Sisa-sisa Homo Sapiens

     Saya tidak tahu, seberapa jauh sapiens akan eksis di panggung evolusi ini. Spekulasi yang dikemukakan oleh Harari dalam bukunya, Homo Deus, memprediksi bahwa manusia akan menghadapi pembagian drastis dalam struktur sosial dan ekonomi di masa depan, yakni antara mereka yang dianggap "berguna" dan "tidak berguna." Perkembangan teknologi, terutama di bidang kecerdasan buatan (AI), bioteknologi, dan rekayasa genetika, berpotensi mengubah lanskap pekerjaan, ekonomi, dan bahkan status sosial manusia.

     Narasi ini muncul dari kekhawatiran bahwa kemajuan teknologi bisa menciptakan kelas superior, di mana individu yang mampu memanfaatkan teknologi canggih atau memiliki akses ke peningkatan biologis akan menjadi golongan yang sangat produktif dan berpengaruh. Mereka akan memiliki kemampuan yang jauh melampaui rata-rata manusia, baik dalam hal kapasitas fisik, intelektual, maupun sosial. Di sisi lain, mayoritas manusia bisa terpinggirkan oleh otomatisasi, AI, dan rekayasa yang membuat mereka menjadi "tidak relevan" secara ekonomi dan sosial—atau seperti yang Harari sebutkan, "golongan tidak berguna."

     Fenomena ini bisa dilihat sebagai konsekuensi lanjutan dari dinamika revolusi kognitif dan narasi antroposentris yang saya paparkan di essai sebelumnya. Manusia, dalam usaha untuk meningkatkan kapasitas dirinya dan memastikan keberlangsungan kontrol terhadap dunia, telah menciptakan teknologi yang pada akhirnya bisa memisahkan mereka ke dalam strata yang lebih tajam. Sapiens yang lebih maju secara teknologis dapat, pada titik tertentu, merasa bahwa mereka tidak lagi berbagi nasib yang sama dengan manusia yang tertinggal dalam hal peningkatan biologis atau akses terhadap teknologi.

     Selain itu, realitas intersubjektif—seperti agama, budaya, dan institusi sosial—yang dulu menyatukan manusia dalam narasi besar bersama, bisa mengalami erosi seiring perkembangan teknologi. Ketika teknologi seperti Brain-Computer Interface (BCI), AI superinteligensia, dan rekayasa genetika mengambil alih fungsi-fungsi kognitif dan fisik manusia, realitas yang menghubungkan kita dengan hal-hal spiritual, sosial, atau identitas kolektif bisa menjadi kurang relevan. Narasi intersubjektif baru yang mungkin akan mendominasi bisa semakin elitis, ditentukan oleh golongan yang menguasai teknologi, memperlebar kesenjangan antara manusia yang memiliki kekuatan untuk terus maju dan mereka yang tertinggal.

     Pertanyaan besarnya adalah apakah manusia, yang secara historis terus menciptakan realitas yang melayani ego dan superioritasnya, bisa menghindari pembagian tajam ini. Jika tren saat ini terus berlanjut, kita bisa melihat polarisasi dalam bentuk yang belum pernah ada sebelumnya: bukan hanya perbedaan ekonomi atau sosial, tetapi juga perbedaan biologis dan kognitif yang radikal, di mana "golongan berguna" akan menjadi semacam "supermanusia", sementara "golongan tidak berguna" mungkin menjadi sisa-sisa Homo sapiens yang tidak lagi relevan di dunia yang semakin terotomatisasi dan terkendalikan oleh teknologi.

     Pada akhirnya, masa depan Homo sapiens di panggung evolusi tergantung pada bagaimana kita mengelola kemajuan ini. Apakah kita akan menciptakan dunia di mana semua manusia dapat berkembang bersama, atau apakah kita akan menyerah pada kekuatan teknologi yang menciptakan stratifikasi yang tak dapat dijembatani? Harari, dan banyak lainnya, memberikan peringatan ini: bahwa masa depan yang sangat canggih juga bisa menjadi masa depan yang sangat tidak adil dan terfragmentasi.

