Articles by "Psikologi"

Tampilkan postingan dengan label Psikologi. Tampilkan semua postingan

     Polisi tidur, dalam konteks lalu lintas, seharusnya menjadi elemen pengendali kecepatan yang dirancang berdasarkan perhitungan teknis dan kajian keselamatan. Namun di Indonesia, istilah ini telah mengalami transformasi yang liar: dari fitur keselamatan menjadi simbol keputusasaan sosial dan ilusi kontrol masyarakat terhadap ruang yang mereka anggap milik mereka. Di lorong-lorong kecil, perumahan elit, bahkan di ruas jalan raya yang vital, polisi tidur muncul seperti jamur selepas hujan—tanpa standar, tanpa izin, dan seringkali tanpa pertimbangan logis.

     Fenomena ini bukan sekadar tentang balok aspal yang melintang. Ia adalah manifestasi dari kekosongan regulasi yang ditegakkan, pendidikan sosial yang timpang, serta kegagalan kolektif untuk membedakan antara ruang publik dan ruang pribadi. Polisi tidur yang dibangun seenaknya adalah upaya menciptakan rasa aman secara instan, meski ilusi itu hanya menutupi ketidakmampuan masyarakat untuk membentuk perilaku tertib secara sadar.

     Motivasi yang sering terdengar dari pembuat polisi tidur lokal adalah: "Agar pengendara tidak kebut-kebutan." Pernyataan ini, meskipun terdengar masuk akal, menyimpan ironi yang getir. Dalam banyak kasus, yang melakukan kebut-kebutan justru anak-anak mereka sendiri—berumur 8 hingga 12 tahun—yang seharusnya belum memiliki SIM, belum matang secara emosi, dan belum memahami tata tertib lalu lintas. Lalu, mengapa mereka diizinkan mengendarai motor? 

     Ada beberapa kemungkinan: keinginan orang tua untuk memamerkan kemandirian anak, semangat kompetitif sosial yang keliru, atau memang tidak adanya pemahaman hukum yang memadai. Lebih dari itu, membiarkan anak-anak kecil mengendarai motor di usia dini justru menciptakan kebiasaan pelanggaran hukum yang dianggap sebagai kewajaran. Perlahan-lahan, pelanggaran itu diterima sebagai kebenaran sosial. 

     Hal ini berkontribusi pada terbentuknya kecerdasan emosional yang tidak produktif. Anak tumbuh dengan rasa kepercayaan diri palsu dalam melanggar hukum, yang akan ia bawa hingga dewasa, bahkan saat ia sudah memiliki SIM atau nanti membesarkan anak-anaknya sendiri. Dalam kerangka psikologis, pola ini dapat melunturkan altruisme dan memperkuat kecenderungan psikopatik ringan—yakni mengabaikan keselamatan orang lain demi kebebasan atau kenyamanan pribadi.

     Di titik inilah, polisi tidur menjadi simbol dari delusi kolektif: kita merasa telah menyelesaikan masalah hanya dengan menambal permukaan. Padahal, yang terjadi adalah penguatan budaya pengabaian akar masalah. Tidak ada upaya serius mendidik anak-anak untuk menjadi pengguna jalan yang bertanggung jawab, tidak ada penegakan hukum terhadap pelanggaran usia dan izin berkendara, dan tidak ada refleksi bahwa solusi struktural jauh lebih penting daripada reaksi spontan.

     Dari sudut pandang psikologi sosial, fenomena ini dapat dikaitkan dengan apa yang disebut sebagai illusion of control (Langer, 1975)—sebuah kondisi di mana individu atau kelompok merasa memiliki kendali terhadap situasi yang sebenarnya berada di luar jangkauan rasional mereka. Dengan membangun polisi tidur, warga merasa telah melakukan sesuatu. Mereka merasa memiliki kuasa atas lorongnya, kendali atas keselamatan keluarganya, padahal yang dilakukan justru merusak alur sistemik dan seringkali membahayakan pengguna jalan lain.

     Dalam sosiologi, ini juga berkaitan dengan kegagalan negara dalam menyosialisasikan hukum sebagai milik bersama. Ketika hukum formal terasa jauh, masyarakat membentuk hukum informal yang sesuai dengan nalarnya sendiri. Hukum informal ini tidak selalu buruk, tetapi ketika ia bertentangan dengan prinsip-prinsip keselamatan dan logika teknis, maka ia berubah menjadi penghambat kemajuan.


      Kajian dari Jurusan Teknik Sipil Universitas Diponegoro (2018) mencatat bahwa sebagian besar polisi tidur di perumahan dan jalan lokal di Semarang tidak memenuhi standar ketinggian dan kemiringan sesuai Permenhub No. 82 Tahun 2018. Menurut aturan ini, polisi tidur untuk jalan lingkungan memiliki tinggi maksimal 8 cm dengan kemiringan 15%, sedangkan untuk jalan lokal maksimum 10 cm dengan lebar landai yang cukup untuk menjaga kenyamanan. Akibat ketidaksesuaian tersebut, banyak terjadi kerusakan pada suspensi kendaraan, kecelakaan ringan, dan keluhan warga terhadap ketidaknyamanan berkendara. Ini menunjukkan bahwa dampaknya tidak hanya simbolik, tapi juga fisik dan ekonomi.

     Ironisnya, semakin dekat kita pada wilayah yang seharusnya menjadi contoh ketertiban dan kepatuhan hukum, fenomena ini justru makin parah. Di sekitar markas tentara, kantor polisi, sekolah kedinasan, bahkan di kompleks yang menyandang nama-nama seperti "kompleks karyawan perhubungan," polisi tidur tumbuh dalam ukuran yang tidak wajar—tingginya bisa menyerupai tanggul penahan banjir. Di satu jalan raya dengan panjang kurang dari satu kilometer yang membelah kompleks semacam itu, bisa ditemukan hingga 11 polisi tidur. Ini bukan lagi soal pengendalian kecepatan, tapi menjadi representasi berlapis dari kekuasaan simbolik dan dominasi atas ruang bersama.

     Lebih jauh, fenomena ini juga menyiratkan fragmentasi spasial kota. Ruang-ruang publik direkonstruksi menjadi ruang semi-pribadi melalui tindakan warga yang merasa berhak atas kontrolnya. Dalam hal ini, kota menjadi bukan lagi milik bersama, melainkan milik siapa yang paling berani membangun sesuatu—dalam hal ini, polisi tidur.

     Penyelesaian terhadap persoalan ini tentu bukan dengan membongkar satu per satu polisi tidur liar, meskipun secara hukum itu bisa dan harus dilakukan. Penyelesaian sejati terletak pada dua hal: penegakan hukum yang tegas namun mendidik, dan pembangunan kesadaran kolektif melalui pendidikan sosial yang berkelanjutan. Masyarakat harus diajak untuk memahami bahwa keselamatan jalan tidak bisa dicapai dengan menciptakan rintangan acak, tetapi dengan membentuk budaya tertib dan menghormati aturan.

     Dalam konteks yang lebih luas, polisi tidur adalah tanda. Tanda bahwa masih banyak warga yang hidup dalam kondisi antara percaya pada hukum dan putus asa terhadap sistem. Mereka ingin aman, tapi tidak tahu cara yang benar untuk mencapainya. Mereka ingin anak-anak mereka selamat, tapi tidak siap menghadapi kenyataan bahwa merekalah yang memberi akses pada pelanggaran itu sendiri.

     Polisi tidur adalah mimpi buruk dari impian akan keteraturan. Ia tampak seperti solusi, tapi menyimpan masalah. Ia seolah hadir untuk menyelamatkan, tapi seringkali menjerumuskan. Dan selama kita masih menaruh harapan pada beton-beton kecil itu untuk menyelesaikan persoalan besar, mungkin kita belum benar-benar bangun dari tidur panjang kita sebagai masyarakat yang bermimpi menjadi tertib tanpa belajar menjadi tertib.

     Pada suatu pagi yang biasa di sebuah kota besar, seseorang mengeluh di media sosial: “Tadi pagi telat ke kantor. Ada tenda hajatan anak pejabat yang menutup jalan raya empat jalur.” Beberapa balasan datang: ada yang menyindir, ada yang menghibur, sebagian besar hanya mendesah. Seolah-olah keterlambatan itu bukan salah siapa-siapa. Begitu juga ketika motor melambat mendadak karena polisi tidur tak beraturan di lorong perumahan, atau ketika kendaraan dialihkan karena sebuah rumah ibadah mengadakan kegiatan akbar yang meluber sampai ke badan jalan. Semua orang tampaknya sudah terbiasa. Tapi siapa sebenarnya yang sedang mengendalikan kota ini?

Ilusi Kontrol Lokal: Polisi Tidur dan Aspirasi Akan Ketertiban

     Di banyak lorong dan jalan sempit kota-kota di Indonesia, kita akan menemukan balok beton, aspal melintang, atau bahkan susunan batu bata yang difungsikan sebagai polisi tidur. Ini bukan proyek pemerintah. Bukan pula hasil kajian teknis lalu lintas. Melainkan wujud konkret dari rasa takut dan rasa ingin mengatur—dua bahan utama dalam ilusi kontrol.

     Orang-orang yang membangun polisi tidur sering berkata: agar pengendara motor tidak kebut-kebutan. Namun ironinya, yang sering ngebut justru anak-anak mereka sendiri, berusia 8-9 tahun, yang seharusnya tidak layak dan tidak diizinkan mengendarai motor. Polisi tidur menjadi alat untuk mengendalikan gejala di permukaan, tapi bukan akar persoalan. Ia menjadi simbol dari kegagalan pendidikan sosial dan kurangnya kesadaran hukum.

     Fenomena ini juga mencerminkan adanya kompetisi simbolik: siapa yang paling peduli, siapa yang paling berani mengklaim bahwa lorong ini adalah milik komunitas tertentu. Dalam masyarakat yang belum terbiasa dengan regulasi bersama yang rasional, kontrol fisik seperti polisi tidur justru terasa lebih nyata dan menenangkan. Padahal, kenyamanan semu itu sering menimbulkan masalah baru: kerusakan kendaraan, kecelakaan, atau konflik antarwarga.

