Alkisah, di suatu masa yang penuh dengan doa dan permohonan, hiduplah seorang ilmuwan jenius bernama Einstein. Suatu hari, dalam perbincangan yang berapi-api, terlontarlah pertanyaan dari seorang kawan, "Einstein, apakah kau percaya kepada Tuhan?"
Dengan senyum penuh arti, Einstein menjawab, "Ya, aku percaya. Tapi kepercayaanku bukan pada Tuhan yang dibayangkan orang kebanyakan, melainkan pada Tuhannya Spinoza."
Siapakah Spinoza ini? Dialah Baruch de Spinoza, filsuf Yahudi Portugis yang bermukim di Belanda pada abad ke-17. Ia dikenal sebagai pemikir rasionalis yang brilian. Melalui renungannya yang dalam, Spinoza seolah-olah menyampaikan pesan langsung dari Tuhan, pesan yang bertolak belakang dengan pemahaman umum.
Pesan itu membahana, "Hentikanlah doa dan permohonan yang tak henti-hentinya! Aku, Tuhanmu, tidak membutuhkannya. Yang Aku inginkan darimu, manusia, adalah melangkahlah keluar! Nikmati hidup yang telah Ku berikan kepadamu dengan penuh tanggung jawab."
Suara itu seakan bergema, "Aku rindu melihatmu berlari riang di bawah limpahan cahaya mentari pagi, menari dengan gembira di bawah langit yang biru, atau berdendang bersama teman di bawah sinar rembulan yang lembut. Bersenang-senanglah dengan segala karunia yang telah Kuberikan!"
Lalu, pesan itu berlanjut, "Jangan lagi kau cari Aku di tempat-tempat gelap yang kalian sebut rumah ibadah. Rumah ibadah itu ciptaan manusia, bukan kediaman-Ku. Sesungguhnya, Aku ada di gunung-gunung yang menjulang tinggi, di hutan-hutan yang lebat, di sungai-sungai yang mengalir jernih, di pantai-pantai yang berpasir putih, dan di lautan yang luas membentang. Di sanalah Aku berada, mengungkapkan cinta-Ku yang tak terhingga kepada kalian."
Suara itu semakin tegas, "Jangan salahkan Aku atas segala penderitaan yang kalian alami. Aku tidak pernah menciptakan manusia yang penuh dosa, atau menganggap cinta sebagai kejahatan. Cinta adalah anugerah, cara untuk menunjukkan kepedulian kepada sesama."
Pesan itu kian menohok, "Hentikan juga kebiasaan menyalahkan kitab suci atas segala aturan yang membelenggu kalian. Kitab suci itu tulisan manusia, bukan firman-Ku. Aku tidak pernah memerintahkan kalian untuk menuliskan kata-kata yang mengaku berasal dari diri-Ku."
Lalu, suara itu membisikkan petunjuk, "Jika kalian sungguh ingin mendengar suara-Ku, carilah Aku dalam keindahan mentari pagi, dalam hembusan angin yang sejuk, dalam dedaunan yang berdesir lembut, dan dalam sorot mata orang-orang yang kalian cintai. Janganlah kalian mencari Aku di dalam lembaran-lembaran kitab suci."
Dengan nada penuh kasih, pesan itu mengingatkan, "Kalian tidak akan pernah menemukan Aku di dalam buku. Aku tidak perlu diatur oleh doa-doa kalian, seolah-olah Aku tak tahu apa yang harus Ku lakukan. Apakah kalian pikir Aku ini pemula yang butuh diajari?"
Dengan senyum penuh arti, Einstein menjawab, "Ya, aku percaya. Tapi kepercayaanku bukan pada Tuhan yang dibayangkan orang kebanyakan, melainkan pada Tuhannya Spinoza."
Siapakah Spinoza ini? Dialah Baruch de Spinoza, filsuf Yahudi Portugis yang bermukim di Belanda pada abad ke-17. Ia dikenal sebagai pemikir rasionalis yang brilian. Melalui renungannya yang dalam, Spinoza seolah-olah menyampaikan pesan langsung dari Tuhan, pesan yang bertolak belakang dengan pemahaman umum.
