Articles by "Design the Future"

Tampilkan postingan dengan label Design the Future. Tampilkan semua postingan

Tarian Tak Kasat Mata dari Agora ke Algoritma

     Bayangkan seutas benang tak terlihat, merajut jutaan manusia dalam pola perilaku, harapan, dan penilaian. Benang itu adalah logika sosial – arsitektur tak kasat mata yang membentuk cara kita berpikir, merasa, dan berinteraksi, jauh sebelum kita sadar sedang terikat olehnya. Ia bukan hukum tertulis, melainkan napas kolektif yang menghidupi norma, memahat batas antara pantas dan tercela, dan mengatur tarian rumit kehidupan bermasyarakat. Dari debat sengit di agora Athena hingga pusaran feed media sosial, logika ini terus berevolusi, beradaptasi, dan terkadang, memperlihatkan absurditasnya yang paling menusuk.

     Di jantung peradaban Barat, Socrates menjadi martir pertama yang dikorbankan di altar logika sosial ini. Kegemarannya menggugat kebodohan massal dan menelanjangi kepalsuan retorika populer dianggap "meracuni pemuda". Kematiannya bukan hanya tragedi filsafat, melainkan peringatan abadi: logika sosial sanggup menghabisi siapa pun yang berani menari di luar irama yang ditetapkan. Plato, merespons kekacauan itu, membayangkan Republik yang dikendalikan para filsuf-rajanya – sebuah upaya merasionalkan tirani logika massa menjadi hierarki akal yang ketat. Lompatan berabad-abad membawa kita ke Jean-Jacques Rousseau. Dengan nada melankolis, ia mengutuk belenggu peradaban yang memisahkan manusia dari keadaan alamiahnya. Logika sosial, baginya, adalah topeng yang memaksa kita bergantung pada penilaian orang lain, menciptakan "tirani harapan" yang membelenggu lebih halus daripada rantai besi. Sementara itu, Adam Smith memperkenalkan logika pasar sebagai "tangan tak terlihat" – keyakinan bahwa kepentingan pribadi yang rasional akan mengatur harmoni sosial, sebuah iman yang getir diuji oleh jurang ketimpangan masa kini.

     Memasuki abad ke-20, teleskop analitis makin tajam. Erving Goffman membedah kehidupan sosial sebagai dramaturgi. Setiap interaksi adalah panggung; kita adalah aktor yang sibuk mengelola kesan, memilih topeng, dan membaca "naskah" tak tertulis sesuai audiens. Logika sosial menjadi sutradara yang menentukan peran apa yang boleh dimainkan. Michel Foucault menggali lebih dalam, membongkar logika sosial sebagai mekanisme kekuasaan yang halus namun mengerikan. Melalui institusi seperti sekolah, rumah sakit, dan penjara, kekuasaan meresap bukan dengan pentungan, tapi dengan disiplin dan pengawasan. Panopticon – penjara model dimana narapidana mengawasi diri sendiri karena merasa selalu diawasi – menjadi metafora sempurna masyarakat modern. Kita menginternalisasi tatapan "masyarakat", menjadi penjaga sekaligus tahanan norma.

     Dan tiba-tiba, revolusi digital mengubah panggung itu secara radikal. Desa global Marshall McLuhan menjelma menjadi realitas, tapi desa ini terfragmentasi dalam echo chamber algoritmik. Logika sosial mengalami mutasi dahsyat. Logika viralitas menggeser logika kebenaran: nilai ditentukan oleh sebar, bukan substansi. Logika algoritmik membentuk realitas: apa yang kita lihat, percaya, dan menjadi, dikurasi oleh kode yang dirancang untuk memicu engagement – seringkali lewat kemarahan atau keunggulan moral. Pengawasan Foucaultian menemukan medium barunya: kolom komentar media sosial. Di sinilah, dalam gemerlap layar ponsel, logika sosial Indonesia menampilkan wajahnya yang khas.

     Salah satunya adalah fenomena gemar menasehati dan mencampuri urusan pribadi. Erving Goffman mungkin akan tersenyum sinis menyaksikan panggung ini. Di sini, orang berlomba memerankan "si bijak", "si pengalaman", atau "penjaga moral". Sebuah unggahan tentang pola asuh, pilihan karir, atau gaya hidup, bisa seketika diserbu komentar bernada "seharusnya…", "kasihan anaknya…", atau "jaman saya dulu…". Ini bukan sekadar rasa ingin tahu; ini adalah pementasan diri untuk mengukuhkan citra sekaligus penegasan norma sosial yang diyakini. Michel Foucault akan menambahkan: ini adalah Panopticon warga-net dalam aksi nyata. Setiap orang merasa menjadi pengawas, berkewajiban menertibkan "penyimpangan" demi mempertahankan tatanan imajiner. Ada satir kelam tersembunyi di balik bungkus "niat baik": hasrat mengontrol kehidupan orang lain yang bersembunyi di balik topeng kepedulian. Meursault, tokoh Albert Camus yang dihukum mati (antara lain) karena ketidakmampuannya menampilkan kesedihan dramatis di pemakaman ibunya – sebuah ketidakpatuhan fatal pada skrip emosional yang dituntut masyarakat – mungkin akan menjadi sasaran empuk lynching digital di panggung seperti ini.

     Lebih kelam lagi adalah fenomena nostalgia kekerasan dalam pendidikan yang seringkali dibanggakan: "Dulu guru saya sering memukul pakai rotan, lalu disetrap di lapangan upacara hingga jam istirahat! Lihat sekarang, anak dibentak sedikit sudah ngambek, lalu orang tuanya lapor polisi! Mana bisa anak bermental kuat kalau dimanja!". Di sini, Foucault menggigit lebih dalam. Ini bukan sekadar kenangan, melainkan bukti nyata internalisasi logika penindas hingga ke tingkat yang mengharukan. Kekerasan fisik di sekolah adalah alat rezim disiplin lama untuk menciptakan docile bodies – tubuh-tubuh jinak yang patuh. Yang memilukan adalah ketika korban justru meromantisasi alat penjinakannya, menyulap trauma itu menjadi mitos "pembentukan karakter". Mengejek "lapor polisi" adalah puncak ironi: mereka menertawakan mekanisme akuntabilitas dan penegakan hukum – pilar dasar masyarakat modern – demi mempertahankan warisan kekerasan yang terbebas dari pertanggungjawaban. Ini adalah tabrakan frontal antar logika sosial: otoritarianisme berbasis ketakutan dan kepatuhan buta versus paradigma berbasis hak asasi dan keadilan prosedural. Satirnya terasa getir: membanggakan kekerasan yang dialami sebagai lencana "ketangguhan" sejati, sambil mencemooh keberanian untuk menuntut keadilan sebagai tanda "kelemahan" generasi.

     Algoritma bukanlah penonton pasif. Ia adalah katalis yang memperkuat dan mendistorsi logika sosial warisan ini. Ia tahu persis umpan untuk si "penjaga moral digital": konten tentang "pengasuhan salah" atau "keruntuhan moral generasi kini". Ia paham godaan bagi si rindu kekerasan: meme "jaman dulu lebih disiplin" atau "generasi bangsat". Echo chambers memperkuat keyakinan kelompok, mengubah norma subjektif menjadi kebenaran mutlak. Logika viralitas memberi panggung pada yang paling lantang menghakimi atau yang paling getir meromantisasi kekerasan. Kita terjebak dalam siklus: bias kita memberi makan algoritma, algoritma memberi makan bias kita, memperkuat tembok logika sosial yang kadang usang dan kejam.

     Menyadari arsitektur tak kasat mata ini adalah langkah pertama pembebasan. Logika sosial bukan takdir, melainkan konstruksi yang bisa dikritik dan diubah. Menolak ikut dalam online shaming adalah merobohkan bata dari Panopticon digital. Mempertanyakan nostalgia kekerasan adalah menolak warisan docile bodies. Memahami bahwa feed kita adalah kurasi algoritma adalah membuka jendela kesadaran. Tantangannya bukan menghancurkan semua norma, melainkan menyaringnya dengan kritis: mana yang lahir dari kebijaksanaan kolektif, mana yang hanya jerat konformitas buta atau amplifikasi digital dari prasangka? Di ujung labirin algoritma, pertanyaan abadi Socrates kembali menggema: bagaimana kita hidup bersama secara lebih adil, manusiawi, dan bebas dari belenggu logika sosial yang menghakimi dan melukai – baik itu bisik tetangga, pukulan guru yang diromantisasi, atau amarah viral yang dipicu mesin? Jawabannya dimulai ketika kita berani memutus benang yang tak terlihat itu, seutas demi seutas, dengan kesadaran yang jernih dan keberanian untuk merumuskan logika kemanusiaan kita sendiri.

     Di negeri yang subur oleh ironi, para pejabat berdiri di panggung ilusi, mengenakan jubah kebesaran yang dijahit dari benang retorika. Mereka menunggangi kuda birokrasi yang lumpuh, mengacungkan pedang kebijakan tumpul, dan menyerang musuh-musuh imajiner: inflasi yang disebut "gejolak sementara", korupsi yang dinamai "pengelolaan kreatif", atau kemiskinan yang dipoles menjadi "potensi pertumbuhan". Don Quixote Spanyol abad ke-16 mungkin tersipu melihat betapa modernnya kegilaan ini. Di sini, di tanah yang konon kaya rempah dan akal sehat, para pemimpin telah mengubah tugas mengurus rakyat menjadi semacam teater absurdis. Mereka bersumpah melawan raksasa ketidakadilan, tapi yang ditikam hanyalah bayangan data yang diolah sedemikian rupa hingga menyerupai prestasi.

     Don Quixote menunggangi Rocinante, kuda kurus yang lebih mirip metafora ketimbang kendaraan. Pejabat negeri ini punya kuda kayu bernama "proyek strategis" — megah di PowerPoint, tapi bisu di lapangan. Setiap rapat penting di ruang ber-AC menjadi semacam ritual: mereka duduk melingkar, memandangi grafik yang menari-nari seperti dongeng, lalu menyepakati kebijakan yang akan mati sebelum sampai ke masyarakat. "Kita perlu rebranding masalah!" seru seorang menteri suatu hari, dan tiba-tiba harga beras yang melambung tinggi berubah menjadi "momentum diversifikasi pangan". Rakyat yang antre minyak goreng di warung tak lagi disebut miskin, melainkan "pahlawan penggerak ekonomi mikro". Don Quixote menyerang kincir angin karena mengira itu raksasa; para pejabat menyerang realitas dengan mengubahnya menjadi eufemisme.