Delusi Kekuasaan: Jalan Raya untuk Pesta Pribadi

     Di sisi lain kota, pejabat tertentu menutup akses jalan besar demi mengadakan pesta pernikahan anaknya. Jalan yang biasa dilalui ribuan kendaraan sehari-hari berubah menjadi ruang privat. Karpet merah, panggung hiburan, deretan tenda megah. Semua berlangsung selama tiga hari. Dan warga yang terdampak? Harus cari jalan lain, sabar, atau diam.

     Ini adalah bentuk delusi kontrol oleh kekuasaan: keyakinan bahwa karena ia memiliki jabatan atau pengaruh, maka ia berhak mengendalikan ruang publik demi kepentingan pribadi. Ia tidak merasa melanggar karena menganggap bahwa ruang bisa dinegosiasikan sesuai kekuatan yang ia miliki. Ini bukan hanya pelanggaran terhadap hukum jalan, tetapi juga terhadap etika spasial dan prinsip keadilan sosial.

     Fenomena ini menunjukkan bagaimana kuasa bisa memperluas ruang privatnya dengan cara yang tak terlihat vulgar, tapi efektif. Edward Soja (2010) menyebut ini sebagai bentuk dari ketimpangan spasial, di mana distribusi ruang tidak lagi mengikuti logika fungsi atau keadilan, melainkan logika kuasa dan simbol. Dan masyarakat yang diam, secara tak sadar ikut menyetujui.

Ketika Ibadah Menjadi Blokade: Sakralitas Versus Fungsionalitas Jalan Raya

     Kasus ketiga mungkin lebih sensitif. Penutupan jalan raya karena kegiatan ibadah, biasanya terjadi secara berkala pada momen-momen keagamaan besar. Jalan enam jalur bisa berubah menjadi lautan manusia bersujud. Pemerintah memberi izin, masyarakat sekitar mengalah. Sekilas, ini tampak seperti toleransi yang indah. Tapi jika ditelaah lebih jauh, ini adalah bentuk delusi kontrol massal.

     Delusi ini muncul karena komunitas merasa memiliki legitimasi moral dan kultural yang tinggi. Ketika ribuan orang melakukan sesuatu bersama, maka tindakan itu tampak sah—meskipun dampaknya merugikan pengguna jalan lainnya. Ini adalah kekuatan simbol dan konsensus. Seperti yang dijelaskan Foucault (1977), kekuasaan tidak selalu hadir melalui paksaan, tetapi bisa melalui normalisasi. Dan dalam kasus ini, delusi kontrol dijalankan melalui bahasa sakral yang tak mudah digugat.

     Kita pun terjebak dalam dilema: membela hak pengguna jalan, berarti berhadapan dengan sensitivitas agama. Menghindarinya, berarti membiarkan preseden terbentuk bahwa ruang publik bisa disakralkan oleh kelompok tertentu. Sementara warga lain, hanya bisa bertanya dalam hati: siapa sebenarnya yang punya jalan ini?

     Ketiga kasus ini bukan soal teknis lalu lintas, melainkan tentang bagaimana ruang, kuasa, dan persepsi bekerja bersama. Mereka menunjukkan bahwa kontrol sosial seringkali tidak berdasarkan hukum, melainkan pada rasa. Rasa memiliki, rasa aman, rasa benar, atau rasa pantas. Dan rasa-rasa itu, jika dibiarkan tanpa koreksi, berubah menjadi delusi.

     Dari sisi sosiologi hukum, ketiga kasus ini memperlihatkan kegagalan negara dalam menegakkan norma legal saat norma sosial mengambil alih. Hukum formal ada, tapi tunduk pada tekanan informal. Dari sisi geografi sosial, kita melihat bagaimana ruang bersama direklamasi oleh individu atau komunitas, seolah-olah kota ini bukan milik bersama tapi hasil negosiasi antar-entitas dominan.

     Dari sisi psikologi sosial, ilusi kontrol muncul karena manusia cenderung ingin merasa mampu mempengaruhi lingkungannya. Ketika realitas terasa tak terkendali—lalu lintas kacau, kehidupan urban yang asing, atau masyarakat yang makin kompleks—orang mencari cara untuk merasa berdaya, walau semu. Dan delusi kontrol massal terjadi saat persepsi itu diperkuat oleh konsensus, simbol, dan keyakinan kolektif.

Siapa yang Mengendalikan Kota Ini?

     Akhirnya kita kembali ke pertanyaan awal: siapa yang sebenarnya mengendalikan kota ini? Mungkin tak ada yang benar-benar mengendalikan. Atau justru terlalu banyak yang merasa mengendalikan. Polisi tidur dibangun di setiap sudut, jalan ditutup demi pesta atau doa, dan publik diminta maklum. Kita hidup dalam kota yang dikendalikan oleh fragmen-fragmen kontrol semu, dan tanpa sadar, kita semua menjadi bagian dari sistem yang kita keluhkan.

     Dalam dunia yang kian kompleks, ilusi dan delusi kontrol akan selalu hadir—sebagai pelarian dari ketidakberdayaan, atau sebagai cara untuk memaksa kehendak. Yang perlu dijaga bukan sekadar jalan yang bisa dilalui, tapi kesadaran bersama bahwa ruang publik adalah milik semua, bukan tempat untuk mengekspresikan kekuasaan, simbol, atau ketakutan yang tak selesai.

     Di sebuah tanah lapang, ratusan orang berdiri dalam diam. Tangan mereka menggenggam lilin yang menyala, mata mereka menatap langit malam, dan bibir mereka bergerak pelan melafalkan sesuatu yang mereka sebut doa. Di layar besar, pemimpin mereka berseru lantang: “Kita akan menang! Karena kita satu suara!” Sorak-sorai pun pecah, genderang dipukul, dan bendera berkibar tinggi — tak satu pun dari mereka bertanya: menang dari apa? Satu suara untuk apa?

     Delusi kontrol massal bukan sekadar kepercayaan yang keliru. Ia adalah mimpi yang dibagikan, dijaga bersama, dan diperkuat lewat ritual, simbol, dan harapan yang dipertukarkan di ruang-ruang publik maupun batin. Jika ilusi kontrol pribadi adalah mimpi satu orang tentang dunia yang bisa dikendalikan lewat kemauan dan kehati-hatian, maka ilusi kontrol intersubjektif adalah mimpi kolektif — bahwa dunia bisa dibentuk dan dikekang oleh kehendak bersama, betapa pun keras dan tak masuk akalnya kenyataan itu sendiri.

     Dan seperti semua mimpi yang terlalu manis, ia bisa membuat kita lupa pada batas. Atau lebih berbahaya lagi: menyangkal bahwa batas itu pernah ada.

     Ilusi kontrol intersubjektif adalah bentuk bersama dari keyakinan palsu bahwa kita — sebagai komunitas, bangsa, atau kelompok sosial — memiliki kekuatan yang lebih besar dari yang sesungguhnya kita miliki untuk mempengaruhi jalannya peristiwa-peristiwa besar di luar kendali kita.

     Sebagaimana dijelaskan oleh Berger dan Luckmann dalam The Social Construction of Reality (1966), realitas sosial tidak berdiri sendiri seperti gunung atau sungai. Ia dibangun secara bertahap lewat proses internalisasi nilai, eksternalisasi tindakan, dan akhirnya objektivasi — yakni ketika sesuatu yang semula hanya disepakati bersama, mulai dianggap sebagai kenyataan “apa adanya.” Ketika sekelompok orang menyepakati suatu keyakinan, lalu membingkainya dalam institusi, simbol, atau kebiasaan, maka ia menjelma menjadi realitas sosial. Namun, realitas ini tetaplah intersubjektif — artinya, ia tergantung pada kesepakatan dan keterlibatan batin para pesertanya.

     Dalam konteks inilah delusi kontrol massal tumbuh: ketika keyakinan kolektif mulai meyakini bahwa kenyataan sosial itu bisa mendikte kenyataan objektif. Bahwa kehendak umat, bangsa, atau rakyat bisa “mengatur alam,” mengubah ekonomi, menggeser bencana, mengundang berkah, atau menyelamatkan dunia — semata-mata karena kita bersatu dan yakin.

     Bagaimana Delusi Ini Terbentuk?

     Delusi kontrol massal tidak muncul dari ruang hampa. Ia tumbuh dari kombinasi rumit antara kebutuhan psikologis, tekanan sosial, luka historis, dan mitos kolektif yang terus diulang-ulang.

     Pertama-tama, manusia adalah makhluk yang lekat pada makna. Kita cenderung mencari narasi bersama untuk menjelaskan hal-hal yang terasa tak terkendali — bencana alam, krisis ekonomi, kekalahan dalam perang, atau pandemi global. Dalam ketidakpastian seperti itu, narasi kontrol kolektif menjadi obat yang menenangkan: “Jika kita semua bertobat, hujan akan turun.” “Jika kita bersatu, ekonomi akan membaik.” “Kalau semua orang ikut doa ini, pandemi akan selesai.”

     Kedua, pemimpin atau figur otoritas sering menjadi sumbu dari nyala keyakinan ini. Dalam istilah Max Weber, mereka yang memiliki karisma profetik atau otoritas tradisional sering memegang peran kunci dalam membentuk pemahaman dunia. Ketika mereka berkata bahwa dunia bisa diubah hanya dengan kekuatan moral bersama, banyak orang yang mengamini — bukan karena rasionalitas argumennya, melainkan karena kepercayaan itu telah menyatu dengan identitas dan rasa aman komunitas.

     Ketiga, delusi ini diperkuat lewat ritual massal, simbol, media sosial, dan pengabaian terhadap suara-suara yang berbeda. Keyakinan itu tidak hanya dipercaya, tapi dirawat dan diwariskan. Orang tidak percaya karena yakin — mereka yakin karena takut kehilangan tempat di dalam narasi bersama.

