Articles by "One Step"

Tampilkan postingan dengan label One Step. Tampilkan semua postingan

     Aku mencintai gunung. Tidak enak tinggal di keramaian: di sana terlalu banyak mereka yang bernafsu. Begitulah kata Friedrich Nietzsche, sang filsuf yang selalu berhasil menusuk langsung ke inti persoalan, entah dengan pisau logika atau silet satire yang tak kenal ampun. Apakah ini hanya romantisasi tentang batu, pohon dan keheningan? Atau adakah sebuah tamparan terselubung bagi kita yang hidup dan terengah-engah dalam lautan keramaian?

     Saya tidak sekadar mengkritik keramaian sebagai fenomena sosial, namun menggambarkannya sebagai perangkap homogenitas yang membunuh jiwa. Bayangkan kita, para manusia modern, terjebak dalam hiruk-pikuk yang kita sebut masyarakat, mengikuti arus norma dan tradisi seperti ikan mati di sungai yang tercemar. Dalam keramaian ini, di mana hasrat akan kekuasaan, status, dan pengakuan mendominasi, bukankah kita telah menyerahkan kemerdekaan kita kepada ilusi kebutuhan kolektif? Ironisnya, nafsu yang kita bicarakan sering kali berkamuflase sebagai moralitas atau bahkan kemajuan. Betapa halusnya penghinaan ini, ketika hasrat kita untuk menjadi "bermakna" di mata orang lain ternyata menjadikan kita sekadar pion dalam permainan sosial yang besar.

     Gunung bukan hanya tumpukan batu dan tanah; ia adalah simbol kebebasan, sebuah ruang di mana individu bisa bernapas tanpa pengawasan atau penilaian. Dalam keheningan gunung, tidak ada sorak sorai kosong atau pandangan yang menghakimi. Kita dibiarkan sendirian dengan pikiran kita sendiri, dan bukankah itu sering menjadi momok? Manusia modern takut pada kesendirian karena di sanalah segala ilusi yang kita bangun runtuh, dan kita dihadapkan pada diri kita yang telanjang. Cinta kita pada gunung, mengajak kita untuk berdamai dengan ketelanjangan itu, untuk menghargai keaslian yang terlepas dari hiruk pikuk.

     Mari kita renungkan, apakah manusia benar-benar mencari kebebasan? Ataukah kita lebih nyaman dalam keramaian yang meninabobokan kita dengan kebisingan? Kita ditantang dengan paradoks ini. Keramaian bukan sekadar bising dalam arti harfiah; ia adalah kebisingan mental yang menutupi kebenaran tentang siapa kita sebenarnya. Kebisingan itu memanipulasi kita untuk percaya bahwa kita hidup, sementara yang sebenarnya terjadi adalah kita melarikan diri dari hidup itu sendiri. Bukankah ironis, bahwa di tengah keramaian, kita justru kehilangan koneksi dengan apa yang paling esensial?

     Perenungan atas pertanyaan itu bisa menjadi suatu undangan brutal untuk keluar dari barisan, untuk menolak nilai-nilai kolektif yang dangkal dan menemukan keberanian menjadi diri sendiri. Tapi siapa yang mau menjadi diri sendiri di dunia yang terus-menerus menawarkan template keberhasilan, kebahagiaan, bahkan spiritualitas? Gunung, adalah tempat di mana kita bisa memecahkan cermin yang memantulkan wajah-wajah palsu kita dan melihat apa yang ada di baliknya. Namun, adakah dari kita yang cukup berani untuk menjelajah ke gunung itu tanpa peta atau kompas sosial?

     Dari pernyataan-pernyataan yang tampak sederhana ini, kita tidak hanya berbicara tentang gunung atau keramaian. Tetapi sedang berbicara tentang kita semua, tentang pilihan yang kita buat setiap hari: untuk hidup sebagai bagian dari keramaian yang memabukkan atau mencari keheningan yang menyakitkan tetapi memerdekakan. Jadi, mari kita tanyakan pada diri sendiri: apakah kita mencintai gunung, ataukah kita terlalu nyaman dengan kebisingan keramaian yang merampas kebebasan kita sambil berbisik bahwa kita bahagia?

     Dalam lanskap budaya dan sosial yang terus berubah, era post-truth hadir sebagai salah satu fenomena paling menantang dalam sejarah manusia. Istilah ini menggambarkan masa di mana fakta objektif menjadi kurang penting dibandingkan emosi, keyakinan pribadi, dan narasi yang menarik. Namun, untuk memahami fenomena ini secara mendalam, kita perlu menggali tidak hanya dari perspektif modern tetapi juga menelusuri akar evolusionernya yang membentuk cara manusia berkomunikasi, berpikir, dan memahami kebenaran.

     Post-truth bukanlah sesuatu yang muncul secara tiba-tiba. Fenomena ini dapat dilihat sebagai hasil dari perkembangan panjang sejarah intelektual dan budaya, dari pemikiran filsuf seperti Nietzsche hingga transformasi sosial yang dipicu oleh teknologi digital. Friedrich Nietzsche, pada abad ke-19, telah menyuarakan gagasan bahwa kebenaran sering kali merupakan ilusi yang diciptakan untuk mendukung struktur kekuasaan tertentu. Dalam esainya yang berjudul On Truth and Lies in a Nonmoral Sense, Nietzsche menegaskan bahwa manusia menciptakan kebenaran sebagai konvensi sosial, sesuatu yang bermanfaat tetapi bukan refleksi dari kenyataan objektif. Pandangannya membuka jalan bagi filsafat postmodernisme yang di kemudian hari semakin mempertanyakan validitas kebenaran universal.

     Filsafat postmodern, dengan tokoh-tokoh seperti Michel Foucault dan Jean Baudrillard, lebih jauh mengeksplorasi hubungan antara pengetahuan, kekuasaan, dan representasi. Foucault menunjukkan bagaimana kebenaran sering kali merupakan konstruksi sosial yang didikte oleh mereka yang memiliki otoritas. Baudrillard melangkah lebih jauh dengan menyatakan bahwa di era media massa, simulasi sering kali menggantikan realitas. Konstruksi ini tidak hanya mengubah cara manusia melihat kebenaran tetapi juga bagaimana kebenaran itu sendiri didefinisikan. Dalam dunia yang semakin terhubung, realitas menjadi semakin sulit dibedakan dari representasi, menciptakan ruang bagi fenomena seperti post-truth.

     Namun, fenomena ini tidak hanya dapat dijelaskan melalui lensa filsafat modern. Perspektif evolusioner memberikan pandangan yang lebih luas tentang bagaimana manusia merespons informasi dan kebenaran. Sebagai spesies, manusia telah mengembangkan kemampuan unik untuk berbicara, berbagi cerita, dan menciptakan mitos. Kemampuan ini tidak hanya menjadi alat untuk berburu atau bertahan hidup tetapi juga membangun kohesi sosial dalam kelompok. Dalam konteks masyarakat pemburu-peramu, kepercayaan pada cerita bersama sering kali lebih penting daripada fakta objektif. Sebuah mitos yang menyatukan kelompok dapat memberikan keuntungan adaptif yang lebih besar dibandingkan dengan kebenaran yang tidak relevan secara langsung dengan kelangsungan hidup.

     Kecenderungan manusia untuk merespons narasi dan emosi juga tercermin dalam berbagai bias kognitif yang telah menjadi bagian dari warisan evolusi kita. Bias konfirmasi, misalnya, mendorong manusia untuk mencari informasi yang mendukung keyakinan yang sudah ada. Efek ini mungkin bermanfaat dalam konteks kelompok kecil di mana kepercayaan yang sama diperlukan untuk kerja sama, tetapi dalam dunia modern yang terfragmentasi secara digital, bias ini memperkuat polarisasi dan memperburuk fenomena post-truth. Begitu pula dengan efek emosi, di mana informasi yang membangkitkan rasa takut, marah, atau bangga lebih cepat diingat dan lebih mungkin memengaruhi perilaku dibandingkan fakta yang disampaikan secara netral. Kombinasi dari bias-bias ini membentuk dasar psikologis dari mengapa narasi emosional sering kali lebih berhasil dibandingkan fakta objektif dalam memengaruhi opini publik.

     Evolusi sosial juga berperan penting dalam memahami post-truth. Selama ribuan tahun, manusia hidup dalam hierarki sosial di mana narasi yang mendukung otoritas sering kali lebih diterima daripada fakta yang bertentangan. Dalam masyarakat modern, pola ini masih terlihat, terutama dalam politik dan media massa. Ketika pemimpin atau kelompok tertentu menggunakan narasi untuk memperkuat posisi mereka, mereka sering memanfaatkan respons emosional yang tertanam dalam psikologi manusia. Di era digital, strategi ini diperkuat oleh algoritma media sosial yang memprioritaskan konten yang memicu keterlibatan emosional, baik itu dalam bentuk suka, komentar, atau berbagi.

     Era post-truth juga mencerminkan ketidakcocokan antara evolusi psikologis manusia dan dunia digital yang berkembang pesat. Otak manusia, yang dirancang untuk bertahan hidup dalam lingkungan pemburu-peramu, tidak sepenuhnya siap menghadapi arus informasi yang berlebihan. Informasi yang kompleks dan bertentangan menciptakan tekanan kognitif, sehingga orang cenderung mencari jalan pintas dengan mempercayai narasi yang paling sederhana atau paling menarik secara emosional. Dalam konteks ini, teknologi digital menjadi akselerator fenomena post-truth, menciptakan dunia di mana kebenaran menjadi semakin sulit dibedakan dari kebohongan.

     Dalam perspektif evolusioner, narasi post-truth juga dapat dilihat sebagai strategi adaptif dalam lingkungan sosial modern. Sebuah narasi palsu tetapi menarik dapat memberikan keuntungan selektif bagi individu atau kelompok dalam mendapatkan pengaruh atau dominasi. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Yuval Noah Harari dalam Sapiens, manusia memiliki kemampuan untuk menciptakan "fiksi bersama," seperti mitos agama atau ideologi politik, yang memungkinkan kerja sama dalam skala besar. Post-truth, dalam banyak hal, adalah ekspresi dari kemampuan ini yang diadaptasi untuk era digital.