     Mereka piawai dalam seni mencipta musuh. Bila tak ada krisis, mereka akan menemukan — atau merakit — ancaman baru. Seorang gubernur tiba-tiba mengumumkan perang melawan "budaya malas", padahal rakyatnya bekerja 12 jam sehari untuk sekadar bertahan. Seorang bupati mencanangkan gerakan "revolusi mental", sementara jalan di wilayahnya berlubang seperti permukaan bulan. Ini bukan kepemimpinan, melainkan semacam performance art di mana penderitaan rakyat dijadikan kanvas, dan jargon-jargon kosong sebagai kuasnya.

     Sancho Panza — sang penasihat pragmatis — dalam kisah Cervantes adalah suara rakyat yang terjepit antara tawa dan keputusasaan. Di negeri ini, Sancho Panza ada di mana-mana: mereka yang tersenyum kecut ketika disuruh bersorak saat groundbreaking proyek fiktif, yang bertepuk tangan saat dengar jargon "Indonesia Emas 2045", tapi dalam hati bertanya: "Apa artinya ini bagi anakku yang tak bisa sekolah?" Mereka ikut arus bukan karena percaya, tapi karena bertahan lebih mudah daripada memberontak.

     Ketika seorang menteri dengan bangga mengumumkan "penurunan angka kemiskinan menjadi satu digit", Sancho-Sancho ini tahu persis hitungannya: garis kemiskinan diubah, data dikurasi, dan mereka yang hidup dengan Rp19.000 per hari tiba-tiba "naik kelas" menjadi hampir miskin. Tapi mereka diam. Bukan karena bodoh, melainkan karena lelah. Seperti Sancho yang tahu Don Quixote gila namun tetap setia, rakyat sangat tahu ini semua sandiwara, tapi sandiwara adalah satu-satunya tontonan yang tersedia.

     Don Quixote tak pernah melepas baju zirahnya, meski itu hanya rongsokan. Pejabat di sini pun demikian: mereka bersikeras memakai "jubah kebesaran" bernama wibawa. Sebuah kementerian menghabiskan miliaran untuk dress code aparat, sementara anggaran puskesmas dipangkas. Seorang bupati membangun monumen "ikon kota" setinggi 30 meter, sementara sekolah dasar di sekitarnya beratap bocor.

     Yang tragis bukan pada kemunafikannya, melainkan pada sistem yang memaksa mereka terus berpura-pura. Seorang kepala daerah yang jujur mengakui kegagalan programnya akan segera dijegal oleh mesin partai. Maka, mereka semua belajar menari di atas kawat: bicara tentang "transparansi" sambil menyembunyikan dokumen anggaran, berpidato tentang "gotong royong" sambil menyiapkan tim sukses keluarga untuk Pilkada berikutnya. Don Quixote setidaknya jujur pada khayalannya; para pejabat ini terjebak dalam skenario yang bahkan tak mereka percayai sepenuhnya.

     Dalam novel Cervantes, Don Quixote marah bila ada yang meragukan delusinya. Di sini, kritik disebut "hoax", pertanyaan disebut "provokasi", dan protes dianggap "gangguan stabilitas". Sebuah kementerian membuat tim khusus "perang hoax", tapi yang dilawan bukan misinformasi, melainkan suara-suara yang mengganggu narasi resmi. Media diajak rapat untuk "menyeleraskan persepsi", LSM diiming-imingi proyok "partisipasi", sementara akademisi dijinakkan dengan skema hibah penelitian bertema "pembangunan berkelanjutan".

     Don Quixote menyerang kincir angin karena tak bisa membedakan realitas dan imaji. Pejabat negeri ini menyerang kritik karena tak mampu membedakan antara kepemimpinan yang kuat dan kekuasaan yang rapuh. Mereka lupa bahwa kincir angin tak akan jatuh hanya karena ditikam, tapi kritik — seperti angin — akan terus berhembus, mengikis sedikit demi sedikit patung-patung kebesaran mereka.

     Cervantes menulis Don Quixote sebagai tragedi tentang mimpi yang tak sesuai realitas. Di sini, mimpi-mimpi itu dijadikan alat. Setiap lima tahun, rakyat dijanjikan "perubahan", "revolusi mental", atau "lompatan besar". Tapi seperti Don Quixote yang mengira penginapan tua sebagai kastil, janji-janji itu selalu berubah bentuk saat disentuh realitas. Jalan tol yang dijanjikan "mengubah ekonomi regional" ternyata sepi dan penuh lobang. Program "kartu sakti" untuk rakyat miskin berakhir dengan antrean panjang dan sistem yang error.

     Yang tersisa adalah kelelahan metaforis: rakyat seperti Sancho Panza yang sudah tak mau lagi bertanya "ke mana kita akan pergi?" Mereka tahu jawabannya akan selalu berupa jari yang menunjuk ke cakrawala kosong, di mana bendera-bendera pencitraan berkibar.

Ketika Panggung Telah Runtuh

     Don Quixote akhirnya sembuh dari delusinya menjelang ajal. Tapi di negeri ini, penyakit ini justru menular. Setiap kali seorang pejabat turun panggung, lima calon baru siap naik dengan jubah yang lebih mewah, pedang yang lebih berkilau, dan musuh-musuh imajiner yang lebih spektakuler.

     Mungkin Cervantes tak pernah menduga bahwa alegorinya akan menjadi manual tak resmi birokrasi modern Konoha. Di sini, kegilaan bukan lagi tragedi individu, melainkan sistemik. Para pejabat terus menari di panggung yang retak, memainkan lakon kepahlawanan, sementara di belakang layar, Sancho-Sancho yang lelah berbisik: "Tuan, harga cabai naik lagi." Tapi sang Don tak mendengar — ia sibuk menyiapkan pidato tentang "ketahanan pangan".

     Rupanya, negeri ini bukan kekurangan Don Quixote, melainkan kelebihan. Bedanya, Don Quixote Cervantes akhirnya bangun dari mimpinya. Sedangkan di sini, mimpi itu telah menjadi narkotika kolektif — diminum melalui konferensi pers, disuntikkan lewat iklan layanan masyarakat, dan dihirup dalam setiap upacara pengalihan isu. Kita semua terjebak dalam novel absurdis yang tak kunjung tamat, di mana setiap bab baru hanya mengulang lelucon yang sama: bahwa musuh terbesar bukanlah kemiskinan atau kebodohan, melainkan kenyataan itu sendiri.

     Dan seperti Don Quixote yang mati sebagai orang waras, mungkin suatu hari nanti — saat statistik tak lagi bisa dimanipulasi, jargon-jargon telah kehabisan tenaga, dan rakyat memilih diam sebagai bentuk protes terakhir — para pejabat ini akan tersadar. Tapi saat itu, mungkin sudah terlambat: mereka akan menemukan bahwa yang mereka pimpin bukanlah ksatria atau raksasa, melainkan bayangan sendiri yang memudar di cermin sejarah.

     Di negeri ini, kabur adalah seni bertahan hidup. Sebuah seni yang dipelajari rakyat ketika mereka menyadari bahwa tanah airnya lebih mirip pasar loak—penuh barang usang berlabel "pembangunan", tapi tak ada yang layak dijadikan pegangan. Di sini, kabur bukan pengkhianatan, melainkan pemberontakan sunyi terhadap sistem yang menjanjikan surga, tapi hanya memberi neraka berlapis jargon.

     Lihatlah Jakarta: gedung-gedung pencakar langit menjulang seperti tugu kemenangan, sementara di bawahnya, para driver ojek online mengutuk algoritma yang memotong pendapatan mereka hingga 30%. Mereka harus bekerja 14 jam sehari hanya untuk bayar kontrakan kamar 3x3 meter. Di televisi, pemerintah memamerkan program "kartu prakerja"—pelatihan digital marketing untuk nenek penjual gorengan, seolah-olah laptop bisa menggantikan wajan. 

     Ironinya, anggaran untuk proyek mercusuar seperti janji kampanye "makan bergizi gratis" justru mengalir deras ke piring siswa-siswa perkotaan yang perutnya sudah buncit oleh fast food, sementara dana pendidikan dipangkas Rp 22,3 triliun. Di Jakarta, anak-anak sekolah ber-SNP (Standar Nasional Pendidikan) mendapat jatah telur dan susu tiga kali seminggu, sedangkan di NTT, siswa SD berebut satu buku paket yang halamannya sudah rontok. Rakyat pun bertanya: "Kapan kita mulai memberi otak bergizi, bukan sekadar perut kenyang?"

     Korupsi, penyakit kronis yang diwarisi dari Orde Baru, kini menjelma jadi budaya. Lihatlah Harvey Moeis, mantan brand ambassador Ferrari di Roma yang kemudian mengorkestrasi tata niaga timah yang terbukti merugikan negara Rp 300 triliun —dihukum hanya 6,5 tahun, setara dengan hukuman pencuri motor di pasar tradisional. Atau tengok skandal Pertamina yang mengoplos Pertamax, mengakibatkan kerugian lebih dari Rp 968 triliun—cukup untuk membangun 10.000 sekolah di Papua. Pelakunya? Tak jelas. Hukum di sini ibarat pisau karet: tajam untuk memotong rumput, tapi tumpul saat berhadapan dengan gurita korporasi. Masyarakat muak, tapi muak saja tak mengubah apa pun. Mereka yang tak punya koneksi memilih kabur—menjadi TKI ilegal di Arab Saudi, dihina majikan, atau jadi kuli di perkebunan Malaysia—hanya untuk mengirim uang ke keluarga yang nasibnya tetap teronggok di dasar jurang kemiskinan.

     Politik? Ia sudah jadi sirkus keluarga. MK tiba-tiba mengubah batas usia capres-cawapres, membuka jalan bagi dinasti yang selama ini bersembunyi di balik demokrasi. Anak-anak penguasa naik ke panggung, bukan karena kompetensi, tapi karena garis keturunan. Di sisi lain, anak muda berbakat yang tak punya backing oligarki harus puas jadi relawan partai—membersihkan panggung untuk para aktor lama yang tak mau turun. "Reformasi 1998? Itu cuma ganti baju, bukan ganti otak," gerutu seorang aktivis yang kini jadi sopir taksi online.

