Articles by "Psikologi"

Tampilkan postingan dengan label Psikologi. Tampilkan semua postingan

     Ada momen aneh ketika berdiri di puncak gunung: tubuh yang ringkih, paru-paru yang megap-megap, kaki yang gemetar, justru menjadi saat ketika rasa keberadaan terasa paling penuh. Semakin kecil manusia di hadapan alam, semakin besar kesadaran akan eksistensinya. Sebuah ironi yang menohok: keterbatasan justru melahirkan keluasan, kefanaan justru menyentuh keabadian.

     Gunung adalah altar yang menelanjangi ilusi manusia tentang kuasa. Semua teknologi yang dibawa, semua rencana, semua perhitungan bisa runtuh hanya oleh kabut yang turun terlalu cepat atau badai yang tak kunjung reda. Di hadapan langit yang terlalu luas dan tanah yang terlalu tua, manusia hanyalah percikan singkat, setetes debu di arus kosmik. Namun justru di situ, dalam kerendahan mutlak, muncul kebesaran rasa: aku ada. Aku kecil, tapi aku menyaksikan. Aku fana, tapi aku merasakan. Aku terbatas, tapi aku tahu keterbatasan itu. Kesadaran kecil ini, entah mengapa, menyingkap sesuatu yang lebih besar dari diri sendiri.

     Banyak orang mencari keheningan di gunung. Tetapi ironinya, keheningan justru membuka kebisingan batin. Begitu suara dunia hilang, suara dalam kepala menggema lebih keras. Pikiran yang disangka sudah jinak ternyata liar. Kenangan yang dikira telah usai ternyata berulang. Gunung tidak memberi ketenangan begitu saja, ia malah menyingkapkan betapa bisingnya manusia di dalam. Dan hanya dengan melewati kebisingan itu, barulah keheningan sejati bisa disentuh. Seperti menembus kabut: harus tersesat dulu sebelum langit biru kembali terlihat.

     Ada pula kontradiksi kebebasan. Manusia mendaki dengan perasaan bebas, ingin lepas dari rutinitas, dari jerat kota, dari segala kewajiban. Tetapi di gunung, kebebasan justru berarti tunduk. Tunduk pada cuaca, pada jalur, pada ritme alam. Tidak bisa mendikte kapan hujan berhenti atau kapan matahari terbit. Kebebasan mutlak ternyata hanya mungkin jika manusia rela tunduk mutlak. Dan anehnya, justru di saat menyerah pada hukum alam, manusia merasa paling bebas. Bukankah itu absurd? Bahwa ketaatan justru melahirkan kebebasan?

     Dan mungkin yang paling getir ketika banyak orang mendaki untuk mencari Tuhan di puncak, tetapi sering kali justru menemukannya di lembah. Di puncak, langit memang dekat, cakrawala terbuka, tetapi waktunya sebentar, hanya sesaat. Justru ketika turun, ketika tubuh lelah, ketika kabut menutup jalan, ketika hujan menampar wajah, saat itulah manusia merasakan sesuatu yang melampaui diri. Seolah Yang Maha Tinggi tidak bersemayam di ketinggian, melainkan di jalan berdebu, di langkah yang tertatih, di air yang dibagi, di api kecil yang menyelamatkan malam. Puncak hanyalah simbol, yang sejati justru tersembunyi dalam perjalanan.

     Paradoks spiritual-metafisis ini bukan sekadar permenungan di gunung. Ia adalah gambaran absurd dari hidup itu sendiri. Semakin manusia mengejar abadi, semakin sadar akan fana. Semakin mencari makna, semakin berjumpa dengan absurditas. Semakin ingin bebas, semakin harus tunduk. Gunung hanya mempertegas apa yang selalu ada: bahwa hidup adalah kontradiksi yang tidak bisa diuraikan, hanya bisa dijalani.

     Banyak pendaki pernah berdiri di sebuah puncak, matahari muncul sekejap di sela awan, lalu kabut kembali menutup segalanya. Momen itu hanya berlangsung beberapa detik, tapi terasa seperti keabadian. Dan sekaligus, terasa begitu fana. Detik itu berlalu, hilang, tak bisa diulang. Namun entah mengapa, ingatan akan momen singkat itu tetap hidup, seperti sesuatu yang tak bisa mati. Di situlah manusia mengerti: abadi bukan berarti selamanya, abadi adalah fana yang meninggalkan jejak dalam batin.

     Gunung sering berbisik: semakin manusia merasa kecil, semakin besar ia sesungguhnya. Semakin ikhlas kehilangan, semakin abadi dalam jejak yang tertinggal. Semakin pasrah, semakin bebas berjalan. Dan di situlah paradoks spiritual bersemayam, bukan sebagai teka-teki untuk dipecahkan, tapi sebagai kebijaksanaan yang harus dijalani. Luka dan absurditas itu bukan musuh, melainkan pintu menuju pemahaman yang tak terucapkan.

     Ada malam-malam di gunung ketika angin meraung liar, tenda gemetar seperti daun tipis, dan api unggun padam jauh lebih cepat dari yang diharapkan. Di luar hanya ada kegelapan yang menelan segalanya, di dalam hanya ada suara nafas sendiri yang membesar, menggema oleh sepi. Pada saat itu, gunung berhenti menjadi sekadar medan fisik dan menjelma menjadi cermin. Setiap pendaki dipaksa menatap ke dalam, berhadapan dengan sosok yang selama ini disembunyikan. Di sanalah ironi personal bersemayam: kekuatan justru lahir dari pengakuan akan kelemahan, keberanian tumbuh dari tanah ketakutan.

     Banyak pendaki masih menyimpan kenangan jauh, ketika tubuh begitu lelah hingga setiap langkah terasa seperti perang kecil yang nyaris mustahil dimenangkan. Saat itu sering muncul kemarahan pada diri sendiri, perasaan rapuh yang tak tertanggungkan, bahkan penyesalan mengapa kaki ini sudi ikut dalam perjalanan yang keras. Namun justru di titik itulah banyak yang menyadari: mereka mampu melangkah bukan karena kokoh, melainkan karena berani menerima rapuhnya diri. Ada kontradiksi getir di sana—kekuatan sejati bukan penyangkalan, melainkan pengakuan. Semakin seseorang menyangkal ketakutan, semakin ia melumpuhkan dirinya. Semakin ia merangkulnya, semakin ketakutan itu berubah menjadi bara penggerak.

     Gunung pun memperlihatkan ketidaksesuaian lain: kesunyian luar senantiasa membuka keramaian dalam. Begitu suara mesin, lalu lintas, dan notifikasi dunia lenyap, muncullah kerumunan suara batin yang lama tertimbun. Pikiran berlarian tanpa kendali, kenangan berjatuhan satu per satu, ketakutan kecil menggembung jadi raksasa. Seakan hutan dan tebing sengaja menelanjangi pendaki, bukan dengan badai, melainkan dengan diam. Dan dalam diam itu, justru mereka menemukan betapa riuhnya diri sendiri. Kesunyian ternyata bukan kekosongan, melainkan sebuah keramaian lain yang mustahil dielakkan.

     Ada pula ironi puncak—selalu menyisakan rasa absurd yang menusuk. Seseorang mendaki berhari-hari, menahan lapar, dingin, dan nyeri, hanya untuk berdiri sebentar di ketinggian, lalu segera turun lagi. Dan anehnya, begitu sampai di sana, rasa itu campur aduk: kemenangan yang justru terasa seperti kehilangan. Bukan lega sepenuhnya, melainkan kehampaan baru—lalu apa setelah ini? Puncak yang dicari ternyata hanya fatamorgana. Yang nyata justru perjalanan, luka, serta tarikan nafas yang berat sepanjang jalan. Puncak, pada akhirnya, hanyalah dalih agar seseorang bertemu dengan dirinya sendiri.

    Paradoks personal ini bukan sekadar permainan batin, melainkan luka yang tetap berdarah dalam hidup sehari-hari. Manusia ingin berani, tapi justru gentar. Ingin kuat, tapi justru rapuh. Ingin tenang, tapi justru gaduh. Dunia outdoor hanyalah panggung yang memperbesar kontras itu, seolah alam berkata: “lihatlah dirimu sebagaimana adanya.” Dan sering kali, manusia tidak siap dengan pemandangan itu. Tetapi gunung tak pernah peduli kesiapan. Ia menyingkap, entah mau atau tidak.

     Banyak pendaki merasa pernah dikhianati oleh puncak. Setelah berhari-hari berjalan, begitu sampai, justru ingin segera meninggalkannya. Ada rasa kehilangan yang tak bisa dijelaskan. Namun pelan-pelan, mereka mengerti: puncak memang bukan tujuan, melainkan pengingat bahwa semua kemenangan selalu menyimpan kehampaan. Bahwa semua pencapaian pribadi hanyalah percikan singkat sebelum kembali tenggelam di lembah kehidupan. Kehampaan itu bukan kegagalan, melainkan bagian dari kebijaksanaan—penanda bahwa hidup tak pernah selesai di satu titik.

     Ironi personal ini menyingkap absurditas yang getir, namun justru dari situlah makna lahir. Ia mengajarkan bahwa diri bukanlah batu karang yang kokoh, melainkan tarikan abadi antara takut dan berani, lemah dan kuat, sunyi dan riuh, menang dan hampa. Di tengah tarikan itu, setiap pendaki perlahan belajar menerima, bukan menuntaskan. Sama seperti pendakian itu sendiri—tak ada jalan yang benar-benar selesai, hanya langkah demi langkah yang akhirnya membawa mereka pulang pada dirinya sendiri.

