Articles by "Way to Life"

Tampilkan postingan dengan label Way to Life. Tampilkan semua postingan

     Multiple Intelligence adalah teori yang dikemukakan oleh Howard Gardner dan Elizabeth Hobbs yang mengatakan bahwa kecerdasan seseorang tidak hanya diukur dari satu aspek saja, melainkan terdiri dari beberapa jenis kecerdasan yang berbeda-beda.

     Howard Gardner dan Elizabeth Hobbs merupakan ahli dalam psikologi, pendidikan, dan neuroscience. Gardner dikenal sebagai pengembang teori Teori Kecerdasan Majemuk yang mengemukakan bahwa kecerdasan tidak hanya dalam satu bentuk atau jenis saja, melainkan dalam sembilan jenis kecerdasan yang beragam.
     SedangkanElizabeth Hobbs adalah seorang peneliti yang mengembangkan konsep Multiple Intelligences (MI) dalam konteks anak-anak. Bersamaan, mereka berdua mencoba mencari cara untuk mengembangkan potensi kecerdasan yang dimiliki oleh seseorang.
     Gardner dan Hobbs dalam kajiannya menemukan bahwa potensi kecerdasan manusia mencakup sembilan jenis kecerdasan, yaitu kecerdasan verbal-linguistik, logika-matematika, spasial, kinestetik, musikal, interpersonal, intrapersonal, naturalis, dan eksistensial.

1. Kecerdasan Verbal-Linguistik
     Kecerdasan ini mencakup kemampuan berbicara, menulis, dan memahami bahasa. Contohnya adalah seorang penulis, pengacara, atau penyiar radio.
     Untuk mengembangkan kecerdasan verbal-linguistik, seseorang membutuhkan latihan dalam bahasa verbal dan tulisan. Latihan tersebut dapat dimulai sejak usia dini dengan memperkaya kata-kata, membaca, menulis, dan berbicara.

2. Kecerdasan Logis-Matematis
     Kecerdasan ini mencakup kemampuan untuk memecahkan masalah dan menyelesaikan persamaan matematika. Contohnya adalah seorang ilmuwan, matematikawan, atau ahli teknologi.
     Kecerdasan logika-matematis membutuhkan latihan dalam berpikir logis dan konsep berhitung yang dapat dimulai sejak usia dini dengan bermain permainan matematika atau berlatih logika dengan menghubungkan antara kejadian-kejadian yang terjadi di sekitar kita.

3. Kecerdasan Visual-Spasial
     Kecerdasan ini mencakup kemampuan dalam memvisualisasikan objek dan memecahkan masalah yang berhubungan dengan gambar. Contohnya adalah seorang seniman, arsitek, atau fotografer.
     Kecerdasan spasial, atau kecerdasan visual-ruang, membutuhkan latihan dalam mengenali pola, bentuk, dan warna. Latihan-latihan ini dapat dilakukan dengan melatih daya imajinasi dengan menerka gambar dan membaca buku-buku bergambar.

4. Kecerdasan Kinestetik
     Kecerdasan ini mencakup kemampuan dalam memanfaatkan gerakan fisik dan koordinasi tubuh. Contohnya adalah seorang atlet, tarian, atau ahli yoga.
     Kecerdasan kinestetik, atau kecerdasan fisik-gerak, dapat ditingkatkan dengan latihan yang melibatkan aktivitas fisik-gerak seperti berlatih olahraga, menari, atau seni bela diri.

5. Kecerdasan Musikal
     Kecerdasan ini mencakup kemampuan untuk mengekspresikan dan memahami musik. Contohnya adalah seorang penyanyi, komponis musik, atau pemain musik.
     Kecerdasan musikal dapat dilatih dengan bermain musik, bernyanyi, atau merespon irama.

6. Kecerdasan Interpersonal
     Kecerdasan ini mencakup kemampuan untuk memahami orang lain dan berinteraksi dengan mereka dengan baik. Contohnya adalah seorang politikus, guru, atau psikolog.
     Untuk kecerdasan interpersonal, atau kemampuan berinteraksi dengan orang lain, dapat diasih dengan membentuk hubungan yang positif dengan orang lain dan mempraktikkan empati, toleransi terhadap perbedaan, dan kemampuan membaca ekspresi wajah dan nada bicara.

7. Kecerdasan Intrapersonal
     Kecerdasan ini mencakup kemampuan untuk memahami diri sendiri dan merenung tentang kehidupan. Contohnya adalah seorang penulis, terapis, atau aktivis.
     Untuk kecerdasan intrapersonal, atau kemampuan berinteraksi dengan diri sendiri, dapat ditingkatkan dengan latihan introspeksi, mengenali kelebihan dan kelemahan diri, serta mengembangkan rasa percaya diri.

8. Kecerdasan Naturalis
     Kecerdasan ini mencakup kemampuan untuk memahami alam dan lingkungan. Contohnya adalah seorang ahli biologi, geologi, atau ekologis.
     Kecerdasan naturalis, atau kemampuan dalam mengenali dan memahami alam, dapat dilatih dengan mengenal lebih dalam tentang lingkungan hidup dan memanfaatkan sumber daya alam dengan bijak.

9. Kecerdasan Eksistensial-Spiritual
     Kecerdasan ini mencakup kemampuan untuk memahami makna hidup dan tujuan keberadaan manusia. Contohnya adalah seorang ahli filsafat, budayawan, atau pemimpin spiritual.
     Kecerdasan eksistensial, atau kemampuan dalam memaknai hidup dan memahami eksistensi, dapat ditingkatkan dengan memperdalam pemahaman mengenai nilai dan tujuan kehidupan serta melakukan kegiatan yang berorientasi pada pembentukan karakter.

     Dengan demikian, potensi kecerdasan dapat diasah sejak usia dini dan terus dikembangkan pada setiap level pendidikan sesuai dengan jenis kecerdasan yang ingin ditingkatkan. Seperti misalnya, pendidikan anak usia dini yang menyediakan pengalaman belajar yang terpusat pada permainan untuk memperkaya kosakata, pengalaman sehari-hari, dan pemberian contoh sebagai tindakan awal dalam pengembangan potensi anak. Sementara pada level pendidikan yang lebih tinggi, dilakukan pengembangan potensi kecerdasan melalui peningkatan kemampuan berpikir kritis, membuat argumentasi yang baik, atau pengembangan kepribadian yang lebih utuh.

     Dalam teori Multiple Intelligence, setiap individu memiliki kecerdasan yang berbeda-beda, sehingga kita harus menghargai dan memperluas kesempatan bagi setiap jenis kecerdasan. Dengan memahami jenis kecerdasan yang kita miliki, kita dapat memanfaatkannya untuk berprestasi dan meraih kesuksesan dalam berbagai bidang.

Untuk yang berminat memperdalam kajian tentang Multiple Intelligence tersebut, berikut ada beberapa referensi yang dapat dijadikan acuan antara lain:

1. "Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligences" oleh Howard Gardner
2. "Multiple Intelligences: New Horizons in Theory and Practice" oleh Howard Gardner
3. "The Complete Multiple Intelligences Test"oleh Susan Baum dan Julie Viens
4. "Teaching with the Brain in Mind" oleh Eric Jensen dan buku-buku lainnya.

Selain itu, terdapat juga sumber online yang dapat diakses seperti website resmi Howard Gardner (www.howardgardner.com), Edutopia (www.edutopia.org/multiple-intelligences), dan banyak lagi. 

     Realitas merupakan sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan manusia sehingga menjadi topik yang menarik bagi banyak filsuf. Realitas dapat diartikan sebagai kenyataan yang ada di dunia, yang dapat dirasakan dan diamati oleh manusia. Secara umum, realitas dapat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu realitas obyektif, subyektif, dan intersubyektif. 

     Realitas-obektif adalah realitas yang berada di luar diri manusia, independen dari sudut pandang manusia, dan dapat diukur secara empiris. Contoh dari realitas-obyektif adalah hukum fisika, matematika, fakta sejarah, ponsel yang kita miliki, sepatu dan sendal di kaki kita, dan lain sebagainya. Intinya, segala sesuatu yang dapat diukur, dapat diamati dan dapat diverifikasi oleh diri kita maupun orang lain.

     Filsuf yang lebih cenderung mengambil pendekatan realitas obyektif adalah Plato dan Aristoteles, di mana mereka berpandangan bahwa realitas itu ada secara mandiri dan dapat ditemukan melalui pengamatan dan pemikiran yang rasional. Descartes juga cenderung mengambil pendekatan realitas obyektif, namun ia mencapai pandangan ini melalui pemikiran yang lebih radikal, yaitu dengan meragukan segala hal yang dapat diragukan dan hanya menerima kebenaran yang pasti dan jelas.  Sementara saintis yang juda filsuf seperti Daniel Dennett dan Richard Dawkins mendukung pandangan ini, bahwa realitas adalah obyektif, dan dapat diukur secara objektif.

     Namun, ada juga pendapat bahwa realitas-obyektif bersifat terbatas dan tidak mengungkapkan keseluruhan realitas. Sebagai contoh, realitas-obyektif tidak mampu menjelaskan pengalaman-pengalaman manusia yang bersifat subyektif, seperti perasaan, kepercayaan dan nilai-nilai moral. Oleh karena itu, beberapa filsuf seperti Martin Heidegger mengatakan bahwa realitas-subyektif juga perlu diperhatikan.