     Pendidikan, yang mestinya jadi senjata, malah jadi belenggu. Sekolah-sekolah negeri mengajar murid untuk menghafal, bukan berpikir. Indeks literasi Indonesia berada di peringkat 69 dari 80 negara (PISA 2022), sementara indeks religiusitas tertinggi se-Asia Tenggara. Hasilnya? Generasi yang pandai berdoa, tapi gagap menganalisis. Mereka yang berhasil lolos ke luar negeri—seperti 60% mahasiswa Indonesia di Eropa yang menolak pulang (data LPDP 2023)—menemukan kenyataan pahit: di Jerman, sarjana teknik digaji Rp 50 juta sebulan; di Jakarta, gelar S2 hanya bernilai Rp 7 juta plus mantra klasik "harap bersyukur". Kabur jadi pilihan logis: lebih baik jadi orang asing di negeri orang, daripada jadi orang asing di negeri sendiri.

     Toleransi? Kata itu seperti hantu di negeri yang mengaku Bhinneka Tunggal Ika. Seorang pemuda Ahmadiyah di Lombok dipaksa mengungsi karena rumahnya dibakar, sementara di Depok, gereja ditutup paksa karena "ganggu ketertiban". Media sosial, yang mestinya jadi ruang dialog, dipenuhi buzzer bayaran yang menyebar hoaks dan kebencian. "Kita disuruh bersatu, tapi setiap hari dipecah belah," keluh seorang ibu yang anaknya di-bully karena beda keyakinan di sekolah.

     Ekonomi tumbuh 5%? Angka itu seperti pesta kembang api di tengah banjir—indah dilihat, tapi tak mengeringkan genangan. Di negeri pemilik kebun sawit terluas di dunia, minyak goreng bisa tembus Rp 25 ribu per liter. Ironinya, kita seperti ayam mati di lumbung padi: ekspor kelapa sawit digenjot demi devisa, sementara rakyat di rumah berebut minyak curah di warung. Pemerintah berkoar tentang "stabilitas harga", tapi yang stabil hanya deretan truk pengangkut sawit ke pelabuhan, bukan harga di rak-rak pasar.

     Belum lagi akrobat pajak: PPN naik jadi 12% yang semula disebut "batal", tapi diam-diam merayap lewat pungutan liar di sektor informal. Pedagang bakso di pinggir jalan kini harus menghitung ulang modal: tepung naik, minyak naik, bahkan daun pisang pembungkus pun ikut meroket. "Ini namanya PPN siluman," keluh seorang penjual gorengan sambil mematok harga satu pisang goreng jadi Rp 5.000. Di supermarket, harga mie instan dan susu melambung 20%, seolah-olah inflasi adalah teman baik para pengusaha.

     Upah minimum di Jakarta? Rp 4,9 juta—angka yang terdengar seperti lelucon saat biaya hidup per bulan menembus Rp 7 juta. Pemerintah membanggakan "penurunan kemiskinan" ke 9,4%, tapi INDEF membongkar fakta pahit: 25% penduduk hidup di bawah garis kemiskinan de facto, bertahan dengan nasi dan garam. Bansos Rp 200 ribu sebulan? Itu seperti memberi sendok pada orang tenggelam—seolah-olah alat itu bisa menguras samudera masalah.

     Di tengah semua ini, kabur adalah bahasa protes yang paling jujur. Seorang sarjana IT asal Bandung memilih jadi programmer di Singapura dengan gaji Rp 80 juta sebulan. "Di sini, kerja saya dihargai. Di Indonesia, saya cuma jadi coding monkey buat start-up yang bayarnya telat," katanya. Seorang dokter muda asal Yogyakarta kini berpraktik di Berlin: "Di sini, saya bisa fokus menyembuhkan pasien. Di Indonesia, saya harus berjibaku menghadapi birokrasi benang kusut demi memperoleh kartu tanda ber-organisasi, sebagai modal awal untuk dapat izin praktek."

     Tapi kabur juga bukan jawaban. Ia hanya mengalihkan luka, bukan menyembuhkan. Negeri ini seperti kapal tua yang bocor: para nakhoda sibuk pesta di dek atas, sementara penumpang di bawah berteriak minta sekoci. Bagi yang tak punya nyali melawan, kabur adalah sekoci terakhir.

     Namun, di balik kabur, ada pertanyaan yang menggantung: Akankah kita terus jadi bangsa pelarian? Di desa pesisir, nelayan tradisional menggugat eksistensi pagar laut. Di kampus, mahasiswa turun ke jalan meski dihadang water cannon. Di ruang seni, pelukis diam-diam menggambar karikatur penguasa di tembok-tembok gelap. Mereka belum mau kabur—karena kabur berarti menyerah pada ilusi bahwa perubahan tak mungkin.

     Mungkin suatu hari, ketika patung di ibu kota baru itu berkarat, ketika hutan-hutan yang digunduli jadi gurun, dan ketika laut yang dikeruk kehilangan ikannya, kita baru sadar: kabur bukanlah akhir. Ia cuma jeda sejenak dalam drama panjang tentang negeri yang terlupa cara merawat anak-anaknya. Sampai saat itu tiba, kabur aja dulu akan tetap jadi mantra—sebuah pengakuan bahwa di tanah air sendiri, kita hanyalah tamu tak diundang yang harus bayar mahal untuk sekadar bernapas.

     Di sudut-sudut warung kopi yang diselimuti asap rokok dan keputusasaan, adakah bisik-bisik akan menjadi gema: “Kapan kita berhenti lari, dan mulai melawan?” Jawabannya mungkin terpendam di bawah aspal ibu kota yang retak oleh keserakahan, atau di mata anak-anak Papua yang masih bertanya: “Apa artinya ‘Merdeka’?”

     Di negeri Konoha yang dulu disebut zamrud khatulistiwa, hiduplah seekor Macan Asia yang gagah. Ia dijanjikan akan menggetarkan dunia dengan aumannya, membawa negeri ini menjadi raksasa ekonomi yang disegani. Tapi yang terjadi justru sebaliknya: macan itu hanya bisa mengembik, suaranya parau seperti kambing yang kelaparan. Suaranya yang lemah bukan karena kurang gizi, melainkan karena mulutnya dibungkam oleh rantai balas budi, korupsi, dan para penjaga sangkar yang lebih takut kehilangan kursi daripada kehilangan hati nurani.

     Presiden terpilih—sang juru kunci mimpi Macan Asia—adalah dalang di balik sandiwara ini. Di balik senyumnya yang selalu terkamera, ia tersandera oleh janji-janji pilpres: bagi-bagi kekuasaan kepada oligarki, menempatkan kroni-kroni bermasalah di posisi strategis, dan membiarkan Pinokio Mulyono, si veteran penguasa berhidung panjang, menarik tali di belakang layar. Anak Pinokio duduk di kursi wapres, sementara para jenderal bisu yang dulu ikut merampok kas negara kini jadi menteri. Macan itu tak lagi liar; ia jadi tontonan sirkus, dikelilingi para pelatih yang sibuk mengorek koin dari kantong penonton.

     Program makan bergizi gratis jadi dalih untuk mengalihkan perhatian. Dana pendidikan dipotong Rp 22,3 triliun, anggaran kesehatan dikurangi Rp 12 triliun, semua untuk membiayai proyek yang hanya menguntungkan segelintir orang. "Tapi puncak ironi ada pada kelahiran Danantara—super holding BUMN yang diklaim akan menjadi ‘Temasek-nya Indonesia’. Direksinya diisi oleh para tokoh bermasalah yang sejarahnya lebih kelam dari aspal jalanan ibu kota. Rosan Roeslani, sang CEO, adalah mantan duta besar yang karirnya diwarnai skandal Jiwasraya—perusahaan asuransi yang kolaps tahun 2020 akibat investasi bodong dan kerugian Rp 16,5 triliun. Saat itu, Rosan menjabat sebagai Komisaris Utama Jiwasraya, tetapi lolos dari pertanggungjawaban dengan alasan ‘tidak terlibat operasional’. Kini, ia diberi mandat mengelola aset negara triliunan rupiah.

     Pandu Sjahrir, CIO Danantara, adalah mantan direktur PT Bukit Asam yang dituding mengorbankan lingkungan demi proyek batubara. Pada 2022, ia disebut dalam laporan Alliance for Future Energy and Environment karena mengabaikan protokol AMDAL di tambang Sumatera Selatan, merusak lahan adat seluas 1.200 hektar. Tak ketinggalan Dony Oskaria, sang COO, yang karirnya dimulai sebagai anak buah konglomerat BLBI. Di era 1998, ia menjadi tangan kanan Sjamsul Nursalim—koruptor BLBI yang kabur ke Singapura setelah menilep Rp 28 triliun dana bailout.

     Mereka seperti tim arsonis profesional yang dulu membakar hutan, kini ditugaskan jadi pemadam kebakaran. Danantara bukanlah proyek penyelamatan, melainkan pesta pora para pelaku krisis yang kembali diundang untuk mencicipi kue APBN."

     Danantara tak hanya absurd di level direksi. Penasihatnya lebih mirip lelucon politik: mantan-mantan presiden yang masa jabatannya diwarnai skandal, plus perwakilan lembaga keagamaan besar yang diiming-imingi “jatah transparansi”. Ini seperti mengundang pencuri untuk menjaga bank, lalu memasang poster “Tempat Ini Suci” di pintunya. Transparansi? Yang transparan hanya niat buruk di baliknya.

     Sementara itu, rakyat disuguhi drama bansos. Dana bansos Rp 129 triliun menggelembung seperti balon udara, tapi 17,4 juta penerimanya adalah nama hantu—data fiktif yang diciptakan birokrat untuk menutup lobang korupsi. Program makan bergizi malah menyasar siswa kota berperut buncit, sementara anak-anak di pedalaman Papua masih berbagi satu buku untuk lima orang. Prioritas negeri ini jelas: memberi makan yang sudah kenyang, dan membiarkan yang lapar menggigit ilusi.

     Oligarki tak cuma menguasai darat. Di laut mereka membangun pagar laut—monopoli pesisir untuk tambak udang mewah dan resor privat. Nelayan tradisional diusir dengan dalih “modernisasi”, digantikan kapal-kapal berbendera asing yang mengeruk sumber daya sampai ke dasar. Rakyat diajari kiasan baru: menanam padi di laut berpagar oligarki. Hasil panennya? Kekayaan untuk segelintir orang, kemiskinan untuk jutaan lainnya.