     Namun, dampak dari fenomena ini tidak hanya bersifat adaptif tetapi juga menciptakan tantangan serius bagi masyarakat modern. Polarisasi yang dihasilkan oleh post-truth menghambat dialog antar kelompok, merusak demokrasi, dan mengancam kepercayaan terhadap institusi seperti sains dan media. Ketika kebenaran menjadi sesuatu yang relatif, upaya untuk mengatasi tantangan global seperti perubahan iklim atau pandemi menjadi jauh lebih sulit. Dalam konteks ini, post-truth bukan hanya masalah epistemologis tetapi juga ancaman eksistensial bagi kelangsungan peradaban manusia.

     Untuk menghadapi tantangan ini, penting bagi kita untuk mengakui akar evolusioner dari fenomena post-truth sambil mencari cara untuk beradaptasi dengan realitas modern. Salah satu langkah penting adalah meningkatkan literasi media dan pendidikan kritis, sehingga individu dapat lebih baik dalam membedakan fakta dari narasi yang menyesatkan. Di sisi lain, institusi seperti media dan sains perlu berinovasi dalam cara mereka berkomunikasi, menjadikan fakta lebih menarik dan relevan secara emosional tanpa mengorbankan integritas. Dalam jangka panjang, tekanan seleksi dalam masyarakat digital mungkin mendorong evolusi mekanisme kognitif baru yang lebih baik dalam menyaring informasi dan mengidentifikasi kebenaran.

     Post-truth, meskipun tampak seperti tantangan modern, adalah cerminan dari sifat manusia yang telah berkembang selama ribuan tahun. Dalam era ini, kita dihadapkan pada pilihan untuk memahami akar fenomena ini dan beradaptasi, atau membiarkan bias dan emosi kita terus mendikte masa depan. Dengan memahami post-truth melalui lensa evolusi, kita dapat melihatnya tidak hanya sebagai masalah tetapi juga peluang untuk memperbaiki cara kita berkomunikasi, berpikir, dan berhubungan satu sama lain di dunia yang semakin kompleks.

     Renungan René Descartes, sang filsuf yang meletakkan landasan eksistensi modern melalui deklarasi abadi, "Cogito ergo sum", telah lama menjadi bintang penunjuk arah bagi manusia. Jika aku berpikir, aku ada. Begitu sederhana, begitu kuat. Namun, entah bagaimana, di era media sosial ini, adagium tersebut tampak kuno, bahkan ketinggalan zaman. Sebuah deklarasi baru telah menggantikan filsafat yang tenang dan mendalam itu, lebih ribut, lebih riuh, lebih penuh lampu kilat kamera: "I post, therefore I exist."

     Kini, berpikir saja tak cukup. Keberadaan seseorang harus dibuktikan melalui unggahan foto, video, atau ocehan digital yang berselimutkan ilusi kreativitas. Hidup telah menjadi panggung sandiwara yang tak pernah redup lampunya, di mana setiap individu menjadi aktor dan sutradara, menayangkan eksistensinya untuk ribuan, bahkan jutaan pasang mata virtual. Yang muda, yang tua, bahkan yang telah memasuki masa pensiun dengan seharusnya menikmati keheningan, semua berlomba-lomba dalam parade narsisisme yang disponsori algoritma.

     Ironi besar dari fenomena ini adalah bahwa generasi yang lebih tua, yang dulu memandang media sosial sebagai mainan anak muda yang dangkal, kini menjadi bagian tak terpisahkan dari keributan digital tersebut. Mereka yang pernah bersandar pada prinsip-prinsip kehormatan, kedalaman, dan kebijaksanaan, kini dengan antusias memamerkan hasil panen sayuran di kebun belakang, perjalanan wisata ke tempat yang "instagenik," atau sekadar foto hidangan makan siang yang diambil dari sudut terbaik. Semua dilakukan dengan satu tujuan: mendapat tanda jempol dan komentar sederhana seperti "Mantap!" atau "Keren, Bu!"

     Tentu, kita bisa memaafkan perilaku ini jika motivasinya adalah rasa kesepian. Generasi yang lebih tua, sering kali terisolasi dalam dunia yang semakin individualistis, menemukan hiburan dan koneksi dalam hiruk-pikuk dunia maya. Namun, mari kita jujur: ini bukan hanya soal keterhubungan. Ini tentang validasi, tentang membuktikan bahwa mereka masih ada, bahwa mereka masih berarti. Dan di sinilah iming-iming dari beberapa platform media sosial memainkan peran utamanya.

     Ketika media sosial mulai menawarkan insentif berupa uang receh untuk setiap like dan komentar, permainan ini menjadi semakin rumit. Validasi bukan lagi hanya kebutuhan emosional, tetapi juga peluang finansial. Mendadak, setiap unggahan memiliki potensi menjadi aset. Dan di tengah godaan ini, muncul banjir konten yang, jika boleh dikatakan secara sopan, tidak selalu memiliki nilai estetis atau intelektual.

     Konten dungu menjadi raja. Video tantangan menari yang tak masuk akal, pendapat kontroversial yang sengaja dibuat untuk memancing emosi, hingga hal-hal sepele seperti bagaimana cara makan pisang dengan "unik," semuanya menemukan tempatnya di dunia ini. Dan publik, yang juga lapar akan hiburan instan, dengan senang hati mengonsumsi sampah digital ini. Sebuah siklus tercipta: semakin receh konten, semakin besar peluangnya untuk menjadi viral, dan semakin besar dorongan untuk menciptakan lebih banyak konten receh.

     Namun, apakah ini benar-benar masalah generasi? Apakah obsesi terhadap validasi digital ini hanya milik kaum muda dengan YOLO (You Only Lives Once)-nya atau generasi tua yang terlambat belajar menggunakan Instagram? Tidak. Ini adalah masalah manusia modern secara keseluruhan. Kita semua, tanpa terkecuali, adalah produk dari sistem yang mendefinisikan keberadaan berdasarkan perhatian yang kita terima. Descartes mungkin berkata, "Aku berpikir, maka aku ada," tetapi generasi sekarang tampaknya berkata, "Aku terlihat, maka aku ada."

     Dan di sinilah tragedi modernitas benar-benar terungkap. Eksistensi, yang seharusnya menjadi sesuatu yang intrinsik, kini direduksi menjadi sesuatu yang hanya berarti jika diakui oleh orang lain. Lebih parah lagi, pengakuan ini tidak lagi didasarkan pada kualitas pikiran, karya, atau kontribusi kita, tetapi pada seberapa menariknya kita dalam format yang bisa dilihat di layar kecil.

     Tentu saja, ada perlawanan terhadap tren ini. Minimalisme, introspeksi, dan gerakan YONO (You Only Need One) mencoba menawarkan alternatif. Namun, seperti yang kita lihat sebelumnya, bahkan YONO pun tidak kebal terhadap komodifikasi. Filosofi sederhana untuk hidup esensial berubah menjadi strategi pemasaran untuk menjual buku, seminar, dan barang-barang "esensial" dengan harga premium. Jika YOLO adalah konsumerisme yang hedonistik, YONO adalah konsumerisme yang berkedok spiritualitas.

     Lalu, apa yang tersisa? Bagaimana kita bisa keluar dari lingkaran ini? Jawabannya mungkin terletak pada pemahaman bahwa eksistensi sejati tidak memerlukan penonton. Descartes benar dalam satu hal: keberadaan kita harus dimulai dari dalam, dari kemampuan untuk berpikir, merasakan, dan bermakna tanpa perlu persetujuan eksternal. Tetapi untuk mencapainya, kita harus melawan godaan dari dunia digital yang terus-menerus berteriak, "Lihat aku!"

     Mari menjeda nafas sejenak, bahwa baris-baris kalimat di atas bukan tentang menghakimi siapa pun, tetapi tentang mengingatkan kita semua akan sesuatu yang telah hilang di tengah kilauan layar dan riuhnya suara notifikasi. Eksistensi sejati bukanlah tentang berapa banyak jempol yang kita kumpulkan, tetapi tentang seberapa dalam kita mengenal diri sendiri. Dan untuk itu, mungkin kita perlu menghidupkan kembali prinsip lama, yang sederhana namun penuh makna: berpikir, merasa, dan hidup—untuk diri kita sendiri, bukan untuk algoritma.

     Manusia modern adalah spesies yang tak pernah puas. Di satu sisi, kita dikejar oleh ilusi bahwa hidup ini singkat dan harus dijalani dengan semaksimal mungkin. Di sisi lain, kita dicekoki pesan bahwa kebahagiaan hanya bisa dicapai melalui penyederhanaan radikal. Konsep YOLO (you only live once) dan YONO (you only need one) adalah anak-anak kembar dari ketegangan ini, hasil evolusi budaya yang terus mencari jalan keluar dari rasa kosong yang tak pernah terisi. Namun, apakah keduanya benar-benar solusi, atau hanya jebakan lain dalam rantai paradoks kehidupan modern?

     YOLO, sebagai slogan hidup generasi milenial dan Gen Z, muncul dari semangat pemberontakan terhadap rutinitas membosankan. Dengan lantangnya, YOLO menyerukan, “Berani! Ambil risiko! Hidup hanya sekali!” Dalam kebisingan kota besar dan kilauan layar ponsel, YOLO menggemakan frasa carpe diem dari pujangga Romawi, Horatius, yang dulu mengajak manusia meraih hari dengan semangat penuh. Tapi, dalam praktiknya, apa yang diraih? Sebagian besar adalah pengalaman yang ditargetkan untuk satu tujuan saja: diunggah ke Instagram. Perjalanan jauh, makanan mahal, pesta meriah—semuanya diringkas dalam tagar #YOLO, seakan-akan hidup hanya akan berarti jika disaksikan oleh dunia.

     Tentu, tidak ada yang salah dengan sedikit hedonisme. Kita semua butuh waktu untuk bersenang-senang. Tetapi, di balik tampilan glamor YOLO, ada ironi yang merayap. Keberanian yang diklaim oleh YOLO sering kali tidak lebih dari keberanian yang dibeli dengan kartu kredit. Sebuah skydive di Bali? Mengagumkan! Namun, apakah itu benar-benar keberanian atau hanya penundaan dari kenyataan bahwa cicilan bulanan menanti? YOLO, yang pada awalnya bertujuan membebaskan, malah membelenggu manusia pada kebutuhan akan validasi sosial.

