Di era digital ini, dimana informasi dan pengetahuan bagaikan samudra luas yang sangat mudah diakses, masih ada saja orang yang memilih untuk berenang di kolam kebodohan. Mereka seperti katak dalam tempurung, terperangkap dalam keyakinan sempit dan menolak untuk menjelajah lautan pengetahuan yang terbentang luas di hadapan mereka.
Salah satu contohnya adalah penolakan terhadap teori evolusi. Masih ada yang bersikukuh bahwa paus, kambing, kecoa, cebong, kampret, ubur-ubur dan sebagainya itu adalah produk ciptaan sim salabim oleh suatu pencipta super, bukan hasil proses evolusi. Keriuhan di dunia maya penuh sesak dengan pola jawaban seperti itu, dari para netizen yang selalu merasa sebagai diri maha benar. Mereka menutup mata dari segudang bukti ilmiah dan memilih untuk berlindung di balik dogma yang lapuk.
Kitab-kitab kuno, berisi kisah legenda dogma dan petuah-petuah moral adalah kitab pengetahuan non-ilmiah. Isi kitab-kitab itu tidak dapat digunakan menyanggah hasil-hasil riset yang dihasilkan dengan seperangkat metode yang ketat.
Menyanggah botol air mineral berisi 600 ml setelah mengukurnya menggunakan stopwatch, atau menyangkal kebenaran 30 km sebagai jarak Makassar ke Maros menggunakan timbangan daging, jelas merupakan kebodohan yang sangat lucu. Maka, semenggemaskan itulah rasanya ketika orang menolak temuan sains dengan argumen dari buku kuno yang berisi berbagai dongeng dan mitos.
Sikap penolakan ini, alih-alih menunjukkan kecerdasan, justru mencerminkan kebodohan dan kemalasan dalam mencari ilmu. Di era digital ini, di mana buku dan artikel ilmiah berlimpah ruah, tak ada alasan untuk tetap terkungkung dalam ketidaktahuan. "Tak ada yang masuk akal di dalam biologi, kecuali dalam terang evolusi," kata Theodosius Dobzhansky, seorang ahli biologi ternama. Evolusi adalah fondasi ilmu biologi, dan menolaknya sama saja dengan menolak memahami kehidupan itu sendiri.
Menjadi bodoh di zaman penuh informasi ini adalah sebuah pilihan. Kebodohan bukan takdir, bukan pula kutukan turun temurun. Orang memilih untuk menjadi bodoh ketika mereka mengabaikan akses mudah ke ilmu pengetahuan yang tersedia di sekeliling mereka.
Internet bagaikan gerbang raksasa menuju ilmu pengetahuan. Wikipedia misalnya, membantu membuka pintu menuju sumber-sumber informasi yang lebih mendalam. Kebiasaan mencari tahu sebelum berkomentar dan melakukan riset singkat adalah langkah awal untuk melatih disiplin ilmiah dan menjauhkan diri dari kebodohan.
Bagi yang terkendala bahasa, jangan khawatir. Di era digital ini, belajar bahasa asing semudah mengunduh aplikasi. Dulu, mempelajari bahasa asing membutuhkan biaya kursus yang mahal. Kini, hanya dengan modal pulsa, kita sudah bisa mempelajari bahasa apa pun di internet.
Mencari ilmu memang membutuhkan ketekunan, sedangkan berkomentar bodoh hanya butuh jari dan kebebalan. Memilih untuk menjadi bodoh di era digital ini adalah sebuah kemubaziran. Bukankah lebih baik membuka diri terhadap pengetahuan dan menjelajahi lautan ilmu yang tak terbatas?
Mari kita jadikan era digital ini sebagai gerbang menuju pencerahan, bukan kubangan kebodohan. Gunakan gawai di tangan kita untuk mengakses informasi yang melimpah sehingga memperkaya diri dengan ilmu, bukan sekadar untuk menonton hamburan sampah dunia maya yang tanpa faedah.
Di era ini, memilih bodoh adalah sebuah cerminan kebodohan absolut diri kita.
Posting Komentar
...