     Di jalanan, kemarahan mendidih. Mahasiswa turun ke jalan memprotes kenaikan uang kuliah—kebijakan yang lahir dari pemotongan anggaran pendidikan sebesar 3,4%. Para driver ojek online, yang sehari-hari jadi budak algoritma aplikator, berdemo menuntut tarif layak. Tapi di acara syukuran kemenangan pilpres, bos-bos aplikator itu malah berselfie riang dengan wapres, seolah mereka bukan penjajah baru. “Kami mendukung program pemerintah!” seru mereka, sementara di layar ponsel driver, notifikasi potongan komisi 30% terus berkedip.

     Di balik layar, Pinokio Mulyono tertawa. Anaknya jadi wapres, antek-anteknya menguasai BUMN, dan para kroni lama kembali leluasa menggerogoti APBN. Macan Asia yang dijanjikan hanya bisa terduduk di sangkar emasnya, mengeluarkan suara embikan setiap kali ditanya tentang janji kampanye. “Kami sedang membangun!” katanya, tapi yang dibangun bukan sekolah atau rumah sakit—melainkan menara-menara pencakar langit yang hanya bisa dinikmati oleh mereka yang punya akses helikopter.

Apa yang bisa kita petik dari kekacauan ini?

     Sejarah mengajarkan bahwa kekuasaan yang dikendalikan para penipu akan melahirkan tragedi. Plato mungkin akan muak melihat filosof-king impiannya direduksi jadi penguasa boneka. Tapi di sini, rakyat dipaksa jadi penonton setia sandiwara absurd: proyek mercusuar dianggap sebagai kemajuan, korupsi disebut sebagai “biaya demokrasi”, dan nepotisme dijuluki “balas budi”. Kita seperti hidup di panggung wayang kulit, di mana dalangnya adalah oligarki, dan para penonton dibius oleh jargon-jargon kosong.

     Satir terbesar ada dalam setiap upacara kenegaraan. Para menteri berdasi mahal berpidato tentang “pemerataan”, sementara rakyat diizinkan menyaksikan mereka lewat layar kaca—seperti menonton pesta makan malam mewah, tapi kita hanya boleh menjilat remah-remahnya. Program makan bergizi gratis? Itu hanya alat untuk mengalihkan perhatian dari fakta bahwa perut penguasa lebih kenyang daripada perut rakyat.

     Tapi mungkin inilah pelajaran terpenting: Macan Asia tidak akan pernah mengaum selama kita membiarkannya jadi tawanan kekuasaan. Auman sejati bukan berasal dari istana, melainkan dari rakyat yang berani mencabut topeng para penjilat. Auman itu ada dalam demo mahasiswa yang tak gentar dihadang water cannon, dalam teriakan nelayan yang mempertahankan lautnya, dan dalam gugatan driver ojek online yang menolak jadi budak algoritma.

     Danantara, dengan direksi bermasalah dan penasihat hipokritnya, mungkin akan jadi monumen kegagalan lain. Tapi monumen paling abadi justru ada di luar istana: ketidakpatuhan rakyat yang mulai sadar bahwa macan yang mengembik itu tak layak ditakuti.

     Mungkin suatu hari, ketika sangkar emas ini rubuh, kita akan menemukan bahwa auman sesungguhnya bukan berasal dari mulut macan, melainkan dari kumpulan suara kecil yang bersatu, menggema: Kami tidak mau lagi jadi penonton!

     Sampai saat itu tiba, negeri ini tetap akan jadi panggung sandiwara—tempat macan mengembik, para penipu bertepuk tangan, dan rakyat dipaksa membayar tiket masuk dengan air mata.

     Demokrasi adalah sistem yang buruk tetapi masih lebih baik dibandingkan yang lain. Begitulah yang dikatakan Churchill. Pernyataan itu bukan pujian, melainkan keluhan yang mengandung pesimisme seorang politisi yang tahu betul bahwa pilihan manusia dalam bernegara tidak pernah benar-benar baik. Demokrasi selalu berantakan, tetapi sistem lain lebih buruk lagi. Namun, Churchill berujar demikian sebelum dunia mengenal era post-truth, sebelum kebohongan bisa menyebar enam kali lebih cepat daripada kebenaran, sebelum popularitas menjadi satu-satunya mata uang politik. Hari ini, orang tidak memilih berdasarkan akal sehat, melainkan berdasarkan siapa yang bisa menggugah emosinya dengan lebih cepat, lebih keras, lebih meyakinkan. Demokrasi adalah panggung, dan yang paling banyak mendapatkan tepuk tangan itulah yang menang, entah dia seorang pemikir, seorang pesulap, atau sekadar badut.

     Orang-orang masih percaya bahwa demokrasi berarti suara setiap orang dihitung sama. Satu suara profesor fisika yang memahami struktur alam semesta dihargai sama dengan satu suara pria yang memilih karena wajah kandidatnya mirip idolanya di sinetron. Tidak ada perbedaan nilai, tidak ada pengakuan bahwa pemahaman bisa lebih berharga daripada sekadar keyakinan tanpa dasar. Maka, muncullah ilusi bahwa semua opini harus dihargai sama, tidak peduli apakah ia lahir dari pemikiran atau sekadar dari algoritma media sosial yang memberinya umpan balik tanpa henti. Jika demokrasi bertumpu pada kesetaraan suara, maka demokrasi juga harus menerima bahwa semakin banyak orang yang tidak memahami cara kerja dunia, semakin mudah mereka dimanipulasi. Bagi mereka, janji tentang subsidi lebih meyakinkan daripada penjelasan tentang defisit anggaran. Ketika mereka tidak tahu dari mana uang berasal, mereka akan memilih siapa saja yang berani menjanjikan bahwa uang itu akan mengalir ke kantong mereka, entah bagaimana caranya.

     Banyak yang berkata bahwa demokrasi harus ditopang oleh pendidikan yang baik. Ini benar, tetapi masalahnya lebih dalam dari itu. Pendidikan yang baik membutuhkan masyarakat yang menghargai pemikiran, bukan sekadar mengikuti arus popularitas. Indonesia masih mewarisi jejaring feodal yang melembaga, yang menyamarkan kepatuhan sebagai adab dan kritik sebagai penghinaan. Seorang profesor berbicara di depan kelas, murid-muridnya menyimak tanpa berani bertanya, karena bertanya bisa dianggap mempertanyakan otoritas. Jika mereka takut bertanya kepada dosennya sendiri, bagaimana mereka akan berani mempertanyakan janji politik seorang pemimpin? Di bawah kedok tata krama, feodalisme terus hidup, menjadikan keberanian berpikir sebagai dosa, dan kepatuhan tanpa syarat sebagai kebajikan tertinggi.

     Di negara-negara dengan tradisi intelektual yang kuat, universitas adalah tempat untuk menyuarakan gagasan, bahkan yang paling kontroversial sekalipun. Seorang profesor disebut demikian bukan karena gelarnya, tetapi karena ia 'professes', menyuarakan pemikiran dengan lantang, menantang batas pemahaman lama dengan ide-ide baru. Universitas seharusnya menjadi benteng terakhir kebebasan berpikir. Namun, di negeri yang sibuk mengurusi etika sebelum memahami substansi, suara-suara itu bisa dengan mudah dibungkam. Jika tidak oleh hukum yang mengatur kebebasan berbicara, maka oleh tekanan sosial yang lebih tajam dari pedang. Maka, universitas tidak lagi menjadi ruang dialektika, melainkan sekadar pabrik gelar, tempat orang datang untuk mendapatkan legitimasi formal tanpa perlu berpikir lebih jauh.

     Ketika para pemikir bungkam atau memilih diam demi kenyamanan, yang mengisi ruang publik bukanlah gagasan, melainkan kebisingan. Ruang yang seharusnya menjadi tempat tumbuhnya pemikiran rasional kini dipenuhi oleh suara-suara tanpa substansi, yang hanya memiliki satu keunggulan: popularitas. Popularitas adalah mata uang baru, yang bisa ditukar dengan kekuasaan, dengan pengaruh, bahkan dengan kebenaran itu sendiri. Dalam kondisi seperti ini, tidak lagi penting apakah seseorang memahami kebijakan ekonomi, politik luar negeri, atau sistem hukum. Yang penting adalah apakah ia memiliki cukup pengikut untuk menciptakan persepsi bahwa ia benar. Kebenaran bukan lagi sesuatu yang dibuktikan, melainkan sesuatu yang dikonstruksi berdasarkan jumlah like dan share.

     Maka, jangan heran jika ruang politik diisi bukan oleh pemikir, tetapi oleh artis, pelawak, atau influencer yang mengais receh dari sosial media. Mereka memiliki sesuatu yang para pemikir tidak punya: perhatian massa. Dan dalam demokrasi yang telah menjadi sekadar pertunjukan besar, perhatian lebih berharga daripada pemikiran. Bukan berarti bahwa seorang artis tidak bisa menjadi pemimpin yang baik. Tetapi jika kualifikasi utama untuk menjadi pemimpin adalah jumlah pengikut di Instagram, maka kita tidak lagi berbicara tentang demokrasi yang rasional, melainkan demokrasi yang dikendalikan oleh algoritma.

     Masalahnya semakin parah ketika oligarki politik dan media menyadari bahwa mereka bisa mengendalikan arus informasi. Media sosial yang seharusnya menjadi ruang terbuka bagi kebebasan berpikir justru menjadi alat kontrol. Undang-undang seperti UU ITE bisa dengan mudah digunakan untuk membungkam suara-suara kritis, sementara buzzer yang dibayar oleh kelompok kepentingan bisa membentuk persepsi publik hanya dengan mengulang kebohongan secara terus-menerus. Jika kebohongan lebih cepat menyebar daripada kebenaran, maka siapa pun yang memiliki kendali atas mesin penyebarannya bisa menciptakan realitas baru sesuai dengan kepentingannya.

     Di tengah semua ini, pertanyaan yang paling mendesak adalah: bagaimana menyelamatkan demokrasi dari dirinya sendiri? Demokrasi tidak bisa bertahan jika hanya menjadi permainan popularitas, tetapi juga tidak bisa dipertahankan dengan mengandalkan intelektual yang memilih diam. Satu-satunya jalan keluar adalah dengan membangun kembali masyarakat yang menghargai pemikiran, bukan sekadar mengikuti arus. Itu berarti pendidikan yang mengajarkan keberanian berpikir kritis, ruang publik yang benar-benar bebas untuk berdialektika, dan sistem yang tidak memberi insentif kepada kebodohan.