     Di sinilah YONO masuk dengan suara yang lebih tenang, namun tak kalah liciknya. YONO menasihati kita untuk berhenti mengejar segalanya. "Kamu hanya butuh satu," katanya, memberikan penghiburan bagi jiwa yang lelah dikejar-kejar oleh tuntutan YOLO. Pilih satu tujuan hidup, satu hubungan bermakna, atau satu barang berkualitas, dan kamu akan menemukan kebahagiaan. Pesan ini terdengar seperti balsam penyembuh bagi luka yang ditorehkan oleh budaya konsumerisme. Tapi tunggu dulu, apakah YONO benar-benar jawaban, atau hanya penawaran baru dalam kemasan minimalis?

     Lihatlah bagaimana minimalisme dijadikan komoditas. Buku-buku panduan tentang menyederhanakan hidup menjamur, dengan harga yang ironisnya tidak sederhana. Seminar dan lokakarya untuk menemukan “satu hal yang kamu butuhkan” sering kali dikemas dengan harga eksklusif yang seolah-olah ingin berkata, “Kamu hanya butuh satu hal—tapi kamu harus membelinya dariku.” YONO, seperti saudara kembarnya YOLO, akhirnya terjebak dalam jerat pasar. Keduanya tidak lebih dari dua sisi koin yang sama: janji kebahagiaan yang selalu bergantung pada sesuatu di luar diri kita.

     Namun, menarik untuk melihat bagaimana kedua konsep ini memiliki akar yang lebih dalam. YOLO, dengan dorongannya untuk mengejar pengalaman maksimal, mengingatkan kita pada ajaran eksistensialisme yang menekankan kebebasan individu untuk menciptakan makna hidup. Di sisi lain, YONO, dengan ajakannya untuk fokus pada yang esensial, sejalan dengan prinsip wu wei dalam Taoisme dan pengendalian diri dalam stoisisme. Keduanya bukanlah gagasan baru, melainkan transformasi modern dari pencarian makna yang telah berlangsung selama ribuan tahun.

     Pertanyaannya adalah, mengapa kedua konsep ini, meskipun didasarkan pada kebijaksanaan lama, tampaknya gagal memberikan kepuasan yang dijanjikan? Mungkin jawabannya terletak pada cara kita mengonsumsinya. Baik YOLO maupun YONO, ketika dipisahkan dari konteks filosofisnya dan dijadikan sekadar slogan budaya pop, kehilangan kedalamannya. Mereka tidak lagi menjadi jalan menuju kebijaksanaan, tetapi alat untuk menjual gaya hidup. YOLO mendorong kita untuk membeli lebih banyak pengalaman, sementara YONO mendorong kita untuk membeli versi "sederhana" dari pengalaman yang sama.

     Saya sama sekali tidak bertujuan untuk menjelekkan YOLO atau YONO, tetapi untuk mengingatkan kita bahwa di balik setiap slogan ada paradoks. Hidup memang hanya sekali, tetapi tidak berarti kita harus mengejar segalanya dalam satu tarikan napas. Kita mungkin hanya membutuhkan satu hal, tetapi menentukan apa 'satu hal' itu memerlukan introspeksi yang lebih mendalam daripada sekadar mengikuti tren minimalisme.

     Pada akhirnya, baik YOLO maupun YONO hanyalah cermin dari dilema manusia modern: ketegangan antara keinginan untuk memiliki semuanya dan kebutuhan untuk menemukan makna dalam kesederhanaan. Solusinya mungkin bukan memilih salah satu, tetapi menemukan cara untuk hidup di antara keduanya. Berani mengambil risiko sekaligus tahu kapan harus berhenti. Mengejar pengalaman tanpa melupakan kedalaman. Dan yang terpenting, mengingat bahwa kebahagiaan tidak terletak pada slogan, tetapi pada bagaimana kita menjalani hidup kita sendiri, dengan atau tanpa tagar.

     Kebahagiaan, baik dalam konteks objektif maupun subjektif, bukanlah sesuatu yang bisa diatur hanya dengan mengingat atau melupakan. Kebahagiaan adalah kondisi yang lebih mendasar dan kompleks, yang berakar pada kesejahteraan mental, emosional, sosial, dan sering kali melibatkan faktor-faktor eksternal seperti kualitas hidup, keamanan, serta relasi yang sehat.

     Ketika seseorang mengatakan "jangan lupa bahagia," ada asumsi implisit bahwa kebahagiaan adalah sesuatu yang bisa muncul hanya dengan mengingatnya. Ini tentu saja mengabaikan kenyataan bahwa kebahagiaan bukanlah hasil dari sekadar ingatan, melainkan dari pencapaian kondisi tertentu dalam hidup yang memungkinkan perasaan tersebut muncul dengan sendirinya. Misalnya, kebahagiaan bisa muncul dari rasa puas akan pencapaian, rasa terhubung dengan orang lain, atau perasaan damai dalam menjalani hidup.

     Bayangkan bahwa ungkapan ini sebenarnya adalah semacam refleksi dari kegagalan masyarakat modern dalam memahami kebahagiaan secara mendalam. Ada kemungkinan bahwa seringnya orang mengucapkan "jangan lupa bahagia" justru menunjukkan sebuah ironi—bahwa kebahagiaan telah menjadi begitu terasing dan jauh dari jangkauan, sehingga perlu diingatkan secara verbal.

     Dalam pandangan yang lebih skeptis, ungkapan ini mungkin menggambarkan budaya yang terlalu terobsesi dengan "kebahagiaan" sebagai suatu tujuan yang harus dicapai, tetapi tidak benar-benar memahami esensinya. Kebahagiaan, dalam banyak budaya tradisional, tidak selalu menjadi tujuan yang harus dikejar secara aktif; melainkan hasil dari menjalani kehidupan yang bermakna, seimbang, dan sesuai dengan nilai-nilai batiniah seseorang.

     Dengan kata lain, mungkin ungkapan "jangan lupa bahagia" justru memperlihatkan sebuah paradoks di mana masyarakat telah menciptakan begitu banyak distraksi, tekanan, dan tuntutan hidup yang membuat kebahagiaan menjadi sesuatu yang harus diprogram ulang ke dalam pikiran kita. Ini seolah-olah kebahagiaan adalah sebuah barang yang bisa dilupakan di suatu sudut, padahal kebahagiaan yang sejati seharusnya mengalir alami dari cara kita menjalani kehidupan sehari-hari.

     Selain itu, dari perspektif filosofis, ada pandangan bahwa dorongan untuk "jangan lupa bahagia" bisa menjadi bentuk penghindaran dari kenyataan hidup yang sebenarnya kompleks, penuh dengan penderitaan, tantangan, dan ketidakpastian. Di balik pesan positif ini, ada kemungkinan tersembunyi perasaan putus asa atau kelelahan kolektif, di mana orang-orang merasa harus menutupi atau melarikan diri dari realitas dengan menyemangati diri mereka sendiri atau orang lain untuk "ingat bahagia."

     Lebih lanjut, ini bisa juga dikaitkan dengan fenomena yang disebut toxic positivity, di mana tekanan sosial untuk selalu positif dan bahagia justru bisa mengarah pada pengabaian emosi negatif yang sah dan perlu dirasakan serta diproses. Di dunia yang serba cepat ini, ungkapan "jangan lupa bahagia" bisa menjadi instrumen untuk menekan perasaan lain yang dianggap tidak produktif atau tidak nyaman, sehingga menciptakan ilusi bahwa kebahagiaan adalah satu-satunya emosi yang layak dihargai.

     Jadi, dari perspektif ini, "jangan lupa bahagia" bukan hanya sekadar tren, tetapi mungkin juga merupakan tanda dari masyarakat yang mulai kehilangan kontak dengan pemahaman kebahagiaan yang lebih otentik, mendalam, dan bermakna.

     Jika kita melihat fakta bahwa dalam negara dengan ranking kebahagiaan rendah, ungkapan ini sering digunakan, ini bisa menjadi indikator bahwa masyarakat tersebut mungkin sedang berusaha keras untuk mencapai sesuatu yang terasa sulit digapai. Mereka mungkin mencoba menemukan kebahagiaan di tengah kondisi yang tidak mendukung, dan ungkapan "jangan lupa bahagia" menjadi semacam mantra atau penghiburan diri yang digunakan tanpa pemahaman mendalam.

     Sebagai catatan, peringkat kebahagian orang Indonesia di tahun 2024 berada di rangking 80 dari 143 negara. Hanya meningkat 3 grade dari 83 di tahun 2012. Di Asean sendiri negara kita berada di urutan ke-6 di bawah Singapura, Filipina, Vietnam, Thailand dan Malaysia. Sementara sepuluh teratas negara terbahagia adalah Finlandia di posisi pertama diikuti Denmark, Islandia, Swedia, Israel, Belanda, Norwegia, Luxemburg, Swiss dan Australia di urutan 10.

1. Finlandia

2. Denmark

3. Islandia

4. Swedia

5. Israel

6. Belanda

7. Norwegia

8. Luksemburg

9. Swiss

10. Australia

Baca artikel detikedu, "Daftar 10 Negara Paling Bahagia Terbaru 2024, Apakah Finlandia Nomor Satu?" selengkapnya https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-7257856/daftar-10-negara-paling-bahagia-terbaru-2024-apakah-finlandia-nomor-satu.

Download Apps Detikcom Sekarang https://apps.detik.com/detik/
Filipina (6,05), Vietnam (6,04), Thailand (5,98), dan Malaysia (5,98)

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul ""Economics of Happiness": Indonesia Tidak Cukup Bahagia?", Klik untuk baca: https://money.kompas.com/read/2024/03/25/134403026/economics-of-happiness-indonesia-tidak-cukup-bahagia?page=all.

Editor : Sandro Gatra

Kompascom+ baca berita tanpa iklan: https://kmp.im/plus6
Download aplikasi: https://kmp.im/app6

     Ini juga menunjukkan bahwa ungkapan tersebut bisa jadi lebih banyak digunakan sebagai penutup atau solusi instan untuk masalah yang sebenarnya membutuhkan perhatian lebih besar. Dalam masyarakat dengan tingkat kebahagiaan yang rendah, ada kemungkinan bahwa orang merasa kebahagiaan adalah sesuatu yang harus diingatkan karena terasa begitu jauh atau sulit dicapai dalam kehidupan sehari-hari mereka.