     Gunung tak pernah berhenti berbisik: keberanian ada dalam ketakutan, kekuatan ada dalam kelemahan, puncak ada dalam kehilangan. Dan di situlah paradoks personal berdiam, sebagai luka yang sekaligus obat.

     Ada pemandangan yang sering diingat banyak pendaki: sebuah regu berhenti di jalur sempit, menunggu satu orang yang tertinggal jauh di belakang. Langkahnya pincang, nafasnya terputus-putus, tapi tim tidak melanjutkan perjalanan. Gunung seakan berpesan, bahwa kekuatan tim tidak pernah ditentukan oleh yang paling cepat, paling kuat, atau paling berpengalaman, melainkan oleh yang paling lemah. Sebuah ironi yang pahit, tetapi sekaligus indah.

     Dalam teori, kepemimpinan berarti berada di depan. Tetapi dalam kenyataan gunung, kepemimpinan justru berarti menyesuaikan diri dengan ritme yang paling lambat. Seorang pemimpin harus sabar menahan ego, bahkan kadang berjalan paling belakang, memastikan tidak ada yang tertinggal. Kepemimpinan adalah kepatuhan—kepatuhan pada kebutuhan orang lain, pada keterbatasan kelompok, pada hukum diam-diam bahwa “aku” harus rela dikecilkan demi “kita.” Inilah kontradiksi kolektif yang setiap ekspedisi ajarkan: kekuasaan tumbuh dari kerendahan hati, bukan dari dominasi.

     Solidaritas pun kerap lahir dari egoisme kecil. Ada anggota yang awalnya ingin mendahului, mencari kebanggaan pribadi, tapi ketika tersesat sejenak atau tergelincir di batu licin, justru dialah yang pertama-tama memahami betapa pentingnya kebersamaan. Ego yang terluka melahirkan solidaritas baru. Seolah-olah alam menggunakan ketidaksabaran manusia sebagai cambuk, memaksa mereka mengakui bahwa kebebasan mutlak adalah ilusi di jalur sempit.

     Dan ada momen-momen ekstrim, di mana paradoks kolektif menunjukkan wajah tragisnya. Saat evakuasi, misalnya. Menyelamatkan satu orang yang jatuh sakit bisa berarti seluruh tim harus kehilangan puncak. Energi, waktu, bahkan keselamatan semua orang harus dipertaruhkan demi satu nyawa. Di sinilah kebersamaan diuji: apakah mereka rela kehilangan segalanya demi seorang anggota? Apakah mereka berani menanggung absurditas itu—bahwa menyelamatkan satu bisa berarti mengorbankan banyak? Di titik ini, kolektivitas bukan lagi tentang harmoni, melainkan tentang luka yang dibagi bersama.

     Banyak yang pernah berada dalam situasi seperti itu. Seorang rekan mengalami kram hebat di jalur menuju puncak. Semua orang terpaksa berhenti. Raut wajah kecewa tak bisa disembunyikan, karena puncak sudah begitu dekat. Tetapi keputusan itu jelas: kembali turun bersama-sama. Saat itu, ada perasaan hampa sekaligus penuh. Hampa karena kehilangan sasaran, penuh karena menyadari makna tim yang sesungguhnya. Gunung seperti sedang mengajari, bahwa kemenangan kadang justru berarti mengalah pada ego sendiri.

     Kolektif adalah medan tarik menarik antara “aku” dan “kita”. Di satu sisi, tanpa “aku” yang kuat, tim akan rapuh. Di sisi lain, tanpa “kita” yang solid, “aku” akan tersesat sendirian. Keduanya tidak bisa dipisahkan, dan justru di situlah ketegangan itu menjadi sumber kekuatan. Seperti dua kutub magnet yang saling tolak sekaligus saling tarik, menciptakan dinamika yang justru membuat kompas bekerja.

     Paradoks ini juga mengandung absurditas yang menyakitkan. Ada saat-saat di mana seseorang merasa terbelenggu oleh tim, merasa langkahnya diperlambat, merasa potensinya terbuang. Namun, di saat lain, ia juga sadar bahwa justru belenggu itulah yang menyelamatkan. Kebebasan penuh hanya ada dalam kesepian, dan kesepian di gunung berarti bahaya. Maka banyak yang memilih untuk terikat, meski dengan keluhan dan kompromi. Sebuah kebebasan yang lahir dari keterbatasan—sebuah ironi yang mungkin tidak pernah bisa dijelaskan sepenuhnya.

     Gunung adalah cermin yang memantulkan kerapuhan manusia dalam hidup sosial. Di kota, banyak yang juga sering terjebak antara “aku” dan “kita”—antara ambisi pribadi dan tuntutan kolektif. Manusia ingin berlari, tapi harus menunggu. Ingin menang, tapi harus berbagi. Di gunung, semua itu menjadi lebih telanjang, tanpa kamuflase. Mereka dipaksa melihat bahwa kebersamaan adalah sebuah kontradiksi yang harus dijalani, bukan dipecahkan.

     Banyak pendaki yang kemudian mendekap petuah lama: “untuk menolong tim, kita harus menolong diri sendiri.” Tetapi realitas kolektif menambahkan lapisan lain: untuk menolong diri sendiri, kadang mereka harus menolong tim terlebih dahulu. Tidak ada urutan pasti. Kadang “aku” harus mengalah, kadang “kita” harus menunggu, kadang keduanya saling merobek. Dan di situlah keindahan tragisnya: tim bukan sekadar harmoni, melainkan sebuah luka bersama yang justru membuat semua bertahan.

     Jika kita menatap langit malam, sulit menolak pahitnya kenyataan: kita hanyalah titik remeh di tengah semesta yang nyaris tak terbatas. Bumi ini tak lebih dari sebutir debu di pinggiran galaksi, dan galaksi kita hanyalah setetes air di samudra kosmik yang tak terbayangkan. Semakin ilmu pengetahuan memperluas pandangan, semakin kecil pula kita rasakan diri sendiri.

     Kesunyian kosmik itu menghantui. Jika semesta begitu luas, mengapa kita merasa penting? Jika bintang-bintang telah menyala miliaran tahun sebelum kita lahir, dan akan terus bersinar miliaran tahun setelah kita mati, apakah arti keberadaan kita?

     Di sinilah paradoks itu bersemayam: di satu sisi, kita begitu kecil hingga nyaris tak berarti. Namun di sisi lain, kita merasakan keintiman yang tak bisa dijelaskan—seolah seluruh semesta bersekongkol agar kita hadir di sini, saat ini, dengan kesadaran yang mampu menatap balik ke langit dan berani bertanya.

     Kesunyian kosmik adalah luka yang dingin. Tak ada jawaban dari bintang-bintang, tak ada bisikan dari galaksi. Hanya hening yang luas, hanya gelap yang tak bertepi. Namun entah mengapa, dalam hening itu kita merasakan sesuatu yang mirip pelukan: meski sunyi, semesta tidak pernah sepenuhnya asing.

     Ada absurditas yang ganjil di dalamnya. Semesta begitu luas, acuh, tak peduli. Namun justru dari ketidakpedulian itu lahir rasa kedekatan. Seperti berjalan seorang diri di hutan lebat: pohon-pohon tak menoleh, angin tak menyapa, tanah tak memperhitungkan langkah kita. Tetapi dalam ketidakpedulian itu, kita merasa dekat—karena diam-diam kita berbagi keheningan yang sama.

     Dari ketegangan inilah spiritualitas sering lahir. Kita gentar pada kesunyian kosmik, namun di dalamnya pula kita menemukan makna. Kita cemas karena tiada yang menatap balik, namun terharu karena di tengah hening itu ada ruang luas untuk menatap ke dalam diri.

     Ada saat-saat di kehidupan outdoor ketika paradoks ini menggigit begitu nyata. Duduk sendirian di puncak setelah perjalanan panjang, tubuh letih, napas berat, pandangan menerobos cakrawala. Tak ada jawaban, tak ada penonton, tak ada hadiah. Namun sesuatu terasa suci—seolah dunia yang bisu itu, tanpa kata, menerima kehadiran kita. Kesunyian yang semula mencekam berubah menjadi keintiman yang tak terjelaskan.

     Bagi sebagian orang, itu tanda Tuhan. Bagi yang lain, hanya proyeksi psikologis manusia yang kesepian. Namun apa pun namanya, pengalaman itu nyata: semesta yang tampak kosong justru memberi kita rasa terhubung.

     Paradoks ini tragis sekaligus indah. Tragis, karena kita tak pernah tahu apakah benar ada makna di luar sana, atau semuanya sekadar cermin dari kerinduan kita sendiri. Indah, karena bahkan jika hanya cermin, pantulannya cukup untuk membuat mata basah oleh keharuan.

     Barangkali semesta memang tak peduli. Justru karena itu, setiap perhatian kecil yang kita berikan menjadi tak ternilai. Sebuah pelukan, sebuah lagu, sebuah doa—semua adalah perlawanan kecil terhadap sunyi yang tak bertepi. Kita seperti anak kecil yang menggambar rumah di pasir pantai, tahu ombak akan segera menghapusnya, namun tetap menggambar juga. Karena dalam menggambar itu, ia merasa ada.