     Realitas-subyektif adalah realitas yang terkadang digunakan oleh manusia untuk memberikan arti atau interpretasi terhadap realitas yang obyektif. Contoh dari realitas subyektif adalah perasaan cinta, rasa sakit, rasa keadilan dan lain-lain. Realitas-subyektif sangat bergantung pada sudut pandang individu atau kelompok yang mengalami realitas tersebut. Filsuf seperti Immanuel Kant dan Jean Paul Sartre mendukung keberadaan realitas-subyektif dalam kehidupan manusia. Sartre bahkan mengatakan bahwa individu merupakan sumber dari realitas-subyektif. Ia menekankan bahwa realitas itu terbentuk oleh persepsi dan pengalaman manusia yang dipengaruhi oleh kebebasan dan pilihan individu.

     Namun, keterbatasan dari realitas subyektif adalah bahwa tak selalu dapat dicontohkan ke seluruh orang. Perbedaan individu menyebabkan adanya perbedaan persepsi dan penilaian terhadap hal yang sama. Oleh karena itu, ada juga jenis realitas yang disebut sebagai intersubyektif, yaitu realitas yang diakui oleh sebagian atau seluruh individu sebagai realitas yang berlaku. Realitas intersubyektif melibatkan interaksi antar individu, seperti adat istiadat, kesepakatan sosial, permufakatan yang berlaku pada sebuah komunitas atau budaya, dan lain-lain. Filsuf seperti Jürgen Habermas dan Charles Taylor menyatakan bahwa realitas intersubyektif memainkan peran penting dalam menentukan nilai dan makna dalam kehidupan manusia. Heidegger memiliki pendekatan yang lebih kompleks, di mana ia menekankan bahwa realitas itu dapat ditemukan melalui pengalaman dan pemahaman manusia yang dipengaruhi oleh budaya dan lingkungan sosialnya. Dalam hal ini, ia dapat dikatakan memiliki pendekatan realitas intersubyektif.

     Sebagai contoh realitas intersubyektif adalah bahasa. Bahasa adalah produk dari interaksi manusia dan terbentuk melalui pengalaman-pengalaman bersama. Oleh karena itu, bahasa juga menjadi bagian dari realitas intersubyektif. Bahasa tidak hanya memungkinkan kita untuk berkomunikasi dan memahami satu sama lain, tetapi juga memungkinkan kita untuk memahami konsep dan realitas bersama. Bahasa juga memungkinkan kita untuk menyampaikan nilai dan norma sosial yang diterima bersama dalam masyarakat. 

     Contoh kasus lain yang dapat digunakan untuk menjelaskan realitas intersubjektif adalah konsep keadilan dalam masyarakat. Konsep keadilan tidak hanya didasarkan pada pandangan individu, tetapi juga terbentuk melalui interaksi antara individu dan masyarakat. Konsep keadilan akan terbentuk melalui pengalaman-pengalaman yang dibagi bersama antara individu dan bersifat kolektif.
     Sebagai contoh, di suatu masyarakat tertentu, mungkin ada perbedaan pandangan tentang apa yang dianggap adil dalam situasi tertentu. Namun, melalui interaksi antara individu dan diskusi bersama, konsep keadilan dapat terbentuk dan diterima oleh masyarakat sebagai kesepakatan mayoritas masyarakat. Konsep keadilan yang disepakati ini kemudian akan menjadi bagian dari realitas intersubyektif masyarakat.
     Misalnya, dalam beberapa masyarakat, hukuman mati dianggap sebagai bentuk keadilan dalam kasus-kasus tertentu, sedangkan di masyarakat lain, hukuman mati dianggap tidak adil. Konsep keadilan ini terbentuk melalui interaksi antara individu-individu dan terbentuk dalam realitas intersubyektif masyarakat. Konsep yang disepakati ini juga dapat berubah seiring waktu, tergantung pada perubahan nilai-nilai dan norma sosial dalam masyarakat.

     Secara keseluruhan, pandangan tentang ketiga jenis realitas, yaitu realitas-obyektif, realitas-subyektif, dan realitas intersubyektif, memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing, bergantung pada perspektif yang digunakan. Oleh karena itu, sangat penting bagi manusia untuk memahami keberadaan dari ketiga jenis realitas tersebut dan bagaimana ketiganya saling berkaitan dengan kehidupan kita sehari-hari. 

     Kesadaran kosmos, atau yang dalam bahasa Inggris dikenal sebagai "cosmic consciousness," merujuk pada pengertian yang mendalam tentang kesatuan dan hubungan yang erat antara individu dengan alam semesta secara keseluruhan. Ini adalah konsep yang menggambarkan pemahaman bahwa kita sebagai manusia adalah bagian tak terpisahkan dari jaringan kehidupan yang lebih besar dan bahwa kesadaran kita terhubung dengan kesadaran kosmos itu sendiri.

     Pada dasarnya, kesadaran kosmos mengajarkan bahwa alam semesta adalah satu kesatuan yang harmonis, dan bahwa kita sebagai individu memiliki potensi untuk merasakan dan memahami keterhubungan ini secara dalam. Ini melampaui pemahaman konvensional tentang diri sebagai entitas terpisah dan menekankan pentingnya mengenali bahwa setiap bagian dari alam semesta saling mempengaruhi dan saling bergantung satu sama lain.

     Konsep kesadaran kosmos ini melibatkan pemahaman yang lebih luas tentang interkoneksi yang ada antara diri kita, alam, dan semua makhluk hidup di dalamnya. Ini melibatkan peningkatkan kesadaran diri, membuka pikiran dan hati untuk menerima pengalaman dan keajaiban yang terkait dengan alam semesta.

     Sebagai contoh, kesadaran kosmos adalah ketika seseorang merasakan rasa keterhubungan yang mendalam dengan alam saat berjalan di tengah hutan. Mereka merasakan kekuatan dan keindahan alam, mendengarkan suara angin yang melalui pepohonan, melihat kehidupan yang berkembang di sekitar mereka, dan merasakan energi yang hidup di sekitar mereka. Dalam momen-momen tersebut, mereka merasa menjadi bagian integral dari alam semesta, mengalami kesadaran yang lebih dalam tentang keterhubungan mereka dengan segala sesuatu di sekitar mereka.

     Penerapan lainnya dapat terlihat ketika seseorang mengembangkan empati dan perhatian terhadap makhluk hidup lainnya. Mereka menyadari bahwa tindakan mereka memiliki dampak pada alam sekitar dan mengambil langkah-langkah untuk melindungi dan menjaga lingkungan. Mereka menghargai kehidupan dalam segala bentuknya dan berusaha hidup dengan harmoni dan rasa tanggung jawab terhadap keseluruhan alam semesta.

     Konsep kesadaran kosmos atau cosmic consciousness telah diperbincangkan oleh berbagai filsuf, spiritualis, dan pemikir dari berbagai tradisi dan zaman. Berikut adalah beberapa tokoh yang sempat saya himpun dengan rumusan pemikiran tentang kesadaran kosmos.

     Carl Jung, seorang psikolog dan filsuf Swiss, mengemukakan konsep kesadaran kosmos melalui pemahaman psikologis dan spiritual. "Who looks outside, dreams; who looks inside, awakes." ~"Mereka yang melihat ke luar, bermimpi; mereka yang melihat ke dalam, terbangun." Dengan menjelajahi alam bawah sadar dan mengintegrasikan berbagai aspek diri, seseorang dapat mencapai kesadaran yang lebih luas dan menyadari keterhubungan dengan alam semesta. Jung menekankan pentingnya memperoleh pemahaman tentang diri melalui introspeksi dan penggalian ke dalam alam bawah sadar. Menurutnya, melalui proses ini, kita dapat terbangun dari ilusi pemisahan dan memahami hubungan erat kita dengan alam semesta secara keseluruhan.

     Kita jangan hanya terjebak pada dunia luar yang penuh dengan khayalan dan harapan, melainkan memperdalam pengetahuan tentang diri sendiri, melihat ke dalam dan menyadari potensi kita yang tersembunyi.

     Alan Watts, seorang filsuf dan penyair Amerika, menekankan pemahaman tentang kesatuan alam semesta dan manusia. "We do not 'come into' this world; we come out of it, as leaves from a tree." ~"Kita tidak 'datang ke' dunia ini; kita muncul darinya, seperti daun dari sebuah pohon." Kita bukan entitas terpisah yang ada di dunia, melainkan bagian organik yang tak terpisahkan dari alam semesta.

     Watts menyampaikan pandangannya tentang asal mula kita sebagai bagian organik dari alam semesta. Ia mengajak kita untuk melihat diri kita sebagai ekstensi dari alam semesta yang luas, seperti daun yang tumbuh dari pohon. Kesadaran kita akan keterhubungan yang mendalam dengan alam semesta, dan menghindarkan kita dari pemisahan yang hanya menciptakan kesengsaraan dan ketidakpuasan.

     Eckhart Tolle, seorang spiritualis dan penulis terkenal, mengajak kita untuk melihat diri kita sebagai bagian yang tak terpisahkan dari keseluruhan alam semesta. "You are not separate from the whole. You are one with the sun, the earth, the air. You don't have a life. You are life." ~"Kamu tidak terpisah dari keseluruhan. Kamu bersatu dengan matahari, bumi, udara. Kamu bukanlah pemilik kehidupan. Kamu adalah kehidupan." Kita tidak hanya hidup di dunia ini, melainkan kita adalah perwujudan dari kehidupan itu sendiri.