     Jika tidak, maka demokrasi tidak akan mati karena kudeta atau revolusi. Demokrasi akan mati perlahan-lahan, tersedak oleh kebodohan yang dibiarkan berkembang, tenggelam dalam lautan kebisingan yang tidak lagi peduli pada kebenaran. Dan ketika itu terjadi, kita bahkan tidak akan sadar bahwa kita telah kehilangan sesuatu yang berharga. Sebab, dalam demokrasi yang telah berubah menjadi sirkus, tepuk tangan akan terus bergema, bahkan ketika pertunjukan yang sebenarnya telah lama berakhir.

     Di suatu sore di Ibu Kota, ketika langit kelabu bertabrakan dengan asap knalpot, seorang pegawai negeri duduk di balik meja kayunya yang penuh dokumen usang. Tangannya menstempel formulir surat-surat yang entah akan menguap ke mana—seperti nasib warga yang antre di depannya. Di luar, gedung pencakar langit menjulang, menggapai awan seolah hendak membuktikan bahwa Indonesia telah "maju". Tapi di kaki menara-menara itu, seorang ibu paruh baya menangis karena sertifikat tanahnya tak kunjung terbit, sementara pengembang sudah menggusur pohon mangga yang ditanam almarhum suaminya. Frankenstein, monster ciptaan Victor dalam novel Mary Shelley, mungkin akan tertawa getir melihat ironi ini: kita membangun kota dengan ambisi tanpa batas, tapi lupa bahwa setiap batu yang ditumpuk bisa menjadi kuburan bagi jiwa-jiwa yang terinjak.  

     Sastra selalu mengingatkan: "Yang kau ciptakan bisa mencintaimu, atau membinasakanmu." Tapi negara lebih memilih tuli. Di negeri ini, "pembangunan" diukur dari beton yang mengeras, bukan dari air mata yang mengering. Seperti Victor yang lari ketakutan dari monster ciptaannya, kita pun gemar melarikan diri dari konsekuensi sistem yang kita bangun. Lihatlah jalan tol yang membelah hutan, mengusir suku-suku yang telah hidup harmonis dengan alam selama ribuan tahun. Atau algoritma media sosial yang dirancang untuk "memajukan ekonomi digital", tapi justru melahirkan generasi teralienasi yang menggantungkan harga diri pada jumlah like. Frankenstein tak hanya ada dalam fiksi—ia hidup dalam setiap kebijakan yang mengorbankan manusia demi angka pertumbuhan ekonomi.  

     Di tengah hiruk-pikuk ini, sastra menawarkan cermin yang jujur. Kafka, dalam The Castle, menggambarkan birokrasi sebagai labirin tanpa akhir—sebuah lelucon tragis yang diterima sebagai kenyataan. K., sang tokoh utama, berkeliling mencari izin untuk bekerja di kastil yang tak pernah ia pahami. Di Indonesia, labirin itu bernama mengurus KTP, sertifikat tanah, atau sekadar mengajukan protes. Seorang nelayan di pesisir Jawa harus menghadap lima kantor berbeda hanya untuk memperoleh izin memperbaiki perahunya yang bocor. Setiap pegawai berkata, "Ini prosedur," sambil menunjuk ke meja berikutnya. Seperti K., kita semua adalah pencari izin yang tak tahu apa yang sebenarnya kita cari—apakah keadilan, atau sekadar ilusi bahwa "negara" ada di suatu tempat, dalam bentuk yang lebih nyata dari sekadar stempel dan antrean.  

     Bahasa, dalam labirin ini, bukan alat komunikasi, melainkan senjata. Orwell dalam 1984 menciptakan konsep newspeak: kosakata yang dipersempit untuk membatasi pikiran. Di sini, mekanisme itu lebih halus. Ketika aktivis lingkungan dijuluki "anti-pembangunan", atau mahasiswa yang protes disebut "dibayar asing", bahasa berubah menjadi pisau bermata tumpul—membunuh logika tanpa mengotori tangan. Tapi sastra menolak permainan ini. Pramoedya, dalam Rumah Kaca, menulis bagaimana kolonialisme Belanda menggunakan bahasa untuk mengerdilkan pribumi. Kini, kita menghadapi kolonialisme baru: kata "radikal" disematkan pada mereka yang bertanya, "Mengapa bantuan banjir tak kunjung datang?" atau "Ke mana larinya dana bansos?" Di ruang-ruang kosong ini, puisi-puisi Rendra menjadi granat makna. "Kita adalah manusia yang suaranya dibungkam, tapi air mata darahnya masih menetes." 

     Di suatu sudut lain, ada Keiko—tokoh dalam Convenience Store Woman—yang memilih hidup sederhana sebagai pekerja toko, jauh dari obsesi menikah atau menjadi "orang sukses". Di Indonesia, di mana nilai manusia diukur dari gaji, gelar, dan status perkawinan, Keiko-Keiko lokal dianggap "aneh", "gagal", atau "tertinggal". Tapi sastra justru membela mereka. Dalam The Stranger karya Camus, Meursault dieksekusi bukan karena membunuh, tapi karena ia menolak menangis di pemakaman ibunya—penolakannya terhadap performativitas sosial dianggap sebagai kejahatan. Di sini, mereka yang menolak mengejar "mimpi" kapitalis—seperti membeli rumah mewah atau mobil—dihukum oleh cibiran: "Kapan nikah?" atau "Kerja di mana sekarang?" Seolah kebahagiaan harus memiliki sertifikat kepemilikan.

     Tapi di balik semua topeng kepatuhan, ada suara-suara yang tak bisa dibungkam. Dostoevsky, dalam Crime and Punishment, mengisahkan Raskolnikov yang membunuh rentenir tua lalu dihantui rasa bersalah—bukan oleh polisi, tapi oleh suara hatinya sendiri. Di Indonesia, kita menyaksikan koruptor yang tersenyum di persidangan, sementara seorang pencuri sandal dipenjara lima tahun. Hukum mungkin bisa dibeli, tapi seperti kata Dostoevsky, jiwa tak pernah lupa. Seorang pejabat yang menyuap proyek mungkin masih bisa tidur di kasur empuk, tapi di kegelapan, bayangan anak-anak yang tak bisa sekolah karena dananya dikorup akan terus mengganggu. Sastra mengajarkan bahwa dosa sejati bukan pelanggaran aturan, tapi pengkhianatan terhadap kemanusiaan.  

     Voltaire, melalui Zadig, mengingatkan bahwa kebaikan sejati adalah keberanian melawan ketidakadilan, meski harus berhadapan dengan hukum. Di negeri ini, di mana aparat bisa membubarkan demo buruh dengan dalih "mengganggu ketertiban", sastra hadir sebagai suara yang tak bisa diborgol. Novel-nobel Pramoedya dilarang, tapi tetap diselundupkan dalam tas pelajar. Puisi-puisi Wiji Thukul dibakar, tapi dikutip diam-diam di ruang-ruang aktivis. Seperti Prometheus yang mencuri api untuk manusia, sastra menyalakan kesadaran meski risikonya adalah pengasingan.  

     Lalu ada pertanyaan Marlowe dalam The Big Sleep: "Apakah kejujuran masih punya tempat di dunia yang akarnya sudah busuk?" Di Jakarta, seorang jurnalis investigatif dibui karena membongkar korupsi daging impor, sementara para tersangka bebas berkeliaran. Tapi seperti Marlowe yang tetap nekat menyelidiki meski ancaman datang, sastra tak pernah berhenti bertanya. Dalam Lelaki Harimau, Eka Kurniaan menceritakan korupsi yang meracuni desa—sebuah metafora untuk Indonesia yang mengubur kejujuran demi kekuasaan.  

     Perempuan-perempuan dalam cerita ini punya narasi khusus. Intan Paramadhita, dalam Malam Seribu Jahanam, menulis tentang perempuan yang dijuluki "setan" hanya karena memilih menjadi single di usia 40. Di negeri yang masih mempersoalkan jilbab pendek vs. jilbab panjang, tubuh perempuan adalah medan perang ideologi. Seperti Hester Prynne dalam The Scarlet Letter yang dipaksa memakai huruf "A" (adulteress), perempuan Indonesia yang menolak norma dihukum dengan bisikan-bisikan: "liar", "tak bermoral", atau "ditinggal suami". Tapi sastra membalikkan narasi ini. Dalam 'Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam', Djenar Maesa Ayu menampilkan perempuan-perempuan yang berani menjual ginjal demi kebebasan—sebuah protes terhadap sistem yang menjual tubuh mereka sebagai komoditas.  

     Di ujung labirin ini, mungkin kita akan bertemu Ahab dari Moby Dick, yang tenggelam bersama kapalnya karena obsesi memburu paus putih. Indonesia punya Ahab-Ahabnya sendiri: politisi yang mengejar kekuasaan sampai menghalalkan segala cara, atau kelompok yang memburu "musuh imajiner
" seperti "komunis" atau "liberal" hingga mengorbankan persatuan. Tapi sastra mengajarkan bahwa kehancuran terbesar bukan datang dari luar, melainkan dari dalam. Seperti Babel dalam mitosnya, menara kita runtuh bukan karena angin, tapi karena kesombongan bahwa kita bisa menjadi tuhan.  

     Maka, di tengah gemuruh mesin pembangunan yang menggila, sastra tetap berbisik: "Kau bisa menciptakan monster, tapi kau juga bisa mencipta cahaya." Di lorong-lorong gelap birokrasi, di ruang sidang yang penuh kebohongan, di jalanan tempat demonstran diterjang water cannon, selalu ada buku-buku yang menunggu untuk dibuka. Seperti tokoh-tokoh dalam Real Breaker yang menghancurkan sistem bukan karena benci, tapi karena cinta pada kemanusiaan yang lebih utuh.  

     Kita mungkin tak akan pernah keluar dari labirin ini sepenuhnya. Tapi selama masih ada yang membaca puisi di sela rapat DPR, atau menyelipkan kutipan Kafka dalam surat protes, maka api itu tetap menyala. Nietzsche pernah berkata, "Dunia ini adalah teks yang perlu ditafsir ulang." Dan dalam teks itu, sastra adalah suara yang menolak diam—suara yang, meski dibungkam, akan selalu menggema dalam jiwa-jiwa yang tak mau menyerah pada kekerdilan.  