     Dengan kata lain, frasa ini mungkin lebih mencerminkan kegagalan kolektif untuk memahami apa itu kebahagiaan secara mendalam dan bagaimana mencapainya secara berkelanjutan, daripada sekadar saran yang tulus atau bermanfaat. Ini adalah ekspresi dari ketidakpahaman tentang kompleksitas kebahagiaan, yang tidak bisa dicapai hanya dengan sekadar mengingatkan diri sendiri atau orang lain.

Telaah ungkapan "jangan lupa bahagia" dari perspektif evolusi otak manusia maupun evolusi budaya.

Evolusi Otak (Neurosains Evolusioner)

     Dari sudut pandang evolusi otak, manusia telah berkembang untuk merespons rangsangan dan pengalaman yang memengaruhi kelangsungan hidup dan reproduksi. Kebahagiaan pada dasarnya adalah kondisi yang berhubungan dengan pelepasan zat kimia tertentu di otak, seperti dopamin, serotonin, dan oksitosin, yang memainkan peran penting dalam mengatur emosi dan motivasi.

     Secara evolusioner, kebahagiaan bukanlah kondisi yang dimaksudkan untuk bertahan lama tanpa henti. Otak kita dirancang untuk mencari keseimbangan antara pencarian kepuasan dan kesiapan menghadapi tantangan berikutnya. Misalnya, perasaan bahagia setelah mencapai sesuatu biasanya akan mereda, memotivasi kita untuk mencari tujuan atau pengalaman baru. Ini adalah bagian dari mekanisme evolusi yang menjaga manusia tetap produktif dan adaptif.

     Ungkapan "jangan lupa bahagia" mungkin muncul sebagai respons terhadap kecenderungan alami otak kita untuk kembali ke keadaan "normal" setelah puncak kebahagiaan tercapai. Dalam konteks ini, bisa dikatakan bahwa ungkapan tersebut adalah upaya sederhana untuk menentang atau setidaknya menyadari kecenderungan alami otak kita untuk lebih fokus pada masalah atau tantangan, daripada mempertahankan kebahagiaan.

     Namun, ini juga bisa dilihat sebagai kekeliruan dalam memahami cara kerja otak manusia: kebahagiaan tidak bisa dipertahankan hanya dengan mengingatnya karena itu adalah bagian dari siklus biologis yang lebih besar yang dirancang untuk mengoptimalkan kelangsungan hidup.

Evolusi Budaya (Meme dan Pengaruh Sosial)

     Dari perspektif evolusi budaya, ungkapan "jangan lupa bahagia" dapat dilihat sebagai "meme" atau unit budaya yang bereplikasi dan menyebar dari satu orang ke orang lain. Dalam teori meme, ide, frasa, atau perilaku yang dianggap menarik atau relevan dalam konteks sosial tertentu akan cenderung menyebar dan bertahan.

     Ungkapan ini mungkin telah menjadi populer karena sesuai dengan nilai-nilai zaman sekarang yang sangat menekankan pada self-care, kesejahteraan emosional, dan optimisme. Di dunia yang penuh dengan ketidakpastian dan perubahan cepat, frasa ini menawarkan solusi yang tampaknya mudah dan dapat diterima oleh banyak orang. Namun, karena penyebarannya yang cepat dan seringkali tanpa pemahaman mendalam, ungkapan ini bisa menjadi dangkal—mencerminkan penurunan kualitas pemikiran kritis dalam budaya yang lebih mengutamakan kesederhanaan dan kemudahan pesan.

     Dalam evolusi budaya, konsep-konsep yang menyebar sering kali mengalami distorsi, terutama ketika dipisahkan dari konteks aslinya. "Jangan lupa bahagia" mungkin awalnya memiliki niat baik sebagai pengingat sederhana, tetapi ketika ia berkembang dalam konteks yang lebih luas dan kehilangan nuansa aslinya, maknanya bisa tereduksi menjadi sesuatu yang lebih klise dan kurang bermakna.

     Sebagai kesimpulan, dari perspektif evolusi baik fisik maupun budaya, ungkapan "jangan lupa bahagia" adalah refleksi dari cara otak kita dan budaya kita menangani kompleksitas kebahagiaan. Dari sisi otak, itu mungkin upaya sadar untuk melawan kecenderungan alami kita yang lebih fokus pada tantangan. Dari sisi budaya, itu adalah produk dari dinamika sosial di mana ide-ide sederhana sering kali diutamakan karena lebih mudah dicerna dan dibagikan, meskipun berpotensi kehilangan kedalaman dan relevansinya.

     Di persimpangan jalan pengetahuan, manusia terpaku pada pertanyaan kuno: Siapakah Tuhan? Jawabannya bagaikan lautan luas, menyimpan misteri dan keragaman. Bagi sebagian orang, Tuhan menjelma sebagai sosok personal, penuh kasih dan kebijaksanaan, bagaikan dewa dalam mitologi. Pandangan ini, lazim disebut "antropomorfis" (pemberian atribusi karakteristik, perasaan, atau tujuan yang dimiliki manusia kepada entitas bukan manusia). Mengantropomorfiskan Tuhan dengan sifat-sifat manusia, membuatnya mudah dipahami namun rawan kerancuan.

     Teologi dan Ilmu Kalam, bagaikan pelukis ulung, melukiskan wajah Tuhan dengan warna-warna cerah. Konsep ini, dianut banyak orang, mewariskan gambaran Tuhan sebagai pencipta dan pelindung, sumber segala kebaikan dan kebijaksanaan. Namun, bagi sebagian orang, pemahaman ini terasa terbatas, tak mampu menjangkau kedalaman realitas.

     Para filsuf bagaikan penjelajah samudra pemikiran, menyelami lautan makna dan eksistensi. Dengan keberanian dan ketajaman intelektual, mereka menelusuri kedalaman yang sering kali tidak terlihat oleh mata manusia biasa. Bagi para filsuf ini, Tuhan bukan sekedar sosok personal yang bisa dirasakan dan dibayangkan, tetapi sebuah realitas metafisik yang tak terhingga dan tak terbayangkan oleh akal manusia biasa. Mereka menolak pandangan Tuhan yang dibatasi oleh sifat-sifat manusiawi, memilih untuk melihat Tuhan sebagai entitas yang melampaui semua batasan fisik dan konseptual.

      Konsep "Tuhan tanpa wujud" diusung oleh para filsuf seperti Al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Rushd. Dalam pemikiran mereka, Tuhan adalah sebab pertama yang menggerakkan segala sesuatu, namun tetap berada di luar jangkauan pemahaman manusia yang terbatas. Tuhan tidak terikat oleh ruang dan waktu, keberadaannya transenden dan melampaui batas-batas alam semesta yang bisa kita pahami. Mereka menggambarkan Tuhan sebagai sesuatu yang tidak dapat digambarkan, sebab segala upaya untuk memberikan bentuk atau sifat pada-Nya hanya akan membatasi kebesaran-Nya yang sebenarnya tak terhingga.

     Pandangan ini, bagaikan pisau bermata dua. Di satu sisi, ia membebaskan Tuhan dari keterbatasan antropomorfisasi, dari kecenderungan manusia untuk memberikan sifat-sifat manusiawi kepada-Nya. Dengan cara ini, Tuhan menjadi lebih agung dan tak terhingga, tidak terikat oleh kelemahan dan keterbatasan manusia. Ini memungkinkan pemahaman yang lebih dalam dan luas tentang keberadaan-Nya yang absolut dan tidak terbandingkan.

     Namun, di sisi lain, pandangan ini juga memicu keraguan dan pertanyaan yang mendalam. Bagaimana mungkin Tuhan yang tak terhingga, yang melampaui segala sesuatu, bisa peduli dengan ciptaan-Nya yang kecil dan rapuh? Bagaimana Tuhan yang begitu jauh dari pemahaman manusia, yang berada di luar segala sesuatu yang kita ketahui, bisa memiliki hubungan yang intim dan penuh kasih dengan makhluk-makhluk yang fana dan terbatas?

     Para filsuf berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan ini melalui eksplorasi mendalam tentang sifat keberadaan dan hubungan antara yang absolut dan yang relatif. Mereka berpendapat bahwa Tuhan, meskipun berada di luar jangkauan pemahaman manusia, tetaplah penyebab dari segala sesuatu dan sumber dari semua eksistensi. Melalui intelek aktif dan pemahaman metafisik yang mendalam, mereka berusaha menunjukkan bagaimana Tuhan yang tak terhingga tetap dapat berinteraksi dengan dunia yang terbatas.

     Namun, bagi banyak orang, jawaban-jawaban ini tidak selalu memuaskan. Keterpisahan Tuhan dari dunia yang fana sering kali terasa sebagai jarak yang tak terjembatani. Bagaimana mungkin sesuatu yang begitu tak terhingga bisa benar-benar memahami dan merasakan penderitaan serta kebahagiaan makhluk-makhluk yang begitu kecil? Pertanyaan-pertanyaan ini terus mengundang diskusi dan debat yang tiada habisnya, mencerminkan ketegangan antara pandangan metafisik yang mendalam dan kebutuhan manusia untuk merasa dekat dengan penciptanya.

     Dalam konteks ini, para filsuf berfungsi sebagai penjaga dan pengawas makna-makna yang lebih dalam, mengajak kita untuk selalu mempertanyakan dan merenungkan realitas tertinggi. Mereka menantang kita untuk melampaui pemahaman sederhana dan berusaha mencapai wawasan yang lebih luas dan mendalam tentang keberadaan Tuhan dan hubungan-Nya dengan dunia. Dengan cara ini, mereka terus mendorong batas-batas pengetahuan dan pemahaman kita, membuka pintu bagi pencarian yang tiada henti akan kebenaran dan makna.

     Meskipun para filsuf ini telah menawarkan wawasan yang mendalam, tidak semua orang merasa puas atau terpenuhi dengan konsep "Tuhan tanpa wujud". Banyak yang merindukan hubungan yang lebih personal dan emosional dengan penciptanya. Di sinilah peran para sufi menjadi sangat penting. Para sufi, bagaikan penyair mistis, merajut kata-kata menjadi simfoni cinta dan keesaan, menawarkan pandangan yang berbeda namun tidak kalah mendalam tentang Tuhan.