     Mungkin inilah kebijaksanaan dari paradoks kosmik: kita tak perlu semesta memberi jawaban, cukup dengan berani bertanya. Kita tak perlu bintang menatap balik, cukup dengan menatap mereka dengan mata basah. Kita tak perlu keintiman dijamin, cukup dengan merasakannya, meski mungkin hanya ilusi.

     Dan justru di situlah absurditas ini berubah menjadi kekuatan. Kesunyian kosmik tidak menghancurkan, melainkan menempa kita menjadi makhluk yang mampu merayakan hidup di tengah ketidakpedulian. Kita belajar menciptakan makna sendiri, menyalakan api kecil di tengah malam tanpa berharap malam berubah menjadi siang.

     Pada akhirnya, mungkin semesta memang sunyi. Namun dalam sunyi itu, ada ruang luas bagi nyanyian, doa, dan tawa kita. Dan meski semesta tak menjawab, barangkali justru dalam ketidakjawaban itu kita menemukan kebebasan untuk merasakan bahwa kita sungguh ada.

     Kesunyian kosmik dan keintiman misterius—dua sisi dari satu paradoks. Kita hanyalah debu, namun debu yang bisa bermimpi. Kita hanyalah setitik dalam gelap, namun setitik yang bisa menyalakan api. Semesta tak peduli, namun justru karena itu, kita belajar peduli satu sama lain. Dan mungkin, itu lebih dari cukup.

     Apa gunanya sebuah sistem jika ia lupa pada manusia? Apa gunanya sebuah revolusi jika hanya mengganti wajah penindas, sementara luka batin tetap dibiarkan membusuk? Pertanyaan itu, kalau ditaruh di tengah keramaian zaman modern, terasa seperti bisikan yang kalah oleh bising iklan, target kerja, dan notifikasi. Namun justru di situlah suara Marx terdengar—sunyi, dalam, dan keras kepala.

     Kita hidup di dunia yang sibuk tapi hampa. Kita bekerja, berpikir, bergerak, seolah-olah tahu arah, padahal sering kali hanya mengikuti arus yang digerakkan mesin raksasa bernama sistem. Kapitalisme modern adalah mesin canggih yang menjanjikan kebebasan, tetapi ironisnya membuat kita semakin jauh dari diri sendiri. Marx menyebut keadaan ini sebagai keterasingan: saat manusia tidak lagi mengenali dirinya di dalam hidup yang ia bangun sendiri. Kita mengerahkan tenaga, waktu, bahkan jiwa untuk menghasilkan sesuatu, namun hasil itu tidak pernah menjadi milik kita. Seperti buruh yang membuat kursi indah, tapi tidak pernah duduk di atasnya.

     Bagi Marx, kerja seharusnya bukan sekadar alat bertahan hidup, melainkan medium untuk mengekspresikan jati diri. Melalui kerja, manusia bisa menanamkan dirinya ke dunia, mewujudkan potensi yang tersembunyi menjadi nyata. Tetapi dalam kapitalisme, kerja berubah menjadi beban, bahkan kutukan. Kita bangun pagi bukan karena cinta, melainkan karena ketakutan—takut tidak bisa membayar sewa, takut kehilangan pekerjaan, takut dianggap tidak berguna. Bukankah ini ironi paling tragis dari zaman kita? Kita bekerja bukan untuk hidup, melainkan agar tidak hancur.

     Alienasi inilah inti penderitaan modern. Ia bukan sekadar masalah ekonomi, melainkan pengalaman eksistensial. Manusia menjadi asing terhadap dirinya, terhadap sesama, bahkan terhadap hasil ciptaannya sendiri. Kita mungkin produktif secara statistik, tetapi batin kita kosong. Kita mungkin sibuk mengisi kalender kerja, tetapi lupa mengisi jiwa. Kapitalisme bukan hanya merampas tenaga, tapi juga mencederai rasa cinta, solidaritas, dan kebermaknaan. Pertanyaannya pun bergeser: bukan lagi “siapa aku?”, melainkan “apa gunanya aku bagi pasar?” Dan ketika nilai manusia diukur dari kegunaannya bagi pasar, tragedi psikis itu dimulai: merasa tak berguna, bahkan di tengah produktivitas yang melimpah.

     Marx menolak untuk melihat manusia sebagai benda mati, sesuatu yang tetap dan selesai. Bagi dia, manusia adalah proses yang berdenyut, terus berubah, membentuk dan dibentuk oleh relasi sosial. Maka kalau dunia ini penuh keterasingan, yang perlu dirombak bukan hanya struktur ekonomi atau sistem politik, melainkan juga cara kita memandang diri sendiri. Kita bukan mesin, bukan sekadar fungsi. Kita adalah kemungkinan yang belum selesai.

     Di titik ini, Marx bukan sekadar ekonom revolusioner yang berteriak soal kelas pekerja, melainkan seorang pemikir tentang luka batin manusia modern. Revolusi baginya bukan sekadar pergantian rezim, tapi semacam terapi kolektif. Ia tidak bermimpi membakar dunia demi ideologi, melainkan mengingatkan bahwa dunia tidak akan sembuh jika manusia di dalamnya tetap tercerabut dari makna. Emansipasi, bagi Marx, adalah upaya menyambung kembali koneksi manusia dengan dirinya sendiri, dengan pekerjaannya, dengan sesamanya.

     Erich Fromm, salah satu pembaca Marx yang paling simpatik, menolak reduksi terhadap Marx sebagai semata ideolog ekonomi. Dalam karyanya Konsep Manusia Menurut Marx, Fromm menampilkan wajah Marx yang lain—seorang humanis radikal yang percaya bahwa cinta, solidaritas, dan martabat adalah bagian dari perjuangan. Marx, menurut Fromm, bukan sekadar pengkritik kapitalisme, melainkan penafsir jiwa yang terluka. Ia menentang agama yang mematikan harapan, tetapi ia juga tahu: tanpa harapan, manusia tak punya kekuatan untuk bertahan.

     Kapitalisme menjanjikan kebebasan, namun justru merampas ruang batin. Ia mencetak manusia yang cerdas tapi cemas, produktif tapi rapuh. Kita didorong untuk berlari cepat, mengejar karier, pencapaian, dan status, tetapi jarang diberi ruang untuk bertanya: sudahkah aku hidup sebagai manusia? Atau aku hanya bertahan sebagai fungsi? Kita punya ponsel pintar, kendaraan cepat, dan mesin produksi mutakhir, tapi entah kenapa kita tetap kesepian. Kita punya pilihan makanan dari berbagai aplikasi, tapi kehilangan rasa lapar akan makna.

     Di sinilah Marx kembali relevan, bukan sebagai dogma politik, tetapi sebagai pengingat bahwa manusia tidak bisa direduksi menjadi mesin produksi. Emansipasi sejati bukan hanya kebebasan politik, melainkan pembebasan dari penindasan batin—dari kecemasan, keserakahan, dan rasa tidak cukup. Marx ingin agar manusia kembali menjadi subjek, bukan objek. Agar manusia mencintai karena bebas, bukan karena harus. Agar kerja bukan hanya alat bertahan hidup, melainkan cara untuk menghidupkan diri.

     Menjadi manusia seutuhnya, kata Marx, adalah tugas yang belum selesai. Dan tugas itu menuntut dunia yang memungkinkan kita tumbuh otentik, bukan dunia yang memaksa kita jadi roda dalam mesin raksasa. Sosialisme, dalam kacamata ini, bukan sistem tertutup, melainkan ruang terbuka untuk “menjadi manusia.” Ia bukan utopia kaku, melainkan kemungkinan bersama untuk hidup tanpa keterasingan.

     Mungkin, di zaman serba cepat dan serba instan ini, kita perlu mengulang pertanyaan sederhana: apakah aku hidup sebagai manusia, atau hanya bertahan sebagai fungsi? Jika kita berhenti sejenak, menarik napas, dan berani menatap diri sendiri, mungkin kita menemukan bahwa revolusi paling radikal bukanlah menggulingkan rezim, melainkan menyembuhkan jiwa.


book: Gagasan Tentang Manusia - Erich Fromm

     Ada satu luka yang tidak pernah benar-benar sembuh dalam jiwa manusia: kerinduan pada yang tak terlihat. Kita hidup di dunia yang riuh dengan suara, tanda, dan petunjuk—namun justru dalam keramaian itu, keheningan tentang Tuhan terasa paling menyakitkan. Seolah-olah ada kehadiran yang begitu dekat, tapi selalu melangkah setengah bayangan lebih jauh setiap kali kita mencoba meraihnya.

     Inilah paradoks iman: kita mencari kepastian pada sesuatu yang justru menegaskan dirinya melalui ketidakpastian. Tuhan yang “menyembunyikan diri” tidak hadir untuk memuaskan dahaga logika, melainkan untuk menguji seberapa dalam kerinduan manusia sanggup bertahan tanpa jawaban.

     Kita terbiasa percaya bahwa yang ada harus bisa disentuh, ditimbang, atau diukur. Tapi justru di sini absurditas itu lahir: semakin keras kita menuntut bukti, semakin kosong ruang yang kita temui. Sebaliknya, semakin kita merelakan diri tenggelam dalam ketidakpastian, semakin dalam kita merasakan kehadiran yang tak terkatakan. Seperti api yang tak bisa dipeluk, tapi justru dengan menjauh darinya kita tahu bahwa ia menyala.