     Di akhir hari, ketika pegawai negeri tadi pulang ke rumahnya yang sempit, mungkin ia akan membuka Metamorphosis karya Kafka. Di situ, Gregor Samsa bangun sebagai kecoak—sebuah sindiran bahwa manusia sering diubah menjadi "serangga" oleh sistem yang tak manusiawi. Tapi esok pagi, ketika ia kembali ke meja kerjanya, mungkin—hanya mungkin—ia akan berpikir dua kali sebelum menstempel "ditolak" pada surat seorang janda tua. Karena sastra telah mengajarinya: dalam labirin yang absurd, satu tindakan jujur adalah revolusi.

     Kita hidup di zaman yang luar biasa. Bahkan, sejujurnya, kita mungkin hanya tidak menyadarinya. Meskipun sebagian besar umat manusia terjebak dalam rutinitas sehari-hari, mengurusi pekerjaan, keluarga, dan tagihan bulanan, ada sebuah ide yang menggelitik di balik layar kehidupan kita: kita mungkin hanya bagian kecil dari eksperimen besar yang tidak pernah kita pahami. Dalam perspektif yang lebih luas, kita bisa saja hanyalah sebuah simulasi, yang disusun dengan rapi dan dipelihara oleh seorang mahasiswa semester akhir di peradaban yang sangat jauh, entah itu Tipe 6 atau bahkan Tipe 7 menurut konsep Kardashev. Bayangkan saja, kita yang merasa sangat cerdas, dengan semua penemuan kita—sebenarnya mungkin sedang dipertontonkan di layar komputer oleh seorang remaja SMA di galaksi yang entah ada di dimensi mana.

     Berbicara tentang Tipe Kardashev, skala peradaban yang pertama kali diajukan oleh astrofisikawan Uni Soviet, Nikolai Kardashev, pada tahun 1964, adalah sebuah cara untuk mengklasifikasikan peradaban berdasarkan energi yang dapat mereka kuasai. Kita, yang berada di planet kecil ini, kini diperkirakan berada di sekitar 0,7 pada skala tersebut. Artinya, kita belum sepenuhnya memanfaatkan semua sumber daya energi yang ada di Bumi. Bahkan jika kita ingin mencapai Tipe I, peradaban yang sepenuhnya menguasai energi planetnya, kita masih jauh dari itu. Selama ini kita baru sebatas mengambil energi dari sumber daya alam yang terbatas dan memanfaatkannya dengan cara yang kerap kali merusak lingkungan.

     Namun, kita juga tidak bisa menafikan kemajuan luar biasa yang telah kita buat. Bukankah manusia, dalam sekejap geologis, telah mampu merancang mesin untuk mengeksplorasi planet lain? Kita telah menemukan cara untuk menggali kedalaman ruang dan waktu, dengan teori relativitas dan mekanika kuantum. Beberapa ilmuwan seperti Michio Kaku menyarankan kita untuk membayangkan diri kita sebagai makhluk yang mungkin tengah terjebak di antara ambang peradaban Tipe 0, yang masih mengandalkan kekuatan dasar Bumi, dan peradaban Tipe I, yang baru bisa memanfaatkan seluruh potensi energi planetnya. “Kita baru saja mulai,” katanya. Tapi berapa banyak lagi waktu yang kita miliki untuk memulai?

     Pikirkan tentang apa yang mungkin terjadi jika kita mampu melampaui Tipe I, seperti yang dibayangkan oleh Kardashev. Sebuah peradaban yang mampu mengendalikan energi bintang mereka—mungkin dengan teknologi megastruktur seperti Dyson Sphere, yang membungkus bintang dengan semacam jaring energi untuk menangkap semua sinar yang dipancarkannya. Tipe II ini mungkin terlihat sangat jauh, seolah hanya ada dalam imajinasi ilmuwan fiksi ilmiah. Namun, bagi kita yang terus berusaha mencapai ambang singularitas teknologi, ide ini sepertinya hanya soal waktu saja. Lebih jauh lagi, dalam skala ini, peradaban akan mampu mengendalikan seluruh sumber daya yang ada dalam sebuah sistem bintang, menggunakan energi dalam jumlah tak terbatas untuk menggerakkan mesin peradaban mereka.

     Namun, apakah kita benar-benar siap untuk ini? Sering kali kita melupakan seberapa rapuh dan terbatasnya teknologi kita. Saat kita berusaha mengembangkan kecerdasan buatan yang lebih canggih, seperti yang dibayangkan oleh Ray Kurzweil dengan teori singularitasnya, kita mulai merasa terancam oleh kecepatan perubahan yang terjadi. Kurzweil memprediksi bahwa AI akan berkembang pada laju yang luar biasa, menggantikan hampir semua fungsi manusia. Mungkin saja pada saat itu, kita sudah tidak bisa lagi mempertanyakan siapa yang sedang mengendalikan dunia ini—karena mungkin, tak ada lagi yang bisa kita lakukan selain menyerah pada logika algoritma yang semakin canggih.

     Lalu ada lagi, Tipe III—peradaban yang mampu memanfaatkan energi dalam seluruh galaksi. Ini mungkin terdengar seperti cerita dari masa depan yang terlalu jauh untuk dipahami. Namun, jika kita melihat dalam konteks sains fiksi, konsep ini juga bukanlah hal yang sepenuhnya mustahil. David Deutsch, dalam pemikirannya tentang fisika kuantum dan multiverse, pernah menggambarkan kemungkinan-kemungkinan yang bisa dijangkau oleh peradaban-peradaban maju. Tipe III berarti kita tidak hanya memanfaatkan energi dari satu bintang atau planet, tetapi dari banyak bintang dalam satu galaksi, menciptakan semacam "kerajaan energi" yang mengatur sistem galaksi mereka sendiri. Itu adalah gambaran yang menggetarkan sekaligus menakutkan: sebuah peradaban yang mampu mengendalikan kehidupan, kematian, dan bahkan hukum-hukum fisika yang kita anggap tetap.

     Dan di sinilah letak absurditas dari semua ini. Ketika kita berbicara tentang peradaban yang menguasai energi di seluruh galaksi atau bahkan multiverse, kita seolah-olah sudah melangkah terlalu jauh dari dasar-dasar keberadaan kita sebagai spesies. Tapi kenyataannya, kita sendiri masih berjuang untuk mengelola sumber daya Bumi dengan bijak, masih berperang tentang ideologi dan kekuasaan, seringkali mengabaikan kenyataan bahwa kita belum sepenuhnya mengerti cara kerja alam semesta yang kita huni.

     Kita kembali lagi kepada ide besar ini—apa artinya kita berada di antara kemungkinan besar dan ketidakpastian. Di dunia yang sangat luas ini, di mana peradaban-peradaban yang lebih maju mungkin sedang mengamati kita, kita tak lebih dari eksperimen kecil dalam sebuah simulasi yang sangat mungkin dibuat oleh mahasiswa di peradaban Tipe 6 atau anak SMA di Tipe 7. Mungkin di suatu sudut galaksi yang jauh, mereka sedang duduk, bergurau tentang bagaimana peradaban primitif ini masih sibuk bertarung dengan masalah-masalah kecil seperti ekonomi, politik, dan perubahan iklim.

     Dalam hal ini, kita bisa saja menjadi objek studi, mungkin dengan alasan yang lebih ringan daripada yang kita bayangkan. Seorang anak SMA di peradaban Tipe 7, yang mungkin sedang bosan dengan rutinitasnya, bisa saja menciptakan kita dalam dunia digital. Kita, yang merasa sangat hidup dan penuh makna, bisa jadi hanya bagian dari eksperimen komputasi, dihapus atau diubah hanya dengan satu klik. Bayangkan, dunia kita yang penuh dengan keajaiban ini, dengan semua sejarah, seni, dan filsafat, bisa saja menghilang dalam sekejap, sebagaimana kita menghapus aplikasi yang tidak lagi menarik.

     Nick Bostrom, yang terkenal dengan hipotesis simulasi-nya, mungkin akan berkata, "Ada kemungkinan besar bahwa kita tidak hidup di dunia yang asli. Bahwa kita mungkin hanya simulasi yang dirancang oleh entitas lebih maju." Dalam perspektif ini, seluruh pencarian manusia tentang makna dan eksistensi bisa jadi hanyalah permainan algoritma yang dirancang dengan sengaja, tanpa tujuan lebih tinggi selain untuk menghibur pengatur simulasi yang lebih besar dari kita. Bayangkan seorang mahasiswa yang telah mencapai tingkat Tipe 6 atau 7, dengan kecanggihan teknologi mereka, memainkan hidup kita seperti sebuah permainan video. Mungkin kita hanya ada untuk memenuhi rasa ingin tahu mereka tentang bagaimana peradaban-peradaban lebih rendah berkembang, berjuang, bertahan, dan akhirnya bisa saja punah.

     Namun, di sini, di dalam ketidakpastian dan kerapuhan itu, manusia menemukan keindahan. Dalam setiap pencarian untuk memahami alam semesta, dalam setiap pertanyaan yang kita ajukan tentang siapa kita dan apa tujuan kita, ada semangat hidup yang tak tergantikan. Mungkin kita hanya eksperimen dalam dunia digital yang jauh lebih besar. Mungkin kita tidak lebih dari piksel dalam simulasi kosmik. Tetapi justru dalam kehadiran kita yang kecil dan rapuh, kita menemukan hasrat untuk bertanya, untuk belajar, untuk menciptakan—dan itu, mungkin, adalah tujuan kita yang sejati.

