Pada suatu pagi di bulan November 1755, gempa bumi mengguncang Lisbon hingga reruntuhan gereja, istana, dan rumah-rumah rakyat menewaskan puluhan ribu jiwa. Bencana itu bukan hanya tragedi fisik, tetapi juga krisis filosofis: bagaimana mungkin Tuhan yang Mahabaik membiarkan penderitaan sedemikian masif? Voltaire, yang terhenyak oleh berita itu, menulis puisi panjang berjudul Poème sur le désastre de Lisbonne (1756). Dalam puisi itu, ia melontarkan pertanyaan yang mengusik: “Apakah penderitaan ini adalah harga yang harus dibayar untuk harmoni universal?” Tiga tahun kemudian, pertanyaan yang sama mengkristal dalam Candide—sebuah satir yang lebih pedas, di mana gempa Lisbon menjadi salah satu adegan kunci. Di sini, melalui tokoh-tokoh fiktifnya, Voltaire tidak hanya menyerang doktrin optimisme filsuf Jerman Gottfried Leibniz, tetapi juga menantang kita untuk mempertanyakan kemanusiaan dalam dunia yang penuh kekacauan.
Candide, si protagonis naif, adalah produk dari pendidikan optimistik yang ekstrem. Ia dibesarkan di istana Baron Thunder-ten-tronckh di Jerman Barat, di bawah bimbingan Pangloss, sang guru yang meyakini bahwa dunia ini adalah “yang terbaik dari semua kemungkinan”. Bagi Pangloss, segala sesuatu—dari hidung yang dirancang untuk memakai kacamata hingga wabah sifilis yang menyebar ke Eropa—adalah bagian dari harmoni kosmis yang tak terbantahkan. Voltaire, dengan ironi khasnya, menggambarkan istana itu sebagai “surga kecil” di mana “semua harum, semua hijau, semua menyenangkan”. Tapi surga ini adalah ilusi. Ketika Candide diusir karena cintanya pada putri Baron, Cunégonde, ia memasuki dunia nyata yang jauh dari teori-teori indah Pangloss. Di sini, Voltaire tidak hanya mengejek Leibniz, tetapi juga seluruh tradisi filsafat yang mengabaikan jerit manusia demi konsep abstrak.
Perjalanan Candide adalah parade penderitaan yang absurdis. Di tengah hutan, ia direkrut paksa oleh tentara Bulgaria yang “memberinya pilihan antara dihukum mati atau dihukum mati”. Di Belanda, ia bertemu pengemis yang ternyata adalah Pangloss—wajahnya cacar, lidahnya putus, giginya ompong—tapi masih berseru: “Semuanya untuk kebaikan terbaik!” Di Suriname, ia menyaksikan budak yang tangannya dipotong karena terlambat memanen tebu. “Ini harga yang harus kita bayar agar kalian di Eropa bisa makan gula,” kata budak itu dengan getir. Adegan-adegan ini bukan sekadar hiperbola; mereka adalah cermin dari dunia abad ke-18 yang dipenuhi perang, kolonialisme, dan ketimpangan. Voltaire, yang pernah dipenjara di Bastille dan diusir ke Inggris karena kritiknya pada aristokrasi, tahu betul wajah buruk zaman itu.
Kematian Pangloss (yang kemudian ternyata tidak mati) dalam gempa Lisbon adalah momen simbolis. Saat kota itu hancur, Pangloss tetap bersikeras bahwa gempa adalah “hal yang perlu” dalam rantai sebab-akibat ilahi. Voltaire, melalui naratornya, menyindir dengan dingin: “Jika ini yang terbaik, lalu bagaimana yang terburuk?” Di tengah puing-puing, Candide mulai meragukan dogma mentornya. Ia bertemu Martin, seorang pesimis yang melihat dunia sebagai panggung kesia-siaan. Namun, Voltaire bukanlah pesimis; ia seorang realis. Martin bukanlah solusi, melainkan cermin dari ekstrem lain. Dialog antara Candide, Pangloss, dan Martin adalah triad filosofis: optimisme buta versus sinisme pasif, dengan Candide sebagai jiwa yang mencari jalan tengah.
Di balik kisah-kisah absurd ini, Voltaire menyelipkan parodi cinta feodal. Cunégonde, yang awalnya digambarkan sebagai “permata berharga” dengan “kulit putih seperti susu”, perlahan berubah menjadi karikatur. Setelah diperkosa oleh tentara, dijual sebagai budak, dan menjadi gundik bangsawan-bangsawan korup, kecantikannya luntur. Pipinya “kempot”, hidungnya “meler”, dan giginya “hitam”. Candide tetap mencintainya, tapi ini bukan kisah romantis—ini sindiran Voltaire terhadap obsesi aristokrasi pada kemurnian darah dan kehormatan semu. “Aku tidak lagi mencintaimu,” bisik Candide di akhir cerita, “tapi aku akan tetap menikahimu karena aku seorang pria berjanji.” Pernikahan mereka, yang dirayakan dalam kebun kecil yang sunyi, adalah parodi kesempurnaan: dua orang yang hancur, dipersatukan bukan oleh cinta, tapi oleh kelelahan.