     Tolle menyoroti pentingnya menyadari bahwa kita bukanlah entitas terpisah yang memiliki kehidupan, melainkan kita adalah kehidupan itu sendiri. Melihat diri kita sebagai manifestasi dari energi kehidupan yang ada di seluruh alam semesta. Kesadaran kosmos melibatkan pemahaman bahwa kita adalah bagian dari keseluruhan yang lebih besar. Dalam kesadaran ini, kita merasakan keterhubungan yang mendalam dengan matahari, bumi, udara, dan semua aspek kehidupan lainnya.

     Pierre Teilhard de Chardin, seorang ahli geologi dan teologis Prancis, menggabungkan ilmu pengetahuan dan spiritualitas dalam pemikirannya. "The world is round so that friendship may encircle it." ~"Dunia ini bulat agar persahabatan dapat mengelilinginya." Melibatkan pengakuan akan keterhubungan yang luas dan perlunya kerjasama dan persahabatan, memperlakukan dunia ini sebagai teman dan mengembangkan rasa persaudaraan dengan semua makhluk hidup.

     Teilhard de Chardin menekankan bahwa kesadaran kosmos tidak hanya melibatkan pemahaman diri, tetapi juga inklusi dan kepedulian terhadap semua bentuk kehidupan. Dalam memelihara persahabatan dan kerjasama, kita dapat menjaga keseimbangan dan keharmonisan dalam alam semesta.

     Immanuel Kant, Plato, dan Aristoteles adalah filsuf yang disimpulkan turut membahas konsep dan pemikiran yang relevan dengan kesadaran kosmos atau cosmic consciousness. Meskipun mereka tidak secara langsung merumuskan konsep ini dengan istilah yang sama, namun mereka memberikan wawasan yang dapat dihubungkan dengan pemahaman tentang keterhubungan antara individu dan alam semesta.

     Immanuel Kant adalah seorang filsuf Jerman yang terkenal dengan karya-karyanya tentang epistemologi dan etika. Dalam pemikirannya, ia membahas mengenai pemahaman manusia tentang dunia dan pengetahuan objektif. Walaupun Kant tidak secara khusus merumuskan kesadaran kosmos, konsepnya tentang "dunia noumenal" dapat dikaitkan dengan pemahaman tentang keterhubungan yang lebih luas.

      Kant membedakan antara "dunia fenomenal" (yang dapat dijangkau oleh panca indera kita) dan "dunia noumenal" (realitas yang ada di balik pengalaman fenomenal). Meskipun manusia hanya memiliki akses terbatas ke dunia fenomenal, ia mengakui bahwa ada aspek-aspek yang lebih dalam dan tak terlihat yang dapat mempengaruhi pengalaman manusia. Dalam hal ini, konsep dunia noumenal dapat dihubungkan dengan pemahaman kesadaran kosmos yang mengajak manusia untuk melihat melampaui batasan persepsi konvensional dan menyadari hubungan yang lebih dalam dengan alam semesta.

      Plato, seorang filsuf Yunani kuno, menekankan pentingnya realitas ide atau bentuk ideal yang abadi di balik dunia yang tampak. Dalam karya-karyanya seperti "Mitos Gua" dalalm bukunya Politeia (negeri), Plato mengajarkan keberadaan realitas yang lebih tinggi di luar dunia fisik.

      Plato menjelaskan bahwa dunia material yang kita alami hanya merupakan bayangan atau pantulan dari realitas yang lebih tinggi. Ia berpendapat bahwa jiwa manusia berasal dari dunia ide dan saat hidup di dunia fisik, kita hanya mengingat atau merasakan kepingan-kepingan dari dunia asal kita. Dalam konteks kesadaran kosmos, pemikiran Plato mengajak kita untuk melihat melampaui dunia fisik dan menyadari adanya dimensi yang lebih dalam dan universal yang terhubung dengan alam semesta.

      Aristoteles, seorang filsuf Yunani kuno yang menjadi murid Plato, memiliki pemahaman yang berbeda tentang keterhubungan antara manusia dan alam semesta. Ia mengembangkan konsep hylomorfisme yang berpendapat bahwa segala sesuatu terdiri dari materi (hyle) dan bentuk (morphe). Menurutnya, bentuk memberikan identitas dan substansi pada materi.

      Aristoteles juga mengajarkan konsep "telos," yaitu tujuan atau potensi yang melekat dalam setiap entitas. Dalam hal ini, pemikiran Aristoteles mengajak manusia untuk memahami perannya dalam alam semesta dan untuk mengaktualisasikan potensi yang melekat dalam diri mereka. Konsep ini dapat terkait dengan kesadaran kosmos, di mana manusia diajak untuk menyadari dan mengintegrasikan potensi dan tujuan mereka dalam konteks yang lebih luas, yaitu alam semesta.

     Mereka memberikan dasar filosofis yang dapat dihubungkan dengan konsep Cosmos Conciousness. Ketiganya mendorong kita untuk melihat melampaui persepsi konvensional dan memahami keterhubungan yang lebih dalam dengan alam semesta. Pemikiran-pemikiran ini mengajak kita untuk melebur dengan realitas yang lebih tinggi, menyadari adanya dimensi universal, dan mempertimbangkan peran dan tujuan kita dalam konteks yang lebih luas.

      Untuk memahami kesadaran kosmos, sangat penting bagi kita untuk menggabungkan berbagai perspektif filsuf-filsuf ini dengan pemikiran-pemikiran modern dan spiritualitas kontemporer. Konsep ini merupakan tantangan bagi kita untuk mengembangkan kesadaran yang lebih luas, mengintegrasikan berbagai aspek diri, dan merasakan keterhubungan yang mendalam dengan alam semesta secara keseluruhan.

      Melalui kesadaran kosmos, kita dapat mengalami transformasi dalam cara kita melihat diri sendiri dan dunia di sekitar kita. Ini bisa membantu memperluas persepsi kita, membangun keterhubungan yang lebih dalam dengan alam semesta, dan mengembangkan kesadaran yang lebih tinggi tentang tujuan dan makna hidup. Dengan memahami kesatuan dan keterkaitan kita dengan alam semesta, kita dapat mengambil langkah-langkah untuk hidup dengan lebih bijaksana, berkelanjutan, dan penuh kasih di dalam dunia ini.

     Kecerdasan Ekologi adalah kemampuan manusia dalam memahami dan memperhatikan lingkungan hidup dengan segala unsur dan keanekaragaman yang ada di dalamnya. Konsep kecerdasan ekologi pertama kali diperkenalkan oleh Daniel Goleman dalam bukunya yang berjudul "Ecological Intelligence: How Knowing the Hidden Impacts of What We Buy Can Change Everything". Goleman menyatakan bahwa kecerdasan ekologi menjadi semakin penting bagi kehidupan manusia di masa depan, dengan adanya krisis lingkungan yang semakin parah.

     Pada dasarnya, kecerdasan ekologi mencakup tiga kemampuan yakni kesadaran lingkungan, pemikiran sistemik, dan tindakan berkelanjutan. Kesadaran lingkungan merujuk pada kemampuan manusia dalam memahami dampak setiap tindakan atau produk terhadap lingkungan hidup. Pemikiran sistemik berarti kemampuan manusia untuk mempertimbangkan interaksi antara berbagai aspek dalam lingkungan hidup yang saling memengaruhi. Sedangkan tindakan berkelanjutan mengacu pada kemampuan manusia untuk mengambil tindakan praktis yang berkelanjutan dan ramah lingkungan.

     Melalui kecerdasan ekologi, manusia bisa menjadi lebih bijaksana dalam memilih produk dan jasa yang dibutuhkan serta menghindari produk yang memiliki dampak negatif terhadap lingkungan hidup. Contohnya, kita dapat memilih produk yang menggunakan bahan baku ramah lingkungan atau bahan daur ulang, mengurangi penggunaan plastik sekali pakai, maupun memilih kendaraan ramah lingkungan yang menghasilkan emisi karbon yang rendah.

     Selain itu, kecerdasan ekologi juga memperkuat kesadaran akan pentingnya kerja sama dan solidaritas antarindividu dalam menjaga lingkungan hidup. Kita harus melihat bahwa tindakan kecil dari individu yang dilakukan secara kolektif dapat memberikan dampak yang besar bagi lingkungan. Misalnya, pemilihan kendaraan ramah lingkungan dapat menjaga kualitas udara, pengurangan penggunaan plastik sekali pakai dapat mengurangi jumlah sampah yang mencemari laut, dan pengurangan penggunaan listrik dapat membantu menjaga ketersediaan energi.

     Namun, masih banyak orang yang tidak memahami bahwa kerusakan lingkungan akan berdampak langsung pada kesejahteraan manusia. Padahal, lingkungan hidup yang sehat merupakan salah satu faktor penting yang menentukan kualitas hidup manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu, pemahaman dan kesadaran tentang kecerdasan ekologi harus ditanamkan sejak usia dini pada anak-anak dan terus diupayakan pada seluruh lapisan masyarakat.

     Selain itu, pola pikir manusia juga berperan penting dalam kontribusinya terhadap kecerdasan ekologi. Lama-kelamaan, para ahli mendapati bahwa sumber dari permasalahan lingkungan adalah paradigma manusia mengenai teknologi dan konsumsi. Di satu sisi, masyarakat modern dengan sangat bergantung pada keuntungan yang dihasilkan oleh teknologi. Di sisi lain, tingginya permintaan masyarakat pada barang-barang konsumsi mengikatkan mereka pada sistem produksi global yang membutuhkan bahan baku yang terus menerus digunakan dan diganti.

