Beberapa hari menuju delapan puluh tahun Indonesia merdeka, media sosial mendadak jadi pasar malam penuh sinisme. Slogan “katanya Indonesia sudah merdeka” menggema, tetapi selalu disambung dengan kata “tapi”—kata yang lebih keras dari sirine peringatan dini gempa bumi, lebih menusuk dari dentuman meriam di medan perang.
Katanya merdeka, tapi rakyat membeli beras mahal di negeri yang selama puluhan tahun membanggakan diri sebagai lumbung padi. Di sawah, petani berjuang dengan keringat asin, tetapi di pasar rakyat hanya kebagian beras oplosan yang dicampur entah dengan apa. Merdeka rasa-rasanya kini hanya berarti merdeka untuk menipu perut rakyat sendiri.
Katanya merdeka, tapi pendidikan masih seperti lotere. Ada yang mati-matian memungut remah demi sekolah, sementara yang sudah masuk ruang kelas justru diperlakukan seperti proyek percobaan: diberi makan siang gratis yang lebih menjadi beban APBN ketimbang menjawab persoalan kualitas guru, laboratorium, atau perpustakaan. Apa gunanya nasi kotak gratis kalau otak tetap lapar?
Katanya merdeka, tapi dinasti politik tumbuh subur bagai gulma yang menutupi ladang. Oligarki menempel pada kursi kekuasaan seperti lintah yang tidak tahu kenyang. Penjajah asing dulu datang dengan kapal, kini penjajah baru lahir dari rahim bangsa sendiri, lengkap dengan bendera merah putih yang mereka kibarkan dengan bangga.
Katanya merdeka, tapi hukum hanya tegak lurus ke bawah dan mendadak tumpul ke atas. Penguasa dan kroninya dilayani dengan karpet merah oleh lembaga hukum, sementara rakyat jelata digilas di jalanan hanya karena tak mampu bayar tilang elektronik. Apakah ini wajah keadilan, ataukah sekadar topeng karnaval?
Katanya merdeka, tapi hutang negara menjulang lebih tinggi dari kepulan abu Semeru saat erupsi. Negeri ini terlihat gagah dengan pembangunan infrastruktur, tetapi fondasinya rapuh karena ditopang tumpukan utang. Anak cucu yang belum lahir sudah dicatat sebagai penanggung jawab cicilan, bahkan sebelum mereka tahu cara berjalan.
Katanya merdeka, tapi rakyat dibiarkan dijajah oleh situs judi online dan rentenir digital. Teknologi yang seharusnya memerdekakan justru dipakai untuk mengisap darah yang sudah kering. Seakan-akan bangsa ini punya misi suci: melahirkan generasi yang kalah sebelum bertanding, bangkrut sebelum berusaha.
Katanya merdeka, tapi pajak dipungut bahkan dari hal-hal yang tak masuk akal. Suara burung dikenai pajak keramaian, dan entah besok bayi menangis pun akan dihitung sebagai potensi penerimaan negara. Kalau perlu, suara kambing kentut dijadikan objek pajak demi menambal lubang yang dibuat tikus negara. Beginikah logika bernegara: rakyat dikeruk dari semua sisi, sementara koruptor berpesta di hotel berbintang?
Katanya merdeka, tapi rakyat diseret oleh algoritma media sosial ke jurang kebodohan massal. Bangsa yang dahulu berdiri dengan darah dan air mata kini rela menanggalkan harga diri, berjoget tolol di depan kamera untuk recehan digital. Apakah ini yang dimaksud Bung Karno ketika berkata, “Bangunlah suatu dunia di mana semua bangsanya hidup dalam damai dan persaudaraan”? Rasanya tidak. Yang dibangun hanyalah dunia hiburan picisan, di mana kemerdekaan diukur dari jumlah likes dan komentar.
Namun di atas semua “tapi” itu, ada satu racun yang lebih mematikan, penjajah yang paling setia: korupsi. Inilah kanker stadium akhir yang menjalar ke seluruh tubuh bangsa. Sejak republik ini berdiri, korupsi seakan mendapat hak istimewa, tak bisa ditumpas, selalu menemukan cara untuk hidup. Dari ruang rapat eksekutif hingga bilik legislatif, dari palu sidang yudikatif hingga transaksi kecil di jalanan, semuanya diracuni oleh kolusi, nepotisme, dan keserakahan.
Bung Hatta yang dikenal sebagai “Bapak Koperasi” pernah berkata getir, “Korupsi telah menjadi budaya.” Bayangkan, ucapan itu sudah puluhan tahun lalu, dan bukannya memudar, korupsi justru menjelma seperti agama baru, lengkap dengan ritual, imam, jamaah, dan kitab sucinya sendiri—kitab keserakahan!. Kita menghujat koruptor di kelompok lain, tetapi bangga bila kelompook atau keluarga sendiri ikut kebagian proyek cawe-cawe nepotis korup.
Sutan Sjahrir sudah memperingatkan sejak awal bahwa kemerdekaan hanya bisa bertahan bila dijaga dengan kejujuran. Baginya, kebebasan yang dilacurkan oleh korupsi tidak lebih dari perbudakan berkedok merdeka. Tan Malaka, dengan pedang logikanya, menulis dalam Madilog bahwa bangsa yang tak bisa berpikir jernih akan selalu dijajah—bahkan oleh dirinya sendiri.
Dan bukankah itu yang terjadi hari ini? Kita bukan hanya dijajah asing, kita dijajah oleh kebodohan, dijajah oleh mentalitas korup yang dianggap biasa. Pramoedya Ananta Toer menambahkan tamparan lebih keras: bangsa yang tidak menghargai dirinya sendiri layak diperlakukan seperti sampah oleh dunia. Apa lagi yang lebih jelas dari potret bangsa yang rela dirampok oleh para pemimpinnya sendiri, lalu tetap memberikan tepuk tangan?
Dan pada titik ini, suara Soe Hok Gie menggema, membelah kabut ketidakpastian. “Lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan.” Kalimat itu bukan sekadar tulisan di buku harian, melainkan cambuk bagi mereka yang duduk di kursi empuk kekuasaan.
Bangsa ini tak butuh macan kertas yang berteriak di panggung tetapi mengembik di hadapan oligarki. Yang dibutuhkan adalah macan sejati, pemimpin yang berani diasingkan, yang rela kehilangan kursi demi menjaga nurani, yang aumannya membuat para koruptor gemetar hingga ke sum-sum tulang.
Ki Hajar Dewantara mengajarkan, “Ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani.” Namun hari ini yang terjadi sebaliknya: di depan memberi teladan busuk, di tengah membangun karso kepalsuan, di belakang mendorong rakyat masuk ke jurang.
Delapan puluh tahun merdeka bukan usia muda. Seharusnya bangsa ini sudah matang, sudah mampu bercermin dengan jujur. Namun yang tampak di cermin hanyalah wajah seorang tawanan yang berdandan sebagai peraya ulang tahun. Merdeka yang disandera korupsi hanyalah kemerdekaan palsu. Merdeka yang dijajah oligarki hanyalah ilusi. Merdeka yang dihancurkan kebodohan hanyalah upacara tanpa jiwa.
Maka, merdeka harus direbut lagi, dari tangan kita sendiri. Merdeka dari korupsi yang mengalir di nadi bangsa. Merdeka dari hutang yang menjerat, dari pajak tolol, dari algoritma yang membodohi, dari oligarki yang mencekik. Hanya ketika bangsa ini berani menumbangkan semua itu, barulah teriakan “Merdeka!” tidak terdengar sebagai parodi, tetapi sebagai kenyataan yang hidup.
Posting Komentar
...