     Kita tidak bisa menampik bahwa delusi kontrol massal tidak hanya merugikan. Ia juga menawarkan kenyamanan, rasa kuat, dan makna. Dalam dunia yang luas dan terasa semakin tak terkendali, keyakinan bahwa “kita bisa mengubah takdir jika bersama” menciptakan ikatan emosional, solidaritas, dan bahkan harapan. Durkheim menyebut hal ini sebagai efek totemisme — ketika sebuah simbol atau ritual kolektif memberi rasa persatuan spiritual pada kelompok.

     Bahkan, banyak gerakan sosial dan revolusi historis bertumpu pada bentuk delusi ini. Ketika rakyat turun ke jalan karena percaya bahwa kehadiran mereka bisa “menjatuhkan tirani”, atau ketika lagu-lagu perjuangan menyebar dengan keyakinan bisa “mengguncang langit”, mereka tidak sedang berpikir rasional dalam arti ketat. Namun justru karena keyakinan bersama itu, mereka bergerak, bersatu, dan berani melawan.

     Dalam situasi tertekan, delusi kolektif bisa menjadi sumber daya hidup yang paling penting — bukan untuk menemukan kebenaran, tapi untuk bertahan dan berharap.

     Kerugian saat delusi menjadi dogma

     Namun, seperti semua pelipur lara yang terlalu manis, delusi ini menyimpan racun. Ia bisa membutakan kita dari kenyataan yang lebih kompleks, dan bahkan menolak kenyataan itu secara aktif.

     Pertama, ia menciptakan bias konfirmasi kolektif: setiap kejadian akan ditafsirkan sebagai pembenaran atas keyakinan bersama. Jika ekonomi membaik, itu karena doa kita. Jika memburuk, itu karena masih ada yang lalai. Tidak ada ruang untuk pertanyaan kritis, karena narasi menjadi biner dan tertutup.

     Kedua, delusi ini bisa mengorbankan individu. Mereka yang mempertanyakan, yang kritis, atau sekadar ragu — dicap pengkhianat, kafir, atau tidak setia. Inilah yang diperingatkan Hannah Arendt dalam The Origins of Totalitarianism (1951): ketika kebenaran kolektif menjadi absolut, maka kebebasan berpikir harus dibayar mahal.

     Ketiga, delusi ini berpotensi menghambat solusi rasional dan sistemik. Jika orang percaya bahwa kemiskinan bisa diberantas hanya dengan doa dan seruan moral, maka analisis struktural, kebijakan fiskal, dan distribusi sumber daya tidak lagi dianggap penting. Kita menggantikan tindakan dengan retorika.

     Menyadari bahwa ada delusi kontrol massal bukan berarti kita harus meninggalkan iman atau kebersamaan. Justru sebaliknya — ini adalah ajakan untuk menjaga keduanya agar tidak menindas, agar tidak berubah menjadi alat penghapus keragaman dan pertanyaan.

     Berpikir kritis bukan ancaman bagi solidaritas. Ia justru memastikan bahwa solidaritas tetap terbuka, inklusif, dan sadar akan batas-batasnya. Dunia tidak sepenuhnya bisa dikendalikan, baik oleh satu orang maupun oleh jutaan orang. Namun kesadaran atas batas itu — dan kesediaan untuk tidak menyangkalnya — bisa menjadi awal dari kebijaksanaan yang lebih jernih, dan kemanusiaan yang lebih utuh.


Referensi: 

  1. Berger, P. L., & Luckmann, T. (1966). The Social Construction of Reality. Anchor Books.
  2. Weber, M. (1947). The Theory of Social and Economic Organization. Free Press.
  3. Arendt, H. (1951). The Origins of Totalitarianism. Harcourt, Brace.
  4. Durkheim, E. (1912). The Elementary Forms of Religious Life.
  5. Langer, E. J. (1975). The Illusion of Control. Journal of Personality and Social Psychology, 32(2), 311–328.

     Di sebuah kasino yang penuh dengan denting mesin dan lampu berkedip-kedip, seorang pria berdiri di depan meja dadu. Ia meniup dadu itu pelan sebelum melemparkannya, seolah napasnya bisa membelokkan nasib. Di tempat lain, seorang mahasiswa menggandeng pensil “beruntung” saat ujian, percaya bahwa benda itu telah menolongnya lulus semester lalu. Lebih jauh lagi, seorang pemimpin politik memberi pidato sambil memegang benda keramat peninggalan nenek moyangnya, dengan keyakinan bahwa kekuasaan bisa dipanggil dan dikekang lewat simbol.

     Apa yang sesungguhnya terjadi di benak manusia ketika mereka mempercayai hal-hal ini? Mengapa manusia begitu sering merasa bahwa mereka punya kendali atas sesuatu yang sebenarnya tak bisa mereka kuasai?

     Fenomena ini dikenal dalam psikologi kognitif sebagai “ilusi kontrol” — sebuah keyakinan yang keliru bahwa seseorang memiliki pengaruh terhadap peristiwa yang sepenuhnya bergantung pada keberuntungan, probabilitas acak, atau kekuatan eksternal.

     Konsep “ilusi kontrol” pertama kali diperkenalkan secara formal oleh Ellen Langer, seorang psikolog dari Harvard, dalam penelitiannya yang berpengaruh pada tahun 1975. Dalam eksperimen-eksperimennya, Langer menunjukkan bahwa orang-orang cenderung merasa lebih percaya diri dan yakin akan hasil yang menguntungkan ketika mereka memiliki peran aktif, meskipun sebenarnya tidak ada hubungan kausal antara tindakan mereka dan hasil yang terjadi (Langer, 1975).

     Misalnya, peserta diminta membeli tiket lotre. Kelompok pertama diberikan tiket secara acak oleh peneliti, sementara kelompok kedua diperbolehkan memilih sendiri tiketnya. Ketika peneliti menawarkan untuk membeli kembali tiket mereka dengan harga lebih tinggi, kelompok yang memilih sendiri tiketnya meminta harga yang jauh lebih mahal — meskipun peluang menangnya sama-sama acak. Fakta bahwa mereka membuat pilihan sendiri memunculkan perasaan semu bahwa mereka punya kendali.

     Hal ini bukan hanya terjadi dalam konteks perjudian. Dalam kehidupan sehari-hari, kita melihatnya dalam bentuk keyakinan bahwa nasib bisa dipengaruhi lewat tindakan simbolik: memakai baju tertentu saat wawancara kerja, mengetuk kayu untuk menangkal sial, atau menaruh harapan lebih besar pada pemimpin “berkarisma” daripada pada sistem dan kebijakan yang rasional.

     Mengapa otak kita menciptakan ilusi kontrol? Mengapa kita mempercayai sesuatu yang keliru secara logis? Mengapa Kita Terjebak?

     Jawabannya berakar pada mekanisme adaptif dan kebutuhan psikologis. Menurut penelitian Paul Slovic dan Amos Tversky, manusia cenderung mempersepsi pola di tengah kekacauan sebagai cara untuk memprediksi dan mengendalikan dunia (Tversky & Kahneman, 1974). Dengan kata lain, ilusi kontrol sering kali adalah respons otak terhadap ketidakpastian — dan karena ketidakpastian menciptakan kecemasan, maka otak memilih menyederhanakan dunia dengan menanamkan rasa kendali, walau palsu.

     Martin Seligman, dengan teori "learned helplessness"-nya, menunjukkan bahwa manusia (dan hewan) akan merasa lumpuh jika terus-menerus berada dalam situasi tak terkendali. Maka, munculnya ilusi kontrol bisa dipahami sebagai antitesis dari keputusasaan — otak menciptakan harapan karena tak mampu menerima kekacauan sebagai bagian realitas.

     Ada juga sisi sosial. Dalam masyarakat yang menilai tinggi tanggung jawab dan kesuksesan individual, perasaan memiliki kontrol menjadi citra diri yang penting. Mengaku bahwa sesuatu berada di luar kendali sering dianggap sebagai kelemahan, kegagalan, atau bahkan dosa. Maka ilusi kontrol bukan hanya personal, tapi juga konstruksi budaya.

     Namun, ilusi kontrol tidak berhenti sebagai rasa aman semu. Ia bisa berkembang menjadi kesalahan berpikir, keputusan keliru, bahkan bencana.

     Salah satu bentuk paling berbahaya dari ilusi kontrol muncul ketika seseorang mengecilkan risiko, karena merasa dapat “mengatasinya”. Daniel Kahneman, dalam bukunya Thinking, Fast and Slow (2011), menyebut ini sebagai bagian dari bias overconfidence: manusia melebih-lebihkan kemampuan mereka untuk memprediksi dan mengontrol hasil, apalagi ketika mereka merasa “berpengalaman”.

     Contohnya dapat ditemukan di bidang investasi, kesehatan, bahkan politik. Investor yang percaya bahwa “insting” mereka akan selalu benar bisa mengabaikan data objektif. Pasien yang menolak pengobatan medis karena lebih percaya pada kekuatan pikirannya sendiri — merasa bisa mengontrol penyakit lewat “niat baik” atau “pikiran positif” — adalah wujud nyata dari bias ini.

     Dalam konteks sosial dan politik, ilusi kontrol sering mewujud dalam pengambilan keputusan otoriter, ketika pemimpin merasa dirinya satu-satunya yang memahami dan mengontrol arah bangsa. Hal ini memperkuat fenomena delusi kolektif, di mana masyarakat ikut larut dalam keyakinan palsu bahwa segalanya “di tangan pemimpin yang kuat” — padahal sistem, distribusi kuasa, dan realitas objektif jauh lebih kompleks.

     Meski demikian, ilusi kontrol tidak selalu harus dimusuhi. Dalam kadar tertentu, ia bisa menjadi mekanisme penopang semangat hidup, sumber harapan di tengah ketidakpastian yang menyesakkan. Masalahnya bukan pada keberadaan ilusi, tetapi pada ketidakmampuan membedakan kapan kita sungguh mengendalikan sesuatu dan kapan kita hanya merasa seolah-olah mengendalikan.