     Ada orang yang menyebut ini kebodohan. Apa gunanya berdoa pada dinding kosong? Apa faedah menunggu suara yang tak pernah turun dari langit? Namun di situlah justru kebijaksanaan tersembunyi: manusia belajar mencintai sesuatu bukan karena bisa digenggam, melainkan karena kesediaan untuk tetap setia sekalipun tak pernah mendapatkan balasan. Seperti kekasih yang menunggu surat yang tak kunjung datang, dan dalam penantian itu ia menemukan makna baru tentang kesetiaan.

     Kita bisa menertawakan absurditas ini. Betapa ironis, manusia yang katanya makhluk rasional justru bersujud pada yang tak bisa diverifikasi. Tapi barangkali dalam ironi itulah rahasia paling manusiawi. Seekor burung tidak bertanya mengapa ia terbang. Sebuah batu tidak mempertanyakan mengapa ia diam. Hanya manusia yang cukup gila untuk mempertanyakan segalanya, termasuk Tuhan. Dan dalam kegilaan itu, manusia justru menemukan dirinya.

     Ada saat-saat tertentu di alam liar, ketika kita berjalan sendirian di bawah langit yang terlalu luas, perasaan ini menghantam lebih keras. Angin malam menembus kulit, bintang-bintang bertebaran seperti mata tak berujung, dan di antara desir dedaunan terdengar bisikan sunyi yang bukan suara. Di sana, Tuhan terasa begitu nyata, meski tidak hadir dengan wajah apa pun. Justru dalam sembunyinya, kehadiran itu menjadi absolut.

     Paradoks ini menimbulkan luka sekaligus kekuatan. Luka, karena manusia sadar ia dibiarkan sendirian di dunia yang absurd, mencari jawaban yang tak kunjung tiba. Kekuatan, karena justru dari keterlemparan itu lahirlah keteguhan: iman bukan hasil dari kepastian, melainkan keberanian untuk bertahan di dalam ketidakpastian.

     Soren Kierkegaard pernah menyebut iman sebagai “lompatan ke dalam kegelapan.” Lompatan itu bukan sekadar tindakan nekat, melainkan satu-satunya cara untuk tetap hidup di dunia yang menolak memberi kepastian. Seperti pendaki yang melangkah di tepi jurang dengan kabut pekat menutup pandangan, ia tidak tahu apakah ada pijakan berikutnya—tapi ia melangkah juga, sebab berhenti berarti mati.

     Absurd? Tentu saja. Tapi barangkali absurditas inilah yang menyelamatkan kita. Sebab kalau Tuhan hadir begitu gamblang, iman tak lagi diperlukan. Yang ada hanyalah kepatuhan mekanis, ketaatan tanpa jiwa, seperti robot yang menuruti program. Justru dengan menyembunyikan diri, Tuhan memberi ruang bagi manusia untuk benar-benar memilih: apakah ia akan tetap mencintai meski tak pernah mendapat jawaban, ataukah ia menyerah pada hampa.

     Dan di titik ini, paradoks iman berubah menjadi semacam kebijaksanaan yang pahit tapi murni. Kita belajar bahwa pencarian itu sendiri adalah jawaban. Bahwa doa yang meluncur dari bibir ke langit kosong tidak sia-sia, sebab dalam setiap doa tersimpan pengakuan: manusia rapuh, tapi kerinduannya abadi. Bahwa ketidakpastian bukan kegagalan iman, melainkan justru wajahnya yang paling jujur.

     Barangkali itulah sebabnya orang beriman sejati sering terlihat sedikit gila. Mereka tertawa dalam keputusasaan, menangis dalam sukacita, dan berjalan terus meski tak tahu ke mana arah sebenarnya. Mereka hidup dalam paradoks, dan bukannya hancur, justru menemukan kekuatan yang tak dimiliki oleh mereka yang hanya percaya pada yang terlihat.

     Tuhan yang menyembunyikan diri bukanlah Tuhan yang kejam. Ia adalah misteri yang justru melindungi manusia dari kerapuhan logikanya sendiri. Sebab jika segalanya dijelaskan, jika semua rahasia dibongkar, maka hidup kehilangan kedalaman. Kita akan menjadi sekadar makhluk yang puas pada data, tapi miskin makna.

     Mungkin manusia memang  tidak diminta untuk menemukan, melainkan untuk terus mencari. Seperti musafir yang berjalan di padang pasir, oase yang ia impikan mungkin tak pernah benar-benar ada. Tapi tanpa oase itu, ia sudah lama berhenti melangkah. Oase itu mungkin hanya ilusi, tapi ilusi yang membuatnya bertahan hidup. Dan barangkali, dalam absurditas semacam itu, justru terkandung kebenaran paling agung.

     Kita mencari Tuhan yang menyembunyikan diri, dan dalam pencarian itu kita menemukan siapa kita sebenarnya: makhluk yang tak pernah puas dengan jawaban, tapi justru menemukan makna dalam pertanyaan yang tak selesai.

     Ada satu hukum tak tertulis di gunung: siapa yang tergesa-gesa biasanya akan tiba paling lambat. Pemandangan klasik itu sering muncul di jalur pendakian: seorang pemula penuh semangat, melesat di awal, lalu terengah-engah setengah jam kemudian, terpaksa duduk di pinggir jalur, keringat bercucuran, sementara langkah-langkah lamban dari rombongan lain justru melewatinya dengan tenang. Itulah ironi pertama yang ditemui banyak orang dalam hidup di gunung: semakin cepat hasrat untuk sampai, semakin lambat gerak yang terjadi.

     Di permukaan, ini hanyalah soal stamina, ritme, manajemen energi. Tetapi semakin sering seseorang mendaki, semakin tampak bahwa hal itu adalah sebuah pelajaran eksistensial. Hidup manusia pun sering persis begitu: banyak yang berlari mengejar, hanya untuk jatuh kelelahan, sementara yang berjalan lambat dan sabar tiba dengan utuh. Ada absurditas di sini—bahwa keterburu-buruan, yang seharusnya mempercepat, justru menjadi jebakan.

     Ketidaksesuaian lain lahir dari beban di punggung. Setiap pendaki tahu, semakin lengkap peralatan yang dibawa, semakin berat langkah kaki. Tetapi di sisi lain, beban itu pula yang membuat perjalanan lebih ringan dalam arti lain: ada tenda untuk berteduh, jaket hangat untuk melawan dingin, logistik yang cukup untuk bertahan. Maka di sinilah ironi itu hidup: semakin berat seseorang memikul, semakin ringan ia menjalani. Seolah gunung sedang menertawakan perhitungan manusia tentang efisiensi: yang ringan bisa jadi membawa celaka, yang berat justru membuka jalan keselamatan.

     Pernah disaksikan seorang pendaki tersandung logistiknya sendiri. Ranselnya penuh barang, tapi banyak yang tak terpakai. Ia berjuang, pelan-pelan kehilangan ritme, bahkan hampir ingin menyerah. Lalu terdengar keluhannya, “Kalau tahu begini, mending bawa yang penting saja.” Tetapi, pada malam berikutnya, justru barang-barang tak terpakai itulah yang menyelamatkan seluruh rombongan dari hujan deras. Flysheet ekstra didirikan, lampu cadangan dinyalakan, termos yang semula dianggap remeh justru memberikan air hangat ketika suhu menusuk tulang. Saat itulah terasa jelas: beban adalah sebuah kontradiksi yang harus dirawat, bukan sekadar dikurangi.

     Lalu ada juga hukum sederhana yang kerap membuat pendaki baru tertawa getir: semakin canggih alat yang dibawa, semakin sulit kadang cara menggunakannya. Kompor portable yang katanya praktis bisa ngambek di suhu dingin. Sleeping bag supermahal ternyata tak sehangat sarung tua dari kampung. Parang tradisional bisa jadi lebih berguna daripada pisau lipat bermerk luar negeri. Teknologi, dalam dunia outdoor, sering kali bukan jawaban tunggal. Justru kesederhanaan dan keterampilanlah yang mengubah sesuatu yang tampak remeh menjadi alat penyelamat. Bukankah hidup juga begitu? Kecanggihan bisa jadi lumpuh tanpa kebijaksanaan menggunakannya.

     Semua ketidaksesuaian teknis ini bukan sekadar masalah logistik, tapi sebuah ironi yang mengandung kebijaksanaan. Ia menertawakan nafsu manusia akan kecepatan, ringan, dan canggih. Gunung seperti berkata, “Belajarlah menunda agar sampai. Belajarlah memikul agar selamat. Belajarlah sederhana agar tidak rumit.” Semua ini tidak masuk akal dalam rumus matematika, tetapi masuk akal dalam hukum alam.

     Ada luka kecil yang menyertainya—luka otot, luka ego, luka kesombongan. Luka itulah yang perlahan mengajari bahwa kebenaran tidak selalu berdiri di sisi logika lurus. Bahwa terkadang kebenaran justru menyamar dalam kontradiksi yang melelahkan. Dan di tengah absurditas itu, muncul sejenis kebijaksanaan yang tak bisa diajarkan di ruang kelas.

     Bagaimana menolong diri sendiri menjadi sarana untuk menolong tim, semakin jelas kaitannya dengan semua ironi teknis ini. Kalau seseorang memaksa diri terlalu cepat, ia justru jadi beban. Kalau ia salah mengatur logistik, ia justru mengacaukan tim. Kalau ia sombong pada keterampilan dasar, ia justru menjerumuskan orang lain. Menolong diri sendiri berarti berjalan lambat agar bisa terus melangkah, membawa beban yang tepat agar bisa berbagi, merawat alat agar bisa melindungi orang lain. Dan itu semua terdengar aneh hanya bagi yang belum merasakannya.

