Merenung Ulang Tentang Arti Tumbuh

     Di kota-kota yang langitnya terpotong oleh kabel listrik dan papan reklame, anak-anak berlari dengan tas punggung yang membebani bahu mereka seperti batu karang. Di sini, waktu bukanlah sungai yang mengalir, melainkan mesin tik yang terus mengetuk: cepat, lebih cepat, jangan tertinggal! Sejak gigi susu mereka belum tanggal, telinga sudah dibiasakan dengan bisikan, “Kalau tidak juara kelas, nanti jadi apa?” Sementara di belahan bumi lain, di negeri yang hujannya sama derasnya, bocah-bocah bersepeda melintasi jalan basah, seragam sekolah mereka belepotan lumpur, tapi wajahnya cerah seperti mentari yang baru menembus awan. The Happiest Kids in the World—buku yang ditulis Rina Mae Acosta dan Michelle Hutchison—tidak sedang menggurui, melainkan membisikkan pertanyaan yang terlupakan: Apakah kebahagiaan anak-anak harus dibayar dengan masa kecil yang terenggut?

     Di sudut sebuah apartemen sempit, seorang ibu membuka lemari penyimpanan dan menemukan tumpukan sertifikat penghargaan anaknya: juara lomba menghitung, pemenang cerdas cermat, piagam kursus coding untuk balita. Tapi di balik kertas berbingkai itu, ada bocah tujuh tahun yang menggigil setiap kali mendengar bel sekolah, karena gurunya kerap menghukum siapa yang lambat menjawab. Sementara di negeri seberang, anak seusianya sedang asyik memanjat pohon apel di halaman sekolah, tangannya kotor oleh tanah, tapi matanya berbinar saat menemukan sarang burung. Buku ini tidak sedang membandingkan mana lebih unggul, melainkan mengingatkan bahwa pertumbuhan bukanlah perlombaan. Di sana, anak-anak tidak dipaksa membaca di usia empat tahun. Mereka dibiarkan berlari, jatuh, dan menangis tanpa diminta segera bangkit. Karena bagi mereka, masa kecil adalah fase untuk menjadi, bukan sekadar persiapan menjadi.

     Di jalan-jalan sempit sebuah kota pelabuhan, seorang anak delapan tahun menuntun adiknya ke warung. Uang receh di genggamannya basah oleh keringat, tapi langkahnya mantap. Ibunya mengintip dari balik jendela, jantung berdebar, tapi mulutnya terkunci. Ia tahu: kepercayaan adalah bahasa cinta yang lebih keras dari teriakan “awas!”. Di negeri yang digambarkan Acosta dan Hutchison, anak-anak bersepeda sendiri ke sekolah sejak kelas tiga. Mereka tersesat, bertanya pada orang asing, dan pulang dengan cerita petualangan—bukan karena orang tuanya lalai, tapi karena mereka yakin: tanggung jawab tumbuh dari kebebasan, bukan kurungan. Sementara di sini, di kompleks perumahan berpagar tinggi, seorang ayah memasang kamera pengawas di setiap sudut taman. “Agar aku bisa memantau anakku,” katanya. Tapi bocah itu tumbuh dengan mata yang selalu waspada, seolah dunia adalah labirin yang penuh jebakan.

     Di ruang kelas yang dindingnya mengelupas di sebuah desa terpencil, seorang guru duduk bersila di lantai. Hari ini, murid-muridnya belajar bukan dari buku, tapi dari pertanyaan sederhana: “Apa yang membuatmu tersenyum pagi ini?” Seorang anak menjawab, “Ibu memasak nasi goreng,” yang lain tertawa karena ayamnya mencuri jajanan. Di kota besar, di sekolah berfasilitas lengkap, seorang remaja menatap layar komputer hingga matanya merah. Nilai ujiannya turun dua poin, dan kini ia harus menghadapi les tambahan sepulang sekolah. “Ini demi masa depanmu,” kata orang tuanya, tapi yang ia rasakan hanyalah sesak. Buku Acosta dan Hutchison menggambarkan sekolah di Belanda sebagai taman bermain yang disengaja: rapor tidak berisi angka, tapi catatan seperti “Ananda mulai berani memimpin permainan” atau “Ia belajar meminta maaf setelah berebut mainan.” Bukan bahwa akademik tak penting, tapi mereka paham: manusia tidak tumbuh dari hafalan rumus, melainkan dari rasa aman untuk salah, lalu bangkit.