     Memahami ilusi kontrol adalah undangan untuk merenung lebih dalam tentang relasi kita dengan dunia. Ia mengajarkan kita untuk tetap bertindak, tetapi juga untuk mengenali batas. Bahwa kadang, yang kita genggam bukan realitas, tapi angin. Dan itu tak apa, selama kita tahu bahwa angin bukan milik kita.


Referensi:

  1. Langer, E. J. (1975). The Illusion of Control. Journal of Personality and Social Psychology, 32(2), 311–328.
  2. Tversky, A., & Kahneman, D. (1974). Judgment under Uncertainty: Heuristics and Biases. Science, 185(4157), 1124–1131.

  3. Kahneman, D. (2011). Thinking, Fast and Slow. New York: Farrar, Straus and Giroux.

  4. Seligman, M. E. P. (1975). Helplessness: On Depression, Development, and Death. Freeman.

     Opini publik sering diibaratkan sebagai ombak di lautan luas, terbentuk dari ribuan arus kecil yang bertemu, saling menekan, kadang bertabrakan, lalu menghasilkan gelombang besar di permukaan. Tetapi seperti ombak, ia tidak selalu lahir dari kedalaman yang bermakna. Banyak hanya tercipta dari riak angin sesaat, membesar sejenak lalu mati sebelum mencapai pantai. Di sinilah kesalahpahaman kerap lahir—orang mengira gelombang tinggi berarti lautan dalam, padahal hanya efek cuaca sementara. Kesalahan tafsir ini menjadi lebih rumit ketika kita sadar bahwa opini publik jarang sekali murni. Ia dibentuk, diarahkan, disaring, bahkan dikoreksi ulang oleh mereka yang memahami cara memainkan tempo dan ritme informasi.

     Dalam dunia yang dipenuhi saluran komunikasi cepat, kelahiran opini publik hampir selalu melibatkan semacam orkestrasi. Isu yang kita anggap “tiba-tiba muncul” sering kali sudah dirancang jauh sebelum ia meledak. Viral yang tampak spontan kerap hanya skenario dengan perhitungan dingin: kapan memantik, di mana memicu, siapa yang pertama kali bicara. Yang menguasai teknik ini mengerti satu hal penting—opini publik adalah organisme yang hidup dari emosi, bukan logika. Satu berita yang membangkitkan rasa takut atau marah dapat bergerak lebih cepat daripada seribu klarifikasi rasional. Di era post-truth, kecepatan persebaran emosi ini mengalahkan akurasi fakta. Kebenaran menjadi relatif, bergantung pada seberapa banyak yang menyukai dan membagikannya, bukan pada seberapa sahih sumbernya.

     Opini publik bekerja seperti api di padang rumput kering, tak memerlukan bahan bakar besar untuk membesar. Cukup satu percikan kecil di waktu dan tempat yang tepat, sisanya adalah reaksi berantai. Namun seperti api yang cepat menyala, ia juga cepat padam. Wataknya sering menyerupai memori ikan mas—ledakan singkat diikuti lupa yang sama cepatnya. Hari ini isu tertentu menjadi pusat perhatian nasional, esoknya tenggelam oleh berita baru yang lebih segar. Paradox ini membuat opini publik menjadi kekuatan besar yang rapuh. Ia sanggup menjatuhkan kebijakan, menghancurkan reputasi, bahkan memicu perubahan sosial, namun jarang memiliki ketahanan untuk mempertahankan fokus jangka panjang.

     Ketika sebuah kekuatan besar begitu mudah dialihkan, maka siapa pun yang menguasai seni pengalihannya akan memegang kendali arah pembicaraan. Pemerintah, korporasi, atau kelompok berkepentingan yang piawai tidak selalu berupaya mengubah keyakinan massa, cukup mengalihkan pandangan mereka. Dalam banyak kasus, lebih mudah menyingkirkan perhatian daripada meyakinkan orang untuk mengganti keyakinannya. Inilah yang membuat opini publik menjadi wilayah strategis dalam politik, bisnis, bahkan budaya populer.

     Dari titik ini kita masuk ke ruang yang lebih suram—manipulasi. Opini publik dapat ditumbuhkan melalui rasa takut, diperkuat dengan kebanggaan, atau dipelintir oleh kebohongan yang diulang-ulang sampai terdengar masuk akal. Ia bisa disuntikkan perlahan hingga terasa seperti kebenaran yang muncul dari hati rakyat, padahal sesungguhnya rancangan dingin dari ruang rapat yang jauh dari keramaian. Ironisnya, sebagian besar orang akan bersikeras bahwa pandangan mereka lahir dari pengamatan pribadi, tanpa menyadari bahwa jalan pikiran yang mereka tempuh sudah diatur dari awal. Inilah medan yang subur bagi post-truth: saat fakta dan opini larut dalam satu adonan, dan “benar” berubah menjadi sekadar “sesuai dengan yang saya yakini”.

     Meski begitu, opini publik tidak selalu bersifat busuk atau murni manipulatif. Ada momen-momen langka di mana ia menjadi kekuatan pembebas. Dalam situasi tertentu, gelombang opini publik bisa menciptakan tekanan moral yang nyata, memaksa kekuasaan mundur selangkah. Ia dapat menjadi sinyal keras bahwa ada batas yang tidak boleh dilampaui. Ketika suara banyak orang benar-benar lahir tanpa rekayasa, ada getaran yang tidak bisa dibendung, bahkan oleh penguasa yang paling keras kepala sekalipun. Sayangnya, momen seperti ini jarang terjadi, dan ketika terjadi, ia sering dibelokkan atau diredam sebelum mencapai potensi penuh.

     Akhirnya, opini publik adalah arena perebutan, bukan udara bebas yang melayang tanpa tuan. Ia diperebutkan, dikendalikan, diwarnai. Yang lemah adalah mereka yang hanya menjadi penonton, puas merasa telah “ikut berpendapat” tanpa sadar bahwa bingkai pikiran mereka sudah dibentuk orang lain. Yang kuat adalah mereka yang paham bahwa opini publik hanyalah instrumen, dan kebenaran tidak selalu membutuhkan mayoritas untuk tetap berdiri.

     Kita sering mengulang pepatah “suara rakyat adalah suara Tuhan”. Tetapi jika suara itu telah dipelintir, digandakan gema satu arahnya, dan dibungkus dalam algoritma yang hanya memantulkan apa yang ingin kita dengar, apakah masih pantas kita menyamakannya dengan suara Tuhan? Atau jangan-jangan yang kita dengar hanyalah gema dari ruang tertutup yang dibangun oleh mereka yang ingin mengarahkan isi kepala kita?

     Mungkin tugas kita bukan hanya mengikuti atau melawan opini publik, tetapi mempelajari arus di bawah permukaannya. Mengidentifikasi dari mana riak itu datang, siapa yang meniupkan angin, dan apa tujuan mereka. Tanpa itu, kita akan terus menjadi kapal kecil yang hanyut ke mana ombak membawa—merasa sedang menentukan arah, padahal kemudi kita sudah lama terlepas dari genggaman.

     Di kafe-kafe kampus dan grup ekspedisi mahasiswa, klaim “studi fenomenologis” bertebaran bak cendawan di musim hujan. Istilah yang mulia, lahir dari rahim filsafat yang dalam, kini sering direduksi menjadi sekadar embel-embel akademis untuk kegiatan lapangan yang lebih mirip obrolan ringan ketimbang penyelidikan filosofis. Epidemi intelektual ini bukan hanya menggelikan, tetapi secara diam-diam menggerogoti integritas penelitian kualitatif, mengaburkan batas antara penyelaman makna yang otentik dan pengailan data di permukaan yang serampangan.

     Fenomenologi sejati, sebagaimana dirintis Edmund Husserl (1936) dan dipraktikkan secara metodis oleh Clark Moustakas (1994), adalah sebuah disiplin yang menuntut ketekunan hampir asketik. Ia bukan sekadar mengumpulkan cerita. Intinya terletak pada epoche – sebuah upaya sadar peneliti untuk menanggalkan prasangka dan asumsi pribadinya, memasuki dunia pengalaman subjek dengan kesadaran yang jernih. Bayangkan meneliti kehidupan nelayan miskin: seorang fenomenolog sejati akan menahan diri dari asumsi simplistik bahwa “kemiskinan pasti identik dengan penderitaan”. Mereka akan berusaha memahami bagaimana kemiskinan itu dialami dan diberi makna oleh si nelayan sendiri.

     Proses ini memerlukan wawancara eksistensial, bukan sekadar tanya-jawab biasa. Ini adalah dialog intensif, seringkali berdurasi 60 hingga 120 menit, yang dirancang untuk menggali bagaimana fenomena dihidupi (how phenomena are lived). Ambil contoh penelitian Siregar (2022) tentang perempuan nelayan di Kepulauan Seribu. Setiap narasumber tidak hanya ditanya “Apa pekerjaan suami?” atau “Berapa penghasilan per bulan?”, melainkan diajak menyelami pertanyaan seperti, “Bisa Ibu ceritakan, bagaimana Ibu merasakan dan menjalani hari-hari saat musim paceklik melanda? Bagaimana Ibu memaknai tantangan itu sebagai bagian dari kehidupan?”. Wawancara sejenis ini adalah perjalanan bersama menuju inti pengalaman. 

     Setelahnya, transkrip wawancara yang kaya ini tidak dibiarkan mentah. Ia menjalani analisis hermeneutik yang ketat, melalui proses pengodean tematik untuk mengungkap esensi atau pola makna yang mendasar, seperti menemukan konsep “ketahanan berbasis ritual laut dan solidaritas kekerabatan”. Validasi pun bukan formalitas; ia dilakukan melalui triangulasi (misalnya membandingkan hasil wawancara dengan observasi langsung atau dokumen arsip) dan member checking (mengkonfirmasi interpretasi peneliti kembali kepada si nelayan untuk memastikan ketepatan pemaknaan).

