Di dunia yang kerap melankolis dengan doa-doa panjang dan retorika ketakutan, Einstein, sang genius berambut kusut yang sering dipuja sebagai nabi sains, muncul dengan pertanyaan yang lebih tajam daripada pedang para nabi. Dalam sebuah percakapan hangat yang memercikkan ketidaknyamanan, seorang kawan bertanya padanya, “Einstein, kau percaya kepada Tuhan?”
Einstein tersenyum, menatap dalam, lalu menjawab, “Aku percaya pada Tuhannya Spinoza.”
Tetapi tunggu dulu. Tuhan Spinoza? Apakah yang dimaksud Einstein adalah Tuhan yang mencibir rumah ibadah, memutar balik makna kitab suci, dan bahkan menertawakan konsep neraka?
Spinoza! Sebuah nama yang menghantui sejarah filsafat seperti bayangan yang menolak dilupakan. Baruch de Spinoza, filsuf Yahudi Portugis yang hidup di Belanda pada abad ke-17, adalah seorang revolusioner intelektual. Ia dibuang, dikutuk, bahkan dianggap pengkhianat oleh komunitasnya sendiri, tetapi pemikirannya tak pernah mati. Melalui renungan yang lebih dalam daripada lautan, Spinoza melahirkan sebuah visi tentang Tuhan yang lebih megah, lebih agung, lebih bebas daripada yang pernah dibayangkan manusia.. Ia menyodorkan gagasan yang membuat para imam berkeringat dan para raja berpikir ulang. Bagi Spinoza, Tuhan bukanlah pengawas moral atau algojo surgawi. Tuhan adalah alam itu sendiri—yang abadi, tanpa emosi, tanpa favoritisme.
Spinoza seolah-olah ingin berteriak kepada dunia, “Berhenti mengasihani diri kalian di altar dosa-dosa kecil! Aku, Tuhan, tidak peduli dengan ritual kalian. Aku tidak memerlukan nyanyian pujian kalian yang palsu. Aku adalah hukum gravitasi yang membuat apel jatuh, aku adalah energi matahari yang memeluk bumi, aku adalah getaran cinta yang membuat hati kalian berdetak lebih cepat.”
Einstein memahami hal ini dengan mendalam. Ia menyadari absurditas manusia yang memohon kepada Tuhan seperti pengemis di jalanan kosmik, memohon rezeki atau keselamatan dari hukuman yang mereka ciptakan sendiri. Dalam pandangan Einstein, Tuhan tidak punya waktu untuk itu. Jika Tuhan benar-benar ada, Ia mungkin sedang sibuk menciptakan galaksi baru atau mengamati ledakan supernova, bukan mengurusi apakah manusia memakan daging babi atau tidak.
Dan lebih dari itu, Einstein tahu satu hal: “Jika Tuhan itu memang Tuhan, Ia tidak mungkin kecil.” Tidak mungkin Tuhan yang menciptakan alam semesta yang tak terhingga akan menyempitkan eksistensinya hanya untuk menghukum manusia yang tidak patuh pada aturan-aturan remeh.
Tuhan Spinoza, seperti yang dipahami Einstein, adalah Tuhan yang tertawa ketika manusia mencoba menafsirkannya dalam kitab suci. “Kitab suci?” Tuhan mungkin akan berkata, “Itu hanya tulisan manusia yang terlalu takut untuk tidak punya jawaban atas pertanyaan-pertanyaan besar.”
Dan neraka? Einstein mungkin akan menambahkan dengan sarkasme, “Oh, ya, Tuhan menciptakan neraka. Karena apa lagi yang lebih ilahi daripada tempat penyiksaan abadi untuk makhluk yang bahkan tidak meminta untuk diciptakan?”
Spinoza, melalui Einstein, memanggil manusia untuk bangkit dari ketakutan dan prasangka. “Hiduplah!” kata Tuhan Spinoza, “Aku menciptakan alam semesta ini untuk kalian nikmati, bukan untuk kalian ratapi. Berlarilah, bernyanyilah, cintailah dengan sepenuh hati. Jika kalian ingin menghormati aku, hormatilah hidup itu sendiri!”
Namun, ironi terbesar adalah: manusia lebih suka takut pada Tuhan daripada mencintainya. Mereka lebih rela tunduk kepada imajinasi tentang neraka daripada memeluk keindahan alam. Mereka memuja Tuhan yang marah, bukan Tuhan yang indah.
Einstein melihat ini dengan jelas. Ia tahu bahwa manusia terlalu terobsesi dengan makna hidup, sehingga mereka melupakan hidup itu sendiri. Mereka terlalu sibuk mencari Tuhan di luar, sehingga mereka melupakan Tuhan yang ada dalam setiap hembusan napas mereka.
“Tuhan adalah musik,” Einstein pernah berkata. Dan seperti musik, Tuhan tidak membutuhkan definisi. Tuhan hanya membutuhkan penghayatan.
Mungkin, jika Spinoza hidup di zaman Einstein, ia akan berdiri di sampingnya, menatap langit malam penuh bintang, lalu berkata, “Lihatlah, Einstein. Di sanalah Tuhan kita—tidak dalam kata-kata, tetapi dalam keheningan yang penuh makna.”
Dan Einstein, dengan senyuman penuh misteri, akan menjawab, “Ya, Spinoza. Karena Tuhan tidak bermain dadu, Ia juga tidak membutuhkan rabbi, imam apalagi provokator untuk menerjemahkan kehendak-Nya".
Posting Komentar