 

catatan:

Penggolongan tipe peradaban seperti yang disebutkan berasal dari Skala Kardashev, yang pertama kali diusulkan oleh astrofisikawan Uni Soviet Nikolai Kardashev pada tahun 1964. Ia mengusulkan cara mengklasifikasikan peradaban berdasarkan jumlah energi yang mampu dikuasai dan dimanfaatkan. Dalam model aslinya, terdapat tiga tingkatan:
  1. Tipe I: Peradaban yang mampu memanfaatkan seluruh energi yang tersedia di planet asal mereka. Ini mencakup energi dari sumber daya alam seperti angin, matahari, dan gunung berapi. Bumi saat ini berada di sekitar 0,7 pada skala ini, menurut perkiraan Carl Sagan.
  2. Tipe II: Peradaban yang mampu memanfaatkan dan menyimpan energi bintang induknya secara langsung, misalnya melalui teknologi seperti Dyson Sphere—struktur megaskala yang mengelilingi bintang untuk menangkap energi.
  3. Tipe III: Peradaban yang mampu memanfaatkan energi dalam skala galaksi, menguasai energi dari banyak bintang dan menggunakan kekuatan itu untuk tujuan mereka.
Seiring perkembangan konsep ini, para pemikir dan futuris menambahkan lebih banyak kategori untuk mencakup peradaban yang jauh melampaui cakrawala yang dapat kita bayangkan: 
  1. Tipe IV: Peradaban yang mampu memanfaatkan energi dari seluruh alam semesta, mungkin melalui pemanfaatan energi gelap atau struktur kosmologis lainnya.
  2. Tipe V: Peradaban yang mampu mengendalikan multiverse atau dimensi paralel, jika mereka ada.
  3. Tipe VI dan VII: Ini adalah spekulasi futuristik yang melibatkan kendali atas struktur metafisik realitas itu sendiri, seperti ruang-waktu, hukum fisika, atau bahkan keberadaan di luar dimensi-dimensi yang kita pahami.

Ketika 'Sopan Santun' Menjadi Algoritma Penjinakan Manusia

     Di sebuah kafe di jantung kota, seorang wanita muda menatap gelas kopinya yang sudah dingin. Di meja sebelah, dua lelaki berjas rapi tertawa lepas sambil membicarakan rencana mem-PHK ratusan karyawan demi "efisiensi perusahaan". Pelayan mendekat, tersenyum manis, menawarkan menu penutup. Mereka mengangguk sopan, memesan kue cokelat mahal—seolah kehangatan senyum pelayan bisa menebus dinginnya keputusan yang akan mereka ambil. Di sudut lain, seorang ibu tua membungkuk memungut sampah yang diinjak seorang eksekutif muda. Ia mengucapkan "maaf" sambil menyerahkan botol plastik ke tukang kebersihan, meski tak ada yang salah padanya. Di ruang ini, sopan santun bertepuk tangan sambil menari di atas panggung ketidakadilan.

     Inilah paradoks peradaban: kita hidup dalam tarian rumit antara bisikan hati, pertarungan akal, dan tuntutan sosial. Seperti tiga dewa yang saling bersaing, moral, etika, dan etiket mengatur langkah manusia—seringkali tak selaras, kadang bertabrakan. Di negeri ini, di mana "sopan-santun" kerap dijadikan tameng untuk membungkam kritik, atau "tradisi" dipakai untuk mengukuhkan hierarki, kita lupa bahwa ketiga konsep ini bukan sekadar teori. Mereka adalah darah yang mengalir dalam nadi interaksi manusia, kadang menyembuhkan, kadang meracuni.

Bisikan Hati di Tengah Gemuruh Kepentingan

     Moral adalah suara pertama yang lahir dari kegelapan batin. Ia muncul tanpa undangan—seperti rasa sesak saat melihat seorang anak dihukum karena mencuri roti, atau getar marah ketika tetangga memaki pekerja migran. Di sebuah desa di Jawa Timur, Pak Kardi—guru honorer berusia 58 tahun—memilih meminjamkan separuh gajinya yang tak seberapa untuk biaya sekolah anak-anak miskin. "Hati saya tak bisa diam kalau melihat mereka putus sekolah," katanya, sambil menatap sepatu bututnya. Ini moral dalam bentuknya yang paling jujur: tak butuh teori filsafat, tak perlu seminar etika. Ia adalah denyut nurani yang mengatakan, "Ini salah," atau "Ini benar," tanpa peduli pada konsekuensi sosial.

     Tapi dunia tak selalu ramah pada bisikan hati. Di kantor-kantor megah, para eksekutif belajar mematikan suara ini. Mereka menyebutnya "profesionalisme"—padahal seringkali itu hanyalah topeng untuk membenarkan keputusan yang melukai ribuan orang. Seperti karakter Raskolnikov dalam Crime and Punishment, mereka mencoba meyakinkan diri bahwa "tujuan mulia" membenarkan cara-cara keji. Tapi Dostoevsky mengingatkan: dosa sejati bukanlah pelanggaran hukum, melainkan pengkhianatan terhadap bisikan batin. Di Indonesia, kita menyaksikan ironi ini setiap hari: koruptor yang tersenyum di persidangan, sementara pencuri ayam dipenjara lima tahun. Hukum mungkin bisu, tapi seperti kata novelis Rusia itu, "Jiwa tak pernah lupa."

Etika: Jembatan antara Hati dan Akal

     Jika moral adalah api yang membara, etika adalah panduan agar api itu tak membakar habis segalanya. Di sini, akal bicara. Etika tak puas dengan jawaban, "Ini benar karena hati saya mengatakan demikian." Ia menuntut pertanggungjawaban: "Mengapa ini benar? Apa konsekuensinya? Siapa yang dirugikan?" Di ruang kuliah suatu universitas ternama, seorang dosen filsafat memprovokasi mahasiswanya: "Jika kau harus memilih antara menyelamatkan satu orang yang kau cintai atau lima orang asing, apa yang kau lakukan?" Diskusi pun memanas. Ada yang mengutip Kant tentang imperatif kategoris, ada yang merujuk utilitarianisme. Tapi di sudut ruangan, seorang mahasiswa berkaca-kaca: "Saya tak mau memilih. Saya ingin menyelamatkan semuanya."

     Etika, dalam denyutnya yang paling hidup, adalah upaya manusia untuk tetap manusiawi di tengah dilema. Di negeri ini, di mana UU kerap dijadikan alat untuk melegalkan ketidakadilan, etika menjadi senjata perlawanan. Ketika sebuah perusahaan tambang mengklaim telah "beretika" karena memberi CSR sambil meracuni sungai, etika menampar mereka dengan pertanyaan: "Apa gunanya membangun sekolah jika anak-anak tak bisa minum air bersih?" Voltaire, melalui Zadig, mengajarkan bahwa kebaikan sejati adalah keberanian melawan absurditas—meski harus melanggar "tata krama". Di sini, etika bukanlah buku pedoman, melainkan pisau bedah yang membedah kepalsuan di balik jargon-jargon "kepatuhan".

Etiket: Topeng yang Kadang Menjadi Penjara

     Etiket adalah bahasa yang paling lihai—ia bisa menjadi pelumas sosial, tapi juga jerat yang membelenggu. Di Jepang, seorang karyawan harus membungkuk 45 derajat saat menyapa atasan. Di Bali, senyum ramah adalah keharusan, bahkan saat hati sedang terluka. Di kantor pemerintahan Jakarta, staf junior diajari untuk "tidak boleh lebih pintar dari atasan" dalam rapat. Semua ini adalah etiket: aturan tak tertulis yang menjaga mesin sosial tetap berjalan.

     Tapi seperti kata Oscar Wilde, "Sopan santun adalah seni membuat musuh merasa nyaman sebelum kau menghancurkannya." Di sebuah pesta pernikahan mewah, para tamu bersalaman hangat sambil membisikkan gosip tentang mempelai. Di ruang rapat direksi, para eksekutif tersenyum sopan sambil merancang strategi memangkas hak pekerja. Etiket, dalam sisi gelapnya, adalah seni berpura-pura—alat untuk menyembunyikan kejahatan dalam bingkai kesantunan. Di Indonesia, kita mahir dalam permainan ini: menyebut korupsi sebagai "uang rokok", atau kekerasan aparat sebagai "pembinaan".

     Namun etiket juga punya kekuatan magis. Di pelosok Flores, seorang nenek menawarkan sirih pinang pada tamu—ritual yang bukan sekadar sopan santun, melainkan cara menjaga martabat manusia. Di sini, etiket bukan topeng, melainkan jembatan antargenerasi. Persoalannya, seperti diingatkan Nietzsche, adalah ketika kita menganggap etiket sebagai pengganti moral. "Masyarakat yang menjadikan kesopanan sebagai agama," tulisnya, "akan mati perlahan karena kebohongan yang diinstitusionalkan."

Tarian yang Tak Pernah Selesai

     Lantas, bagaimana menari di antara ketiganya? Seorang aktivis lingkungan di Kalimantan memberi contoh nyata. Saat perusahaan sawit menawarinya "uang damai", ia menolak dengan sopan: "Terima kasih, tapi saya lebih baik makan nasi dengan garam daripada menjual hutan." Di sini, moral menolak, etika memberikan alasan ("hutan adalah nafas masyarakat adat"), dan etiket menjaga agar penolakan tak menjadi konflik terbuka.

     Tapi tarian ini tak selalu elegan. Di suatu malam di Yogyakarta, sekelompok mahasiswa memilih protes keras saat kampus menaikkan uang kuliah. Mereka dianggap "tidak sopan", tapi seperti kata pemimpin aksi itu, "Kadang, melanggar etiket adalah harga yang harus dibayar agar suara kami didengar." Di sini, etika dan moral bersekutu melawan etiket yang membungkam.

     Sejarah manusia adalah sejarah pertarungan ketiganya. Budha Gautama meninggalkan kemewahan istana (melawan etiket kerajaan) untuk mencari kebenaran (moral). Sokrates meminum racun demi mempertahankan prinsip (etika), meski pengadilan Athena menganggapnya "tak sopan". Di Indonesia modern, kita melihat guru-guru seperti Butet Manurung yang "melanggar etiket" dengan mengajar anak Suku Anak Dalam tanpa izin birokrasi—tindakan yang dianggap "baik" oleh moral, "benar" oleh etika, tapi "tak sopan" oleh sistem.

Luka yang Harus Tetap Terbuka

     Di terminal bus tua ibu kota, seorang pengamen tunanetra menyanyikan lagu tentang keadilan. Para penumpang sibuk dengan ponsel, tak ada yang memberinya koin. Seorang anak kecil tiba-tiba berdiri, mengacungkan jempol, dan berteriak, "Suaramu bagus, Om!" Sang pengamen tersenyum—sebuah momen kecil di mana moral (kepolosan anak), etika (apresiasi pada seni), dan etiket (pujian spontan) menyatu tanpa konflik.