Pesan itu membahana, "Hentikanlah doa dan permohonan yang tak henti-hentinya! Aku, Tuhanmu, tidak membutuhkannya. Yang Aku inginkan darimu, manusia, adalah melangkahlah keluar! Nikmati hidup yang telah Ku berikan kepadamu dengan penuh tanggung jawab."
Suara itu seakan bergema, "Aku rindu melihatmu berlari riang di bawah limpahan cahaya mentari pagi, menari dengan gembira di bawah langit yang biru, atau berdendang bersama teman di bawah sinar rembulan yang lembut. Bersenang-senanglah dengan segala karunia yang telah Kuberikan!"
Lalu, pesan itu berlanjut, "Jangan lagi kau cari Aku di tempat-tempat gelap yang kalian sebut rumah ibadah. Rumah ibadah itu ciptaan manusia, bukan kediaman-Ku. Sesungguhnya, Aku ada di gunung-gunung yang menjulang tinggi, di hutan-hutan yang lebat, di sungai-sungai yang mengalir jernih, di pantai-pantai yang berpasir putih, dan di lautan yang luas membentang. Di sanalah Aku berada, mengungkapkan cinta-Ku yang tak terhingga kepada kalian."
Suara itu semakin tegas, "Jangan salahkan Aku atas segala penderitaan yang kalian alami. Aku tidak pernah menciptakan manusia yang penuh dosa, atau menganggap cinta sebagai kejahatan. Cinta adalah anugerah, cara untuk menunjukkan kepedulian kepada sesama."
Pesan itu kian menohok, "Hentikan juga kebiasaan menyalahkan kitab suci atas segala aturan yang membelenggu kalian. Kitab suci itu tulisan manusia, bukan firman-Ku. Aku tidak pernah memerintahkan kalian untuk menuliskan kata-kata yang mengaku berasal dari diri-Ku."
Lalu, suara itu membisikkan petunjuk, "Jika kalian sungguh ingin mendengar suara-Ku, carilah Aku dalam keindahan mentari pagi, dalam hembusan angin yang sejuk, dalam dedaunan yang berdesir lembut, dan dalam sorot mata orang-orang yang kalian cintai. Janganlah kalian mencari Aku di dalam lembaran-lembaran kitab suci."
Dengan nada penuh kasih, pesan itu mengingatkan, "Kalian tidak akan pernah menemukan Aku di dalam buku. Aku tidak perlu diatur oleh doa-doa kalian, seolah-olah Aku tak tahu apa yang harus Ku lakukan. Apakah kalian pikir Aku ini pemula yang butuh diajari?"
Suara itu menggema penuh keprihatinan, "Hentikanlah ketakutan kalian! Aku tidak pernah menuduh, mengkritik, atau marah kepada manusia. Aku adalah Wujud Cinta yang Murni."
Dengan tegas, pesan itu menyatakan, "Aku tidak butuh kalian melakukan kesalahan, lalu meminta ampun kepada-Ku. Aku menciptakan kalian dengan segala keterbatasan, perasaan, kegembiraan, kebutuhan, keraguan, dan kehendak bebas. Bagaimana mungkin Aku menyalahkan ciptaan-Ku sendiri?"
Suara itu seakan bergetar, "Apakah kalian pikir Aku akan menciptakan neraka untuk membakar manusia yang Ku cintai, hanya karena mereka khilaf? Itu sama saja dengan kalian menuduh Aku sebagai Tuhan yang kejam. Bukankah pencipta yang baik tak akan menghukum ciptaannya sendiri?"
Pesan itu membimbing dengan penuh kelembutan, "Hargailah sesamamu. Jangan lakukan kepada orang lain apa yang tidak ingin kalian alami. Jalani hidup ini dengan penuh kesadaran, dengarkanlah bisikan nurani kalian. Di sanalah petunjuk-Ku berada."
Suara itu menjelaskan hakikat kehidupan, "Kehidupan ini bukanlah ujian, persinggahan, atau drama. Ini bukanlah jalan menuju surga. Hidup ini adalah anugerah, ada di sini, saat ini, dan itulah yang sesungguhnya kalian butuhkan. Aku telah memberikan kebebasan penuh kepada kalian. Tidak ada hadiah atau hukuman, dosa atau pahala. Terserah kepada kalian untuk menciptakan surga atau neraka di dunia ini."
