Polisi Tidur dan Mimpi Buruk Kesadaran Sosial
Polisi tidur, dalam konteks lalu lintas, seharusnya menjadi elemen pengendali kecepatan yang dirancang berdasarkan perhitungan teknis dan kajian keselamatan. Namun di Indonesia, istilah ini telah mengalami transformasi yang liar: dari fitur keselamatan menjadi simbol keputusasaan sosial dan ilusi kontrol masyarakat terhadap ruang yang mereka anggap milik mereka. Di lorong-lorong kecil, perumahan elit, bahkan di ruas jalan raya yang vital, polisi tidur muncul seperti jamur selepas hujan—tanpa standar, tanpa izin, dan seringkali tanpa pertimbangan logis.
Fenomena ini bukan sekadar tentang balok aspal yang melintang. Ia adalah manifestasi dari kekosongan regulasi yang ditegakkan, pendidikan sosial yang timpang, serta kegagalan kolektif untuk membedakan antara ruang publik dan ruang pribadi. Polisi tidur yang dibangun seenaknya adalah upaya menciptakan rasa aman secara instan, meski ilusi itu hanya menutupi ketidakmampuan masyarakat untuk membentuk perilaku tertib secara sadar.
Motivasi yang sering terdengar dari pembuat polisi tidur lokal adalah: "Agar pengendara tidak kebut-kebutan." Pernyataan ini, meskipun terdengar masuk akal, menyimpan ironi yang getir. Dalam banyak kasus, yang melakukan kebut-kebutan justru anak-anak mereka sendiri—berumur 8 hingga 12 tahun—yang seharusnya belum memiliki SIM, belum matang secara emosi, dan belum memahami tata tertib lalu lintas. Lalu, mengapa mereka diizinkan mengendarai motor?
Ada beberapa kemungkinan: keinginan orang tua untuk memamerkan kemandirian anak, semangat kompetitif sosial yang keliru, atau memang tidak adanya pemahaman hukum yang memadai. Lebih dari itu, membiarkan anak-anak kecil mengendarai motor di usia dini justru menciptakan kebiasaan pelanggaran hukum yang dianggap sebagai kewajaran. Perlahan-lahan, pelanggaran itu diterima sebagai kebenaran sosial.
Hal ini berkontribusi pada terbentuknya kecerdasan emosional yang tidak produktif. Anak tumbuh dengan rasa kepercayaan diri palsu dalam melanggar hukum, yang akan ia bawa hingga dewasa, bahkan saat ia sudah memiliki SIM atau nanti membesarkan anak-anaknya sendiri. Dalam kerangka psikologis, pola ini dapat melunturkan altruisme dan memperkuat kecenderungan psikopatik ringan—yakni mengabaikan keselamatan orang lain demi kebebasan atau kenyamanan pribadi.
Di titik inilah, polisi tidur menjadi simbol dari delusi kolektif: kita merasa telah menyelesaikan masalah hanya dengan menambal permukaan. Padahal, yang terjadi adalah penguatan budaya pengabaian akar masalah. Tidak ada upaya serius mendidik anak-anak untuk menjadi pengguna jalan yang bertanggung jawab, tidak ada penegakan hukum terhadap pelanggaran usia dan izin berkendara, dan tidak ada refleksi bahwa solusi struktural jauh lebih penting daripada reaksi spontan.
Dari sudut pandang psikologi sosial, fenomena ini dapat dikaitkan dengan apa yang disebut sebagai illusion of control (Langer, 1975)—sebuah kondisi di mana individu atau kelompok merasa memiliki kendali terhadap situasi yang sebenarnya berada di luar jangkauan rasional mereka. Dengan membangun polisi tidur, warga merasa telah melakukan sesuatu. Mereka merasa memiliki kuasa atas lorongnya, kendali atas keselamatan keluarganya, padahal yang dilakukan justru merusak alur sistemik dan seringkali membahayakan pengguna jalan lain.