     Semua pelajaran ini mungkin tampak sederhana, tapi di situlah gunung mulai meneguhkan petuahnya: dunia ini sering kali tak seturut logika, namun justru di situlah kebenarannya tersembunyi. Dan barang siapa mau berjalan cukup lama dalam ritme lambat, ia akan menemukan bahwa yang absurd itu sebenarnya adalah cara alam menyelamatkan manusia.

     Kebebasan selalu tampak indah dari kejauhan, seperti puncak gunung yang berkilau disinari matahari. Kita membayangkan betapa lapang rasanya berdiri di atasnya, tanpa rantai, tanpa belenggu, hanya langit dan udara yang luas. Tetapi saat kita benar-benar melangkah ke arah sana, tibalah kegamangan: siapa kita tanpa tali pengikat, tanpa pijakan yang familiar, tanpa pagar yang mengurung kita?

     Paradoks kebebasan selalu hadir seperti ini: semakin kita ingin bebas, semakin kita merindukan penjara. Kita berteriak ingin lepas dari ikatan, tapi saat benar-benar dilepaskan, kesunyian yang menunggu di luar membuat kita ingin kembali ke jeruji yang hangat.

     Manusia tidak pernah benar-benar tahan dengan kebebasan total. Bukankah itu yang dialami para pengembara, ketika hutan, langit, dan jalan panjang membuka ribuan kemungkinan? Ada momen ekstasi—seakan dunia ini milik kita sepenuhnya. Namun, di balik ekstasi itu, hadir kecemasan yang menggigit: ke mana arah langkah selanjutnya? Tanpa peta, tanpa tujuan, kebebasan berubah menjadi jurang yang tak berdasar.

     Dalam kehidupan outdoor, paradoks ini terasa sangat telanjang. Kita ingin keluar dari hiruk-pikuk kota, mencari kebebasan di alam. Tapi begitu hutan menutup jalan, begitu kabut menelan kompas, begitu malam menurunkan sunyi yang pekat, hati kita meronta: "Di mana rumahku? Di mana tempatku berpijak?" Kebebasan mutlak ternyata tidak selalu membebaskan; kadang ia menelanjangi rapuhnya jiwa.

     Bahkan dalam ruang yang lebih metafisis, kita melihat paradoks serupa. Jiwa ingin melepaskan diri dari segala ikatan duniawi—aturan, norma, bahkan Tuhan sekalipun. Namun begitu ia melompat ke ruang hampa, ia menemukan dirinya tenggelam dalam ketakutan: siapa yang akan menopangku jika aku benar-benar sendirian?

     Nietzsche pernah menulis tentang “kematian Tuhan” sebagai pembebasan manusia. Tapi ia juga menyadari betapa mengerikannya dunia tanpa jangkar metafisis. Manusia yang ingin bebas dari ilusi akhirnya justru terdampar dalam nihilisme. Ironi pahit ini adalah inti dari paradoks: kita ingin bebas, tetapi kita takut pada kebebasan itu sendiri.

     Absurdnya, kita seperti anak kecil yang marah ingin keluar rumah. Begitu pintu dibuka, begitu langkah keluar menjejak tanah asing, rasa takut merayap: “Bagaimana jika tidak ada yang menunggu kepulanganku?” Kita ingin melepaskan diri dari orang tua, tapi diam-diam berharap mereka tetap ada di balik pintu, siap menyambut jika kita kembali.

     Bukankah itu yang sering kita alami juga dalam spiritualitas? Jiwa ingin terbang, ingin menolak segala doktrin, ingin menolak segala batasan, ingin merdeka. Tetapi di dalam kegelapan batin, kita justru mendamba sebuah suara yang berkata: “Aku di sini.” Kita ingin bebas dari Tuhan, tapi kita pun takut kehilangan-Nya.

     Paradoks kebebasan ini tidak hanya menimbulkan luka, tetapi juga kebijaksanaan. Luka, karena kita sadar tidak ada kebebasan absolut yang benar-benar kita sanggupi. Kebijaksanaan, karena kita belajar bahwa kebebasan bukan soal melarikan diri dari segala ikatan, melainkan memilih ikatan yang kita cintai.

     Seekor burung mungkin bebas terbang, tapi ia tetap membutuhkan dahan untuk hinggap. Seorang musafir mungkin bebas melangkah, tapi ia tetap membutuhkan air untuk bertahan hidup. Demikian juga jiwa manusia: ia bisa bebas, tapi ia tetap merindukan sesuatu yang bisa digenggam, meski hanya sekadar ilusi untuk bertahan dari kekosongan.

     Maka, barangkali kebebasan sejati bukanlah hilangnya pegangan, melainkan keberanian untuk menggenggam sesuatu dengan sadar. Kita bisa memilih ikatan, bukan dipaksa olehnya. Kita bisa menambatkan diri pada makna yang kita ciptakan sendiri, bukan hanya yang diwariskan. Di situlah kebebasan menemukan wajahnya yang paling manusiawi.

     Namun paradoks ini tidak pernah hilang. Selalu ada tarikan ke dua arah: ingin bebas, tapi juga ingin aman. Ingin merdeka, tapi juga ingin dipeluk. Kita hidup di antara dua kutub itu, berjalan di atas tali tipis yang tegang. Kadang kita condong ke satu sisi, kadang ke sisi lain, tapi jarang sekali kita bisa benar-benar berdiri di tengah.

     Mungkin memang begitulah manusia ditakdirkan: makhluk yang terlalu liar untuk dijinakkan, tapi juga terlalu rapuh untuk dilepas sepenuhnya. Kita ingin terbang, tapi tetap ingin tahu bahwa ada sarang yang menunggu. Kita ingin melawan arus, tapi juga ingin yakin ada pantai tempat berlabuh. Kita ingin kebebasan, tapi kita pun merindukan pegangan.

     Dan di sanalah, ironisnya, keindahan hidup berdiam. Seperti musik yang tercipta bukan dari nada semata, melainkan dari ketegangan antara bunyi dan diam. Jiwa manusia pun hidup dalam ketegangan paradoks ini, terus menari di antara kebebasan dan keterikatan.

     Kebebasan mutlak mungkin hanya milik para dewa—atau barangkali bahkan mereka pun tidak benar-benar bebas. Sedangkan manusia, dengan segala absurditasnya, menemukan makna justru dalam keterbatasannya. Ia bebas, tapi tetap merangkul pegangan. Ia merdeka, tapi tetap merindukan rumah.

     Paradoks itu menyakitkan, namun sekaligus menyelamatkan. Sebab tanpa rasa takut kehilangan pegangan, kebebasan bisa berubah menjadi kehancuran. Dan tanpa kerinduan akan kebebasan, pegangan bisa berubah menjadi penjara. Kita ada di tengah-tengah: tidak sepenuhnya merdeka, tidak sepenuhnya terikat, tapi justru di situlah kita menjadi manusia.

     Polisi tidur, dalam konteks lalu lintas, seharusnya menjadi elemen pengendali kecepatan yang dirancang berdasarkan perhitungan teknis dan kajian keselamatan. Namun di Indonesia, istilah ini telah mengalami transformasi yang liar: dari fitur keselamatan menjadi simbol keputusasaan sosial dan ilusi kontrol masyarakat terhadap ruang yang mereka anggap milik mereka. Di lorong-lorong kecil, perumahan elit, bahkan di ruas jalan raya yang vital, polisi tidur muncul seperti jamur selepas hujan—tanpa standar, tanpa izin, dan seringkali tanpa pertimbangan logis.

     Fenomena ini bukan sekadar tentang balok aspal yang melintang. Ia adalah manifestasi dari kekosongan regulasi yang ditegakkan, pendidikan sosial yang timpang, serta kegagalan kolektif untuk membedakan antara ruang publik dan ruang pribadi. Polisi tidur yang dibangun seenaknya adalah upaya menciptakan rasa aman secara instan, meski ilusi itu hanya menutupi ketidakmampuan masyarakat untuk membentuk perilaku tertib secara sadar.

     Motivasi yang sering terdengar dari pembuat polisi tidur lokal adalah: "Agar pengendara tidak kebut-kebutan." Pernyataan ini, meskipun terdengar masuk akal, menyimpan ironi yang getir. Dalam banyak kasus, yang melakukan kebut-kebutan justru anak-anak mereka sendiri—berumur 8 hingga 12 tahun—yang seharusnya belum memiliki SIM, belum matang secara emosi, dan belum memahami tata tertib lalu lintas. Lalu, mengapa mereka diizinkan mengendarai motor? 

     Ada beberapa kemungkinan: keinginan orang tua untuk memamerkan kemandirian anak, semangat kompetitif sosial yang keliru, atau memang tidak adanya pemahaman hukum yang memadai. Lebih dari itu, membiarkan anak-anak kecil mengendarai motor di usia dini justru menciptakan kebiasaan pelanggaran hukum yang dianggap sebagai kewajaran. Perlahan-lahan, pelanggaran itu diterima sebagai kebenaran sosial. 

     Hal ini berkontribusi pada terbentuknya kecerdasan emosional yang tidak produktif. Anak tumbuh dengan rasa kepercayaan diri palsu dalam melanggar hukum, yang akan ia bawa hingga dewasa, bahkan saat ia sudah memiliki SIM atau nanti membesarkan anak-anaknya sendiri. Dalam kerangka psikologis, pola ini dapat melunturkan altruisme dan memperkuat kecenderungan psikopatik ringan—yakni mengabaikan keselamatan orang lain demi kebebasan atau kenyamanan pribadi.