Dengan nada penuh harapan, pesan itu berbisik, "Hiduplah seakan-akan tidak ada kehidupan setelah mati. Nikmatilah, berkaryalah, sebarkan cinta, dan wujudkanlah semua kebaikan dalam hidup ini. Jika memang tidak ada kehidupan setelah mati, maka kalian telah menggunakan kesempatan ini dengan sebaik-baiknya. Dan jika ternyata ada kehidupan setelah mati, Aku hanya akan bertanya:
"Apakah kalian bahagia? Apa yang kalian lakukan di sana? Apa yang kalian pelajari? Apa yang kalian tinggalkan bagi mereka yang akan datang setelah kalian?"
Suara itu menggema dengan penuh kasih sayang, "Hentikanlah prasangka-prasangka kalian terhadap-Ku! Hentikan menebak-nebak tentang wujud-Ku! Hentikan membayangkan diri-Ku! Mulailah membangun kepercayaan terhadap diri kalian sendiri! Aku ingin kalian merasakan kehadiran-Ku ketika kalian memeluk kekasih hati, ketika kalian menyayangi anak dan keluarga, ketika kalian menyayangi hewan atau tumbuhan kesayangan, dan ketika kalian menikmati keindahan alam di sekitar kalian!"
Dengan penuh penekanan, pesan itu mengingatkan, "Tidak perlu kalian menghabiskan waktu yang singkat ini untuk memuji-puji diri-Ku! Tuhan gila hormat macam apa yang kalian bayangkan? Aku bosan dipuji-puji. Bila kalian ingin bersyukur, tunjukkanlah rasa syukur dan kebahagiaan kalian dengan peduli terhadap sesama, jaga kesehatan diri, dan perhatikan hubungan kalian dengan orang lain dan dunia tempat kalian tinggal. Begitulah cara kalian memuja diri-Ku!"
Suara itu menenangkan dengan penuh kebijaksanaan, "Hentikanlah membuat rumit persoalan yang ada dan menjadi burung beo yang hanya mengulang-ulang apa yang katanya Aku ajarkan! Hentikan menyebarkan gambaran yang salah tentang diri-Ku yang lahir dari pikiran dan nafsu kalian sendiri."
Dengan penuh kasih, pesan itu bertanya, "Apa lagi yang kalian inginkan? Keajaiban? Hidup itu sendiri adalah keajaiban yang luar biasa! Penjelasan? Alam semesta di sekitar kalian dan bisikan halus dari hati nurani kalian adalah petunjuk yang sangat jelas."
Dan pesan itu pun ditutup dengan penuh pengharapan, "Satu-satunya kepastian adalah kalian hidup di sini, sekarang, dan kehidupan ini penuh dengan keajaiban untuk dikagumi dan dipelajari."
Kisah ini membawa pesan yang mendalam tentang makna kehidupan dan hubungan manusia dengan Tuhan. Spinoza, melalui Einstein, mengajak kita untuk melampaui batas pemahaman agama yang sempit dan dogmatis. Ia mengingatkan kita untuk menikmati hidup dengan penuh rasa syukur dan cinta, tanpa dihantui rasa takut dan prasangka.
Pesan Spinoza ini mengajak kita untuk menjadi manusia yang merdeka, bertanggung jawab, dan berintegritas, serta untuk menciptakan dunia yang lebih indah dan penuh kedamaian.
Dengan tegas, pesan itu menyatakan, "Aku tidak butuh kalian melakukan kesalahan, lalu meminta ampun kepada-Ku. Aku menciptakan kalian dengan segala keterbatasan, perasaan, kegembiraan, kebutuhan, keraguan, dan kehendak bebas. Bagaimana mungkin Aku menyalahkan ciptaan-Ku sendiri?"
Suara itu seakan bergetar, "Apakah kalian pikir Aku akan menciptakan neraka untuk membakar manusia yang Ku cintai, hanya karena mereka khilaf? Itu sama saja dengan kalian menuduh Aku sebagai Tuhan yang kejam. Bukankah pencipta yang baik tak akan menghukum ciptaannya sendiri?"