Dalam sosiologi, ini juga berkaitan dengan kegagalan negara dalam menyosialisasikan hukum sebagai milik bersama. Ketika hukum formal terasa jauh, masyarakat membentuk hukum informal yang sesuai dengan nalarnya sendiri. Hukum informal ini tidak selalu buruk, tetapi ketika ia bertentangan dengan prinsip-prinsip keselamatan dan logika teknis, maka ia berubah menjadi penghambat kemajuan.
Kajian dari Jurusan Teknik Sipil Universitas Diponegoro (2018) mencatat bahwa sebagian besar polisi tidur di perumahan dan jalan lokal di Semarang tidak memenuhi standar ketinggian dan kemiringan sesuai Permenhub No. 82 Tahun 2018. Menurut aturan ini, polisi tidur untuk jalan lingkungan memiliki tinggi maksimal 8 cm dengan kemiringan 15%, sedangkan untuk jalan lokal maksimum 10 cm dengan lebar landai yang cukup untuk menjaga kenyamanan. Akibat ketidaksesuaian tersebut, banyak terjadi kerusakan pada suspensi kendaraan, kecelakaan ringan, dan keluhan warga terhadap ketidaknyamanan berkendara. Ini menunjukkan bahwa dampaknya tidak hanya simbolik, tapi juga fisik dan ekonomi.
Ironisnya, semakin dekat kita pada wilayah yang seharusnya menjadi contoh ketertiban dan kepatuhan hukum, fenomena ini justru makin parah. Di sekitar markas tentara, kantor polisi, sekolah kedinasan, bahkan di kompleks yang menyandang nama-nama seperti "kompleks karyawan perhubungan," polisi tidur tumbuh dalam ukuran yang tidak wajar—tingginya bisa menyerupai tanggul penahan banjir. Di satu jalan raya dengan panjang kurang dari satu kilometer yang membelah kompleks semacam itu, bisa ditemukan hingga 11 polisi tidur. Ini bukan lagi soal pengendalian kecepatan, tapi menjadi representasi berlapis dari kekuasaan simbolik dan dominasi atas ruang bersama.
Lebih jauh, fenomena ini juga menyiratkan fragmentasi spasial kota. Ruang-ruang publik direkonstruksi menjadi ruang semi-pribadi melalui tindakan warga yang merasa berhak atas kontrolnya. Dalam hal ini, kota menjadi bukan lagi milik bersama, melainkan milik siapa yang paling berani membangun sesuatu—dalam hal ini, polisi tidur.
Penyelesaian terhadap persoalan ini tentu bukan dengan membongkar satu per satu polisi tidur liar, meskipun secara hukum itu bisa dan harus dilakukan. Penyelesaian sejati terletak pada dua hal: penegakan hukum yang tegas namun mendidik, dan pembangunan kesadaran kolektif melalui pendidikan sosial yang berkelanjutan. Masyarakat harus diajak untuk memahami bahwa keselamatan jalan tidak bisa dicapai dengan menciptakan rintangan acak, tetapi dengan membentuk budaya tertib dan menghormati aturan.
Dalam konteks yang lebih luas, polisi tidur adalah tanda. Tanda bahwa masih banyak warga yang hidup dalam kondisi antara percaya pada hukum dan putus asa terhadap sistem. Mereka ingin aman, tapi tidak tahu cara yang benar untuk mencapainya. Mereka ingin anak-anak mereka selamat, tapi tidak siap menghadapi kenyataan bahwa merekalah yang memberi akses pada pelanggaran itu sendiri.
Polisi tidur adalah mimpi buruk dari impian akan keteraturan. Ia tampak seperti solusi, tapi menyimpan masalah. Ia seolah hadir untuk menyelamatkan, tapi seringkali menjerumuskan. Dan selama kita masih menaruh harapan pada beton-beton kecil itu untuk menyelesaikan persoalan besar, mungkin kita belum benar-benar bangun dari tidur panjang kita sebagai masyarakat yang bermimpi menjadi tertib tanpa belajar menjadi tertib.