     Karena itu, perlu adanya gerakan sosial yang besar dari masyarakat untuk mendorong pemerintah dan badan usaha untuk mengubah pola produksi dan konsumsi yang ramah lingkungan. Gerakan sosial ini juga harus didukung oleh para pegiat lingkungan serta perguruan tinggi dan lembaga pemerintah yang terkait. Penggunaan teknologi yang ramah lingkungan dan pengurangan penggunaan bahan bakar fosil, dapat menjadi salah satu langkah penting dalam menjaga keberlanjutan lingkungan hidup.

     Namun, krisis lingkungan yang terjadi saat ini tidak hanya bisa diselesaikan oleh satu tindakan atau pihak saja. Perlunya kerja sama antar negara dalam mengatasi masalah lingkungan juga menjadi poin penting dalam menjaga kelestarian bumi. Selain itu, peran perguruan tinggi juga sangat penting dalam mendidik generasi muda yang memiliki kesadaran dan kecerdasan ekologi yang tinggi, sehingga mereka dapat menjadi agen perubahan yang efektif di masa depan.

     Gerakan-gerakan seperti pemanfaatan energi alternatif, perbaikan kualitas air, peningkatan sistem pengelolaan sampah dan pengurangan penggunaan bahan kimia beracun adalah beberapa contoh tindakan manusia yang dapat membantu menjaga kelestarian bumi. Hal tersebut tentunya harus diikuti oleh program-program sosialisasi dan edukasi serta regulasi pemerintah untuk menciptakan kesadaran lingkungan dan menggalakkan tindakan bersama yang lebih besar.

     Dalam konteks ancaman kepunahan massal keenam yang sedang terjadi saat ini, kecerdasan ekologi menjadi salah satu kunci untuk mengatasi krisis lingkungan sekaligus mengubah pola produksi dan konsumsi menjadi lebih ramah lingkungan. Kesadaran dan tindakan berkelanjutan yang didukung oleh sistem pengelolaan yang baik harus menjadi langkah penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem bumi.

     Sebagai kesimpulan, kecerdasan ekologi adalah kemampuan manusia untuk memahami serta mempertimbangkan dampak dari setiap tindakan dan produk yang digunakan terhadap lingkungan hidup. Kita harus mempelajari cara untuk berinteraksi dengan lingkungan secara bijaksana dan ramah lingkungan. Sebagai warga masyarakat, kita memiliki tanggung jawab untuk menjaga kelestarian bumi, menumbuhkan kesadaran lingkungan, menerapkan tindakan berkelanjutan dan membentuk pola pikir yang lebih positif mengenai lingkungan. Semua upaya ini akan memberikan manfaat jangka panjang baik bagi lingkungan hidup maupun kesejahteraan manusia secara keseluruhan.

Kecerdasan Ekologi

     Konsep kecerdasan ekologi yang dikemukakan oleh Daniel Goleman, seorang penulis dan psikolog di dalam bukunya"Ecological Intelligence" yang diterbitkan pada tahun 2009. Beberapa pokok pikiran yang terkandung dalam konsep kecerdasan ekologi dapat diringkas menjadi seperti berikut:

1. Kecerdasan ekologi adalah kemampuan untuk memahami dan bertindak dengan bijaksana terhadap dampak manusia terhadap lingkungan dan ekosistem.

2. Kecerdasan ekologi mencakup empat aspek, yaitu data, konteks, sistem, dan tindakan. Data mencakup informasi tentang lingkungan dan pengetahuan tentang dampak manusia pada lingkungan. Konteks mencakup pemahaman tentang bagaimana kebiasaan dan tindakan kita berdampak pada lingkungan dan ekosistem. Sistem mencakup analisis dan pemahaman tentang kompleksitas interaksi dalam lingkungan dan ekosistem. Tindakan mencakup tindakan nyata dan praktis untuk mengurangi dampak negatif manusia pada lingkungan.

3. Kecerdasan ekologi didasarkan pada pengambilan keputusan yang bijaksana dan berkelanjutan dalam menggunakan sumber daya alam. Hal ini melibatkan pemahaman tentang siklus hidup produk dan sumber daya, serta cara mengurangi limbah dan pemakaian energi yang berlebihan.

4. Kecerdasan ekologi dapat membantu individu, perusahaan, dan masyarakat untuk menciptakan produk dan layanan yang lebih ramah lingkungan, mempertimbangkan dampak lingkungan dalam pengambilan keputusan, dan bekerja menuju tujuan pengurangan emisi gas rumah kaca dan penggunaan sumber daya yang lebih berkelanjutan.

     Beberapa langkah yang disarankan Goleman dalam rangka meningkatkan kecerdasan ekologi seperti mengurangi pemakaian energi fosil, mengembangkan produk yang lebih ramah lingkungan, menggunakan transportasi publik, dan memilih sumber daya yang lebih berkelanjutan.

     Goleman memiliki perbedaan pendekatan dalam memahami ekologi dengan kampanye ekologi yang telah dilakukan selama beberapa dekade ini. Goleman mengusulkan pendekatan ekologi yang lebih holistik dan multidimensional, yang melibatkan tidak hanya aspek lingkungan fisik, tetapi juga dimensi sosial, psikologis, dan spiritual. Goleman menekankan pentingnya memahami keterkaitan antara manusia, alam, dan makhluk hidup lainnya.

     Sementara itu, kampanye ekologi yang telah dilakukan selama beberapa dekade ini cenderung mengedepankan aspek fisik dan teknis, seperti bagaimana mengurangi polusi atau menggunakan sumber energi terbarukan. Kampanye tersebut cenderung mengabaikan dimensi sosial, psikologis, dan spiritual dalam memahami ekologi.

     Oleh karena itu, meskipun kampanye ekologi telah dilakukan selama beberapa dekade ini, tetapi masih banyak isu-isu lingkungan yang belum terselesaikan. Goleman berpendapat bahwa pendekatan ekologi yang lebih holistik dan multidimensional dapat membantu mengatasi isu-isu tersebut secara lebih efektif dan berkelanjutan.

     Pemikiran Goleman dalam kecerdasan ekologi dapat membantu mengendalikan atau mengurangi perubahan lingkungan. Perubahan lingkungan yang terjadi di seluruh dunia saat ini memang menjadi ancaman serius bagi kelangsungan hidup manusia dan keberlangsungan ekosistem. Hal ini disebabkan oleh aktivitas manusia yang tidak terkendali dalam memanfaatkan sumber daya alam secara berlebihan dan tidak berkelanjutan. Berdasarkan pemikiran Goleman, kecerdasan ekologi merupakan kemampuan untuk memahami kompleksitas hubungan antara manusia dan lingkungan, serta mampu melakukan tindakan yang berkelanjutan dalam mengelola sumber daya alam.

      Apakah sikap dan perilaku itu sudah cukup untuk mencegah kepunahan massal keenam? Masih sulit untuk dipastikan karena faktor-faktor lain seperti perubahan iklim, kebakaran hutan, perusakan habitat satwa liar, dan lain sebagainya yang juga berperan dalam menimbulkan kepunahan massal. Pandangan Goleman dapat saja menjadi salah satu cara untuk memperbaiki kesadaran manusia terhadap lingkungan dan mengubah perilaku konsumtif menjadi lebih berkelanjutan.

      Secara keseluruhan, meski pemikiran Goleman dalam kecerdasan ekologi dapat membantu mengurangi dampak negatif aktivitas manusia terhadap lingkungan, namun masih diperlukan dukungan dan tindakan bersama dari semua pihak untuk mengatasi masalah kepunahan massal dan memperbaiki kondisi lingkungan global.

korpala unhas

     Ketika kita lapar dan menahannya, maka tubuh memproduksi horman ghrellin. Hormon yang dianggap memberikan dampak negatif ketika kita mengambil suatu keputusan. Hormon yang meningkatkan selera makan tersebut juga mengurangi kemampuan kita mengendalikan dorongan yang muncul dari dalam diri kita.
    Ada dua pengamatan yang dilakukan oleh ahli di dalam penelitian mengenai efek hormon ghrellin tersebut. Pertama tentang 'tindakan impulsif' yaitu ketidak mampuan untuk mengendalikan atau menahan respon motorik. Yang kedua tentang 'pilihan impulsif' yaitu ketidak mampuan untuk menahan atau menunda kepuasan.
    Kesimpulan yang didapatkan dari eksperimen laboratorium terhadap tikus, hormon ghrellin yang merasuk ke otak (seperti dengan pesan yang dikirim oleh perut ke otak untuk memberitahu kita kapan untuk makan), segera membuat tikus kehilangan kendali pilihan impulsif yang kemudian merespon situasi tersebut dengan tindakan impulsif.
     Kemampuan menunda kepuasan jangka pendek untuk suatu imbalan atau keuntungan jangka panjang adalah tolak ukur kemampuan mengendalikan 'pilihan impulsif'. Namun kegagalan mengendalikan pilihan impulsif membuat kita menyantap camilan dan makanan ringan tambahan lainnya meski mengetahui bahwa jadwal makan malam sebentar lagi tiba. Hormon ghrellin mengurangi kemampuan kita mengambil keputusan yang rasional.
     Dan semakin tinggi kadar hormon ghrellin yang membanjiri otak, maka semakin tidak rasionallah kita di dalam membuat keputusan. Hormon ghrellin yang dihasilkan oleh keadaan lapar. Keadaan tersebut menjadi penjelasan logis mengapa kita sebaiknya tidak membuat keputusan (apalagi yang dampaknya penting) dalam keadaan lapar. Membanjirnya ghrellin di otak kita sangat mempengaruhi rasionalitas.
hormon ghrellin yang timbul karena lapar
gambar dari film kungfu panda