Voltaire juga bermain dengan kontras antara dunia nyata dan utopia. Ketika Candide tiba di El Dorado, negeri emas yang dihuni orang-orang rasional tanpa gereja atau pengadilan, ia justru memilih pergi. Bagi Voltaire, surga yang statis tidak lebih baik dari neraka dinamis; manusia harus berjuang, bukan berkhayal. El Dorado adalah kritik terhadap romantisisme Jean-Jacques Rousseau yang memuja “keadaan alam” manusia. Bagi Voltaire, kemajuan tidak datang dari kembali ke alam, tapi dari kerja keras dan akal budi.
Puncak kritik Voltaire ada pada akhir cerita. Candide, Pangloss, Martin, Cunégonde, dan si perempuan tua yang kehilangan satu pantat menetap di sebuah kebun kecil. “Kita harus mengolah kebun kita,” ujar Candide. Kalimat sederhana itu adalah antitesis dari spekulasi filosofis. Tindakan praktis, sekecil apa pun, adalah jawaban atas kekacauan. Tapi Voltaire tidak naif; kebun itu bukan solusi heroik. Mereka tetap miskin, Cunégonde semakin jelek, dan Pangloss masih sesekali berkoar tentang “dunia terbaik”. Namun, di tengah semua itu, ada kedamaian dalam kerja. “Bekerja tanpa berdebat,” kata Martin, “adalah satu-satunya cara untuk membuat hidup bisa ditanggung.”
Voltaire sendiri adalah Candide yang selamat. Pada 1726, ia dipukuli oleh preman bayaran bangsawan yang ia kritik, lalu dipenjara di Bastille. Setelah dibebaskan, ia diusir ke Inggris, di mana ia terpukau oleh kebebasan berbicara dan kemajuan ilmiah—pengalaman yang menginspirasi Letters on the English. Seperti Candide yang terusir dari istana, Voltaire hidup dalam pengasingan di Ferney, dekat perbatasan Swiss. Di sana, ia menulis Candide dan mengelola tanah pertaniannya sendiri—sebuah “kebun” nyata yang ia olah sambil terus menyerang ketidakadilan melalui tulisan. Dalam suratnya kepada Frederick II dari Prusia, Voltaire menulis: “Kita harus bertindak seolah- segala sesuatu bergantung pada kita, meski tahu bahwa banyak hal di luar kendali.”
Kritik Voltaire terhadap optimisme buta masih relevan di abad ke-21. Di era krisis iklim, di mana para pemimpin dunia bersembunyi di balik jargon “pertumbuhan hijau” sambil membiarkan hutan Amazon terbakar, kita melihat Pangloss-Pangloss modern. Di tengah pandemi, ketika orang-orang bersikeras “semua akan baik-baik saja” sementara rumah sakit kolaps, Candide hadir sebagai pengingat: optimisme tanpa aksi adalah pengkhianatan. Tapi Voltaire juga tidak menawarkan pesimisme ala Martin. Kebun itu kecil, kotor, dan melelahkan—tapi di situlah harapan itu tumbuh.
Candide juga menjadi fondasi bagi sastra absurdis abad ke-20. Albert Camus, dalam The Myth of Sisyphus, menulis tentang “keabsurdan eksistensi” yang mirip dengan perjalanan Candide. Franz Kafka, dengan birokrasi neraka dalam The Trial, menggambarkan dunia di mana penderitaan tidak masuk akal—seperti tentara Bulgaria yang merekrut Candide. Tapi Voltaire lebih dari sekadar pendahulu; ia seorang humanis yang percaya bahwa di tengrah absurditas, manusia tetap bisa bertindak.
Di akhir hayatnya, Voltaire menolak permintaan pastor untuk menarik kritiknya terhadap Gereja. “Biarkan aku mati dalam damai,” katanya. Seperti Candide yang menolak doktrin Pangloss, Voltaire memilih untuk berpijak pada realitas—bahkan yang pahit. Kebun kecil di akhir Candide bukanlah kemenangan, tapi gencatan senjata sementara. Di sanalah Voltaire meletakkan keyakinannya: bahwa di tengah dunia yang kacau, kita bisa menanam benih-benih kemanusiaan. Benih itu mungkin takkan tumbuh menjadi pohon raksasa, tapi cukup untuk memberi naungan sesaat.
Candide mengubur cangkulnya di kebun yang sunyi, tapi di kejauhan, di
padang pasir Babilonia kuno, seorang filsuf bernama Zadig sedang
mengasah pedang logikanya. Jika Candide belajar bahwa dunia tidaklah
sebaik klaim para filsuf, Zadig akan membuktikan bahwa kebenaran pun
bisa menjadi senjata—jika kita berani memegangnya.(part2 dari 6)
Posting Komentar
...