     Bagi para sufi, Tuhan bukan hanya pencipta yang transenden, tetapi juga hadir dalam setiap aspek kehidupan dan alam semesta. Konsep "kesatuan wujud" (wahdat al-wujud) yang digemakan oleh para sufi agung seperti Ibn Arabi, Rumi, dan Suhrawardi, menegaskan bahwa Tuhan tidak terpisahkan dari ciptaan-Nya. Bagi mereka, setiap atom dan partikel dalam alam semesta adalah manifestasi dari kehadiran ilahi. Pandangan ini membawa nuansa baru dalam memahami hubungan antara Tuhan dan manusia, menghadirkan rasa cinta dan kedekatan yang tak terhingga.

     Pandangan sufi ini membawa angin segar bagi banyak orang yang merindukan hubungan yang lebih intim dengan Tuhan. Mereka menekankan pentingnya pengalaman spiritual langsung dan cinta ilahi yang mendalam. Melalui praktik-praktik seperti dzikir, meditasi, dan tari sufi, para pencari spiritual berusaha menyatu dengan kehadiran ilahi yang melingkupi seluruh alam semesta. Bagi mereka, Tuhan adalah cinta yang meresap ke dalam setiap aspek kehidupan, memberikan makna dan tujuan yang lebih dalam.

     Namun, pandangan-pandangan ini sering kali dianggap sebagai bid'ah oleh kaum teolog yang lebih konservatif. Bagi kaum teolog dengan pemahaman antropomorfisnya, konsep-konsep seperti "kesatuan wujud" dan pengalaman mistis sering kali dianggap menyimpang dari ajaran yang telah mapan. Perdebatan sengit pun berkecamuk selama berabad-abad, mewarnai sejarah pemikiran manusia. Bagi kaum teolog, Tuhan adalah sosok raksasa yang berada di luar dan sekaligus di dalam dunia manusia, tetapi dengan cara yang lebih tradisional dan dapat diprediksi.

     Mereka melihat konsep-konsep yang lebih abstrak dan rasional tentang Tuhan sebagai ancaman terhadap ajaran tradisional dan keyakinan yang telah dianut oleh umat beragama selama ini. Dalam pandangan mereka, ide-ide ini merongrong otoritas dan legitimasi ajaran agama yang telah mapan. Oleh karena itu, mereka seringkali menolak dan melawan keras gagasan-gagasan baru ini, mempertahankan pandangan tradisional mereka tentang Tuhan dan agama.

     Ironisnya, justru para ilmuwan awal modern yang menyambut gembira pemikiran para filsuf dan sufi. Galileo, Newton, dan Einstein, para raksasa sains, menemukan landasan filosofis yang kokoh dalam konsep "Tuhan tanpa wujud" dan "kesatuan wujud". Deisme, yang dianut oleh banyak ilmuwan ini, membebaskan sains dari cengkeraman dogma dan membuka jalan bagi kemajuan ilmu pengetahuan yang pesat. Mereka melihat alam semesta sebagai karya ilahi yang dapat dipelajari dan dipahami melalui hukum-hukum alam, tanpa harus selalu merujuk pada campur tangan supranatural.

      Galileo Galilei, misalnya, menghadapi perlawanan keras dari Gereja Katolik ketika mendukung teori heliosentris Copernicus yang menyatakan bahwa Bumi berputar mengelilingi Matahari. Pandangan ini bertentangan dengan ajaran gereja yang berpegang pada model geosentris, di mana Bumi adalah pusat alam semesta. Melalui keyakinannya pada pengetahuan empiris dan logika, Galileo menegaskan bahwa hukum-hukum alam bekerja secara independen dari interpretasi teologis, membuka jalan bagi kebebasan ilmiah.

     Isaac Newton, dengan karya monumental "Principia Mathematica", menggambarkan alam semesta sebagai mesin yang diatur oleh hukum-hukum fisika yang dapat dipahami melalui observasi dan matematika. Pandangan Newton tentang deisme, di mana Tuhan adalah pencipta yang tidak campur tangan dalam urusan sehari-hari, memberikan landasan bagi sains modern untuk berkembang tanpa hambatan dogma religius.

     Albert Einstein, dengan teori relativitasnya, menantang konsep-konsep ruang dan waktu yang sebelumnya dianggap absolut. Einstein menyatakan bahwa Tuhan tidak bermain dadu dengan alam semesta, menunjukkan keyakinannya pada keteraturan dan hukum alam yang dapat diungkapkan melalui sains. Meskipun Einstein terkenal dengan pernyataannya bahwa dia percaya pada "Tuhannya Spinoza", yang melihat Tuhan dalam harmoni dan keteraturan alam, pandangan ini juga memisahkan Tuhan dari peran aktif dalam mengatur detail-detail kehidupan manusia.

     Kemudian muncul Charles Darwin dengan teori evolusinya yang revolusioner. Darwinisme membawa konsekuensi yang tidak terduga, menantang keyakinan tradisional tentang penciptaan dan tempat manusia dalam alam semesta. Dengan mengusulkan bahwa semua spesies berkembang melalui seleksi alam dari leluhur bersama, teori evolusi menekankan kesatuan wujud di alam semesta. Hal ini memicu pertanyaan mendalam: Jika semua organisme saling terhubung dan merupakan hasil dari proses alamiah yang panjang, di mana letak Tuhan dalam proses ini? Apakah Tuhan benar-benar ada di luar alam semesta, atau hanya sebuah konsep yang digunakan untuk menjelaskan hal-hal yang belum dipahami?

     Pertanyaan-pertanyaan ini melahirkan ateisme modern, yang menantang paradigma lama dan membuka babak baru dalam pencarian makna dan eksistensi manusia. Ateisme modern tidak hanya menolak gagasan tentang Tuhan yang antropomorfis, tetapi juga menantang ide-ide tentang moralitas, tujuan, dan makna yang didasarkan pada agama. Ini mendorong manusia untuk mencari penjelasan yang lebih rasional dan berbasis bukti untuk memahami dunia dan tempat mereka di dalamnya.

     Kisah tiga wajah Tuhan ini bagaikan mozaik yang indah, mencerminkan keragaman pemikiran dan pencarian manusia akan makna. Setiap wajah memiliki pesonanya sendiri, menantang kita untuk terus menelusuri lorong-lorong pengetahuan dan memperkaya pemahaman kita tentang realitas.

     Perjalanan ini takkan pernah usai. Misteri Tuhan akan selalu mengundang rasa ingin tahu dan kekaguman. Bagi para pencari kebenaran, setiap jawaban hanya membuka pintu bagi pertanyaan baru. Di sanalah letak keindahannya, dalam petualangan intelektual yang tak henti-hentinya, menapaki jejak Sang Pencipta yang abadi. Setiap penemuan dan pemahaman baru membawa kita lebih dekat kepada pemahaman yang lebih luas dan dalam, mengingatkan kita bahwa dalam pencarian makna dan eksistensi, perjalanan itu sendiri adalah tujuan yang paling mulia.

 
note:
inspirasi tulisan dari postingan
Prof. Luthfi Assyaukani di wall Fb-nya.

     Friedrich Nietzsche, dalam karyanya yang penuh kontroversi, "Thus Spake Zarathustra," mendeklarasikan kematian Tuhan. Bagi Nietzsche, dewa-dewa tradisional, yang mewakili nilai-nilai moral dan spiritual absolut, telah kehilangan relevansinya di era modern. Manusia, dengan kekuatan rasionalitas dan kehendak bebasnya, kini bebas untuk menentukan nasib dan nilai-nilainya sendiri. Nietzsche melihat bahwa manusia harus melampaui nilai-nilai lama yang sudah usang dan menciptakan makna baru yang lebih sesuai dengan perkembangan zaman. Ia mendorong manusia untuk menjadi "Übermensch" atau manusia super, yang mampu mengatasi batasan-batasan moral tradisional dan menciptakan nilai-nilai baru berdasarkan keberanian dan kehendak yang kuat.

      Stephen Hawking, sang fisikawan jenius, dalam "The Grand Design," seolah-olah menggemakan pernyataan Nietzsche. Hawking menyatakan bahwa alam semesta tidak membutuhkan pencipta, dan bahwa hukum fisika dan mekanika kuantum cukup untuk menjelaskan asal-usul dan evolusinya. Dengan menggunakan prinsip-prinsip ilmiah, Hawking menjelaskan bahwa alam semesta dapat muncul dari ketiadaan melalui proses-proses alamiah tanpa intervensi supranatural. Pernyataan ini, bagi banyak orang, menandakan akhir dari filsafat tradisional, yang selama berabad-abad berfokus pada pertanyaan tentang keberadaan Tuhan dan makna kehidupan. Hawking mengajukan pandangan bahwa sains dapat memberikan penjelasan yang lebih memadai dan empiris tentang alam semesta daripada agama atau filsafat tradisional.

     Kedua tokoh ini, meskipun berasal dari disiplin yang berbeda, menyampaikan pesan yang serupa: bahwa manusia harus mengambil alih kendali atas nasib dan pencarian makna hidupnya. Nietzsche dengan filosofinya dan Hawking dengan sainsnya, membuka jalan bagi pemikiran yang lebih bebas dari dogma-dogma tradisional. Mereka menekankan pentingnya kebebasan intelektual dan keberanian untuk menghadapi kenyataan tanpa mengandalkan konsep-konsep supernatural yang mungkin membatasi pemahaman manusia.

     Pandangan-pandangan tersebut juga menimbulkan tantangan dan kontroversi. Nietzsche dan Hawking menghadapi kritik dari mereka yang percaya bahwa nilai-nilai moral dan spiritual tidak dapat sepenuhnya dipisahkan dari konsep Tuhan atau penciptaan. Kritik ini datang dari berbagai kalangan, termasuk ahli teologi, filsuf, dan ilmuwan yang melihat bahwa sains dan agama bisa saling melengkapi daripada saling bertentangan.

     Gagasan bahwa manusia harus menentukan nilai-nilai dan makna hidupnya sendiri terus berkembang. Pandangan ini mengilhami banyak gerakan intelektual dan budaya yang mendorong kebebasan berpikir, humanisme, dan eksplorasi ilmiah. Baik Nietzsche maupun Hawking mengajak kita untuk mempertanyakan asumsi-asumsi dasar kita tentang realitas dan untuk mencari jawaban yang lebih dalam melalui refleksi kritis dan penyelidikan ilmiah.