     Fragmentasi adalah hal yang alamiah. Seperti burung-burung finch yang ditemukan Darwin di Kepulauan Galapagos. Perbedaan paruh mereka yang muncul akibat isolasi geografis dan tekanan lingkungan yang berbeda, bisa kita bayangkan sebagai analogi skenario di mana isolasi teknologi dan AI berfungsi sebagai tekanan selektif yang mendorong evolusi manusia ke arah yang berbeda.

     Jika kita melihat sejarah evolusi, fragmentasi memang merupakan proses alami. Populasi yang terisolasi secara geografis, sosial, atau kultural cenderung berkembang secara independen dan membentuk karakteristik unik yang disesuaikan dengan lingkungan mereka. Dalam konteks teknologi dan AI, isolasi ini mungkin tidak lagi bersifat geografis, tetapi lebih berbasis akses terhadap sumber daya teknologi, infrastruktur digital, atau bahkan modifikasi biologis.

Di masa depan, isolasi teknologi bisa terjadi dalam berbagai bentuk:

Akses ke AI dan Bioteknologi: Mereka yang memiliki akses ke teknologi seperti AI canggih, rekayasa genetika, atau human enhancement dapat mengembangkan keunggulan kognitif dan fisik yang signifikan. Isolasi ini bisa menghasilkan kelompok manusia yang mengalami "evolusi" lebih cepat melalui intervensi teknologi, menjauh dari Homo sapiens yang tidak mengalami modifikasi.

Stratifikasi Sosial-Ekonomi: Teknologi canggih mungkin hanya tersedia bagi segelintir elite yang memiliki sumber daya ekonomi. Ini menciptakan golongan "manusia elit" yang terpisah secara sosial, intelektual, dan biologis dari golongan yang lebih luas yang tidak memiliki akses ke teknologi tersebut, menyebabkan "isolasi sosial-teknologis."

Peningkatan AI yang Mengarahkan Evolusi Kognitif: Sebuah populasi yang lebih terhubung dengan AI, melalui Brain-Computer Interface (BCI) atau AI augmentasi, mungkin mulai mengalami evolusi kognitif yang membuat mereka mampu berpikir, berkomunikasi, atau memproses informasi dengan cara yang sangat berbeda. Ini bisa menciptakan isolasi kognitif, di mana golongan manusia ini begitu jauh dari manusia "biasa" dalam kemampuan berpikir dan berinteraksi.

     Isolasi yang dipicu oleh teknologi ini dapat mendorong terjadinya spesiasi dalam konteks baru, di mana evolusi tidak lagi bergantung pada perubahan fisik semata, tetapi juga pada evolusi mental, sosial, dan bahkan moral. Seperti dalam kasus burung-burung Darwin, tekanan selektif yang berbeda—dalam hal ini, akses teknologi dan AI—bisa menghasilkan bentuk manusia yang secara fundamental berbeda dalam jangka panjang.

     Masa depan ini bisa mengarah pada terjadinya divergen evolusi, dengan manusia terbagi dalam berbagai subspesies atau bahkan spesies baru yang berbeda secara fisik, kognitif, dan sosial. Golongan manusia yang termodifikasi dengan teknologi mungkin akan mengembangkan karakteristik yang jauh berbeda dari mereka yang tetap sebagai Homo sapiens konvensional. Isolasi teknologi ini akan memainkan peran yang sama seperti isolasi geografis dalam evolusi spesies.

     Namun, pertanyaan kritis yang muncul adalah: Bagaimana isolasi ini akan diatur dan diakui secara sosial? Apakah akan ada upaya untuk menjembatani perbedaan ini atau justru memperkuat pemisahan? Apakah fragmentasi ini akan memperdalam ketidakadilan atau menghasilkan adaptasi baru yang bermanfaat bagi semua manusia?

     Di titik ini, fragmentasi bisa dilihat sebagai hal alami dalam proses evolusi, namun dampaknya terhadap masa depan kemanusiaan sangat bergantung pada bagaimana kita menghadapi dan mengelola perbedaan yang muncul dari isolasi ini. (bagian 3 dari 4 essai)

golongan tidak berguna menjadi sisa-sisa Homo sapiens yang tidak lagi relevan di dunia yang semakin terotomatisasi dan terkendalikan oleh teknologi

Posting Komentar

...

[blogger][facebook]

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.