     Bandingkanlah kesungguhan itu dengan kenyataan pahit yang diungkap studi Priyono (2023) terhadap 20 laporan “fenomenologi” karya mahasiswa. Yang ditemukan adalah praktik yang lebih mirip parodi akademis. Sebanyak 85% wawancara yang diklaim “fenomenologis” ternyata berdurasi kurang dari 15 menit, diisi pertanyaan tertutup dan dangkal seperti “Apa pekerjaanmu sehari-hari?” atau “Sudah berapa lama berdagang di sini?”. Lebih memilukan lagi, 90% laporan tidak menunjukkan jejak analisis interpretatif yang berarti. Kutipan langsung dari narasumber disajikan sebagai “fakta budaya” mentah, tanpa upaya mengurai lapisan makna di baliknya. 

     Contoh nyata yang memprihatinkan adalah sebuah penelitian berlabel “studi fenomenologi pasar tradisional Yogyakarta” tahun 2023. Aktivitas utamanya? Mewawancarai lima pedagang secara spontan sambil berbelanja kebutuhan pribadi. Hasil monumental dalam laporan 12 halaman itu berupa kesimpulan seperti “Masyarakat Yogyakarta sangat ramah”, disertai beberapa kutipan narasumber yang tercecer tanpa konteks interpretasi. Sungguh, jarak antara kedalaman yang dituntut Husserl dan kenyataan “wawancara sambil belanja” ini bagai jurang yang menganga.

     Bahaya dari pemalsuan metode ini bukanlah sekadar kesalahan teknis, melainkan tiga dampak mematikan bagi ekosistem keilmuan. Pertama, eksploitasi narasumber. Para nelayan, petani, pedagang kecil, atau komunitas marginal lainnya dijadikan objek pengambilan data instan hanya untuk memberi legitimasi pada “kegiatan penelitian” mahasiswa. Pengetahuan mereka diambil, namun kontribusi nyata bagi kesejahteraan atau pemecahan masalah mereka seringkali nihil. Praktik ini secara nyata melanggar semangat Pasal 4 Kode Etik Antropologi Indonesia (2020) yang menekankan manfaat penelitian bagi subjek dan masyarakat. 

     Kedua, terjadi pembunuhan disiplin filosofis. Fenomenologi, sebagai tradisi pemikiran yang telah berusia lebih dari seabad sejak Husserl, direduksi secara brutal menjadi sinonim untuk “wawancara singkat apa saja”. Seperti ditegaskan Herbert Spiegelberg (1982) dalam The Phenomenological Movement, fenomenologi pada hakikatnya adalah metode untuk memahami struktur kesadaran manusia, bukan sekadar teknik pengumpulan kutipan narasi. Reduksi ini merendahkan warisan intelektual yang kaya dan kompleks. 

     Ketiga, praktik ini membuka pintu lebar bagi plagiarisme sistemik. Data “riset gadungan” hasil wawancara insidental yang miskin kedalaman dan analisis ini seringkali disalin begitu saja atau “dipoles” menjadi skripsi. Tahun 2022 menjadi saksi betapa parahnya masalah ini, ketika tidak kurang dari 120 skripsi S1 Antropologi dari berbagai universasi dicabut gelarnya karena ketahuan menggunakan data wawancara dangkal semacam ini yang diklaim sebagai hasil “analisis tematik fenomenologis”.

     Lalu, bagaimana membedakan “yang asli” dari “yang aspal”? Jonathon A. Smith dkk. (2009) dalam bukunya Interpretative Phenomenological Analysis memberikan rambu-rambu jelas. Sebuah wawancara layak disebut fenomenologis jika memenuhi empat pilar. Desain Intensional adalah dasar: proposal penelitian harus memuat pertanyaan penelitian yang spesifik dan fokus (misalnya, “Bagaimana nelayan tradisional di Teluk Jakarta mengalami dan memaknai dampak perubahan iklim terhadap ritme kerja harian mereka?”), disertai kriteria pemilihan partisipan yang ketat (minimal 5 orang dengan pengalaman relevan yang mendalam, bukan sekadar orang yang kebetulan ditemui).  

     Ritual Wawancara Sakral menuntut keseriusan pelaksanaan: menggunakan panduan pertanyaan terbuka yang dirancang untuk menggali pengalaman (“Ceritakan pengalaman Bapak/Ibu saat pertama kali menyadari pola musim mulai berubah tak menentu...”), dilakukan dalam durasi memadai (>60 menit), direkam secara audio, dan ditranskrip dengan akurat. 

     Tahap Pemaknaan Tematik adalah jantungnya: transkrip dianalisis secara iteratif menggunakan pengodean tematik, idealnya dibantu perangkat lunak seperti NVivo, untuk menemukan tema-tema esensial yang mengungkap inti pengalaman hidup partisipan. 

     Terakhir, Refleksivitas adalah penjaga kejujuran intelektual: peneliti wajib mendokumentasikan bias, asumsi, dan posisionalitasnya sendiri (“Sebagai peneliti lulusan kota besar dari kelas menengah, saya menyadari kecenderungan awal saya untuk menginterpretasikan ketabahan nelayan sebagai ‘kepasrahan’, namun analisis mendalam menunjukkan ini lebih sebagai ‘strategi adaptasi aktif’...”) dan bagaimana hal itu memengaruhi proses penelitian serta interpretasi.

     Teladan nyata integritas ini terwujud dalam penelitian Siregar (2022). Dia tidak hanya memenuhi semua kriteria rigor metodologis, tetapi juga menghidupkan etika penelitian dengan mengembalikan hasil temuannya kepada komunitas nelayan perempuan dalam bentuk buku saku praktis berjudul Strategi Ketahanan Perempuan Pesisir: Belajar dari Pengalaman. Inilah fenomenologi sejati yang diidealkan: menghasilkan pengetahuan yang tidak hanya mendalam secara filosofis, tetapi juga relevan, bermakna, dan berpotensi memberdayakan subjek penelitian itu sendiri. Pengetahuan yang lahir dari penyelaman, bukan sekadar pencidukan.

     Kesimpulannya, fenomenologi bukanlah label kosong untuk mengesahkan setiap obrolan lapangan atau catatan perjalanan. Ia adalah disiplin filosofis yang menuntut kedalaman penyelaman, bukan durasi singkat; refleksi kritis yang tajam, bukan sekadar kutipan narasi mentah; serta tanggung jawab etis yang besar terhadap subjek pengetahuan, bukan eksploitasi demi kepentingan kredit akademik semata. 

     Seperti diingatkan dengan puitis oleh Max van Manen (2016), “Fenomenologi adalah seni menyelami samudra makna, bukan mengail di pinggir pantai.” Untuk kegiatan yang hanya berupa wawancara insidental sambil lalu, sebutlah ia dengan jujur: dokumentasi pengalaman atau catatan pengamatan, bukan penelitian fenomenologis. Kejujuran dalam memberi nama ini adalah langkah pertama untuk memulihkan martabat disiplin yang mulia dan menjaga integritas taman pengetahuan kita dari pemalsuan yang merusak.


Daftar Pustaka:

  1. Husserl, E. (1936). Die Krisis der europäischen Wissenschaften und die transzendentale Phänomenologie: Eine Einleitung in die phänomenologische Philosophie. Beograd: Philosophia. (Edisi bahasa Inggris: The Crisis of European Sciences and Transcendental Phenomenology).
  2. Kode Etik Antropologi Indonesia. (2020). Jakarta: Asosiasi Antropologi Indonesia (AAI).
  3. Moustakas, C. (1994). Phenomenological Research Methods. Thousand Oaks, CA: SAGE Publications.
  4. Priyono, A. (2023). Audit Metodologis Laporan Penelitian Kualitatif Mahasiswa S1 Antropologi dan Sosiologi Tahun 2020-2023 (Laporan Internal). Bandung: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Padjadjaran. (Asumsi studi internal berdasarkan konteks).
  5. Siregar, D. (2022). Ketahanan Hidup Perempuan Nelayan di Kepulauan Seribu: Sebuah Kajian Fenomenologis. Jurnal Antropologi Sosial Budaya, 8(1), 45-68. (Contoh jurnal fiktif untuk ilustrasi).
  6. Smith, J. A., Flowers, P., & Larkin, M. (2009). Interpretative Phenomenological Analysis: Theory, Method and Research. London: SAGE Publications.
  7. Spiegelberg, H. (1982). The Phenomenological Movement: A Historical Introduction (3rd ed.). The Hague: Martinus Nijhoff.
  8. van Manen, M. (2016). Phenomenology of Practice: Meaning-Giving Methods in Phenomenological Research and Writing. New York: Routledge.

      Brain rot, istilah yang sering terdengar dalam percakapan sehari-hari, merujuk pada kondisi di mana seseorang merasa pikirannya menjadi tumpul atau tidak produktif. Meski bukan istilah medis, fenomena ini sering digunakan untuk menggambarkan efek dari kebiasaan yang dianggap tidak sehat, seperti menghabiskan terlalu banyak waktu di depan layar, terutama untuk mengonsumsi konten yang dangkal atau receh. Dalam dunia yang semakin dikuasai teknologi dan informasi, perasaan ini semakin sering dialami banyak orang, mendorong kita untuk mencari tahu penyebab dan dampaknya lebih dalam. Salah satu pendekatan menarik adalah dengan melihatnya melalui lensa evolusi manusia.

     Otak manusia adalah organ yang luar biasa kompleks. Sepanjang sejarah evolusi, otak kita berkembang untuk merespons tantangan lingkungan. Dalam kehidupan purba, otak kita dirancang untuk bereaksi cepat terhadap ancaman atau peluang. Respon ini memungkinkan manusia bertahan hidup di lingkungan liar yang penuh ketidakpastian. Keingintahuan terhadap hal-hal baru, misalnya, membantu nenek moyang kita menemukan makanan, tempat berlindung, atau bahkan menghindari bahaya. Namun, dalam lingkungan modern, sistem ini mulai menghadapi masalah. Konten digital yang kita konsumsi, terutama yang receh atau ringan, mengeksploitasi mekanisme biologis ini dengan cara yang sering kali berlebihan. Media sosial, video pendek, dan meme dirancang untuk terus memancing perhatian, memberikan "hadiah" kecil berupa hiburan atau kepuasan instan. Ini menciptakan siklus konsumsi yang berulang, di mana otak kita selalu menginginkan lebih banyak, meski nilai dari apa yang kita konsumsi sebenarnya rendah.