     Namun, kematian Tuhan dan filsafat tradisional bukan berarti akhir dari pencarian makna dan tujuan hidup manusia. Justru sebaliknya, hal ini membuka jalan bagi era baru, di mana manusia bebas untuk menciptakan makna dan tujuannya sendiri. Dalam ketidakberadaan nilai-nilai absolut yang ditentukan oleh entitas supranatural, manusia kini memiliki ruang yang lebih luas untuk mengeksplorasi dan membangun sistem nilai yang lebih personal dan relevan dengan perkembangan zaman. Kita kini memasuki era "Agama Data," di mana data dan informasi menjadi sumber pengetahuan dan otoritas utama.

     Era Agama Data ditandai dengan revolusi digital yang telah mengubah hampir setiap aspek kehidupan manusia. Data, yang dikumpulkan dan dianalisis menggunakan kecerdasan buatan, memungkinkan kita untuk memahami dunia dengan lebih baik, membuat prediksi yang akurat, dan bahkan mengendalikan sistem fisik. Agama Data menawarkan solusi praktis untuk berbagai masalah umat manusia, seperti perubahan iklim, kemiskinan, dan penyakit. Dengan data, kita dapat memetakan pola-pola kompleks dalam fenomena alam dan sosial, sehingga menghasilkan wawasan yang dapat digunakan untuk menciptakan kebijakan yang lebih efektif dan inovatif.

     Dalam bidang kesehatan, misalnya, analisis data besar telah memungkinkan pengembangan terapi yang dipersonalisasi, di mana pengobatan disesuaikan dengan profil genetik individu. Teknologi kecerdasan buatan juga telah digunakan untuk mendeteksi penyakit sejak dini, memperbaiki diagnosis, dan meningkatkan efisiensi sistem pelayanan kesehatan. Dalam menghadapi tantangan global seperti perubahan iklim, data memainkan peran krusial dalam memodelkan dampak lingkungan dan merumuskan strategi mitigasi yang tepat. Melalui pemantauan dan analisis data lingkungan, kita dapat mengidentifikasi sumber polusi utama, mengukur efektivitas kebijakan hijau, dan merencanakan tindakan yang lebih berkelanjutan untuk masa depan.

     Di ranah sosial dan ekonomi, data digunakan untuk memahami dinamika pasar, perilaku konsumen, dan tren ekonomi. Informasi ini memungkinkan perusahaan untuk membuat keputusan bisnis yang lebih cerdas dan pemerintah untuk mengembangkan kebijakan yang lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Teknologi seperti blockchain menawarkan transparansi dan keamanan dalam transaksi, menciptakan kepercayaan dalam ekonomi digital yang semakin kompleks.

     Era Agama Data juga membawa tantangan etis dan sosial yang signifikan. Pengumpulan dan penggunaan data secara masif menimbulkan kekhawatiran tentang privasi dan keamanan. Siapa yang memiliki data, bagaimana data tersebut digunakan, dan bagaimana hak-hak individu dilindungi menjadi pertanyaan-pertanyaan krusial. Ada risiko bahwa data dapat disalahgunakan untuk tujuan yang tidak etis, seperti pengawasan yang berlebihan, manipulasi perilaku, atau diskriminasi berbasis data.

     Karenanya, visi masa depan ini penting untuk kita pertimbangkan dengan cermat dan bertanggung jawab. Kita perlu mengembangkan etika dan kerangka kerja moral yang baru untuk mengarahkan perkembangan teknologi dan memastikan bahwa manfaatnya dinikmati oleh seluruh umat manusia. Regulasi yang tepat dan transparansi dalam pengelolaan data harus ditegakkan untuk melindungi hak-hak individu dan memastikan bahwa teknologi digunakan untuk kebaikan bersama.

     Masa depan umat manusia penuh dengan peluang dan tantangan, dan kita harus siap untuk beradaptasi dengan perubahan dan menyambut era baru di mana teknologi memainkan peran yang semakin penting dalam kehidupan manusia. Dengan pendekatan yang bijaksana dan kolaboratif, kita dapat menciptakan dunia yang lebih baik, di mana data dan teknologi berfungsi untuk memberdayakan manusia, meningkatkan kesejahteraan, dan memperkuat kemanusiaan kita.

     Transformasi ini juga membawa konsekuensi bagi umat manusia. Yuval Noah Harari, dalam bukunya "Sapiens: Riwayat Singkat Umat Manusia," dan "Homo Deus: Riwayat Singkat Masa Depan," menggambarkan bagaimana Homo Sapiens, spesies manusia modern, telah mendominasi planet ini melalui kekuatan akal dan teknologinya. Dengan kemampuan untuk berkomunikasi secara kompleks, berorganisasi dalam kelompok besar, dan menciptakan alat serta teknologi canggih, Homo Sapiens telah mampu mengubah ekosistem bumi, menciptakan peradaban maju, dan menjelajahi luar angkasa.

     Harari memprediksi bahwa Homo Sapiens akan segera berevolusi menjadi "Homo Deus," spesies manusia yang ditingkatkan dengan rekayasa bioteknologi dan kecerdasan buatan. Dalam pandangannya, Homo Deus akan memiliki kemampuan luar biasa yang melampaui batas-batas manusia saat ini. Misalnya, teknologi pengeditan gen seperti CRISPR memungkinkan kita untuk memodifikasi DNA manusia, membuka jalan bagi perpanjangan usia yang signifikan dan kekebalan terhadap berbagai penyakit yang saat ini mematikan.

     Selain itu, kecerdasan buatan terus berkembang pesat, dengan potensi untuk meningkatkan kemampuan kognitif manusia. Integrasi antara otak manusia dan mesin melalui antarmuka otak-komputer dapat memungkinkan manusia untuk mengakses informasi secara instan, mempercepat proses belajar, dan bahkan meningkatkan kapasitas pemikiran kritis dan kreatif. Dalam skenario ini, Homo Deus tidak hanya akan hidup lebih lama dan lebih sehat, tetapi juga lebih pintar dan lebih mampu mengatasi tantangan kompleks yang dihadapi umat manusia.

     Namun, evolusi menuju Homo Deus ini juga membawa risiko dan tantangan etis yang signifikan. Pertanyaan tentang keadilan dan kesetaraan menjadi semakin penting: siapa yang akan memiliki akses ke teknologi ini? Apakah peningkatan kemampuan manusia akan tersedia bagi semua orang, atau hanya bagi segelintir orang kaya dan berkuasa? Ketimpangan yang ada bisa semakin melebar jika akses ke teknologi canggih hanya terbatas pada beberapa individu atau kelompok tertentu.

     Selain itu, ada kekhawatiran tentang identitas manusia itu sendiri. Dengan kemampuan untuk mengubah sifat biologis kita, apa artinya menjadi manusia? Apakah kita akan kehilangan sesuatu yang esensial dari kemanusiaan kita ketika kita mulai memodifikasi tubuh dan pikiran kita secara drastis? Pertanyaan-pertanyaan ini menantang kita untuk mempertimbangkan dengan hati-hati bagaimana kita menggunakan teknologi ini dan apa dampaknya terhadap masyarakat dan identitas kita sebagai manusia.

     Dalam konteks ini, Harari mengajak kita untuk berpikir kritis dan bertanggung jawab tentang masa depan. Transformasi ini menawarkan peluang besar untuk meningkatkan kualitas hidup manusia, tetapi juga memerlukan refleksi etis yang mendalam. Kita harus memastikan bahwa perkembangan teknologi digunakan untuk kebaikan bersama, menghindari penyalahgunaan dan memastikan bahwa semua orang memiliki kesempatan yang adil untuk merasakan manfaatnya.

     Kesadaran akan potensi dan risiko teknologi ini mengharuskan kita untuk mengembangkan kerangka kerja etika yang kuat dan kebijakan yang inklusif. Kolaborasi antara ilmuwan, pemimpin politik, filosof, dan masyarakat luas sangat penting untuk mengarahkan perkembangan ini ke arah yang positif. Dengan demikian, kita dapat memastikan bahwa masa depan Homo Deus tidak hanya ditandai dengan kemampuan yang luar biasa tetapi juga dengan nilai-nilai kemanusiaan yang mendalam, solidaritas, dan keadilan sosial.

     Beberapa pemikir progresif seperti Ray Kurzweil, Nick Bostrom, dan Elon Musk, percaya bahwa masa depan umat manusia akan ditandai dengan "singularitas teknologi," sebuah titik di mana kemajuan teknologi menjadi tidak terkendali dan tidak dapat diprediksi. Singularitas ini diprediksi akan membawa perubahan radikal pada peradaban manusia, bahkan mungkin melampaui batas-batas pemahaman manusia saat ini. Konsep singularitas teknologi menggambarkan masa depan di mana kecerdasan buatan melampaui kecerdasan manusia, menciptakan mesin yang dapat meningkatkan dirinya sendiri dengan kecepatan eksponensial. Ini adalah momen ketika AI menjadi begitu canggih sehingga mampu merancang dan memperbaiki dirinya sendiri tanpa campur tangan manusia, menghasilkan ledakan kecerdasan yang mengubah segala aspek kehidupan kita.

     Ray Kurzweil, dalam berbagai bukunya seperti "The Singularity is Near," berargumen bahwa kita akan mencapai singularitas pada pertengahan abad ke-21. Menurut Kurzweil, perkembangan dalam komputasi, bioteknologi, dan nanoteknologi akan memungkinkan kita untuk mengatasi batasan biologis manusia, memperpanjang umur, meningkatkan kemampuan kognitif, dan bahkan mengungguli keterbatasan fisik kita. Kurzweil optimis bahwa singularitas akan membawa era keemasan di mana manusia hidup dalam kesehatan dan kemakmuran yang belum pernah terjadi sebelumnya.

     Nick Bostrom, dalam bukunya "Superintelligence: Paths, Dangers, Strategies," mengakui potensi besar dari singularitas tetapi juga menekankan risiko dan tantangannya. Bostrom berpendapat bahwa kita harus berhati-hati dalam mengembangkan kecerdasan buatan yang sangat kuat, karena jika tidak dikendalikan dengan baik, AI superinteligensi bisa menjadi ancaman eksistensial bagi umat manusia. Bostrom mengadvokasi penelitian yang hati-hati dan pengembangan kerangka kerja etis untuk memastikan bahwa AI superinteligensi bertindak sesuai dengan kepentingan manusia.

