Apakah Tuhan dan Evolusi Bisa Berdampingan?

     Sejak Charles Darwin menulis On the Origin of Species pada 1859, manusia seperti dilempar ke medan perang baru: bukan lagi sekadar pertarungan antarbangsa, tapi pergulatan antara makna dan mekanisme. Evolusi menawarkan penjelasan yang elegan—dan kejam—bahwa kehidupan ini bukan hasil desain yang rapi dan penuh kasih, melainkan percobaan tanpa akhir, di mana kebetulan genetik bertemu dengan saringan lingkungan. Dari sana lahirlah jutaan spesies, sebagian megah, sebagian absurd, sebagian mati sia-sia.

     Di titik itulah muncul keresahan: bila mekanisme buta ini cukup menjelaskan asal-usul kehidupan, apakah masih ada tempat untuk Tuhan?

     Namun mungkin pertanyaan itu sendiri terjebak dalam dikotomi palsu. Seakan-akan Tuhan dan evolusi duduk di meja debat yang sama, saling adu argumen untuk merebut gelar “penjelasan terbaik.” Padahal, keduanya beroperasi dalam wilayah berbeda. Evolusi bicara tentang bagaimana kehidupan berubah. Tuhan bicara tentang mengapa ada kehidupan sama sekali.

     Mari kita urai dengan pelan.

     Ilmu pengetahuan, sejak mula, bekerja dengan pisau sederhana: observasi, hipotesis, verifikasi. Ia tidak menjanjikan makna, hanya keteraturan. Dari pisau itu lahir teori evolusi. Bahwa spesies tidak muncul sekaligus, melainkan perlahan, lewat modifikasi kecil yang diwariskan, diperkuat, atau terhapus oleh lingkungan. Bukan malaikat yang meniupkan sayap kupu-kupu, melainkan mutasi acak yang kebetulan berguna.

     Namun manusia bukan sekadar makhluk yang puas dengan “bagaimana.” Ia selalu haus pada “mengapa.” Mengapa ada kehidupan alih-alih ketiadaan? Mengapa hukum-hukum alam ini bekerja begitu presisi? Mengapa kita bisa bertanya tentang makna?

     Pertanyaan ini bukanlah wilayah sains. Ilmu hanya bisa berkata: Aku tidak tahu. Dan di ruang kosong itulah Tuhan masuk sebagai horizon.

     Bagi sebagian orang, Tuhan dan evolusi bukan dua kubu yang saling meniadakan, melainkan dua benang yang dijahit bersama. Evolusi dipahami sebagai cara Tuhan bekerja: bukan tangan yang setiap detik membentuk burung di udara, melainkan hukum yang dibiarkan berjalan, seperti jam yang dirancang begitu sempurna hingga bisa berdetak sendiri.

     Tradisi Islam klasik pun, jauh sebelum Darwin, punya istilah sunnatullah—hukum-hukum alam yang tetap, di mana segala sesuatu tunduk. Bagi sebagian teolog modern, teori evolusi hanyalah salah satu sunnatullah yang baru terbaca.

     Tetapi ada juga yang menolak keras. Mereka melihat evolusi sebagai ancaman langsung. Jika manusia hanyalah hasil mutasi genetik, apa artinya firman “Kami ciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”? Jika kehidupan bisa dijelaskan tanpa Tuhan, apakah iman hanya sekadar perasaan yang tersisa setelah sains selesai berbicara?

     Dari sinilah lahir benturan. Di satu sisi, kaum fundamentalis yang berusaha menolak fakta-fakta fosil, DNA, dan anatomi perbandingan. Di sisi lain, kaum ateis yang mengibarkan bendera “Tuhan sudah mati” dengan penuh kemenangan.

     Namun mungkin keduanya terlalu tergesa-gesa.

     Evolusi, bila dipahami dengan jernih, tidak pernah menjawab pertanyaan metafisik. Ia tidak bilang “Tuhan tidak ada.” Ia hanya bilang “Spesies berubah lewat mekanisme tertentu.” Sama halnya dengan hukum gravitasi yang tidak pernah bilang “Malaikat tidak mungkin ada,” melainkan hanya menguraikan mengapa apel jatuh dari pohon.

     Sains bekerja dengan reduksi, sementara Tuhan—bagi orang beriman—selalu dilihat dalam totalitas. Konflik muncul hanya ketika kita menuntut satu bahasa menjelaskan semuanya.

     Di titik ini, manusia dihadapkan pada pilihan: apakah ia bisa hidup dengan ketidakpastian? Bisa menerima bahwa ilmu menjelaskan mekanisme, dan iman menjawab makna, tanpa harus saling mengusir?

     Barangkali yang membuat kita sulit menerima adalah ego kita sendiri. Kita ingin kepastian. Kita ingin Tuhan dan sains sepakat di atas kertas yang sama, dengan tanda tangan basah. Kita ingin jawaban final. Tapi hidup tidak bekerja begitu.

     Lihatlah diri kita sendiri. Tubuh kita adalah museum evolusi: tulang ekor yang nyaris tak berguna, gigi bungsu yang sering jadi masalah, refleks menggenggam bayi yang mengingatkan pada leluhur primata. Tapi di saat yang sama, kita juga makhluk yang menatap bintang, menulis puisi, dan merindukan yang abadi. Apakah itu sekadar produk seleksi alam? Atau tanda samar dari sesuatu yang lebih besar?

     Tidak ada yang bisa menjawab dengan tuntas.

     Mungkin justru di sinilah letak kebijaksanaan: bukan pada memilih satu sisi, melainkan pada menyadari keterbatasan. Evolusi mengajarkan kerendahan hati biologis—bahwa kita bukan mahkota ciptaan, hanya salah satu cabang rapuh dalam pohon kehidupan. Iman mengajarkan kerendahan hati eksistensial—bahwa kita bukan pusat semesta, hanya pengelana yang bertanya.

     Dan jika dua kerendahan hati ini bisa bertemu, bukankah itu bentuk perdamaian yang paling indah?

     Pada akhirnya, pertanyaan bukan lagi “apakah Tuhan dan evolusi bisa berdampingan,” tapi “apakah kita, manusia, mau hidup dengan paradoks itu?” Apakah kita sanggup menerima bahwa dunia ini bisa sekaligus mekanis dan penuh makna, kebetulan dan tujuan, acak dan suci?

     Mungkin jawabannya ada di satu kalimat sederhana: Evolusi menjelaskan bagaimana kita ada. Tuhan menjelaskan mengapa kita peduli.

Pertanyaannya bukan lagi “apakah Tuhan dan evolusi bisa berdampingan,” tapi “apakah kita, manusia, mau hidup dengan paradoks itu?”

Posting Komentar

...

[blogger][facebook]

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.