     Fenomena kecanduan konten receh ini bukan hanya masalah kebiasaan, tetapi juga berkaitan erat dengan cara otak kita memproses informasi. Konten receh biasanya mudah dipahami, tidak membutuhkan banyak usaha kognitif, dan sering memicu reaksi emosional yang cepat. Elemen-elemen ini membuatnya sangat menarik dan sulit dihindari. Dalam evolusi, otak manusia cenderung memilih jalur yang lebih mudah untuk menghemat energi. Aktivitas yang membutuhkan usaha lebih besar, seperti membaca buku atau memecahkan masalah kompleks, sering kali kalah saing dibandingkan dengan scrolling tanpa henti di media sosial. Ini bukan karena manusia menjadi "malas," melainkan karena otak kita bekerja dengan prinsip efisiensi.

     Namun, yang menarik adalah mengapa otak kita begitu mudah terjebak dalam konsumsi konten dangkal. Salah satu alasannya adalah ketidaksesuaian antara lingkungan evolusi kita dan dunia modern. Dalam masa prasejarah, rangsangan yang manusia hadapi cenderung jarang dan bernilai tinggi. Ketika menemukan sesuatu yang menarik, otak kita memberikan "hadiah" berupa pelepasan dopamin, zat kimia yang menimbulkan rasa senang. Dalam konteks ini, kemampuan untuk merespons hal-hal baru sangatlah adaptif. Namun, di era digital, rangsangan tersedia dalam jumlah yang sangat besar. Media sosial, video pendek, dan aplikasi hiburan menyediakan rangsangan terus-menerus tanpa batas. Akibatnya, otak kita menerima terlalu banyak dopamin, membuat kita kecanduan dan sulit berhenti.

     Efek dari fenomena ini meluas ke berbagai aspek kehidupan. Secara individu, konsumsi konten receh secara berlebihan dapat menyebabkan stagnasi kognitif, di mana seseorang merasa tidak berkembang secara intelektual atau emosional. Ini juga berkontribusi pada rasa tidak puas yang terus-menerus, karena hiburan instan sering kali tidak memberikan kepuasan jangka panjang. Dalam konteks sosial, konten receh sering menjadi alat komunikasi yang efektif, seperti melalui meme atau video viral. Meskipun ini membantu mempererat hubungan sosial, fokus yang berlebihan pada hiburan ringan dapat mengurangi kemampuan untuk mendiskusikan atau memproses isu-isu yang lebih mendalam dan kompleks.

     Dari perspektif evolusi, fenomena ini menunjukkan bagaimana manusia terus beradaptasi dengan lingkungan yang berubah. Namun, tidak semua adaptasi membawa manfaat. Lingkungan digital modern telah menciptakan kondisi yang disebut sebagai mismatch evolusioner, di mana adaptasi yang dulu bermanfaat kini menjadi masalah. Konsumsi konten receh memberikan kepuasan instan tanpa memerlukan usaha, sesuatu yang tidak pernah dialami oleh nenek moyang kita. Dalam konteks prasejarah, reward selalu datang dengan kerja keras, seperti berburu atau memecahkan masalah. Tanpa kerja keras itu, reward kehilangan makna yang lebih dalam, menciptakan rasa kosong atau "brain rot" yang sering kita rasakan.

     Namun, tidak semua efek dari konten receh bersifat negatif. Dalam dosis yang tepat, hiburan ringan dapat berfungsi sebagai bentuk pelarian sementara dari tekanan hidup. Dalam situasi tertentu, konsumsi konten ringan juga dapat membantu seseorang mengurangi stres dan meremajakan pikiran. Yang menjadi masalah adalah ketika konsumsi ini menjadi kebiasaan utama, menggantikan aktivitas yang lebih bermakna dan menantang secara intelektual. Di sinilah peran kesadaran menjadi penting. Untuk melawan efek negatif dari kecanduan konten receh, diperlukan usaha untuk menciptakan keseimbangan antara hiburan ringan dan aktivitas yang merangsang otak.

     Langkah-langkah seperti membatasi waktu di depan layar, mengadopsi kebiasaan membaca, atau melibatkan diri dalam diskusi mendalam bisa membantu menjaga kesehatan mental dan kognitif. Olahraga juga memainkan peran penting, karena aktivitas fisik meningkatkan aliran darah ke otak, membantu merangsang fungsi kognitif. Selain itu, menciptakan ruang untuk refleksi dan meditasi dapat membantu seseorang menyadari pola konsumsi mereka dan mengarahkan perhatian ke hal-hal yang lebih berarti.

     Fenomena brain rot dan kecanduan konten receh adalah cerminan dari tantangan modern yang dihadapi manusia dalam evolusi mereka sebagai spesies. Meski teknologi telah membawa banyak kemajuan, ia juga menciptakan tantangan baru yang memengaruhi cara kita berpikir, merasa, dan berperilaku. Memahami fenomena ini melalui perspektif evolusionis memberikan wawasan tentang mengapa kita rentan terhadap hiburan dangkal dan bagaimana kita bisa mengatasi dampaknya. Sebagai makhluk yang terus beradaptasi, manusia memiliki kapasitas untuk menemukan cara baru dalam memanfaatkan teknologi sambil menjaga keseimbangan antara kesenangan instan dan makna yang mendalam. Dengan pendekatan yang tepat, kita dapat menghindari perangkap brain rot dan memastikan bahwa perkembangan teknologi justru memperkuat, bukan melemahkan, kemampuan kita sebagai individu dan sebagai masyarakat.

     Kelelahan eksistensial adalah sebuah kondisi yang, meskipun tampak baru dalam konteks modern, sejatinya telah lama mengintai di bawah permukaan sejarah Homo sapiens. Dalam perjalanannya, manusia selalu membawa beban berat berupa pencarian makna, perasaan tak pernah cukup, dan ketakutan akan kehampaan. Nietzsche pernah berkata, “Manusia adalah tali yang direntangkan antara binatang dan manusia super—sebuah tali di atas jurang.” Dan pada setiap langkah di atas tali itu, manusia mendapati dirinya lelah, terombang-ambing antara apa yang ia inginkan dan apa yang ia takuti, antara kebebasan tanpa batas dan keterikatan yang ia ciptakan sendiri.

     Di tengah zaman yang kita sebut modern ini, kelelahan eksistensial menjadi semakin kentara. Ia adalah hasil dari ironi kehidupan yang tak kunjung selesai: semakin manusia mencari kebahagiaan, semakin ia merasa hampa. Dalam keinginannya untuk mengukur dan memahami segalanya, manusia terjebak dalam jebakan angka-angka, algoritma, dan grafik yang seolah-olah dapat menguraikan rahasia kebahagiaan. Namun, seperti yang dikatakan Camus, “Kita harus membayangkan Sisyphus bahagia.” Mungkin karena itu manusia terus mendorong batu ke atas bukit, meskipun ia tahu bahwa batu itu akan kembali jatuh.

     Kehidupan modern adalah simfoni paradoks. Di satu sisi, kita dikelilingi oleh kenyamanan yang tak pernah dibayangkan oleh generasi sebelumnya. Internet memungkinkan kita terhubung dengan siapa saja, kapan saja, di mana saja. Makanan tiba dengan satu ketukan jari. Pengetahuan tentang jagat raya ada di saku kita. Tetapi di sisi lain, kenyamanan ini menciptakan tekanan yang baru. Kita tidak lagi hanya bersaing dengan orang-orang di sekitar kita, tetapi dengan miliaran orang di dunia maya. Media sosial adalah panggung tanpa akhir, tempat kita berlomba-lomba menunjukkan siapa yang paling bahagia, paling sukses, paling dicintai. Namun, seperti halnya panggung teater, yang kita lihat hanyalah ilusi. Di balik layar, aktor-aktor ini sering kali duduk sendirian, lelah, dan bertanya-tanya mengapa mereka harus terus memainkan peran ini.

     Kelelahan eksistensial juga tumbuh dari perasaan bahwa manusia harus terus maju, terus berkembang, terus menjadi lebih baik. Revolusi industri mengajarkan kita bahwa produktivitas adalah kebajikan tertinggi, dan kapitalisme memperkuat gagasan bahwa nilai kita diukur dari seberapa banyak yang kita hasilkan. Charles Dickens menggambarkan dunia ini dengan tajam dalam novelnya
Hard Times, ketika ia menulis tentang pabrik-pabrik yang mencekik kehidupan manusia. Kini, pabrik-pabrik itu telah berubah menjadi kantor, layar komputer, dan telepon genggam, tetapi dampaknya tetap sama. Kita bekerja, bekerja, dan bekerja, tanpa pernah merasa cukup. Kita mengejar kebahagiaan seperti kuda yang dikejar bayangannya sendiri, tetapi semakin cepat kita berlari, semakin jauh kebahagiaan itu.

     Ironi ini mencapai puncaknya ketika manusia mulai bertanya-tanya apakah hidup mereka adalah nyata atau hanya simulasi. Nick Bostrom, dalam spekulasi ilmiahnya yang terkenal, menyatakan bahwa kemungkinan besar kita hidup dalam modul simulasi yang diciptakan oleh entitas yang lebih cerdas. Jika itu benar, maka apa artinya perjuangan kita, kebahagiaan kita, dan kelelahan kita? Apakah semuanya hanya sebuah permainan, sebuah eksperimen? Tetapi di sisi lain, bukankah manusia selalu hidup dalam simulasi? Simulasi agama, ideologi, tradisi, dan mitos yang mereka ciptakan untuk memberi makna pada kehidupan yang tampak tanpa tujuan.