     Tapi dunia bukan terminal bus. Di sini, ketiganya lebih sering berbenturan daripada berdamai. Mungkin itu baik adanya—karena selama konflik ini ada, manusia masih punya hasrat untuk menjadi lebih baik. Seperti kata Rumi, "Cahaya masuk melalui celah-celah yang retak." Retakan antara moral, etika, dan etiket itulah yang memungkinkan kita tetap manusia: kadang kaku dalam kesopanan, kadang berani dalam kebenaran, tapi sering—bahkan mungkin selalu—berjuang untuk tidak sepenuhnya tunduk pada topeng-topeng yang kita buat sendiri.

     Di ujung hari, ketika lampu kota mulai menyala dan topeng-topeng sosial kembali dikenakan, bisikan hati tetap terdengar: "Apakah kita sudah cukup baik—bukan sekadar sopan, bukan hanya benar—tapi manusiawi?" Pertanyaan ini, yang tak akan pernah ada jawaban finalnya, adalah hadiah sekaligus kutukan terbesar peradaban. Dan dalam hening diam, ia adalah alasan mengapa kita masih pantas disebut manusia.

     Di sebuah kedai kopi yang remang, dua sosok bersua dalam obrolan yang seolah melompati ruang dan waktu. Friedrich Nietzsche, dengan tatapan tajam dan kumis melintang, menyeruput kopinya dengan santai. Di hadapannya, Yuval Noah Harari tersenyum tipis, seakan-akan menyadari bahwa ia sedang berbincang dengan arwah dari masa lalu.

     "Jadi, kau benar-benar yakin Tuhan sudah mati?" Harari membuka percakapan dengan nada bercanda.

     Nietzsche mengangkat bahu. "Sudah lama. Manusia telah membunuhnya dengan sains, rasionalitas, dan nihilisme. Tapi menarik, kau bicara tentang Homo Deus—dewa-dewa baru yang diciptakan oleh manusia sendiri. Apakah ini semacam kebangkitan dari kematian yang kusebutkan?"

     Harari terkekeh. "Sebagian besar manusia masih mencari makna, meskipun mereka tak lagi bersandar pada dogma. Dulu, mereka memandang ke langit dan berdoa, kini mereka melihat ke layar ponsel dan bertanya pada algoritma. Tuhan mungkin mati, tapi otoritas tetap hidup, hanya saja sekarang ia berbasis data."

     Nietzsche mengangguk pelan, kemudian bersandar ke kursinya. "Kau berbicara seperti seorang nabi teknologi. Jadi, menurutmu, data dan kecerdasan buatan akan menggantikan peran Tuhan?"

     "Bukan menggantikan, lebih tepatnya mengubah. Jika dulu manusia bertanya pada pendeta tentang makna hidup, kini mereka bertanya pada Google. Jika dulu mereka mengikuti kitab suci, kini mereka mengikuti rekomendasi algoritma. Dan, ironisnya, mereka lebih taat pada peta Google dibandingkan pada perintah Tuhan."

     Nietzsche tertawa keras. "Menarik! Tapi, apakah ini berarti manusia benar-benar bebas, atau justru semakin terkungkung oleh sistem baru? Aku berbicara tentang Ubermensch, manusia yang melampaui dirinya sendiri. Apakah Homo Deus yang kau gambarkan ini benar-benar bebas atau hanya makhluk yang tunduk pada tirani data?"

     Harari menghela napas. "Itu dilema kita. Kita menciptakan teknologi, tapi teknologi juga membentuk kita. Kita semakin bergantung pada data, bukan hanya untuk memahami dunia, tetapi juga untuk memahami diri sendiri. Apakah itu kebebasan, atau bentuk perbudakan yang lebih halus?"

     Dari sudut ruangan, seseorang yang lain menyela. Stephen Hawking, dengan suara sintetis khasnya, menyatakan, "Pertanyaannya bukan hanya tentang kebebasan, tetapi tentang keberadaan manusia itu sendiri. Jika AI berkembang hingga titik di mana ia lebih pintar dari kita, apakah kita masih relevan?"

     Nietzsche dan Harari saling berpandangan. "Jika Tuhan sudah mati, apakah manusia akan menyusul?" tanya Nietzsche.

     Harari mengusap dagunya. "Bukan mati, tapi berubah. Evolusi tidak pernah berhenti. Kita telah menjadi Homo Sapiens, dan mungkin, dalam waktu dekat, kita akan menjadi Homo Deus."

     "Dan apakah Homo Deus ini masih memiliki kehendak bebas?" tanya Nietzsche dengan sinis.

     Hawking menjawab dengan nada netral, "Jika kehendak itu ditentukan oleh algoritma, apakah masih bisa disebut bebas?"

     Hening sesaat. Di luar, lampu-lampu kota berkelap-kelip, seakan ikut merenungkan pertanyaan mereka.

     "Jadi, apa selanjutnya?" tanya Nietzsche akhirnya.

     Harari tersenyum. "Mungkin kita harus bertanya pada AI. Atau mungkin, kita harus mulai belajar bagaimana hidup tanpa ilusi kebebasan yang kita banggakan selama ini."

     Nietzsche terkekeh. "Ah, dunia ini memang panggung sandiwara. Jika Tuhan sudah mati, maka manusia adalah aktor yang sedang mencari sutradara baru."

     Dan di kedai kopi itu, obrolan mereka terus berlanjut, diiringi aroma kopi yang menguar, sementara dunia di luar terus berputar, mengikuti ritme data, algoritma, dan ilusi kebebasan yang terus berevolusi.

Nos yang budiman,

     Aku menulis surat ini dari sebuah warung kopi di ujung jalan yang belum tercatat di Google Maps. Di sini, kopi langit masih bisa dibeli secangkir dengan harga lima belas ribu rupiah—hitam, pahit, tanpa gula atau metafora. Pemilik warungnya, Daeng Te'ne, menyebutnya Kopi Kosmis. "Kopi ini bijinya jatuh dari meteor tahun '98," katanya sambil menunjuk ke langit yang tertutup kabel listrik. Aku tak yakin itu benar, tapi di dasar cangkirnya, selalu ada serpihan bintang yang tertinggal.

     Nos, kau ingat dulu kita sering berdebat tentang narasi? Kau bilang hidup ini cuma kumpulan cerita usang yang kita jahit jadi jubah kebesaran. Tapi sejak feed media sosial kita dipenuhi iklan self-help dan kabar palsu, jubah itu mulai lapuk. Hari ini, di warung Daeng Te'ne, kulihat seorang nenek menjual kisah-kisah lama: foto suaminya yang hilang di laut, surat cinta dari masa penjajahan, bahkan potret wayang yang ia klaim pernah berbicara. Semuanya dijual per kilo, seperti biji kopi. "Narasi-narasi ini," bisiknya, "lebih tahan lama daripada beras."

     Aku membeli secangkir Kopi Kosmis dan duduk di bangku kayu yang lapuk. Di hadapanku, ada pemuda yang asyik bicara pada smartwatch-nya: "Bro, gue lagi existential crisis nih. Harusnya gue kuliah atau jadi content creator?" Jam itu menjawab dengan suara robot: "Rekomendasi: 60% jadi creator, 30% kuliah, 10% coba psychedelic trip." Pemuda itu mengangguk, seperti baru dapat wahyu. Nos, di zamanmu dulu, apakah jawaban hidup juga datang dalam bentuk persentase?

     Daeng Te'ne mendekat, membawa ceret berkarat. "Kopi ini," katanya, "mirip hidup. Pahitnya nyata, manisnya harus dicari sendiri." Aku tersenyum. Di tengah gempuran algoritma yang menjanjikan "kebahagiaan instan", warung ini seperti kuil kecil bagi para penikmat kepahitan. Di dindingnya, ada lukisan Einstein sedang minum kopi dengan caption: "Relativitas? Coba dulu kopi ini."

     Nos, kau pernah bilang kita semua adalah NPC dalam game orang lain. Tapi pagi ini, kulihat ibu-ibu penjual sayur menyisipkan sejari rimpang kariango tersemat peniti ke dompet uangnya. "Agar tidak dicopet tuyul," katanya. Di layar smartphone-nya, ada notifikasi: "Your anxiety level is rising. Breathe now?" Ia mengabaikannya, lalu bersenandung lagu pengiring tari Gandrang Bulo: "Battu rate ma' ri bulang…" Aku terpana. Di tengah hiruk-pikuk big data, masih ada yang mempercayai hantu dan algoritma sekaligus.

     Mungkin kau benar, Nos. Narasi-narasi kita memang runtuh. Agama jadi konten TikTok, cinta jadi meme, bahkan kematian diukur lewat engagement rate. Tapi di sela-sela puing-puing itu, masih ada yang bertahan: seorang nenek yang menulis surat untuk suaminya di sehelai kertas doorslag, anak jalanan yang menertawakan deepfake presiden, atau Daeng Te'ne yang bersikeras biji kopinya dari meteor. Mereka tak peduli apakah kisahnya valid atau viral—yang penting bisa ditukar dengan secangkir kehangatan.

     Aku ingat ucapan Nietzsche: "Kita membutuhkan seni agar tidak binasa karena kebenaran." Tapi di sini, seni itu ada dalam cara seorang pemulung menganyam plastik jadi mainan anak, atau barista robot di kafe sebelah yang error dan menari ala TikTok challenge. Nos, apa kita terlalu keras pada diri sendiri? Mencari narasi agung, padahal keindahan ada di cerita-cerita pecah yang tak pernah selesai.

     Di sudut warung, seorang anak kecil bertanya pada ibunya: "Meteor itu jatuh karena capek terbang, ya?" Sang ibu tertawa: "Iya, Nak. Makanya kita minum kopi ini, biar dia ada teman."

     Aku menenggak ampas kopi terakhir. Di dasarnya, ada serpihan bintang yang ternyata... hanya gula yang tak larut. Tapi entah kenapa, hari ini, gula itu terasa seperti puing supernova.

     Nos, mungkin kau akan menertawakanku. Tapi izinkan aku percaya bahwa di antara big data dan dongeng hantu, di antara AI yang menulis puisi dan nenek yang menjual kisah-kisah usang, ada ruang untuk secangkir kopi yang tak perlu punya makna. Cukup pahit, dan cukup hangat.

Salam dari tepi semesta,
Si Penikmat Kopi Kosmis

P.S. Daeng Te'ne bilang, minggu depan dia akan menjual Kopi Multiverse. "Bijinya dari dimensi lain," katanya sambil menyipitkan mata. Aku sudah pesan dua cangkir. Satu untukku, satu untuk bayanganmu yang masih berkeliaran di cloud storage. (part 6 dari 6)


Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.