     Di gang-gang gelap yang bau oleh sampah, sekelompok remaja berbagi rokok sembunyi-sembunyi. Seorang gadis menulis puisi tentang kebingungannya pada tubuhnya sendiri di notes ponsel—lalu menghapusnya takut ketahuan. Di negeri yang jauh, percakapan tentang menstruasi atau ketertarikan pada sesama jenis justru dibicarakan di meja makan, antara suapan sayur dan sendok nasi. “Lebih baik mereka bertanya pada kita daripada mencari jawaban di internet,” kata seorang ibu sambil menyeka mulut anaknya yang berusia enam tahun. Buku ini mengungkap rahasia yang sering diabaikan: remaja tidak memberontak ketika suaranya didengar. Mereka tidak perlu bersembunyi di balik layar ketika orang tua menjadi tempat bertanya, bukan sumber ancaman. Di sini, di ruang kelas yang sunyi setelah jam sekolah, seorang siswa menatap foto temannya yang bunuh diri seminggu lalu. “Dia selalu ranking satu,” bisik seorang guru, tapi tak ada yang bertanya mengapa ia memilih pergi.

     Di sebuah apartemen berlantai dua puluh, seorang ibu menatap lukisan lamanya yang tertutup debu. Sejak punya anak, ia berhenti melukis—waktunya habis untuk mengantar ke les privat, rapat komite sekolah, dan menyiapkan bekal bento sempurna. Di Belanda, seorang ibu yang sama sedang duduk di kafe, menikmati cappuccino sambil membaca novel. “Kami tidak merasa bersalah punya waktu untuk diri sendiri,” tulis Hutchison. “Karena anak-anak perlu melihat kita sebagai manusia, bukan robot pengasuh.” Di desa pesisir, seorang nelayan pulang dengan ikan segar dan langsung mengajak anaknya bermain layangan. “PR-nya belum selesai, Pak,” protes istrinya. Tapi sang ayah hanya tersenyum: “Biar saja, besok masih ada hari.” Sementara di kota, seorang ayah berkemeja rapi terlihat membungkuk di halte bus, tas kerjanya penuh dokumen sementara tangan lainnya menentang tas bola anaknya. “Ayah janji minggu depan kita liburan,” gumamnya, meski tahu janji itu akan tenggelam dalam rapat-rapat tak berujung.

     Buku ini tidak sedang mengajak kita menjiplak Belanda. Mereka punya masalah: musim dingin yang panjang, kesenjangan tersembunyi, dan debat politik yang tak kunjung usai. Tapi ada benang merah yang patut direnungkan: ketenangan. Di negeri yang jaring pengaman sosialnya kuat, orang tua tidak perlu panik tentang biaya rumah sakit atau ancaman putus sekolah. Di sini, di tengah ketidakpastian yang menggerogoti, kecemasan itu menjelma jadi tumpukan kursus tambahan, paksaan ranking, dan obsesi pada kesempurnaan. Tapi pertanyaan terbesarnya adalah: Untuk apa semua ini? Di pulau terpencil, anak-anak masih bermain galasin di tanah lapang, tertawa lepas meski sepatunya berlubang. Mereka tidak tahu apa itu startup atau coding, tapi hafal setiap lekuk bukit dan cerita nenek moyang. Di kota, seorang balita sudah mahir menggeser layar tablet, tapi menjerit ketakutan saat lampu padam.

     Mungkin jawabannya ada di suatu senja di pesisir selatan. Seorang kakek duduk di perahu kayu, cucunya tidur di pangkuannya. “Dulu ayahmu juga tidak bisa berenang sampai umur sembilan tahun,” bisiknya sambil menatap ombak. “Tapi lihat, sekarang ia membawa kapal ke tengah samudera.” Angin laut berhembus pelan, membawa aroma garam dan kesabaran. The Happiest Kids in the World mengajak kita berhenti sejenak. Menyadari bahwa di bawah langit yang sama, anak-anak tidak meminta lebih banyak mainan atau piala. Mereka hanya ingin merasa aman untuk jatuh, punya waktu untuk bermain, dan tahu bahwa orang tuanya ada—bukan sebagai penjaga waktu yang galak, melainkan teman yang duduk di samping, menatap matahari terbenam sambil berbisik: “Kita tidak perlu terburu-buru. Hari ini cukup baik.”

     Di negeri ini, di mana hujan bisa tiba-tiba mengguyur dan angin musim barat membawa cerita lama, pilihan itu masih tersedia. Antara terus mengejar bayang-bayang kesempurnaan yang tak berujung, atau duduk di tepi sawah, mengajari anak membuat perahu dari daun pisang—lalu melepasnya ke selokan, tertawa saat air membawanya hanyut. Karena kadang, kebahagiaan bukan tentang mengisi waktu hingga meluap, tapi memberinya ruang untuk bernapas. Seperti akar pohon beringin yang tua: ia tak tumbuh dalam semalam, tapi kokoh mencengkeram bumi, karena diberi kesabaran untuk merambat pelan-pelan.

The Happiest Kids in the World

Posting Komentar

...

[blogger][facebook]

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.