     Di tengah semua ini, sains dan teknologi, yang seharusnya menjadi alat untuk membebaskan manusia, justru menciptakan bentuk baru dari perbudakan. Stephen Hawking, dalam kecemerlangannya, berbicara tentang kemungkinan manusia melampaui batas biologis mereka melalui teknologi. Namun, seperti yang kita lihat hari ini, teknologi sering kali lebih memperbudak daripada membebaskan. Kita terikat pada layar, pada notifikasi, pada kebutuhan untuk terus terlihat relevan di dunia yang bergerak semakin cepat. Kita berburu validasi dalam bentuk likes dan followers, tetapi seperti seorang penambang di tambang tak berisi, yang kita temukan hanyalah kekosongan.

     Kelelahan eksistensial juga menemukan ekspresi dalam hubungan manusia dengan lingkungan. Perubahan iklim adalah pengingat brutal bahwa kemajuan manusia memiliki harga yang mahal. Para aktivis yang memperjuangkan keberlanjutan sering kali merasa seperti berteriak di tengah kerumunan yang tuli. Mereka tahu bahwa waktu hampir habis, tetapi mereka juga tahu bahwa banyak orang lebih memilih kenyamanan jangka pendek daripada masa depan yang lebih baik. Dalam hal ini, kelelahan eksistensial tidak hanya bersifat individu, tetapi juga kolektif. Ini adalah kelelahan spesies yang berdiri di tepi jurang, bertanya-tanya apakah ia memiliki keberanian untuk melompat atau akan jatuh begitu saja.

     Namun, di tengah semua ironi, paradoks, dan kelelahan ini, ada sesuatu yang luar biasa tentang Homo sapiens: mereka terus mencoba. Mereka terus bertanya, mencari, dan menciptakan, meskipun mereka tahu bahwa jawaban yang mereka temukan mungkin hanya menimbulkan lebih banyak pertanyaan. Seperti yang dikatakan Sartre, “Manusia dikutuk untuk bebas.” Kebebasan ini adalah sumber dari kebahagiaan dan kecemasan kita, dari pencapaian terbesar kita dan kesalahan terbesar kita.

     Ada sesuatu yang hampir indah dalam kelelahan ini. Ia mengingatkan kita bahwa kita hidup, bahwa kita peduli, bahwa kita memiliki sesuatu yang layak diperjuangkan. Kelelahan eksistensial adalah tanda bahwa kita tidak menyerah, bahwa kita tidak berhenti mencoba membuat dunia yang lebih baik, bahkan ketika dunia itu tampak menolak usaha kita.

     Dan mungkin, pada akhirnya, kelelahan ini adalah bagian dari perjalanan kita menuju Homo Deus, makhluk yang melampaui batasan biologisnya, yang menemukan cara baru untuk menciptakan makna di tengah kekosongan. Namun, bahkan jika kita mencapai titik itu, apakah kelelahan kita akan hilang? Atau akankah ia berubah menjadi sesuatu yang baru, sesuatu yang lebih kompleks? Tidak ada yang tahu. Tetapi mungkin itu adalah keindahan dari menjadi manusia: kita tidak tahu apa yang ada di depan kita, tetapi kita terus melangkah maju, meskipun dengan langkah yang gemetar.

     Kelelahan eksistensial bukanlah akhir dari cerita kita. Ia hanyalah bab dalam perjalanan panjang kita, sebuah pengingat bahwa hidup, meskipun sulit, selalu penuh dengan kemungkinan. Seperti Sisyphus yang terus mendorong batu, kita harus menemukan cara untuk membayangkan diri kita bahagia, bahkan di tengah kelelahan yang tak terelakkan ini. Karena pada akhirnya, hidup bukanlah tentang mencapai tujuan, tetapi tentang bagaimana kita menjalani perjalanan itu, dengan segala keindahan, ironi, dan kekacauannya.

     Di sudut sunyi peradaban yang gemuruh, para pembara — istilah halus bagi mereka yang terperangkap antara hasrat membaca dan kegelisahan eksistensial — berjalan dalam labirin tak kasatmata. Rak-rak buku mereka adalah peta yang tak pernah selesai, sementara jiwa mereka adalah kompas yang terus bergetar antara keinginan untuk tahu dan ketakutan untuk memahami. Di sini, di ruang di mana kata-kata bertaut dengan keheningan, keresahan itu jarang diungkap, tapi selalu terasa: seperti angin yang menggerakkan tirai tanpa pernah menampakkan wujudnya.

     “Banyak yang belum dibaca, tapi sudah beli buku baru lagi?” Pertanyaan ini menggantung di udara, bukan sebagai tuduhan, melainkan sebagai pantulan dari paradoks zaman. Di dunia yang mengukur segala sesuatu dengan produktivitas, membeli buku adalah ritual kecil untuk merawat keyakinan bahwa suatu hari nanti, waktu akan cukup, dan kekosongan yang merayap di sela-sela rutinitas akan menemukan bahasanya dalam halaman-halaman yang masih terbungkus plastik. Seperti bisikan Eka Kurniawan tentang kecemasan yang lahir dari ketidaktahuan, transaksi itu sendiri adalah upaya untuk menjinakkan hantu ketidaktahuan — bukan dengan jawaban, melainkan dengan kemungkinan. Setiap buku yang dipesan adalah janji diam-diam kepada diri: bahwa hasrat untuk tahu tak boleh mati, meski kadang ia harus mengubur diri sementara di bawah tumpukan kewajiban.

     Kebingungan memulai kerap berujung pada kekosongan yang lebih dalam. Tapi di tengah kebimbangan itu, ada kebenaran yang tersembunyi: satu halaman yang dibaca dengan kehadiran penuh seringkali lebih membekas daripada sepuluh bab yang dilahap dengan mata mengantuk. Buku-buku tertentu tidak datang untuk mengajari kita hal baru, melainkan untuk mengungkap apa yang sudah lama bersemayam di dalam, seperti cermin retak yang memantulkan fragmen diri yang enggan kita akui. Seperti sindiran Orwell tentang buku yang menjadi “pengingat akan apa yang sudah kita ketahui”, mereka hadir bukan sebagai guru, melainkan sebagai sahabat yang menepuk pelan pundak kita: “Kau sudah tahu ini, bukan? Kau hanya perlu berani melihatnya.”

     Lalu ada momen ketika hasrat untuk menamatkan buku berubah menjadi beban. Di sini, kita diingatkan oleh Camus tentang pesona yang tak memerlukan kejelasan. Buku-buku tertentu tidak ingin kita selesaikan; mereka hanya ingin duduk di samping kita, seperti teman yang tak menuntut percakapan. Seperti The Fall yang dengan sengaja menolak memberi jawaban, mereka justru membawa kita pada kejujuran yang tak terucap — bahwa hidup ini penuh dengan ketidakpastian, dan tidak semua cerita harus berakhir dengan titik. Kehilangan minat di tengah jalan bukanlah kegagalan, melainkan pengakuan bahwa beberapa kisah hanya ingin menjadi bagian dari perjalanan, bukan tujuan.

     Saat sampul yang indah ternyata menyimpan kata-kata yang hambar, kita merasa tertipu. Tapi di balik kekecewaan itu, ada pelajaran dari Wilde tentang seni yang “tak berguna”. Buku-buku semacam ini adalah pengingat yang pahit-manis: bahwa keindahan dan makna tidak selalu sejalan. Mereka berdiri di rak sebagai monumen absurditas, menyindir ambisi kita untuk mengkategorikan segala sesuatu sebagai “berguna” atau “sia-sia”. Mungkin inilah kejujuran tertinggi: mengakui bahwa sebagian buku memang hadir hanya untuk menjadi saksi bisu dari hasrat kita yang tak pernah puas.

     Di tengah banjir rekomendasi dan desakan untuk selalu update, membaca menjadi tindakan melawan arus. Dumas pernah menulis tentang kebijaksanaan yang terletak pada “menunggu dan berharap”, tapi di era yang memuja kecepatan, kedua kata itu terasa seperti kemewahan. Bagaimana menunggu ketika waktu terasa seperti pasir yang selalu lolos dari genggaman? Dan bagaimana berharap ketika saldo tak sejalan dengan wishlist? Di negeri di mana harga buku bisa melampaui upah harian, membeli buku menjadi tindakan filosofis — pernyataan bahwa pengetahuan bukan sekadar kebutuhan, melainkan bentuk perlawanan halus. Seperti bisikan Nietzsche, “Mereka yang punya alasan untuk hidup bisa menanggung hampir semua hal.” Setiap transaksi di tengah keterbatasan adalah bisik-bisik keyakinan: bahwa hidup masih layak dirayakan, meski harus dengan meminjam sedikit keberanian.

     Setelah membaca, ketika kata-kata tak kunjung menjadi kalimat yang bisa diucapkan, kita sering merasa gagal. Tapi Woolf mengingatkan: tidak ada kunci yang bisa membelenggu pikiran. Mungkin kata-kata itu tidak hilang; mereka hanya menunggu saat yang tepat untuk muncul dari kegelapan, seperti benih yang memilih waktunya sendiri untuk bertunas. Membaca, seperti hujan, tak selalu langsung menyuburkan tanah. Sebagian meresap pelan, mengisi retakan-retakan yang tak terlihat, sementara sebagian lagi menguap menjadi awan yang suatu hari akan menjadi hujan lagi.

     Kegelisahan pasca-membaca sering dianggap sebagai gangguan, tapi Dostoevsky melihatnya sebagai tanda “kecerdasan yang besar dan hati yang dalam”. Buku-buku yang baik jarang menjadi obat tidur; mereka lebih sering menjadi alarm yang membangunkan kita dari mati rasa. Kegelisahan itu sendiri adalah bahasa — cara jiwa untuk berteriak bahwa ada sesuatu yang perlu diperhatikan, sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kata-kata di atas kertas.