     Di titik inilah, polisi tidur menjadi simbol dari delusi kolektif: kita merasa telah menyelesaikan masalah hanya dengan menambal permukaan. Padahal, yang terjadi adalah penguatan budaya pengabaian akar masalah. Tidak ada upaya serius mendidik anak-anak untuk menjadi pengguna jalan yang bertanggung jawab, tidak ada penegakan hukum terhadap pelanggaran usia dan izin berkendara, dan tidak ada refleksi bahwa solusi struktural jauh lebih penting daripada reaksi spontan.

     Dari sudut pandang psikologi sosial, fenomena ini dapat dikaitkan dengan apa yang disebut sebagai illusion of control (Langer, 1975)—sebuah kondisi di mana individu atau kelompok merasa memiliki kendali terhadap situasi yang sebenarnya berada di luar jangkauan rasional mereka. Dengan membangun polisi tidur, warga merasa telah melakukan sesuatu. Mereka merasa memiliki kuasa atas lorongnya, kendali atas keselamatan keluarganya, padahal yang dilakukan justru merusak alur sistemik dan seringkali membahayakan pengguna jalan lain.

     Dalam sosiologi, ini juga berkaitan dengan kegagalan negara dalam menyosialisasikan hukum sebagai milik bersama. Ketika hukum formal terasa jauh, masyarakat membentuk hukum informal yang sesuai dengan nalarnya sendiri. Hukum informal ini tidak selalu buruk, tetapi ketika ia bertentangan dengan prinsip-prinsip keselamatan dan logika teknis, maka ia berubah menjadi penghambat kemajuan.

      Kajian dari Jurusan Teknik Sipil Universitas Diponegoro (2018) mencatat bahwa sebagian besar polisi tidur di perumahan dan jalan lokal di Semarang tidak memenuhi standar ketinggian dan kemiringan sesuai Permenhub No. 82 Tahun 2018. Menurut aturan ini, polisi tidur untuk jalan lingkungan memiliki tinggi maksimal 8 cm dengan kemiringan 15%, sedangkan untuk jalan lokal maksimum 10 cm dengan lebar landai yang cukup untuk menjaga kenyamanan. Akibat ketidaksesuaian tersebut, banyak terjadi kerusakan pada suspensi kendaraan, kecelakaan ringan, dan keluhan warga terhadap ketidaknyamanan berkendara. Ini menunjukkan bahwa dampaknya tidak hanya simbolik, tapi juga fisik dan ekonomi.

     Ironisnya, semakin dekat kita pada wilayah yang seharusnya menjadi contoh ketertiban dan kepatuhan hukum, fenomena ini justru makin parah. Di sekitar markas tentara, kantor polisi, sekolah kedinasan, bahkan di kompleks yang menyandang nama-nama seperti "kompleks karyawan perhubungan," polisi tidur tumbuh dalam ukuran yang tidak wajar—tingginya bisa menyerupai tanggul penahan banjir. Di satu jalan raya dengan panjang kurang dari satu kilometer yang membelah kompleks semacam itu, bisa ditemukan hingga 11 polisi tidur. Ini bukan lagi soal pengendalian kecepatan, tapi menjadi representasi berlapis dari kekuasaan simbolik dan dominasi atas ruang bersama.

     Lebih jauh, fenomena ini juga menyiratkan fragmentasi spasial kota. Ruang-ruang publik direkonstruksi menjadi ruang semi-pribadi melalui tindakan warga yang merasa berhak atas kontrolnya. Dalam hal ini, kota menjadi bukan lagi milik bersama, melainkan milik siapa yang paling berani membangun sesuatu—dalam hal ini, polisi tidur.

     Penyelesaian terhadap persoalan ini tentu bukan dengan membongkar satu per satu polisi tidur liar, meskipun secara hukum itu bisa dan harus dilakukan. Penyelesaian sejati terletak pada dua hal: penegakan hukum yang tegas namun mendidik, dan pembangunan kesadaran kolektif melalui pendidikan sosial yang berkelanjutan. Masyarakat harus diajak untuk memahami bahwa keselamatan jalan tidak bisa dicapai dengan menciptakan rintangan acak, tetapi dengan membentuk budaya tertib dan menghormati aturan.

     Dalam konteks yang lebih luas, polisi tidur adalah tanda. Tanda bahwa masih banyak warga yang hidup dalam kondisi antara percaya pada hukum dan putus asa terhadap sistem. Mereka ingin aman, tapi tidak tahu cara yang benar untuk mencapainya. Mereka ingin anak-anak mereka selamat, tapi tidak siap menghadapi kenyataan bahwa merekalah yang memberi akses pada pelanggaran itu sendiri.

     Polisi tidur adalah mimpi buruk dari impian akan keteraturan. Ia tampak seperti solusi, tapi menyimpan masalah. Ia seolah hadir untuk menyelamatkan, tapi seringkali menjerumuskan. Dan selama kita masih menaruh harapan pada beton-beton kecil itu untuk menyelesaikan persoalan besar, mungkin kita belum benar-benar bangun dari tidur panjang kita sebagai masyarakat yang bermimpi menjadi tertib tanpa belajar menjadi tertib.

     Pada suatu pagi yang biasa di sebuah kota besar, seseorang mengeluh di media sosial: “Tadi pagi telat ke kantor. Ada tenda hajatan anak pejabat yang menutup jalan raya empat jalur.” Beberapa balasan datang: ada yang menyindir, ada yang menghibur, sebagian besar hanya mendesah. Seolah-olah keterlambatan itu bukan salah siapa-siapa. Begitu juga ketika motor melambat mendadak karena polisi tidur tak beraturan di lorong perumahan, atau ketika kendaraan dialihkan karena sebuah rumah ibadah mengadakan kegiatan akbar yang meluber sampai ke badan jalan. Semua orang tampaknya sudah terbiasa. Tapi siapa sebenarnya yang sedang mengendalikan kota ini?

Ilusi Kontrol Lokal: Polisi Tidur dan Aspirasi Akan Ketertiban

     Di banyak lorong dan jalan sempit kota-kota di Indonesia, kita akan menemukan balok beton, aspal melintang, atau bahkan susunan batu bata yang difungsikan sebagai polisi tidur. Ini bukan proyek pemerintah. Bukan pula hasil kajian teknis lalu lintas. Melainkan wujud konkret dari rasa takut dan rasa ingin mengatur—dua bahan utama dalam ilusi kontrol.

     Orang-orang yang membangun polisi tidur sering berkata: agar pengendara motor tidak kebut-kebutan. Namun ironinya, yang sering ngebut justru anak-anak mereka sendiri, berusia 8-9 tahun, yang seharusnya tidak layak dan tidak diizinkan mengendarai motor. Polisi tidur menjadi alat untuk mengendalikan gejala di permukaan, tapi bukan akar persoalan. Ia menjadi simbol dari kegagalan pendidikan sosial dan kurangnya kesadaran hukum.

     Fenomena ini juga mencerminkan adanya kompetisi simbolik: siapa yang paling peduli, siapa yang paling berani mengklaim bahwa lorong ini adalah milik komunitas tertentu. Dalam masyarakat yang belum terbiasa dengan regulasi bersama yang rasional, kontrol fisik seperti polisi tidur justru terasa lebih nyata dan menenangkan. Padahal, kenyamanan semu itu sering menimbulkan masalah baru: kerusakan kendaraan, kecelakaan, atau konflik antarwarga.

Delusi Kekuasaan: Jalan Raya untuk Pesta Pribadi

     Di sisi lain kota, pejabat tertentu menutup akses jalan besar demi mengadakan pesta pernikahan anaknya. Jalan yang biasa dilalui ribuan kendaraan sehari-hari berubah menjadi ruang privat. Karpet merah, panggung hiburan, deretan tenda megah. Semua berlangsung selama tiga hari. Dan warga yang terdampak? Harus cari jalan lain, sabar, atau diam.

     Ini adalah bentuk delusi kontrol oleh kekuasaan: keyakinan bahwa karena ia memiliki jabatan atau pengaruh, maka ia berhak mengendalikan ruang publik demi kepentingan pribadi. Ia tidak merasa melanggar karena menganggap bahwa ruang bisa dinegosiasikan sesuai kekuatan yang ia miliki. Ini bukan hanya pelanggaran terhadap hukum jalan, tetapi juga terhadap etika spasial dan prinsip keadilan sosial.

     Fenomena ini menunjukkan bagaimana kuasa bisa memperluas ruang privatnya dengan cara yang tak terlihat vulgar, tapi efektif. Edward Soja (2010) menyebut ini sebagai bentuk dari ketimpangan spasial, di mana distribusi ruang tidak lagi mengikuti logika fungsi atau keadilan, melainkan logika kuasa dan simbol. Dan masyarakat yang diam, secara tak sadar ikut menyetujui.

Ketika Ibadah Menjadi Blokade: Sakralitas Versus Fungsionalitas Jalan Raya

     Kasus ketiga mungkin lebih sensitif. Penutupan jalan raya karena kegiatan ibadah, biasanya terjadi secara berkala pada momen-momen keagamaan besar. Jalan enam jalur bisa berubah menjadi lautan manusia bersujud. Pemerintah memberi izin, masyarakat sekitar mengalah. Sekilas, ini tampak seperti toleransi yang indah. Tapi jika ditelaah lebih jauh, ini adalah bentuk delusi kontrol massal.