Pesan itu membimbing dengan penuh kelembutan, "Hargailah sesamamu. Jangan lakukan kepada orang lain apa yang tidak ingin kalian alami. Jalani hidup ini dengan penuh kesadaran, dengarkanlah bisikan nurani kalian. Di sanalah petunjuk-Ku berada."
Suara itu menjelaskan hakikat kehidupan, "Kehidupan ini bukanlah ujian, persinggahan, atau drama. Ini bukanlah jalan menuju surga. Hidup ini adalah anugerah, ada di sini, saat ini, dan itulah yang sesungguhnya kalian butuhkan. Aku telah memberikan kebebasan penuh kepada kalian. Tidak ada hadiah atau hukuman, dosa atau pahala. Terserah kepada kalian untuk menciptakan surga atau neraka di dunia ini."
Dengan nada penuh harapan, pesan itu berbisik, "Hiduplah seakan-akan tidak ada kehidupan setelah mati. Nikmatilah, berkaryalah, sebarkan cinta, dan wujudkanlah semua kebaikan dalam hidup ini. Jika memang tidak ada kehidupan setelah mati, maka kalian telah menggunakan kesempatan ini dengan sebaik-baiknya. Dan jika ternyata ada kehidupan setelah mati, Aku hanya akan bertanya:
"Apakah kalian bahagia? Apa yang kalian lakukan di sana? Apa yang kalian pelajari? Apa yang kalian tinggalkan bagi mereka yang akan datang setelah kalian?"
Suara itu menggema dengan penuh kasih sayang, "Hentikanlah prasangka-prasangka kalian terhadap-Ku! Hentikan menebak-nebak tentang wujud-Ku! Hentikan membayangkan diri-Ku! Mulailah membangun kepercayaan terhadap diri kalian sendiri! Aku ingin kalian merasakan kehadiran-Ku ketika kalian memeluk kekasih hati, ketika kalian menyayangi anak dan keluarga, ketika kalian menyayangi hewan atau tumbuhan kesayangan, dan ketika kalian menikmati keindahan alam di sekitar kalian!"
Dengan penuh penekanan, pesan itu mengingatkan, "Tidak perlu kalian menghabiskan waktu yang singkat ini untuk memuji-puji diri-Ku! Tuhan gila hormat macam apa yang kalian bayangkan? Aku bosan dipuji-puji. Bila kalian ingin bersyukur, tunjukkanlah rasa syukur dan kebahagiaan kalian dengan peduli terhadap sesama, jaga kesehatan diri, dan perhatikan hubungan kalian dengan orang lain dan dunia tempat kalian tinggal. Begitulah cara kalian memuja diri-Ku!"
Suara itu menenangkan dengan penuh kebijaksanaan, "Hentikanlah membuat rumit persoalan yang ada dan menjadi burung beo yang hanya mengulang-ulang apa yang katanya Aku ajarkan! Hentikan menyebarkan gambaran yang salah tentang diri-Ku yang lahir dari pikiran dan nafsu kalian sendiri."
Dengan penuh kasih, pesan itu bertanya, "Apa lagi yang kalian inginkan? Keajaiban? Hidup itu sendiri adalah keajaiban yang luar biasa! Penjelasan? Alam semesta di sekitar kalian dan bisikan halus dari hati nurani kalian adalah petunjuk yang sangat jelas."
Dan pesan itu pun ditutup dengan penuh pengharapan, "Satu-satunya kepastian adalah kalian hidup di sini, sekarang, dan kehidupan ini penuh dengan keajaiban untuk dikagumi dan dipelajari."
Kisah ini membawa pesan yang mendalam tentang makna kehidupan dan hubungan manusia dengan Tuhan. Spinoza, melalui Einstein, mengajak kita untuk melampaui batas pemahaman agama yang sempit dan dogmatis. Ia mengingatkan kita untuk menikmati hidup dengan penuh rasa syukur dan cinta, tanpa dihantui rasa takut dan prasangka.
Pesan Spinoza ini mengajak kita untuk menjadi manusia yang merdeka, bertanggung jawab, dan berintegritas, serta untuk menciptakan dunia yang lebih indah dan penuh kedamaian.
Posting Komentar
...