     Aku menguak celah-celah kepulan asap polusi, sambil sesekali mengusap mata yang pedih oleh debu. Di kiri kanan jalan, daun-daun tak hijau lagi. Warnanya coklat oleh debu yang mengendap, sementara entah masih berapa banyak lagi yang masih berterbangan.
     Dengan beberapa lompatan kecil, kuseberangi sungai berair kotor kehitaman. Rumput di sekitarnya layu menguning. Bebeapa depa lagi aku akan tiba di tujuan, yaitu gubuk seorang sahabat, yang telah banyak makan asam garam kehidupan ini. Gubuk tua di tepi tegalan kering yang di belakangnya nampak jauh gunung Bawakaraeng - terpancang kokoh dengan gumpalan-gumpalan  mega menyelimuti puncak.
     Assalamu alaikum, aku menyapa diiringi suara berderik anak tangga bambu yang kuinjak. Dari dalam salamku dibalas sambil mempersilahkan aku masuk.
     Baru saja kuletakkan pantatku di atas tikar kumal di dekat pintu masuk, sahabatku langsung menjejali dengan kata-kata yang membuatku hanya mampu terperangah.
     Kebetulan Kau datang. Kau sebagai salah satu wakil generasi sekarang harus menyadari akan apa yang kusampaikan ini. Karena di tanganmulah dan tangan-tangan pemuda sezamanmulah yamg akan memeruskan, sedang aku sendiri, oh.. aku tak tahu apakah masih akan melihat kelanjutan perjalanan dunia ini di besok hari.
     Alam yang perawan telah kehilangan keperawanannya. Hutan yang gadis telah kehilangan kegadisannya. Sungai-sungai kotor oleh limbah kimia, sedang udara menjadi kotor oleh kepulan asap dari kendaraan-kendaraan bermotor, ditambah berton-ton debu beracun yang disemburkan oleh cerobong-cerobong pabrik.
     Sementara kota-kota penuh sesak oleh manusia, jalan-jalan padat dengan lalulintas, desa-desapun telah sempit oleh ledakan penduduknya sehingga seakan-akan kita tersekap dalam kaleng yang pengap. Napas menjadi berat menyiksa dan megap-megap, seolah manusia berebut udara dari dunia yang tidak berudara lagi.
     Kita sudah lupa atau bahkan tidak mengenal lagi yang namanya hembusan angin segar dan bersih. Kemajuan telah datang.
     Bersamaan dengan itu muncul ratusan ribu pabrik yang mengepulkan bahan pencemar. Teknik pertanian yang baru dengan cara-cara modern membasmi hama, binatang-binatang kecil yang berbahaya. Dan bergembiralah kita yang akan memetik buah yang ditumbuhkan oleh bumi tanpa didahului oleh ulat dan hama.
     Tetapi disamping matinya hewan-hewan kecil yang berbahaya, maka mati pulalah hewan-hewan kecil yang bermanfaat. Lebah-lebah yang ada dalam sarangnya mati, lalu keluarlah madu dalam keadaan tercemar.
     Demikian pula ternak yang memakan tanam-tanaman itu, menjadi sakit, sehingga daging dan susunya tercemar pula. Ikan dalam air dan burung di udara pun sakit, kemudian manusia yang memakannya ikut pula menjadi sakit. Ibu-ibu  menyusui mengeluarkan asi yang tercemar. Maut tersebar kepada siapa saja, lalu segala sesuatu menjadi tercemar.
     Jadilah manusia sekarang sebagai manusia yang layu dengan nafas yang tersndat-sendat dan wajah masam. Tampak ia sudah tua dalam bilangan usia yang masih sedikit.
     Segala sesuatu telah tercemar. Pola hidup moderen telah menyebabkan ozon berlubang semakin besar. Aturan alampun menjadi berantakan. Pergantian cuaca dingin, panas, basah dan kering, hujan dan badai tidak teratur lagi. Semua datang tidak pada jalur perhitungan biasa. Saling menyimpang tanpa ada keteraturan.
     Kemudian datanglah jenis pencemaran yang paling berbahaya, yaitu pencemaran budi pekerti dan akhlak. Penemuan perangkat komunikasi yang semakin canggih, mulai dari radio, televisi, bahan cetak lalu komputer hingga gadget setelapak tangan, menyergap manusia hingga ke kamar tidur.
     Melalui media yang mewabah itu, kita dapat menyajikan kepada umat manusia apa saja yang kita kehendaki. Kita sebarkan kebatilan dan rangkaian kata-kata dusta, bahkan bisa membangkitkan birahi secara gamblang dengan audio visual dalam teknologi yang mutakhir. Siang dan malam manusia ditimbuni material sampah untuk moralnya.
     Maka terjadilah, pemuda-pemuda tidak lagi memperhatikan bangsa dan tanah airnya, apalagi agamanya. Hidup berfoya-foya, menikmati harta dari orang tuanya, yang juga didapat dari memeras orang miskin. Yang dipikirkan hanyalah kepuasan diri sendiri, kepuasan birahi yang berkobar membakar. Semua dicurahkan untuk syahwatnya, sehingga menjadi lemah dan tidak berguna.
     Parodi politisi pedagang oportunis, menjadi sajian rohani wajib di layar kaca, yang jam tayangnya selalu ditunggu-tunggu. Ini menjadi peneguh keyakinan, penyemangat sekaligus media belajar untuk mematangkan jalan hidup idaman hampir setiap orang, yaitu kemunafikan. Kemunafikan yang menjadi jijik bila diucapkan secara gamblang, namun jauh di dalam lubuk hati, menjadi panutan satu-satunya yang harus dipertahankan mati-matian. Bukankah selama ini, praktek oportunisme sudah kita kembangkan secara sadar dan tidak sadar sehingga melandasi semua aspek kehidupan kita?
     Aturan-aturan dasar kehidupan tak perlu diperdulikan lagi. Bukankah Tuhan sendiri sudah lama mati?
     Nah saudaraku, itulah keadaan generasi yang kau jalani saat ini. Sekarang, tegakkanlah kepalamu dan pandanglah hari esok lalu pilih. Kau teruskan tradisi bobrok ini atau kau harus merentangkan kedua tanganmu, lalu kembali memancangkan peradaban mulia kepunyaan umat manusia. Yah, kemulian manusia.
 
 foto: etalasefotoberita.blogspot.com

     Di tengah ramainya kesibukan merevisi kurikulum baru untuk anak-anak Indonesia, dengan segala harap-harap cemas akan efektifitasnya, ada baiknya kita sejenak mereview serba sekilas suatu sistim pendidikan yang diterapkan di Finlandia. Ya, Finlandia sebagai negara dengan kualitas pendidikan terbaik di dunia.
     Negara dengan ibukota Helsinki (tempat ditandatanganinya perjanjian damai antara RI dengan GAM) ini memang begitu luar biasa. Peringkat 1 dunia ini diperoleh Finlandia berdasarkan hasil survei internasional yang komprehensif pada tahun 2003 oleh Organization for Economic Cooperation and Development (OECD). Tes tersebut dikenal dengan nama PISA (Programme for International Student Assesment) yang mengukur kemampuan siswa di bidang Sains, Membaca, dan juga Matematika.
     Hebatnya, Finlandia bukan hanya unggul secara akademis tapi juga menunjukkan unggul dalam pendidikan anak-anak lemah mental.
     Ringkasnya, Finlandia berhasil membuat semua siswanya cerdas. Lalu apa kuncinya sehingga Finlandia bisa menempati rangking puncak nomor satu dunia?
     Dalam masalah anggaran pendidikan Finlandia memang sedikit lebih tinggi dibandingkan rata-rata negara di Eropa tapi masih kalah dengan beberapa negara lainnya. Finlandia tidaklah menggenjot siswanya dengan menambah jam-jam belajar, memberi beban PR tambahan, menerapkan disiplin tentara, atau memborbardir siswa dengan berbagai tes.
     Sebaliknya, siswa di Finlandia mulai sekolah pada usia yang agak lambat dibandingkan dengan negara-negara lain, yaitu pada usia 7 tahun, dan jam sekolah mereka justru lebih sedikit, yaitu hanya 30 jam perminggu. Bandingkan dengan Korea, ranking kedua setelah Finlandia, yang siswanya menghabiskan 50 jam perminggu.
foto : www.helsinki.fi