     Delusi ini muncul karena komunitas merasa memiliki legitimasi moral dan kultural yang tinggi. Ketika ribuan orang melakukan sesuatu bersama, maka tindakan itu tampak sah—meskipun dampaknya merugikan pengguna jalan lainnya. Ini adalah kekuatan simbol dan konsensus. Seperti yang dijelaskan Foucault (1977), kekuasaan tidak selalu hadir melalui paksaan, tetapi bisa melalui normalisasi. Dan dalam kasus ini, delusi kontrol dijalankan melalui bahasa sakral yang tak mudah digugat.

     Kita pun terjebak dalam dilema: membela hak pengguna jalan, berarti berhadapan dengan sensitivitas agama. Menghindarinya, berarti membiarkan preseden terbentuk bahwa ruang publik bisa disakralkan oleh kelompok tertentu. Sementara warga lain, hanya bisa bertanya dalam hati: siapa sebenarnya yang punya jalan ini?

     Ketiga kasus ini bukan soal teknis lalu lintas, melainkan tentang bagaimana ruang, kuasa, dan persepsi bekerja bersama. Mereka menunjukkan bahwa kontrol sosial seringkali tidak berdasarkan hukum, melainkan pada rasa. Rasa memiliki, rasa aman, rasa benar, atau rasa pantas. Dan rasa-rasa itu, jika dibiarkan tanpa koreksi, berubah menjadi delusi.

     Dari sisi sosiologi hukum, ketiga kasus ini memperlihatkan kegagalan negara dalam menegakkan norma legal saat norma sosial mengambil alih. Hukum formal ada, tapi tunduk pada tekanan informal. Dari sisi geografi sosial, kita melihat bagaimana ruang bersama direklamasi oleh individu atau komunitas, seolah-olah kota ini bukan milik bersama tapi hasil negosiasi antar-entitas dominan.

     Dari sisi psikologi sosial, ilusi kontrol muncul karena manusia cenderung ingin merasa mampu mempengaruhi lingkungannya. Ketika realitas terasa tak terkendali—lalu lintas kacau, kehidupan urban yang asing, atau masyarakat yang makin kompleks—orang mencari cara untuk merasa berdaya, walau semu. Dan delusi kontrol massal terjadi saat persepsi itu diperkuat oleh konsensus, simbol, dan keyakinan kolektif.

Siapa yang Mengendalikan Kota Ini?

     Akhirnya kita kembali ke pertanyaan awal: siapa yang sebenarnya mengendalikan kota ini? Mungkin tak ada yang benar-benar mengendalikan. Atau justru terlalu banyak yang merasa mengendalikan. Polisi tidur dibangun di setiap sudut, jalan ditutup demi pesta atau doa, dan publik diminta maklum. Kita hidup dalam kota yang dikendalikan oleh fragmen-fragmen kontrol semu, dan tanpa sadar, kita semua menjadi bagian dari sistem yang kita keluhkan.

     Dalam dunia yang kian kompleks, ilusi dan delusi kontrol akan selalu hadir—sebagai pelarian dari ketidakberdayaan, atau sebagai cara untuk memaksa kehendak. Yang perlu dijaga bukan sekadar jalan yang bisa dilalui, tapi kesadaran bersama bahwa ruang publik adalah milik semua, bukan tempat untuk mengekspresikan kekuasaan, simbol, atau ketakutan yang tak selesai.

     Di sebuah tanah lapang, ratusan orang berdiri dalam diam. Tangan mereka menggenggam lilin yang menyala, mata mereka menatap langit malam, dan bibir mereka bergerak pelan melafalkan sesuatu yang mereka sebut doa. Di layar besar, pemimpin mereka berseru lantang: “Kita akan menang! Karena kita satu suara!” Sorak-sorai pun pecah, genderang dipukul, dan bendera berkibar tinggi — tak satu pun dari mereka bertanya: menang dari apa? Satu suara untuk apa?

     Delusi kontrol massal bukan sekadar kepercayaan yang keliru. Ia adalah mimpi yang dibagikan, dijaga bersama, dan diperkuat lewat ritual, simbol, dan harapan yang dipertukarkan di ruang-ruang publik maupun batin. Jika ilusi kontrol pribadi adalah mimpi satu orang tentang dunia yang bisa dikendalikan lewat kemauan dan kehati-hatian, maka ilusi kontrol intersubjektif adalah mimpi kolektif — bahwa dunia bisa dibentuk dan dikekang oleh kehendak bersama, betapa pun keras dan tak masuk akalnya kenyataan itu sendiri.

     Dan seperti semua mimpi yang terlalu manis, ia bisa membuat kita lupa pada batas. Atau lebih berbahaya lagi: menyangkal bahwa batas itu pernah ada.

     Ilusi kontrol intersubjektif adalah bentuk bersama dari keyakinan palsu bahwa kita — sebagai komunitas, bangsa, atau kelompok sosial — memiliki kekuatan yang lebih besar dari yang sesungguhnya kita miliki untuk mempengaruhi jalannya peristiwa-peristiwa besar di luar kendali kita.

     Sebagaimana dijelaskan oleh Berger dan Luckmann dalam The Social Construction of Reality (1966), realitas sosial tidak berdiri sendiri seperti gunung atau sungai. Ia dibangun secara bertahap lewat proses internalisasi nilai, eksternalisasi tindakan, dan akhirnya objektivasi — yakni ketika sesuatu yang semula hanya disepakati bersama, mulai dianggap sebagai kenyataan “apa adanya.” Ketika sekelompok orang menyepakati suatu keyakinan, lalu membingkainya dalam institusi, simbol, atau kebiasaan, maka ia menjelma menjadi realitas sosial. Namun, realitas ini tetaplah intersubjektif — artinya, ia tergantung pada kesepakatan dan keterlibatan batin para pesertanya.

     Dalam konteks inilah delusi kontrol massal tumbuh: ketika keyakinan kolektif mulai meyakini bahwa kenyataan sosial itu bisa mendikte kenyataan objektif. Bahwa kehendak umat, bangsa, atau rakyat bisa “mengatur alam,” mengubah ekonomi, menggeser bencana, mengundang berkah, atau menyelamatkan dunia — semata-mata karena kita bersatu dan yakin.

     Bagaimana Delusi Ini Terbentuk?

     Delusi kontrol massal tidak muncul dari ruang hampa. Ia tumbuh dari kombinasi rumit antara kebutuhan psikologis, tekanan sosial, luka historis, dan mitos kolektif yang terus diulang-ulang.

     Pertama-tama, manusia adalah makhluk yang lekat pada makna. Kita cenderung mencari narasi bersama untuk menjelaskan hal-hal yang terasa tak terkendali — bencana alam, krisis ekonomi, kekalahan dalam perang, atau pandemi global. Dalam ketidakpastian seperti itu, narasi kontrol kolektif menjadi obat yang menenangkan: “Jika kita semua bertobat, hujan akan turun.” “Jika kita bersatu, ekonomi akan membaik.” “Kalau semua orang ikut doa ini, pandemi akan selesai.”

     Kedua, pemimpin atau figur otoritas sering menjadi sumbu dari nyala keyakinan ini. Dalam istilah Max Weber, mereka yang memiliki karisma profetik atau otoritas tradisional sering memegang peran kunci dalam membentuk pemahaman dunia. Ketika mereka berkata bahwa dunia bisa diubah hanya dengan kekuatan moral bersama, banyak orang yang mengamini — bukan karena rasionalitas argumennya, melainkan karena kepercayaan itu telah menyatu dengan identitas dan rasa aman komunitas.

     Ketiga, delusi ini diperkuat lewat ritual massal, simbol, media sosial, dan pengabaian terhadap suara-suara yang berbeda. Keyakinan itu tidak hanya dipercaya, tapi dirawat dan diwariskan. Orang tidak percaya karena yakin — mereka yakin karena takut kehilangan tempat di dalam narasi bersama.

     Kita tidak bisa menampik bahwa delusi kontrol massal tidak hanya merugikan. Ia juga menawarkan kenyamanan, rasa kuat, dan makna. Dalam dunia yang luas dan terasa semakin tak terkendali, keyakinan bahwa “kita bisa mengubah takdir jika bersama” menciptakan ikatan emosional, solidaritas, dan bahkan harapan. Durkheim menyebut hal ini sebagai efek totemisme — ketika sebuah simbol atau ritual kolektif memberi rasa persatuan spiritual pada kelompok.

     Bahkan, banyak gerakan sosial dan revolusi historis bertumpu pada bentuk delusi ini. Ketika rakyat turun ke jalan karena percaya bahwa kehadiran mereka bisa “menjatuhkan tirani”, atau ketika lagu-lagu perjuangan menyebar dengan keyakinan bisa “mengguncang langit”, mereka tidak sedang berpikir rasional dalam arti ketat. Namun justru karena keyakinan bersama itu, mereka bergerak, bersatu, dan berani melawan.

     Dalam situasi tertekan, delusi kolektif bisa menjadi sumber daya hidup yang paling penting — bukan untuk menemukan kebenaran, tapi untuk bertahan dan berharap.

     Kerugian saat delusi menjadi dogma

     Namun, seperti semua pelipur lara yang terlalu manis, delusi ini menyimpan racun. Ia bisa membutakan kita dari kenyataan yang lebih kompleks, dan bahkan menolak kenyataan itu secara aktif.