     Elon Musk, seorang tokoh visioner dalam teknologi, juga berbicara tentang singularitas dan potensi serta risikonya. Musk telah mengungkapkan kekhawatiran tentang AI yang tidak terkendali, menyebutnya sebagai "ancaman eksistensial terbesar" bagi umat manusia. Dia telah mendirikan organisasi seperti OpenAI dan Neuralink untuk mempromosikan pengembangan AI yang aman dan untuk mengeksplorasi cara-cara di mana manusia dapat berintegrasi dengan mesin, menciptakan simbiosis yang bermanfaat bagi kedua belah pihak.

     Walaupun visi singularitas masih kontroversial dan penuh dengan ketidakpastian, hal ini mendorong kita untuk terus berinovasi dan menjelajahi kemungkinan-kemungkinan baru. Kita harus siap untuk beradaptasi dengan perubahan dan menyambut era baru di mana teknologi memainkan peran yang semakin penting dalam kehidupan manusia. Era singularitas menuntut kita untuk mengembangkan kemampuan beradaptasi, berpikir kritis, dan kerangka kerja etis yang kuat. Dengan terus mengembangkan teknologi dan memperhatikan implikasi etisnya, kita dapat berusaha memastikan bahwa kemajuan ini membawa manfaat yang besar bagi umat manusia dan mencegah potensi bahaya yang mungkin muncul.

     Singularitas teknologi juga mengundang refleksi mendalam tentang apa artinya menjadi manusia. Di satu sisi, teknologi dapat memperkaya kehidupan kita, memberi kita kemampuan untuk menyembuhkan penyakit, memperpanjang umur, dan meningkatkan kemampuan kognitif kita. Di sisi lain, teknologi yang sangat canggih dapat menantang konsep kita tentang identitas, kesadaran, dan moralitas. Kita harus siap untuk menghadapinya dengan pemikiran yang terbuka dan etis, memastikan bahwa kita tetap mempertahankan nilai-nilai kemanusiaan kita di tengah-tengah perubahan yang cepat dan mendalam.

     Penting bagi kita untuk mempertimbangkan visi masa depan ini dengan cermat dan bertanggung jawab. Kita perlu mengembangkan etika dan kerangka kerja moral yang baru untuk mengarahkan perkembangan teknologi dan memastikan bahwa manfaatnya dinikmati oleh seluruh umat manusia. Masa depan umat manusia penuh dengan peluang dan tantangan, dan kita harus siap untuk beradaptasi dengan perubahan dan menyambut era baru di mana teknologi memainkan peran yang semakin penting dalam kehidupan manusia.

      Kematian Tuhan dan filsafat tradisional bukan berarti akhir dari pencarian makna dan tujuan hidup manusia. Justru sebaliknya, hal ini membuka jalan bagi era baru, di mana manusia bebas untuk menciptakan makna dan tujuannya sendiri. Di era "Agama Data" ini, data dan informasi menjadi sumber pengetahuan dan otoritas utama. Transformasi ini juga membawa konsekuensi bagi umat manusia, membuka jalan bagi evolusi Homo Sapiens menjadi Homo Deus, spesies manusia yang ditingkatkan dengan teknologi. Kita harus siap untuk menghadapi perubahan ini dengan bijaksana dan memastikan bahwa perkembangan teknologi membawa kebaikan bagi seluruh umat manusia. Masa depan adalah milik mereka yang siap untuk berinovasi dan beradaptasi, terus mencari makna dan tujuan dalam dunia yang terus berubah.

 
note:

     Bayangkan sebuah gua tersembunyi, dihiasi lukisan purba di dindingnya. Di dalamnya, terdapat dua kelompok manusia purba. Kelompok pertama mengamati langit malam, mencatat pergerakan bintang, dan meramalkan musim. Kelompok kedua berkumpul di sekitar api unggun, menceritakan kisah-kisah leluhur dan asal mula dunia.
     Dua kelompok ini, tanpa disadari, sedang membangun fondasi pengetahuan, membuka jendela cakrawala mereka untuk memahami realitas. Kelompok pertama menjelajahi pengetahuan ilmiah, mengandalkan observasi dan eksperimen untuk membangun pemahaman objektif tentang dunia. Kelompok kedua merintis pengetahuan non-ilmiah, mengandalkan tradisi, kepercayaan, dan pengalaman subjektif untuk membentuk realitas intersubjektif.

Dua Pilar Pengetahuan

     Pengetahuan ilmiah, bagaikan sinar laser, menembus kabut ketidakpastian untuk menguak fakta objektif. Ia berlandaskan metodologi yang ketat, mengumpulkan data, dan membangun teori yang teruji. Contohnya, teori lempeng tektonik menjelaskan gempa bumi sebagai hasil pergerakan lempeng bumi. Pengetahuan ilmiah tentang gempa bumi membantu membangun sistem peringatan dini dan merancang bangunan tahan gempa.  

     Pengetahuan non-ilmiah, bagaikan lukisan abstrak, mencerminkan realitas yang diinterpretasikan melalui lensa budaya dan pengalaman. Di Jepang, gempa bumi dikaitkan dengan legenda Namazu, seekor ikan raksasa yang menggeliat di bawah bumi. 

     Di Jawa, gempa bumi dihubungkan dengan Ratu Pantai Selatan yang murka. Pengetahuan non-ilmiah, meskipun tidak selalu akurat secara objektif, memiliki kekuatan untuk menyatukan komunitas dan memberikan makna pada peristiwa yang kompleks. 

 Gerhana Dalam Dua Perspektif
     Pengetahuan ilmiah gerhana adalah fenomena alam yang terjadi ketika sebuah benda langit, seperti bulan atau planet, bergerak ke dalam bayangan benda langit lain. 

     Ada dua jenis utama gerhana: gerhana matahari dan gerhana bulan. Ketika gerhana matahari terjadi, itu berarti bulan bergerak di antara bumi dan matahari, sehingga bulan menutupi cahaya matahari untuk sementara waktu. Sedangkan gerhana bulan terjadi saat bumi berada di antara matahari dan bulan, sehingga bayangan bumi menutupi bulan.

     Pengetahuan non-ilmiah tentang gerhana bervariasi di berbagai budaya. Di negeri kita, ada yang percaya bahwa gerhana terjadi karena raksasa besar sedang mencoba memakan matahari atau bulan. Setiap kali gerhana terjadi, mereka membuat bunyi-bunyian keras, memukul-mukul panci, atau menyalakan obor untuk menakuti raksasa itu agar melepaskan matahari atau bulan.

    Di tempat lain, ada mitos tentang naga langit yang mengejar matahari dan bulan. Ketika naga itu berhasil menangkap salah satu dari mereka, terjadilah gerhana. Tetapi akhirnya, matahari atau bulan selalu berhasil lolos, dan terang kembali.

Asal Usul Manusia: Menelusuri Jejak Leluhur
     Pengetahuan ilmiah tentang asal usul manusia berkisah tentang evolusi, dimulai dari hominid awal hingga manusia modern. Para ilmuwan menggunakan bukti fosil, DNA, dan arkeologi untuk mempelajari bagaimana manusia berevolusi dan bermigrasi ke seluruh dunia. Pengetahuan ini membantu kita memahami keragaman manusia dan hubungan kita dengan spesies lain.

     Pengetahuan non-ilmiah tentang asal usul manusia terjalin erat dengan mitologi dan kepercayaan. Di berbagai belahan dunia, terdapat kisah-kisah penciptaan manusia yang berbeda-beda. Dalam mitologi Yunani, manusia diciptakan oleh Prometheus dari tanah liat. Dalam tradisi Hindu, manusia diciptakan oleh Brahma, dewa pencipta. Pengetahuan non-ilmiah ini memberikan makna dan tujuan hidup bagi manusia, menghubungkan mereka dengan leluhur dan dunia spiritual.

Membangun Realitas
     Pengetahuan non-ilmiah, meskipun tidak selalu akurat secara objektif, memiliki kekuatan untuk menyatukan komunitas dan memberikan makna pada peristiwa yang kompleks. Cerita rakyat, legenda, dan tradisi menjadi perekat sosial, menumbuhkan rasa identitas dan rasa saling memiliki
.
     Pengetahuan ilmiah, di sisi lain, memberikan landasan untuk memahami dunia secara objektif. Ia membantu kita memecahkan masalah, mengembangkan teknologi, dan meningkatkan kualitas hidup.

     Lantas, jenis pengetahuan apa yang mendominasi isi kepala kita saat ini? Jawabannya mungkin berbeda untuk setiap individu. Di era modern, pengetahuan ilmiah tampaknya mendominasi wacana publik. Media massa, pendidikan formal, dan penelitian ilmiah terus memproduksi dan menyebarkan pengetahuan ilmiah.
     Namun, pengetahuan non-ilmiah tetap memainkan peran penting dalam kehidupan kita. Tradisi, budaya, dan kepercayaan pribadi terus membentuk cara kita memandang dunia.
     Pada akhirnya, keseimbangan antara pengetahuan ilmiah dan non-ilmiah adalah kunci untuk memahami realitas secara menyeluruh. Kita membutuhkan pengetahuan ilmiah untuk memahami dunia secara objektif, namun kita juga membutuhkan pengetahuan non-ilmiah untuk memahami makna dan nilai-nilai yang kita pegang teguh.

Sebuah Perjalanan yang Tak Berujung
     Pengetahuan, bagaikan samudra luas, menyimpan rahasia dan misteri yang tak terhitung jumlahnya. Semakin banyak kita belajar, semakin kita menyadari betapa luasnya lautan pengetahuan dan betapa kecilnya pengetahuan yang kita miliki.
     Sebagai individu yang terpelajar, tugas kita adalah terus belajar dan menjelajahi samudra pengetahuan ini. Kita harus berani mempertanyakan asumsi, menggali lebih dalam, dan mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab.
     Pada saat yang sama, kita harus selalu ingat bahwa pengetahuan bukan hanya tentang fakta dan teori. Pengetahuan juga tentang memahami diri sendiri dan orang lain, tentang membangun hubungan dan komunitas, dan tentang menciptakan dunia yang lebih baik.

     Di dunia yang kerap melankolis dengan doa-doa panjang dan retorika ketakutan, Einstein, sang genius berambut kusut yang sering dipuja sebagai nabi sains, muncul dengan pertanyaan yang lebih tajam daripada pedang para nabi. Dalam sebuah percakapan hangat yang memercikkan ketidaknyamanan, seorang kawan bertanya padanya, “Einstein, kau percaya kepada Tuhan?”

