Perlawanan Yang Menggema Dalam Sastra

     Di suatu sore di Ibu Kota, ketika langit kelabu bertabrakan dengan asap knalpot, seorang pegawai negeri duduk di balik meja kayunya yang penuh dokumen usang. Tangannya menstempel formulir surat-surat yang entah akan menguap ke mana—seperti nasib warga yang antre di depannya. Di luar, gedung pencakar langit menjulang, menggapai awan seolah hendak membuktikan bahwa Indonesia telah "maju". Tapi di kaki menara-menara itu, seorang ibu paruh baya menangis karena sertifikat tanahnya tak kunjung terbit, sementara pengembang sudah menggusur pohon mangga yang ditanam almarhum suaminya. Frankenstein, monster ciptaan Victor dalam novel Mary Shelley, mungkin akan tertawa getir melihat ironi ini: kita membangun kota dengan ambisi tanpa batas, tapi lupa bahwa setiap batu yang ditumpuk bisa menjadi kuburan bagi jiwa-jiwa yang terinjak.  

     Sastra selalu mengingatkan: "Yang kau ciptakan bisa mencintaimu, atau membinasakanmu." Tapi negara lebih memilih tuli. Di negeri ini, "pembangunan" diukur dari beton yang mengeras, bukan dari air mata yang mengering. Seperti Victor yang lari ketakutan dari monster ciptaannya, kita pun gemar melarikan diri dari konsekuensi sistem yang kita bangun. Lihatlah jalan tol yang membelah hutan, mengusir suku-suku yang telah hidup harmonis dengan alam selama ribuan tahun. Atau algoritma media sosial yang dirancang untuk "memajukan ekonomi digital", tapi justru melahirkan generasi teralienasi yang menggantungkan harga diri pada jumlah like. Frankenstein tak hanya ada dalam fiksi—ia hidup dalam setiap kebijakan yang mengorbankan manusia demi angka pertumbuhan ekonomi.  

     Di tengah hiruk-pikuk ini, sastra menawarkan cermin yang jujur. Kafka, dalam The Castle, menggambarkan birokrasi sebagai labirin tanpa akhir—sebuah lelucon tragis yang diterima sebagai kenyataan. K., sang tokoh utama, berkeliling mencari izin untuk bekerja di kastil yang tak pernah ia pahami. Di Indonesia, labirin itu bernama mengurus KTP, sertifikat tanah, atau sekadar mengajukan protes. Seorang nelayan di pesisir Jawa harus menghadap lima kantor berbeda hanya untuk memperoleh izin memperbaiki perahunya yang bocor. Setiap pegawai berkata, "Ini prosedur," sambil menunjuk ke meja berikutnya. Seperti K., kita semua adalah pencari izin yang tak tahu apa yang sebenarnya kita cari—apakah keadilan, atau sekadar ilusi bahwa "negara" ada di suatu tempat, dalam bentuk yang lebih nyata dari sekadar stempel dan antrean.  

     Bahasa, dalam labirin ini, bukan alat komunikasi, melainkan senjata. Orwell dalam 1984 menciptakan konsep newspeak: kosakata yang dipersempit untuk membatasi pikiran. Di sini, mekanisme itu lebih halus. Ketika aktivis lingkungan dijuluki "anti-pembangunan", atau mahasiswa yang protes disebut "dibayar asing", bahasa berubah menjadi pisau bermata tumpul—membunuh logika tanpa mengotori tangan. Tapi sastra menolak permainan ini. Pramoedya, dalam Rumah Kaca, menulis bagaimana kolonialisme Belanda menggunakan bahasa untuk mengerdilkan pribumi. Kini, kita menghadapi kolonialisme baru: kata "radikal" disematkan pada mereka yang bertanya, "Mengapa bantuan banjir tak kunjung datang?" atau "Ke mana larinya dana bansos?" Di ruang-ruang kosong ini, puisi-puisi Rendra menjadi granat makna. "Kita adalah manusia yang suaranya dibungkam, tapi air mata darahnya masih menetes." 

     Di suatu sudut lain, ada Keiko—tokoh dalam Convenience Store Woman—yang memilih hidup sederhana sebagai pekerja toko, jauh dari obsesi menikah atau menjadi "orang sukses". Di Indonesia, di mana nilai manusia diukur dari gaji, gelar, dan status perkawinan, Keiko-Keiko lokal dianggap "aneh", "gagal", atau "tertinggal". Tapi sastra justru membela mereka. Dalam The Stranger karya Camus, Meursault dieksekusi bukan karena membunuh, tapi karena ia menolak menangis di pemakaman ibunya—penolakannya terhadap performativitas sosial dianggap sebagai kejahatan. Di sini, mereka yang menolak mengejar "mimpi" kapitalis—seperti membeli rumah mewah atau mobil—dihukum oleh cibiran: "Kapan nikah?" atau "Kerja di mana sekarang?" Seolah kebahagiaan harus memiliki sertifikat kepemilikan.