Apa gerangan kuncinya?
     Ternyata kuncinya terletak pada kualitas guru. Di Finlandia hanya ada guru-guru dengan kualitas terbaik dengan pelatihan terbaik pula. Profesi guru sendiri adalah profesi yang sangat dihargai, meski gaji mereka tidaklah fantastis. Lulusan sekolah menengah terbaik biasanya justru mendaftar untuk dapat masuk di sekolah-sekolah pendidikan, dan hanya 1 dari 7 pelamar yang bisa diterima. Persaingannya lebih ketat daripada masuk ke fakultas hukum atau kedokteran!
     Jika negara-negara lain percaya bahwa ujian dan evaluasi bagi siswa merupakan bagian yang sangat penting bagi kualitas pendidikan, Finlandia justru percaya bahwa ujian dan testing itulah yang menghancurkan tujuan belajar siswa. Terlalu banyak testing membuat kita cenderung mengajarkan kepada siswa untuk semata lolos dari ujian, ungkap seorang guru di Finlandia.
     Pada usia 18 tahun, siswa mengambil ujian untuk mengetahui kualifikasi mereka di perguruan tinggi dan dua pertiga lulusan melanjutkan ke perguruan tinggi. Siswa diajar untuk mengevaluasi dirinya sendiri, bahkan sejak Pra-TK! Ini membantu siswa belajar bertanggungjawab atas pekerjaan mereka sendiri, kata Sundstrom, kepala sekolah di Sekolah Dasar Poikkilaakso, Finlandia.
     Siswa didorong untuk bekerja secara independen dengan berusaha mencari sendiri informasi yang mereka butuhkan. Suasana sekolah sangat santai dan fleksibel. Adanya terlalu banyak komando hanya akan menghasilkan rasa tertekan, dan mengakibatkan suasana belajar menjadi tidak menyenangkan.
     Kelompok siswa yang lambat mendapat dukungan intensif. Hal ini juga yang membuat Finlandia sukses.
Berdasarkan penemuan PISA, sekolah-sekolah di Finlandia sangat kecil perbedaan antara siswa yang berprestasi baik dan yang buruk dan merupakan yang terbaik menurut OECD. Remedial tidaklah dianggap sebagai tanda kegagalan tapi sebagai kesempatan untuk memperbaiki.
     Seorang guru yang bertugas menangani masalah belajar dan prilaku siswa membuat program individual bagi setiap siswa dengan penekanan tujuan-tujuan yang harus dicapai, umpamanya: Pertama, masuk kelas; kemudian datang tepat waktu; berikutnya, bawa buku, dan lain sebagainya. Kalau mendapat PR, siswa bahkan tidak perlu untuk menjawab dengan benar, yang penting mereka berusaha.
     Para guru sangat menghindari kritik terhadap pekerjaan siswa mereka. Menurut mereka, jika kita mengatakan “Kamu salah” pada siswa, maka hal tersebut akan membuat siswa malu. Dan jika mereka malu maka ini akan menghambat mereka dalam belajar. Setiap siswa diperbolehkan melakukan kesalahan. Mereka hanya diminta membandingkan hasil mereka dengan nilai sebelumnya, dan tidak dengan siswa lainnya.
     Setiap siswa diharapkan agar bangga terhadap dirinya masing-masing. Pemeringkatan dengan ranking nilai hanya membuat guru memfokuskan diri pada segelintir siswa tertentu yang dianggap terbaik di kelasnya, lalu cenderung mengabaikan siswa yang berada di peringkat yang lebih rendah.

     Bagaimana dengan Indonesia sendiri? Sistim baru dan kurikulum baru yang sementara uji publik, layak untuk ditunggu perkembangannya. Yang jelas, setiap usaha untuk memperbaiki sistim pendidikan di negeri ini, selayaknya selalu didukung dengan sepenuh hati demi kemajuan bersama.
referensi : sekolahorangtua.com

gambar : elpensamientoajeno.blogspot.com


foto : socialphy.com

     Ini jelas bukan pertanyaan sepele, bagaimanapun kita mencoba menyederhanakannya. Itu barulah pertanyaannya, belum lagi jawaban yang bisa lebih luas dibanding Sahara. Bisa menjadi perdebatan filosofis yang membutuhkan tenaga super ekstra untuk mampu bertahan di dalam setiap analisa. Sehingga harus dibekali kecerdasan penalaran yang tinggi bahkan lebih tinggi dari Everest.
     Dan kalau pertanyaan itu ditujukan kepadaku, maka dengan segala kerendahan hati saya mesti menjawab tidak tahu. Ketidak tahuan yang bisa saja diartikan sebagai suatu sikap masa bodoh, bahkan mungkin pula sebagai cerminan akan kebodohan yang sebenarnya akibat kurangnya informasi dan lemahnya kemampuan analisis. Sesungguhnyalah tidak mudah untuk sekadar bisa memahami suatu filosofi yang selayaknya menjadi dasar landasan way of life yang universal, apalagi sampai menganggapnya semudah membuat semangkuk bubur havermut hangat.
     Sebagai mahasiswa yang telah menjadi 'pencinta alam', ada satu pertanyaan yang selalu menggelitik, setiap kali diutarakan ketika saya pulang dari suatu pendakian di gunung. 'Mengapa ke gunung, mengapa mendaki gunung?' Gelitik pertanyaan yang terasa geli-geli enak, namun sekali-sekali menjadi geli-geli mengkhawatirkan.
photo : http://www.ehdwalls.com/
     Geli-geli enaknya adalah teman-teman yang bertanya selalu dengan antusias, sambil menyelipkan apresiasi pengakuan akan kegiatan yang baru saja selesai. Pertanyaan filosofis itu tidak benar-benar dibutuhkan jawabannya. Dan semakin enaknya lagi, bahwa saya dibiarkan menjawab dengan satu senyuman sederhana. Cukup. Si penanya akan menerjemahkan, bahwa senyuman saya adalah senyum yang mengandung sejuta makna, sejuta pemahaman dan bahkan sejuta kebijaksanaan. Senyum itu lebih dari cukup untuk mewakili hal-hal yang jumlahnya sudah berjuta-juta itu. Si penanya benar-benar maklum dan merasa sangat tertolong, bila saya tetap tersenyum saja. Tidak terbayangkan berapa stamina yang harus dia persiapkan untuk mendengar dan menyimak, bila saya menerjemahkan setiap hal itu menjadi rangkaian kata.
     Geli yang mengkhawatirkan, sebenarnya adalah petaka di setiap penghujung senyum yang berjuta-juta arti itu. Khawatir, kalau saja orang yang bertanya itu ngotot untuk mendapat jawaban dalam bentuk rangkaian kalimat, dalam rangkaian kata yang nyaman dan bisa diverifikasi. Lalu apa yang harus saya katakan? Jawaban apa yang pas, yang setara dengan sanjungan yang terlanjur ikut tersirat di ekspresi dan tatapan si penanya yang begitu antusias?
     Beberapa jawaban jujur mestinya bisa saya utarakan untuk menjawab itu, namun rasa yang tidak cukup pede di nyali menjadi penghalang lidah untuk mengucapkannya. Masak iya sih aku bilang, karena 'ikut-ikutan' mode, atau karena lagi ngetren? Atau untuk sekadar pajang foto-foto aksi yang 'luar biasa' untuk ukuran mahasiswa yang bisanya hanya belajar dan belajar saja di kampus, sehingga saya bisa kelihatan keren di wall facebook saya? Atau biar saya kelihatan machonya untuk si dia yang sedang getol-getolnya saya taksir? Selanjutnya saya berharap si anu dan si anu bisa menaruh hormat, bisa menempatkan rasa segan sepantasnya untuk saya, bisa terkagum-kagum lalu koprol-koprol sambil ‘wow-wow’ karena aku ini pendaki gunung?
     Terlalu aib rasanya di benak saya untuk menjawab dengan apa adanya tersebut. Masak iya sih, mahasiswa bisanya hanya ikut-ikutan. Lalu masak cuma sekadar narsis seperti fotomodel kurang modal. Kenapa masih begitu primitif, menarik minat lawan jenis dengan cara pamer otot yang meregang dalam lelehan keringat dan daki.
     Dan itulah khawatir-khawatir yang selalu menyertai kemana-mana. Sederet jawaban sebenarnya sudah tersedia, mau yang filosofis copy-paste model lokal sampai gaya import, mau yang asal-asalan yang penting bunyi, mau yang sembrono rada-rada porno, semuanya tersedia untuk bisa dihapalkan. Namun selalu tidak sampai hati saya untuk sekadar copy-paste slogan, karena jerihnya terasa begitu menyayat bila mengatakan yang tidak sesuai dengan nurani. Dan tentu saja, copy-paste itu adalah ekspresi nyata dari suatu sikap ikut-ikutan yang sangat tidak bermartabat.
     Mungkin seperti itulah juga kalau tiba-tiba ada yang bertanya, apa sih pencinta alam itu? Berkaca pada pertanyaan ‘mengapa mendaki gunung’, maka menjawab pertanyaan terakhir ini rasanya menjadi jauh lebih sulit lagi. Terlalu banyak fenomena yang semakin menyudutkan rasa percaya diri yang sudah begitu rapuh. Satu jawaban yang bagaimanapun sederhananya, pastinya akan menuai begitu banyak sanggahan, sinisme dan pelecehan semangat dalam ekspresi penuh cibir untuk pertanyaan yang bertubi-tubi sebagai sanggahan untuk jawab yang sederhana tadi.
     Banyak paradoks yang sudah digambarkan dari masa ke masa tentang kepencinta alaman itu. Mulai dari kalimat-kalimat kasar anarkis, sampai yang mendayu dalam senandung yang indah. Bagaimana Rita Rubby Hartland menggugat keberadaan para pendaki gunung yang identik dengan pencinta alam, di dalam lagu ‘kepada alam dan pencintanya’.
     Menarik suatu kesimpulan tentang apa pencinta alam itu, bisa kita lakukan dengan mengamati hal-hal yang merupakan hasil kreasi dari mereka yang menamakan diri pencinta alam. Namun sekali lagi, kesulitan segera membentang, ketika tolak ukur dan batasan nampak sangat kabur dan luas. Kabur dan luas, memberi kesempatan untuk melahirkan penafsiran-penafsiran sendiri dari para penganutnya. Keberadaan kode etik sendiri menjadi pajangan filosofis yang tergantung tinggi di puncak menara gading, yang begitu sulit untuk diterjemahkan apalagi untuk diaplikasikan.
     Penafsiran-penafsiran liar yang menjadi definisi anutan setiap pencinta alam kemudian menjadi suatu keabsahan belaka. Menjadi permakluman yang lumrah bila setiap orang mempunyai definisinya sendiri. Bila sudah seperti itu, maka menarik suatu kesimpulan universal, menjadi sesuatu yang mustahil. Bila kesimpulan umum menjadi mustahil, maka mustahil pulalah untuk mendefinisikan apakah pencinta alam itu. Tanpa definisi yang jelas, maka sangat lumrah bagi kita untuk gagal atau keliru di dalam identifikasi.
     Kita kemudian akan terjerumus ke siklus telur-ayam. Pertanyaan joke sepele yang sering hadir di warung kopi ujung kampung sana, menyertai mentari yang merangkak meninggi. Namun seorang temanku selalu konsisten untuk menjawab ‘telur’. Seperti konsistennya ia selalu menjawab, bahwa contoh ideal pencinta alam itu adalah para ‘nabi’. ‘Semua nabi itu adalah pencinta alam’, begitu yang selalu dikatakannya bila diskusi sudah semakin mendalam tentang apa dan bagaimana semestinya pencinta alam itu.
     Nabi-nabi sepertinya bisa bahkan sangat layak untuk menjadi model yang disebut sebagai Pencina Alam. Mereka selain  menjadi penyampai 'kata-kata' Tuhan dalam bentuk kitab-kitab suci, juga membantu manusia di dalam membaca dan menerjemahkan kreasi Tuhan yang terpahat sebagai bentuk alam semesta ini. Metafora, perumpamaan dan fenomena-fenomena alam menjadi bahan halus, untuk diramu menjadi bahan pendidikan untuk manusia.
     Untuk itulah mereka melakukan perjalanan, penjelajahan, migrasi, dengan semua duka dan sukanya. Bahkan nyawa akan menjadi taruhannya, bukan hanya oleh ancaman binatang buas, oleh sulitnya medan yang harus diatasi, namun juga oleh variasi kelicikan manusia yang sebenarnya jauh lebih berbahaya dari semua itu. Tujuannya jelas, sederhana meskipun sama sekali tidak bisa dikatakan sepele. Pembelajaran, penerjemahan, perenungan akan interaksi manusia dengan semesta, akan membentuk manusia menjadi manusia yang baik. Manusia dengan wawasan yang holistik, berkesadaran semesta. Lalu manusia yang baik itu selanjutnya mampu untuk menyadari Dia sang Maha yang telah menciptakan segalanya.
     Para pencinta alam yang berkegiatan di alam bebas mestinya juga seperti itu. Apapun yang dilakukan semuanya sebagai sarana berlatih, belajar, membaca dan menerjemahkan kebaikan yang mendukung proses penempaan diri untuk menjadi ‘manusia baik’. Manusia baik yang ‘kebaikannya’ bisa ditakar secara universal, bukan sekadar baik oleh golongan kecilnya, apalagi hanya baik menurut dirinya sendiri. Kebaikan yang mampu untuk lulus uji sebagai suatu kebaikan oleh berbagai parameter, baik yang religius, yang akademis, yang filosofis dan lain-lainnya.
     Manusia baik yang kebaikannya akan segera luntur bila sedikit saja menerapkan keburukan kepada semesta dan tentu saja kepada manusia lainnya.
also posted at KOMPASIANA