     Einstein tersenyum, menatap dalam, lalu menjawab, “Aku percaya pada Tuhannya Spinoza.”

     Tetapi tunggu dulu. Tuhan Spinoza? Apakah yang dimaksud Einstein adalah Tuhan yang mencibir rumah ibadah, memutar balik makna kitab suci, dan bahkan menertawakan konsep neraka?

     Spinoza! Sebuah nama yang menghantui sejarah filsafat seperti bayangan yang menolak dilupakan. Baruch de Spinoza, filsuf Yahudi Portugis yang hidup di Belanda pada abad ke-17, adalah seorang revolusioner intelektual. Ia dibuang, dikutuk, bahkan dianggap pengkhianat oleh komunitasnya sendiri, tetapi pemikirannya tak pernah mati. Melalui renungan yang lebih dalam daripada lautan, Spinoza melahirkan sebuah visi tentang Tuhan yang lebih megah, lebih agung, lebih bebas daripada yang pernah dibayangkan manusia.. Ia menyodorkan gagasan yang membuat para imam berkeringat dan para raja berpikir ulang. Bagi Spinoza, Tuhan bukanlah pengawas moral atau algojo surgawi. Tuhan adalah alam itu sendiri—yang abadi, tanpa emosi, tanpa favoritisme.

     Spinoza seolah-olah ingin berteriak kepada dunia, “Berhenti mengasihani diri kalian di altar dosa-dosa kecil! Aku, Tuhan, tidak peduli dengan ritual kalian. Aku tidak memerlukan nyanyian pujian kalian yang palsu. Aku adalah hukum gravitasi yang membuat apel jatuh, aku adalah energi matahari yang memeluk bumi, aku adalah getaran cinta yang membuat hati kalian berdetak lebih cepat.”

     Einstein memahami hal ini dengan mendalam. Ia menyadari absurditas manusia yang memohon kepada Tuhan seperti pengemis di jalanan kosmik, memohon rezeki atau keselamatan dari hukuman yang mereka ciptakan sendiri. Dalam pandangan Einstein, Tuhan tidak punya waktu untuk itu. Jika Tuhan benar-benar ada, Ia mungkin sedang sibuk menciptakan galaksi baru atau mengamati ledakan supernova, bukan mengurusi apakah manusia memakan daging babi atau tidak.

     Dan lebih dari itu, Einstein tahu satu hal: “Jika Tuhan itu memang Tuhan, Ia tidak mungkin kecil.” Tidak mungkin Tuhan yang menciptakan alam semesta yang tak terhingga akan menyempitkan eksistensinya hanya untuk menghukum manusia yang tidak patuh pada aturan-aturan remeh.

     Tuhan Spinoza, seperti yang dipahami Einstein, adalah Tuhan yang tertawa ketika manusia mencoba menafsirkannya dalam kitab suci. “Kitab suci?” Tuhan mungkin akan berkata, “Itu hanya tulisan manusia yang terlalu takut untuk tidak punya jawaban atas pertanyaan-pertanyaan besar.”

     Dan neraka? Einstein mungkin akan menambahkan dengan sarkasme, “Oh, ya, Tuhan menciptakan neraka. Karena apa lagi yang lebih ilahi daripada tempat penyiksaan abadi untuk makhluk yang bahkan tidak meminta untuk diciptakan?”

     Spinoza, melalui Einstein, memanggil manusia untuk bangkit dari ketakutan dan prasangka. “Hiduplah!” kata Tuhan Spinoza, “Aku menciptakan alam semesta ini untuk kalian nikmati, bukan untuk kalian ratapi. Berlarilah, bernyanyilah, cintailah dengan sepenuh hati. Jika kalian ingin menghormati aku, hormatilah hidup itu sendiri!”

     Namun, ironi terbesar adalah: manusia lebih suka takut pada Tuhan daripada mencintainya. Mereka lebih rela tunduk kepada imajinasi tentang neraka daripada memeluk keindahan alam. Mereka memuja Tuhan yang marah, bukan Tuhan yang indah.

     Einstein melihat ini dengan jelas. Ia tahu bahwa manusia terlalu terobsesi dengan makna hidup, sehingga mereka melupakan hidup itu sendiri. Mereka terlalu sibuk mencari Tuhan di luar, sehingga mereka melupakan Tuhan yang ada dalam setiap hembusan napas mereka.

     “Tuhan adalah musik,” Einstein pernah berkata. Dan seperti musik, Tuhan tidak membutuhkan definisi. Tuhan hanya membutuhkan penghayatan.

     Mungkin, jika Spinoza hidup di zaman Einstein, ia akan berdiri di sampingnya, menatap langit malam penuh bintang, lalu berkata, “Lihatlah, Einstein. Di sanalah Tuhan kita—tidak dalam kata-kata, tetapi dalam keheningan yang penuh makna.”

     Dan Einstein, dengan senyuman penuh misteri, akan menjawab, “Ya, Spinoza. Karena Tuhan tidak bermain dadu, Ia juga tidak membutuhkan rabbi, imam apalagi provokator untuk menerjemahkan kehendak-Nya".

      Progresophobia adalah kecenderungan untuk takut atau khawatir terhadap perubahan dan perkembangan dunia modern. Orang yang menderita progresophobia akan merasa tidak nyaman dengan perubahan dan inovasi dalam berbagai aspek kehidupan seperti teknologi, budaya, dan ekonomi. Mereka merasa lebih aman dan nyaman dalam situasi yang stabil dan familiar dan cenderung menghindari atau menentang perubahan yang dianggap dapat mengganggu stabilitas tersebut. 

     Progresophobia bisa menjadi hal yang wajar dalam beberapa situasi karena perubahan bisa memunculkan ketidakpastian dan risiko. Namun, bila terlalu ekstrem, hal ini dapat menghalangi kemajuan dan perkembangan dalam berbagai aspek kehidupan.

Beberapa contoh kasus progresophobia:

1. Ketakutan pada teknologi
     Sebagian orang mengalami progresophobia atau takut menghadapi perkembangan teknologi yang terus berkembang pesat. Mereka cenderung merasa lebih nyaman dengan cara-cara lama atau tradisional, dan enggan untuk mencoba teknologi baru. Contohnya, seseorang yang takut dengan teknologi mungkin akan menolak untuk menggunakan smartphone atau internet, meskipun teknologi ini sangat berguna dan membantu dalam kehidupan sehari-hari.

2. Ketakutan pada perubahan sosial
     Beberapa orang mungkin merasa cemas atau takut dengan perubahan sosial yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, seseorang yang enggan untuk menerima perubahan budaya mungkin merasa cemas dengan kehadiran imigran atau kelompok-kelompok minoritas lainnya di negara mereka, dan merasa bahwa ini akan mengancam identitas atau keamanan mereka.

3. Ketakutan pada perubahan politik
     Beberapa orang mungkin merasa ketakutan atau tidak nyaman dengan perubahan politik yang terjadi. Contohnya, seorang yang tidak terbiasa dengan demokrasi mungkin merasa takut pada perubahan politik yang memungkinkan adanya pemilihan bebas atau keterlibatan aktif masyarakat dalam proses politik.

     Progresophobia dapat dipengaruhi oleh sejumlah faktor, termasuk faktor psikologis, sosial, dan budaya. Rasa takut pada ketidakpastian, ketakutan pada kehilangan kekuasaan atau kendali, atau ketidaknyamanan pada perubahan yang bergantung pada nilai atau tradisi tertentu, dapat memicu timbulnya progresophobia.

progresophobia

     Dari kacamata Evolusionis, progresophobia sebenarnya adalah hasil dari evolusi manusia. Sejak zaman prasejarah, manusia telah mengembangkan ketakutan terhadap hal-hal yang tak dikenal atau baru, sebagai bentuk perlindungan atas dirinya sendiri. Ini disebabkan oleh kebutuhan manusia untuk tetap dalam wilayah yang aman dan familiar, untuk melindungi diri dari bahaya dan meningkatkan kemungkinan bertahan hidup.

     Rasa takut ini dapat membatasi kemampuan manusia untuk berkembang dan memajukan diri. Evolusi manusia telah menghasilkan kemampuan untuk beradaptasi dan mengatasi rintangan atau tantangan baru. Namun, beberapa individu mungkin memiliki ketidakmampuan untuk mengatasi ketakutan terhadap perubahan dan kemajuan, yang mengarah pada progresophobia.

     Dalam evolusi manusia, ketakutan terhadap perubahan atau hal yang baru diekspresikan sebagai bentuk mempertahankan keteraturan dan kestabilan dalam lingkungan mereka. Namun, ketika ketakutan ini berlebihan, dapat mencegah individu untuk mencoba hal-hal baru atau inovasi yang dapat meningkatkan kualitas hidup. 

     Evolusionis menyatakan bahwa progresophobia lebih merupakan ketakutan irasional berdasarkan insting evolusi yang kadang-kadang berlebihan, daripada sesuatu yang seharusnya dijadikan landasan untuk menentukan kebijakan dan tindakan.

     Menurut pandangan Neurosaintis, progresophobia merupakan sebuah respon dari otak manusia yang dikenal sebagai "fear response" - respon rasa takut. Fear response ini terjadi saat otak manusia merespons suatu stimulus yang dianggap berbahaya dan mengancam keselamatan.

     Dalam konteks progresophobia, otak manusia merespons ketakutan terhadap perubahan dan inovasi sebagai suatu ancaman keamanan. Hal ini terjadi karena otak manusia cenderung mencari keselamatan dan kenyamanan dalam situasi yang familiar dan stabil.

     Perubahan dan inovasi sebenarnya dapat memicu pertumbuhan dan perkembangan otak manusia. Otak dapat berevolusi dan beradaptasi dengan lingkungan yang berubah, sehingga meningkatkan kesempatan untuk kelangsungan hidup dan kesuksesan.

     Mengatasi progresophobia dapat dilakukan dengan merubah persepsi dan memahami bahwa perubahan dan inovasi sebenarnya dapat membawa manfaat. Otak dapat berkreasi secara positif dengan mencari informasi baru, beradaptasi dengan inovasi, sehingga bisa menerima kemajuan dan perubahan.

     Pendidikan, peningkatan keterampilan, dan pengembangan rasa percaya diri, memperluas pengetahuan dan belajar untuk menghadapi ketidakpastian, akan meningkatkan kemampuan untuk beradaptasi dengan lingkungan yang terus berubah.

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.