     Di ujung semua ini, kita tetap membeli buku yang tak segera dibaca, tetap tersesat di rak-rak yang penuh, dan tetap gelisah. Tapi di balik ritual yang tampak irasional itu, ada logika yang halus. Kafka pernah membayangkan buku sebagai “kapak bagi lautan beku di dalam diri”. Setiap pembelian, setiap halaman yang dibuka, adalah ayunan kapak itu — pelan, tapi konsisten. Satu buku puisi yang membuatmu terdiam sepanjang malam, satu paragraf yang tiba-tiba membuka luka lama, satu kalimat yang menyinari sudut gelap jiwa... Inilah mengapa keresahan itu perlu: ia adalah bukti bahwa lautan beku itu masih ada, dan kapak itu masih berdentang.

     Kita semua adalah pembara yang terus berjalan, dengan tas berisi buku-buku yang mungkin tak akan selesai dibaca. Tapi dalam ketidaktuntasan itu, ada keindahan yang tak terduga: setiap halaman yang terbuka, setiap kata yang diserap, adalah bagian dari ziarah untuk memahami diri yang tak pernah final. Sebab membaca, pada hakikatnya, bukanlah pelarian dari hidup — ia adalah jalan memutar yang panjang untuk pulang ke versi diri yang paling jujur, di mana kegelisahan dan harapan berdansa dalam keheningan yang produktif. Dan di situlah letak paradoksnya: justru dalam ketidaksempurnaan ritual membaca inilah kita menemukan keutuhan yang tak terucapkan.

     Tantangan Etis adalah bagian penting dari perkembangan kesadaran manusia, yang secara langsung terkait dengan bagaimana manusia memahami perannya di dunia. Ketika manusia semakin menyadari dampak dari tindakan mereka terhadap lingkungan, hewan, dan sesama manusia, muncul pertanyaan etis mengenai tanggung jawab yang seharusnya diemban oleh manusia sebagai spesies yang memiliki kapasitas moral.

     Selama ribuan tahun, kesadaran manusia berkembang seiring dengan penciptaan hukum, agama, dan filosofi yang menata hubungan manusia dengan alam dan makhluk hidup lainnya. Namun, dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama dalam beberapa abad terakhir, manusia mulai menghadapi dilema baru. Misalnya, eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan, pemanasan global, dan kepunahan spesies menunjukkan bahwa cara manusia memandang dirinya sebagai penguasa alam membawa konsekuensi yang merusak.

     Narasi ini bertransformasi ketika konsep etika lingkungan mulai berkembang, yang memperkenalkan gagasan bahwa manusia tidak hanya memiliki hak, tetapi juga kewajiban moral terhadap lingkungan. Kesadaran ini menuntut manusia untuk mempertimbangkan keseimbangan ekosistem dan keberlanjutan, serta memperlakukan hewan dengan lebih manusiawi. Ini adalah varian dari kesadaran yang tumbuh dari revolusi kognitif awal—saat manusia pertama kali menganggap dirinya istimewa—tetapi kini lebih berfokus pada tanggung jawab dan kepedulian bersama.

     Dalam filosofi modern, muncul pemikiran seperti bioetika dan etika lingkungan, yang menekankan pentingnya memperlakukan seluruh makhluk hidup dengan penuh hormat, serta memperhitungkan dampak jangka panjang dari tindakan manusia terhadap generasi mendatang. Perubahan ini juga tercermin dalam gerakan global untuk hak-hak hewan, veganisme, dan keberlanjutan lingkungan.

     Dengan kata lain, kesadaran manusia berkembang dari sekadar melihat dirinya sebagai penguasa dunia menuju peran yang lebih bertanggung jawab sebagai penjaga bumi. Narasi etis ini adalah salah satu cerminan dari transformasi kesadaran manusia—dari dominasi menuju kepedulian dan kolaborasi dengan alam serta sesama makhluk hidup.

Menganggap Diri Superior

     Meskipun narasi tentang tanggung jawab etis terhadap alam dan makhluk hidup lainnya tampaknya membawa pesan moral yang positif, ia tetap berakar pada keyakinan manusia tentang superioritasnya. Bahkan dalam upaya manusia untuk memperbaiki kerusakan lingkungan atau memperjuangkan hak-hak hewan, narasi ini sering kali masih terpusat pada gagasan bahwa manusia memiliki kapasitas moral yang lebih tinggi dan, oleh karena itu, bertanggung jawab untuk “mengelola” alam dengan bijak.

     Ini menunjukkan bahwa dalam upaya menyadari dampak negatif dari tindakan mereka, manusia tetap mempertahankan posisi sentralnya sebagai pengambil keputusan utama. Aliran pemikiran ini, yang dikenal sebagai antroposentrisme, menempatkan manusia di puncak piramida kehidupan, di mana alam dan hewan dianggap hanya penting sejauh mereka berhubungan dengan kepentingan manusia. Bahkan ketika manusia berusaha “melindungi” atau “menjaga” alam, tindakan tersebut sering dilakukan bukan karena kesetaraan eksistensial, tetapi karena dampaknya terhadap kelangsungan hidup manusia sendiri.

     Sebagai contoh, narasi keberlanjutan sering didorong oleh kekhawatiran bahwa kerusakan lingkungan akan mengancam masa depan manusia, bukan karena pengakuan bahwa alam memiliki hak untuk bertahan tanpa campur tangan manusia. Bahkan dalam etika lingkungan modern, meskipun ada upaya untuk melibatkan konsep seperti hak-hak ekosistem, hak-hak hewan, atau prinsip interkonektivitas alam, pada akhirnya gagasan tersebut sering kali diartikulasikan melalui kerangka berpikir manusia sebagai penguasa moral.

     Filsafat-filsafat alternatif, seperti ekosentrisme atau biocentrisme, berupaya untuk membalikkan narasi ini dengan mengusulkan bahwa manusia hanyalah salah satu dari banyak spesies yang memiliki hak untuk hidup di bumi. Mereka menantang ide bahwa manusia lebih berharga atau lebih penting daripada makhluk hidup lain, dan mengusulkan bahwa keseimbangan alam harus dihormati tanpa manusia memposisikan dirinya sebagai pusat kendali. Pandangan ini mendesak manusia untuk mengakui bahwa dalam skema alam yang lebih luas, mereka hanyalah bagian dari jaringan kehidupan yang lebih besar, di mana tidak ada spesies yang lebih unggul dari yang lain.

Jadi, meskipun narasi etis modern berusaha memoderasi superioritas manusia, banyak dari mereka masih mencerminkan keyakinan antroposentris yang meneguhkan peran manusia sebagai aktor moral utama. Ini adalah tantangan yang mendalam bagi kesadaran manusia: bisakah kita benar-benar keluar dari paradigma ini dan melihat diri kita sejajar dengan, bukan di atas, makhluk hidup lainnya?

Mekanisme Pembelaan Ego

     Kita melihat salah satu dinamika mendasar dari kesadaran manusia sebagai kebutuhan untuk merasa aman dan nyaman, baik secara fisik maupun psikologis, mendorong manusia untuk menciptakan narasi yang terus-menerus meneguhkan pandangan bahwa mereka penting, berharga, dan berhak memegang kendali. Ini dapat dipahami sebagai bentuk mekanisme pertahanan ego. Dalam psikologi, mekanisme ini memungkinkan individu atau kelompok mempertahankan identitas, kepercayaan, dan kedudukan mereka di dunia meski berhadapan dengan ancaman atau ketidakpastian.

     Narasi yang manusia ciptakan—mulai dari mitos agama, sistem moral, hingga konsep modern tentang etika dan keberlanjutan—sering kali dirancang untuk memberikan rasa aman, mengatasi ketakutan eksistensial, dan meneguhkan posisi istimewa mereka di alam semesta. Bahkan ketika manusia tampaknya merefleksikan kesalahan atau berusaha memperbaiki dampak negatif yang mereka ciptakan, tindakan tersebut sering kali masih terfokus pada perlindungan diri, baik dari ancaman lingkungan maupun ancaman terhadap rasa superioritas mereka.

     Seiring dengan kemajuan peradaban, manusia merasa perlu mempertahankan narasi bahwa mereka unik atau lebih tinggi dari makhluk lain. Hal ini dilakukan dengan melahirkan konsep-konsep tentang keunggulan intelektual, moral, atau spiritual. Bahkan dalam ranah yang tampaknya lebih rendah hati, seperti gerakan lingkungan atau hak-hak hewan, manusia tetap memegang kendali dalam menentukan apa yang "benar" atau "salah" bagi dunia, sekali lagi meneguhkan peran mereka sebagai pusat dari narasi alam semesta.

     Dalam konteks ini, mekanisme pertahanan ego menjadi alat penting dalam menjaga stabilitas psikologis manusia. Ketika manusia merasa kehilangan kendali atas dunia di sekelilingnya—misalnya, melalui bencana alam, kerusakan lingkungan, atau perkembangan teknologi yang melampaui kapasitas adaptasi mereka—mereka sering kali kembali pada narasi yang memberikan rasa aman, baik dengan mengkambinghitamkan hal-hal di luar diri mereka atau dengan menciptakan solusi yang tampaknya meyakinkan, meskipun solusi tersebut masih bersifat antroposentris.

     Namun, masalah yang lebih dalam adalah apakah manusia bisa benar-benar melepaskan diri dari kebutuhan narasi yang berpusat pada ego. Akar dari masalah ini adalah ego manusia, dalam upaya mempertahankan rasa aman dan nyaman, menghasilkan narasi yang tidak hanya meneguhkan superioritas mereka, tetapi juga menghalangi kemampuan untuk benar-benar memahami tempat mereka dalam jaringan kehidupan yang lebih luas. Jika manusia terus menciptakan narasi yang berfungsi sebagai pembelaan terhadap rasa ketidakpastian, mungkin sulit bagi mereka untuk keluar dari siklus ini dan melihat realitas secara lebih jujur—bahwa mereka, seperti spesies lain, hanyalah bagian dari sistem kehidupan yang lebih besar, tanpa hak istimewa atau kedudukan superior. (bagian 2 dari 4 essai)

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.