     Tapi di balik semua topeng kepatuhan, ada suara-suara yang tak bisa dibungkam. Dostoevsky, dalam Crime and Punishment, mengisahkan Raskolnikov yang membunuh rentenir tua lalu dihantui rasa bersalah—bukan oleh polisi, tapi oleh suara hatinya sendiri. Di Indonesia, kita menyaksikan koruptor yang tersenyum di persidangan, sementara seorang pencuri sandal dipenjara lima tahun. Hukum mungkin bisa dibeli, tapi seperti kata Dostoevsky, jiwa tak pernah lupa. Seorang pejabat yang menyuap proyek mungkin masih bisa tidur di kasur empuk, tapi di kegelapan, bayangan anak-anak yang tak bisa sekolah karena dananya dikorup akan terus mengganggu. Sastra mengajarkan bahwa dosa sejati bukan pelanggaran aturan, tapi pengkhianatan terhadap kemanusiaan.  

     Voltaire, melalui Zadig, mengingatkan bahwa kebaikan sejati adalah keberanian melawan ketidakadilan, meski harus berhadapan dengan hukum. Di negeri ini, di mana aparat bisa membubarkan demo buruh dengan dalih "mengganggu ketertiban", sastra hadir sebagai suara yang tak bisa diborgol. Novel-nobel Pramoedya dilarang, tapi tetap diselundupkan dalam tas pelajar. Puisi-puisi Wiji Thukul dibakar, tapi dikutip diam-diam di ruang-ruang aktivis. Seperti Prometheus yang mencuri api untuk manusia, sastra menyalakan kesadaran meski risikonya adalah pengasingan.  

     Lalu ada pertanyaan Marlowe dalam The Big Sleep: "Apakah kejujuran masih punya tempat di dunia yang akarnya sudah busuk?" Di Jakarta, seorang jurnalis investigatif dibui karena membongkar korupsi daging impor, sementara para tersangka bebas berkeliaran. Tapi seperti Marlowe yang tetap nekat menyelidiki meski ancaman datang, sastra tak pernah berhenti bertanya. Dalam Lelaki Harimau, Eka Kurniaan menceritakan korupsi yang meracuni desa—sebuah metafora untuk Indonesia yang mengubur kejujuran demi kekuasaan.  

     Perempuan-perempuan dalam cerita ini punya narasi khusus. Intan Paramadhita, dalam Malam Seribu Jahanam, menulis tentang perempuan yang dijuluki "setan" hanya karena memilih menjadi single di usia 40. Di negeri yang masih mempersoalkan jilbab pendek vs. jilbab panjang, tubuh perempuan adalah medan perang ideologi. Seperti Hester Prynne dalam The Scarlet Letter yang dipaksa memakai huruf "A" (adulteress), perempuan Indonesia yang menolak norma dihukum dengan bisikan-bisikan: "liar", "tak bermoral", atau "ditinggal suami". Tapi sastra membalikkan narasi ini. Dalam 'Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam', Djenar Maesa Ayu menampilkan perempuan-perempuan yang berani menjual ginjal demi kebebasan—sebuah protes terhadap sistem yang menjual tubuh mereka sebagai komoditas.  

     Di ujung labirin ini, mungkin kita akan bertemu Ahab dari Moby Dick, yang tenggelam bersama kapalnya karena obsesi memburu paus putih. Indonesia punya Ahab-Ahabnya sendiri: politisi yang mengejar kekuasaan sampai menghalalkan segala cara, atau kelompok yang memburu "musuh imajiner
" seperti "komunis" atau "liberal" hingga mengorbankan persatuan. Tapi sastra mengajarkan bahwa kehancuran terbesar bukan datang dari luar, melainkan dari dalam. Seperti Babel dalam mitosnya, menara kita runtuh bukan karena angin, tapi karena kesombongan bahwa kita bisa menjadi tuhan.  

     Maka, di tengah gemuruh mesin pembangunan yang menggila, sastra tetap berbisik: "Kau bisa menciptakan monster, tapi kau juga bisa mencipta cahaya." Di lorong-lorong gelap birokrasi, di ruang sidang yang penuh kebohongan, di jalanan tempat demonstran diterjang water cannon, selalu ada buku-buku yang menunggu untuk dibuka. Seperti tokoh-tokoh dalam Real Breaker yang menghancurkan sistem bukan karena benci, tapi karena cinta pada kemanusiaan yang lebih utuh.  

     Kita mungkin tak akan pernah keluar dari labirin ini sepenuhnya. Tapi selama masih ada yang membaca puisi di sela rapat DPR, atau menyelipkan kutipan Kafka dalam surat protes, maka api itu tetap menyala. Nietzsche pernah berkata, "Dunia ini adalah teks yang perlu ditafsir ulang." Dan dalam teks itu, sastra adalah suara yang menolak diam—suara yang, meski dibungkam, akan selalu menggema dalam jiwa-jiwa yang tak mau menyerah pada kekerdilan.  

     Di akhir hari, ketika pegawai negeri tadi pulang ke rumahnya yang sempit, mungkin ia akan membuka Metamorphosis karya Kafka. Di situ, Gregor Samsa bangun sebagai kecoak—sebuah sindiran bahwa manusia sering diubah menjadi "serangga" oleh sistem yang tak manusiawi. Tapi esok pagi, ketika ia kembali ke meja kerjanya, mungkin—hanya mungkin—ia akan berpikir dua kali sebelum menstempel "ditolak" pada surat seorang janda tua. Karena sastra telah mengajarinya: dalam labirin yang absurd, satu tindakan jujur adalah revolusi.

Ketika Kata-Kata Menjadi Senjata dan Perempuan Jadi Tanda Tanya: Sastra sebagai Ruang Subversif di Negeri yang Takut Bertanya.

Posting Komentar

...

[blogger][facebook]

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.