Namun, Voltaire bukanlah idealis naif. Adegan di Mesir, tempat Zadig menjadi budak pedagang Arab Setoc, adalah sindiran cerdas pada relativisme budaya. Setoc menyembah api dan membenci pemuja bulan. Zadig bertanya: “Jika bulan yang mengatur pasang-surut pantai bisa disembah, mengapa api yang menghangutkan makanan tidak?” Setoc membebaskannya, tapi Voltaire tidak sedang memuji relativisme—ia memperlihatkan bahwa semua agama, ketika dipaksakan, sama absurdnya. Solusinya datang di akhir cerita: “Agung M’borak”, agama fiksi dengan satu hukum, “Jangan lakukan pada orang lain apa yang kau tak ingin dilakukan padamu.” Ini bukan spiritualitas, melainkan etika universal yang lahir dari rasio—sebuah sintesis antara akal dan moral.

     Di balik satirnya, Voltaire menyelipkan keputusasaan halus. Ketika Zadig menjadi raja Babilonia, rakyat memberontak karena rumor bahwa ia menghina dewa-dewa. Ia turun tahta, berujar: “Lebih baik menjadi nelayan yang berpikir daripada raja yang dikelilingi kebodohan.” Ini bukan kekalahan, tapi pengakuan: rasionalitas saja tak cukup. Voltaire, yang menghabiskan 20 tahun membela Jean Calas—korban pengadilan agama—tahu bahwa kebenaran harus diperjuangkan dengan kesabaran dan strategi. Dalam Treatise on Tolerance, ia menulis: “Keadilan buta bukanlah keadilan—itu kebrutalan yang memakai topeng.”

     Zadig adalah alter ego Voltaire yang tak pernah lelah. Saat difitnah oleh para pendeta Babilonia, ia membongkar kebohongan mereka dengan logika: “Jika aku penyihir, mengapa aku tidak mengubah kalian menjadi kodok?” Tapi di dunia nyata, Voltaire harus menggunakan taktik lain. Saat membela keluarga Calas, ia tidak hanya menulis pamflet—ia memobilisasi jaringan intelektual Eropa, mempublikasikan surat-surat palsu, dan bahkan membuat drama tentang toleransi. Zadig mungkin bisa memenangkan debat di pengadilan, tapi Voltaire tahu: di luar halaman buku, keadilan membutuhkan pertunjukan.

     Kritik Voltaire terhadap sistem hukum terasa menusuk di era “post-truth” ini. Saat politikus mengklaim “alternatif fakta” atau algoritma media sosial memperkuat prasangka, Zadig mengingatkan kita bahwa rasionalitas adalah bentuk perlawanan. Tapi Voltaire juga mengajarkan fleksibilitas. Dalam adegan di mana Zadig pura-pura membaca mantra untuk menyelamatkan nyawanya, ia berkata: “Kadang, untuk melawan takhayul, kita harus berpura-pura menyembahnya.”

     Di akhir kisah, Zadig tidak menjadi raja atau pahlawan. Ia memilih mengembara, meninggalkan Babilonia yang tetap korup. Voltaire, melalui akhir ini, menolak solusi simplistis. Dalam suratnya kepada Catherine the Great, ia menulis: “Kebenaran adalah tanaman yang tumbuh perlahan. Kadang, kita hanya bisa menyiapkan tanah untuk generasi berikutnya.”

     Relevansi Zadig di abad ke-21 terasa paradoks. Di satu sisi, kita memiliki akses informasi yang tak terbayangkan di era Voltaire. Di sisi lain, kita menyaksikan kembalinya retorika “hukum alam” ala Arbogad—seperti politikus yang membenarkan kekerasan dengan dalih “survival of the fittest”. Zadig mengajarkan kita untuk memilih tidak menjadi hering, tapi Voltaire menambahkan: “Jangan juga menjadi domba.”

     Di kebun Ferney, tempat Voltaire menghabiskan tahun-tahun terakhirnya, ada prasasti kecil yang ia tulis sendiri: “Di sini tertanam hati yang mencintai kebenaran.” Tapi di bawahnya, dengan tinta hampir pudar, ada tambahan: “…dan tertawa pada kebodohan.” Zadig mungkin tidak bisa mengubah Babilonia, tapi ia memastikan bahwa di setiap zaman, akan ada yang memilih untuk tidak menjadi hering.


      Zadig menghilang di cakrawala gurun, meninggalkan Babilonia yang tetap korup. Tapi di suatu tempat jauh di atas sana, di antara gemintang yang tak terhitung, seekor raksasa bernama Micromégas sedang menyipitkan mata, heran pada makhluk-makhluk mikroskopis yang bersikap seolah alam semesta adalah hak waris mereka.(part3 dari 6)

Label: ,

Posting Komentar

...

[blogger][facebook]

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.