     Pertama, ia menciptakan bias konfirmasi kolektif: setiap kejadian akan ditafsirkan sebagai pembenaran atas keyakinan bersama. Jika ekonomi membaik, itu karena doa kita. Jika memburuk, itu karena masih ada yang lalai. Tidak ada ruang untuk pertanyaan kritis, karena narasi menjadi biner dan tertutup.

     Kedua, delusi ini bisa mengorbankan individu. Mereka yang mempertanyakan, yang kritis, atau sekadar ragu — dicap pengkhianat, kafir, atau tidak setia. Inilah yang diperingatkan Hannah Arendt dalam The Origins of Totalitarianism (1951): ketika kebenaran kolektif menjadi absolut, maka kebebasan berpikir harus dibayar mahal.

     Ketiga, delusi ini berpotensi menghambat solusi rasional dan sistemik. Jika orang percaya bahwa kemiskinan bisa diberantas hanya dengan doa dan seruan moral, maka analisis struktural, kebijakan fiskal, dan distribusi sumber daya tidak lagi dianggap penting. Kita menggantikan tindakan dengan retorika.

     Menyadari bahwa ada delusi kontrol massal bukan berarti kita harus meninggalkan iman atau kebersamaan. Justru sebaliknya — ini adalah ajakan untuk menjaga keduanya agar tidak menindas, agar tidak berubah menjadi alat penghapus keragaman dan pertanyaan.

     Berpikir kritis bukan ancaman bagi solidaritas. Ia justru memastikan bahwa solidaritas tetap terbuka, inklusif, dan sadar akan batas-batasnya. Dunia tidak sepenuhnya bisa dikendalikan, baik oleh satu orang maupun oleh jutaan orang. Namun kesadaran atas batas itu — dan kesediaan untuk tidak menyangkalnya — bisa menjadi awal dari kebijaksanaan yang lebih jernih, dan kemanusiaan yang lebih utuh.


Referensi: 

  1. Berger, P. L., & Luckmann, T. (1966). The Social Construction of Reality. Anchor Books.
  2. Weber, M. (1947). The Theory of Social and Economic Organization. Free Press.
  3. Arendt, H. (1951). The Origins of Totalitarianism. Harcourt, Brace.
  4. Durkheim, E. (1912). The Elementary Forms of Religious Life.
  5. Langer, E. J. (1975). The Illusion of Control. Journal of Personality and Social Psychology, 32(2), 311–328.

     Di sebuah kasino yang penuh dengan denting mesin dan lampu berkedip-kedip, seorang pria berdiri di depan meja dadu. Ia meniup dadu itu pelan sebelum melemparkannya, seolah napasnya bisa membelokkan nasib. Di tempat lain, seorang mahasiswa menggandeng pensil “beruntung” saat ujian, percaya bahwa benda itu telah menolongnya lulus semester lalu. Lebih jauh lagi, seorang pemimpin politik memberi pidato sambil memegang benda keramat peninggalan nenek moyangnya, dengan keyakinan bahwa kekuasaan bisa dipanggil dan dikekang lewat simbol.

     Apa yang sesungguhnya terjadi di benak manusia ketika mereka mempercayai hal-hal ini? Mengapa manusia begitu sering merasa bahwa mereka punya kendali atas sesuatu yang sebenarnya tak bisa mereka kuasai?

     Fenomena ini dikenal dalam psikologi kognitif sebagai “ilusi kontrol” — sebuah keyakinan yang keliru bahwa seseorang memiliki pengaruh terhadap peristiwa yang sepenuhnya bergantung pada keberuntungan, probabilitas acak, atau kekuatan eksternal.

     Konsep “ilusi kontrol” pertama kali diperkenalkan secara formal oleh Ellen Langer, seorang psikolog dari Harvard, dalam penelitiannya yang berpengaruh pada tahun 1975. Dalam eksperimen-eksperimennya, Langer menunjukkan bahwa orang-orang cenderung merasa lebih percaya diri dan yakin akan hasil yang menguntungkan ketika mereka memiliki peran aktif, meskipun sebenarnya tidak ada hubungan kausal antara tindakan mereka dan hasil yang terjadi (Langer, 1975).

     Misalnya, peserta diminta membeli tiket lotre. Kelompok pertama diberikan tiket secara acak oleh peneliti, sementara kelompok kedua diperbolehkan memilih sendiri tiketnya. Ketika peneliti menawarkan untuk membeli kembali tiket mereka dengan harga lebih tinggi, kelompok yang memilih sendiri tiketnya meminta harga yang jauh lebih mahal — meskipun peluang menangnya sama-sama acak. Fakta bahwa mereka membuat pilihan sendiri memunculkan perasaan semu bahwa mereka punya kendali.

     Hal ini bukan hanya terjadi dalam konteks perjudian. Dalam kehidupan sehari-hari, kita melihatnya dalam bentuk keyakinan bahwa nasib bisa dipengaruhi lewat tindakan simbolik: memakai baju tertentu saat wawancara kerja, mengetuk kayu untuk menangkal sial, atau menaruh harapan lebih besar pada pemimpin “berkarisma” daripada pada sistem dan kebijakan yang rasional.

     Mengapa otak kita menciptakan ilusi kontrol? Mengapa kita mempercayai sesuatu yang keliru secara logis? Mengapa Kita Terjebak?

     Jawabannya berakar pada mekanisme adaptif dan kebutuhan psikologis. Menurut penelitian Paul Slovic dan Amos Tversky, manusia cenderung mempersepsi pola di tengah kekacauan sebagai cara untuk memprediksi dan mengendalikan dunia (Tversky & Kahneman, 1974). Dengan kata lain, ilusi kontrol sering kali adalah respons otak terhadap ketidakpastian — dan karena ketidakpastian menciptakan kecemasan, maka otak memilih menyederhanakan dunia dengan menanamkan rasa kendali, walau palsu.

     Martin Seligman, dengan teori "learned helplessness"-nya, menunjukkan bahwa manusia (dan hewan) akan merasa lumpuh jika terus-menerus berada dalam situasi tak terkendali. Maka, munculnya ilusi kontrol bisa dipahami sebagai antitesis dari keputusasaan — otak menciptakan harapan karena tak mampu menerima kekacauan sebagai bagian realitas.

     Ada juga sisi sosial. Dalam masyarakat yang menilai tinggi tanggung jawab dan kesuksesan individual, perasaan memiliki kontrol menjadi citra diri yang penting. Mengaku bahwa sesuatu berada di luar kendali sering dianggap sebagai kelemahan, kegagalan, atau bahkan dosa. Maka ilusi kontrol bukan hanya personal, tapi juga konstruksi budaya.

     Namun, ilusi kontrol tidak berhenti sebagai rasa aman semu. Ia bisa berkembang menjadi kesalahan berpikir, keputusan keliru, bahkan bencana.

     Salah satu bentuk paling berbahaya dari ilusi kontrol muncul ketika seseorang mengecilkan risiko, karena merasa dapat “mengatasinya”. Daniel Kahneman, dalam bukunya Thinking, Fast and Slow (2011), menyebut ini sebagai bagian dari bias overconfidence: manusia melebih-lebihkan kemampuan mereka untuk memprediksi dan mengontrol hasil, apalagi ketika mereka merasa “berpengalaman”.

     Contohnya dapat ditemukan di bidang investasi, kesehatan, bahkan politik. Investor yang percaya bahwa “insting” mereka akan selalu benar bisa mengabaikan data objektif. Pasien yang menolak pengobatan medis karena lebih percaya pada kekuatan pikirannya sendiri — merasa bisa mengontrol penyakit lewat “niat baik” atau “pikiran positif” — adalah wujud nyata dari bias ini.

     Dalam konteks sosial dan politik, ilusi kontrol sering mewujud dalam pengambilan keputusan otoriter, ketika pemimpin merasa dirinya satu-satunya yang memahami dan mengontrol arah bangsa. Hal ini memperkuat fenomena delusi kolektif, di mana masyarakat ikut larut dalam keyakinan palsu bahwa segalanya “di tangan pemimpin yang kuat” — padahal sistem, distribusi kuasa, dan realitas objektif jauh lebih kompleks.

     Meski demikian, ilusi kontrol tidak selalu harus dimusuhi. Dalam kadar tertentu, ia bisa menjadi mekanisme penopang semangat hidup, sumber harapan di tengah ketidakpastian yang menyesakkan. Masalahnya bukan pada keberadaan ilusi, tetapi pada ketidakmampuan membedakan kapan kita sungguh mengendalikan sesuatu dan kapan kita hanya merasa seolah-olah mengendalikan.

     Memahami ilusi kontrol adalah undangan untuk merenung lebih dalam tentang relasi kita dengan dunia. Ia mengajarkan kita untuk tetap bertindak, tetapi juga untuk mengenali batas. Bahwa kadang, yang kita genggam bukan realitas, tapi angin. Dan itu tak apa, selama kita tahu bahwa angin bukan milik kita.


Referensi:

  1. Langer, E. J. (1975). The Illusion of Control. Journal of Personality and Social Psychology, 32(2), 311–328.
  2. Tversky, A., & Kahneman, D. (1974). Judgment under Uncertainty: Heuristics and Biases. Science, 185(4157), 1124–1131.

  3. Kahneman, D. (2011). Thinking, Fast and Slow. New York: Farrar, Straus and Giroux.

  4. Seligman, M. E. P. (1975). Helplessness: On Depression, Development, and Death. Freeman.

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.