     Bagi Robert Kiyosaki untuk memenuhi hasratnya untuk menjadi lebih baik hati, langkah pertamanya adalah menemukan cara bagaimana bisa memberi lebih banyak kepada orang lebih banyak. Yaitu dengan menyediakan rumah lebih baik dengan harga lebih murah.
     Jadi, kalau kita ingin pensiun muda dan kaya boleh saja kita tamak selama kita selalu bekerja untuk memberikan lebih banyak kepada orang yang lebih banyak. Kalau anda melakukan hal tersebut maka Anda akan menemukan jalan Anda sendiri menuju kekayaan yang luar biasa dahsyat.
     Dalam bahasa saya pribadi yang dimaksud Robert Kiyosaki adalah orang yang mempunyai manfaat atau nilai tambah bagi orang banyak maka orang tersebut akan kaya raya. Contoh kenapa pemilik usaha lebih kaya daripada karyawannya? Karena karyawannya hanya membuat nilai tambah atau manfaat kepada satu orang yaitu atasannya.
     Sedangkan pemiliknya memberikan nilai tambah atau manfaat kepada misalnya 300 karyawannya dan 100.000 customernya. Hal ini juga dijabarkan Paul Zane Pilzer dalam bukunya “God Wants You to be Rich” yang membahas satu ayat di sebuah kitab suci yang menyatakan “Lebih mudah onta masuk lubang jarum dibanding orang kaya masuk ke Surga,” Dijelaskan oleh Paul Zane Pilzer bahwa seringkali ayat tersebut salah dimengerti.
     Yang dimaksud sebenarnya adalah orang kaya yang mempunyai kewajiban untuk menolong yang lain dan menolong orang yang miskin. Dan yang ditentang adalah orang yang kaya dengan cara merugikan orang lain. Nabi Ibrahim, Nabi Sulaiman, Nabi Ayub, serta Nabi Muhammad semua kaya karena mereka membuat nilai tambah atau manfaat untuk orang lain, selain tentu saja karena iman mereka yang kuat kepada Tuhan. Mereka bercocok tanam, membuat satu butir gandum menjadi ribuan, 2 ekor domba menjadi puluhan dan lain-lain.

Menurut saya ada dua hal dalam memberi lebih banyak :

Pertama, memberi nilai tambah, seperti yang dijelaskan diatas.

Kedua, Memberi Cuma-Cuma, dalam hal ini kita berbuat amal dan bermanfaat bagi lingkungan yang membutuhkan tanpa kita menerima imbalan materi secara langsung, seperti infaq, zakat dan sodaqoh.

     Memberi cuma-cuma inipun mendidik kita untuk merasa berlimpah yang pada akhirnya membuat kita terpacu untuk mendapatkan kekayaan. Dengan kita dekat kepada Tuhan, sumber segala berkat dan kelimpahan, maka kita akan banyak mendapatkan berkat dan kelimpahan.Sudahkah anda memberi zakat, infaq, sodaqoh ataupun nilai tambah yang pada akhirnya akan membuat anda berkelimpahan?
Tung Desem Waringin, detikfinance
foto : deviantart.com


Ajaibnya kesehatan setelah 'memberi'.

     Jauh lebih baik dan berbahagia memberi dari pada menerima, karena ada keajaiban dibalik "memberi". Suatu rahasia yang hanya diketahui oleh orang-orang yang berjiwa besar.

Memberi itu menyehatkan.
     Dr. Allan Kuts mengadakan penelitian yang melibatkan 3.000 sukarelawan, mengambil kesimpulan : "memberi atau menolong orang lain dapat mengurangi rasa sakit, mengurangi rasa stres, meningkatkan endorfin dan meningkatkan kesehatan" 
     Prof. David Mc Clelland juga menambahkan : "melakukan sesuatu yang positif terhadap orang lain akan dapat memperkuat sistem kekebalan tubuh, sebaliknya orang kikir cenderung terserang penyakit"  Mengapa demikian ?  Karena orang kikir biasanya cinta uang, bila uangnya sedikit berkurang maka dia akan stres, tubuh akan mengeluarkan hormon kortisol yang akan mengurangi kekebalan tubuh.
Memberi dapat memperpanjang umur.
     James Hous dalam risetnya menyimpulkan : "menolong orang lain secara sukarela meningkatkan kebugaran tubuh dan angka harapan hidup". Rockeffeler adalah orang kaya yang tidak bahagia dan sulit tidur, dokter memvonis hidupnya tidak akan lama. Lalu Rockeffeler memutuskan mengubah filosofi hidupnya menjadi penolong kaum papa dan orang miskin. 
     Apa yang terjadi?  Kesehatannya membaik dan berlawanan dengan perkiraan dokter, ia hidup sampai umur 98 tahun, sebagai ahli filantropi dan darmawan yang terkenal..

Memberi mendatangkan kebahagiaan yang luar biasa.
     Ketika kita mengulurkan tangan untuk menolong sesama dan berbagi dengan kehidupan mereka maka kita akan merasakan kebahagiaan yang mendalam.  Hidup jauh lebih berarti karena memberi. 
     Setiap orang yang suka memberi tidak pernah berkekurangan.  Dia akan meningkatkan kebahagiaan orang lain dan juga diri sendiri.  Karena itu, mulailah sekarang juga untuk berbagi kepada siapapun juga.  Berbagi tenaga, pikiran maupun ucapan yang positif. 
     Dengan demikian, kita menjadi salah satu sumber kebahagiaan untuk diri sendiri maupun lingkungan.

     Pemuda itu meletakkan kayu bakar yang terikat rapi dari pundaknya. Peluhnya membasahi tubuh dan meleleh di lekuk-lekuk wajahnya yang polos. Di sebelahnya seorang lelaki tua juga baru saja meletakkan beban kayu dari punggungnya. Mereka adalah ayah dan anak yang baru keluar hutan mengumpulkan kayu bakar untuk kebutuhan sehari-hari.
     Sambil beristirahat di bawah rimbunnya pohon, si anak bertanya mengapa tadi ayahnya kembali melarang ia untuk mengambil potongan-potongan kayu yang bersandar di pohon besar yang mereka lalui di hutan tadi. Rupanya si anak sudah begitu penasaran, karena bukan sekali itu saja ayahnya melarang melakukan hal itu. Dan hari ini rasa ingin tahu itu sudah tidak tertahan lagi.
     Dengan senyum karena menahan geli, si ayah menjelaskan.
     "Nak, kayu yang tersandar di pohon tadi itu, juga yang kemarin-kemarin kita lihat di pohon yang lainnya, sudah dimiliki oleh orang lain, hanya saja mereka belum sempat untuk membawanya keluar hutan." tutur sang ayah dengan lembut.
     "Tapi kita kan bisa mengambilnya tanpa diketahui oleh orang yang menurut ayah sudah memilikinya" sanggah si anak dengan semangat.
     "Nah di situlah tata krama kita sebagai warga masyarakat sekitar hutan ini. Kita akan menghormati orang yang telah bersusah payah mengumpulkan dan merapikan kayu-kayu tersebut lalu menegakkannya di batang pohon, meski kita tidak pernah bertemu dengan siapa orangnya. Penghormatan kita adalah dengan tidak mengganggu apalagi mengambilnya. Hal yang sama akan dilakukan oleh orang lain bila kita melakukan hal yang sama, meninggalkan kayu yang telah tersusun rapi di batang pohon. Begitulah pesan yang diwariskan kakekmu kepadaku, dan sekarang ini aku wariskan pula kepadamu".
     Penjelasan sang ayah yang panjang lebar itu rupanya belum cukup untuk menuntaskan ganjalan-ganjalan yang ada di benak si anak. Hal itu tergambar jelas di wajahnya yang masih kusut.
     "Tetapi ayah, saya pernah bertemu dengan orang kota yang sudah bersekolah sangat tinggi, menjelaskan hal ihwal tentang kepemilikan sesuatu barang. Ada bukti-bukti yang tertera di atas kertas yang menjadi jaminannya.. Nah dengan penjelasan ayah tadi itu, saya menjadi bingung untuk bisa mengerti. Apakah ayah juga pernah sekolah labih tinggi dan lebih pandai dibanding orang yang kutemui itu?."
     Sang ayah hanya tersenyum kecil, menyandarkan punggung lebih santai ke belakang, lalu melanjutkan penjelasannya.
     Sekarang cobalah bayangkan apa yang saya gambarkan ini.
     Bila Engkau memaksakan diri untuk mengambil kayu-kayu yang sudah ditegakkan itu, maka Engkau dipastikan akan menghadapi tiga kemungkinan. Pertama adalah, bila orang yang memiliki kayu itu ternyata mempunyai kemampuan lebih dari dirimu, maka Engkau bisa saja digilasnya. Tindakanmu akan dianggapnya sebagai upaya untuk menghinanya sehingga ia akan menghancurkanmu dengan segala daya yang dipunyainya.
     Kedua, bila ternyata pemiliknya mempunyai kemampuan yang setara denganmu, maka kemungkinan kalian akan saling berhadap-hadapan untuk mempertahankan eksistensi atas keberdayaan kalian. Bila Engkau kalah, maka akan ada luka di hatimu sebagai penanda atas kekalahanmu. Di pihak seterumu akan membanggakan pencapaiannya sekaligus meneguhkan doninasinya atas dirimu.
     Kemungkinan ketiga adalah bila pemiliknya mempunyai kemampuan lebih rendah darimu. Kemungkinannya ia akan menerima kondisi yang terjadi dengan 'tidak ikhlas'. Pemaksaan menerima keseweng-wenangan yang Engkau lakukan akan menjadi bibit dendam yang bisa saja membesar di suatu hari nanti. Hubungan yang harmonis diantara sesama penghuni sekitar hutan ini menjadi tidak seimbang, menjadi kehilangan rasa harga menghargai diantara sesamanya.
     Nah, dari ketiga kemungkinan itu, tidak satupun yang menjadi pilihan pantas untukmu, juga untuk penghuni-penghuni lainnya. Tetap konsisten dalam menghormati semua tatanan nilai yang telah dibangun di dalam konunitas kita adalah sesuatu yang mutlak, sehingga kita bisa mengembangkan kemuliaan-kemuliaan lainnya di dalam peradaban kita. Dan ingatlah baik-baik, semuanya itu tidak dituliskan di atas kertas seperti yang dibangga-banggakan oleh orang pintar yeng sudah engkau temui itu.
     Tidak ada dokumen ataupun akte yang menjadi bukti otentik tentang kepemilikan kayu itu. Kalaupun engkau memaksa untuk mencarinya maka engkau tidak tidak akan menemukannya. Dan engkau akan memenangkan perdebatan atas alasan 'tulis menulis' itu.
     Semuanya hanyalah pewarisan nilai yang disampaikan turun temurun seperti yang aku lakukan kepadamu sekarang ini. Tulisan-tulisan di kertas itu hanyalah bahan untuk  'si tukang silat lidah' untuk terlihat hebat dalam membela paham 'opurtunis' yang dianutnya. Paham yang hanya menguntungkan diri sendiri atau kelompok kecilnya yang didorong kuat oleh nafsu egoisme. Semua dikembangkan atas nama logika yang dikembangkan atas kelemahan-kelemahan dan kekurangan huruf-huruf yang ada di atas kertas. Sementara nilai-nilai luhur yang menjadi fondasi utamanya tidak bisa dimasukkan menjadi parameter, karena sama sekali tidak tertulis di atas kertas.
     Pahami semua nilai yang ada ini. Bila engkau merasa nilai-nilai yang berlaku di sini tidak sesuai dengan jalan pikiranmu, maka berbesar hatilah untuk menghormati nilai yang telah dianut sejak lama itu. Jangan engkau recoki apalagi sampai meninggalkan jejak buram di lintasan sejarahnya. Toh engkau yang masih muda, bisa mencari 'hutan' yang lain, untuk mengembangkan komunitasmu sendiri yang sesuai dengan apa yang engkau pikirkan. Engkau bisa mengembangkan nilai-nilai yang engkau anggap baik, di dalam komunitas barumu itu.
     Hari menjelang senja, semilir bayu yang lembut mengantarkan langkah mereka pulang.

     Mungkin kita tak pernah tinggal di pedesaan, namun kita bisa mengetahui bagaimana para petani menumbuhkan tanamannya. Pertama mereka menyebarkan bibit, kemudian menyebarkan pupuk dan menyemprotkan cairan anti hama. Semua dilakukan agar tanamanya dapat tumbuh subur dan menghasilkan padi yang bernas.
      Penjelasan selanjutnya bukanlah tentang bagaimana cara bercocok tanam bibit padi yang sebenarnya. Tetapi lebih kepada bagaimana kita bercocok tanam bibit kesuksesan. Kita sebut saja sebagai ilmu sebarkan bibit sebelum menuai.
     Mari kita siapkan imajinasi sejenak dengan santai, untuk beberapa ungkapan berikut ini, yang mungkin anda pernah dengar, “Nanti kalau saya sudah kaya, saya akan menyumbang untuk Mesjid, Panti Asuhan, Kegiatan Sosial, dan lain-lain”. Anda pernah mendengarnya? Saya kira iya, bahkan mungkin itu dari mulut anda sendiri.
     Lalu, bagaimana dengan ungkapan-ungkapan ini, “Kalau dapat rezeki, bagikan sebagian pada orang-orang yang membutuhkan”. Pernah dengar juga? Saya yakin Anda pernah mendengarnya, mungkin dari orang tua anda sendiri.
     Mari kita coba menganalisa pelajaran yang “kurang pas” dari dua kalimat diatas. Yang pertama kalau sudah kaya saya akan menyumbang. Jadi kalau belum kaya, ya tidak menyumbang... Betul?
Yang kedua, “Kalau dapat rezeki, sisihkan sebagian untuk orang lain”. Jadi kalau tidak atau belum mendapat rezeki ya tidak usah memberi..?
     Di dalam prinsip hukum alam yang sebenarnya adalah “Menanam dahulu, menuai kemudian” bukan  sebaliknya. "Menuai dahulu menanam kemudian”. Artinya adalah agar kita bisa menuai atau panen kita harus menanam terlebih dahulu. Agar kita mendapat rezeki, kita harus memberi dahulu. Agar kita bisa banyak rezeki berarti kita harus juga banyak berbagi.
     Jika anda coba melawan hukum alam ini dengan bersikap pelit, enggan memberi sebelum mendapatkan sesuatu maka anda justru akan sulit mendapatkan apapun juga.
     Jadi, bila Anda mau sukses, mau banyak uang, atau bila mau menjadi kaya, mulailah berbagi. Berbagi secara tulus, bukan seadanya, tetapi semampunya. Kalau seadanya saja maka itu berarti kita berbagi secara asal-asalan dan ala kadarnya. Berbeda kalau semampunya, maka kita akan berbagi dengan tulus sekuat kemampuan yang kita miliki.

sumber tulisan, TDWClub.com
sumber gambar, sokagallery.com

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.