April 9, 202510:37:13 AM

Kisah Manusia Tentang Fiksi Yang Dahsyat

     Di gurun Persia yang berbisik dengan dongeng-dongeng masa lalu, sebuah fatwa meledak bak badai pasir yang membangunkan mimpi-mimpi kuno dari tidur panjangnya. Tak lama sebelum pandemi COVID-19 menyergap Iran, seorang Ayatollah, penjaga obor revolusi Islam, mencabut sebuah vonis berat atas buku karya Yuval Noah Harari, sang penulis kondang. Sapiens dihukum haram. Sebuah racun, katanya, yang meracuni jiwa umat manusia, menebar ajaran Darwinisme yang dianggap menantang keesaan Tuhan. Sang Ayatollah berdiri di gerbang keyakinan, melarang umatnya melangkah ke lorong ilmu pengetahuan yang dikira gelap.

     Namun, benarkah Harari bertujuan menghancurkan menara keyakinan itu? Atau, lebih sederhana, ia hanyalah seorang pelancong ide yang mengajak kita menyusuri labirin keberadaan manusia, makhluk yang menakjubkan dan penuh kontradiksi. Harari bukan seorang pemberontak religius. Ia, dalam banyak hal, adalah seorang pengagum. Bukan terhadap dewa-dewi, tapi terhadap ciptaan yang sanggup menenun dunia dengan imajinasi mereka: Homo sapiens.

     Sapiens, spesies yang luar biasa ini, berhasil bertahan melawan pukulan zaman, sementara sepupu-sepupu mereka, seperti Neanderthal yang kekar dan Homo erectus yang tangguh, tenggelam dalam jurang sejarah. Tapi, jangan salah sangka: kekuatan sapiens bukan terletak pada otot, melainkan pada kemampuannya yang lebih halus namun jauh lebih revolusioner—kemampuan mencipta cerita.

     Di sinilah letak misteri sekaligus keajaiban: bukan sekadar cerita pengantar tidur, melainkan fiksi yang mampu menyatukan kelompok besar manusia. Narasi tentang dewa-dewi, bangsa, hingga konsep abstrak seperti uang telah menjadi lem yang merekatkan peradaban manusia. Harari menyebutnya sebagai fiksi kolektif, sebuah ciptaan imajinatif yang memungkinkan manusia bekerja sama dalam skala besar—sebuah prestasi yang mustahil dicapai oleh makhluk hidup lain di planet ini.

     Bayangkan, di perapian kuno, nenek moyang kita menakut-nakuti anak-anak dengan kisah hantu malam, yang sebenarnya hanya kedok agar mereka tetap di dalam gua, aman dari predator. Atau saat seorang kepala suku mendapati rakyatnya larut dalam kesedihan akibat kehilangan ayah, ia merangkai kisah tentang kehidupan setelah kematian. Dengan tutur yang menenangkan, ia menanamkan harapan bahwa suatu hari nanti, si anak yang berduka akan kembali bertemu ayahnya di alam baka. Atau tentang seorang ibu, dengan penuh kasih, mengisahkan mitos bahwa duduk di ambang pintu akan membawa kesialan, semata agar anaknya tidak menghalangi langkahnya saat ia berlalu-lalang antara dapur dan ruangan lain.

     Cerita adalah sutra yang menganyam keberadaan kita. Ia menjelma hukum, agama, moral, dan bahkan kebiasaan kecil sehari-hari. Dengan fiksi, manusia menemukan makna dan harapan, sesuatu yang mungkin terlalu sulit dimengerti oleh Neanderthal yang kuat tetapi tanpa imajinasi kolektif.

     Dan di sinilah agama berdiri. Harari tidak melihatnya sebagai musuh, melainkan sebagai mahakarya terbesar yang pernah diciptakan oleh Homo sapiens. Ia adalah fiksi paling kompleks dan mendalam, dengan tokoh-tokoh yang melampaui ruang dan waktu. Agama menawarkan kekuatan maha besar, maha tahu, dan maha segalanya—sebuah jawaban yang memberikan manusia rasa kontrol atas dunia yang tidak terkendali.

     Hanya tentu saja, ada satire di sini. Suatu ironi, ketika manusia menciptakan dewa yang maha segalanya, lalu tunduk pada ciptaannya sendiri, seperti seorang penulis yang takut pada tokoh rekaan novelnya. Tetapi justru inilah keajaiban dari imajinasi manusia—mereka percaya pada apa yang mereka ciptakan, dan dari kepercayaan itu lahir peradaban.

Fiksi agama, dengan segala kompleksitas dan keindahannya, adalah bukti nyata kekuatan manusia. Tak ada fiksi yang lebih dahsyat dari agama, dan Harari mengajak kita untuk merenungkan keajaiban ini, bukan dengan ketakutan, tapi dengan rasa kagum dan rasa ingin tahu.

     Fatwa sang Ayatollah, mungkin, lahir dari ketakutan yang berakar pada ketidakpahaman. Ia mungkin tak menyadari bahwa Harari tidak sedang mencerca, melainkan mengagumi. Agama, dalam pandangan Harari, bukan musuh ilmu pengetahuan, melainkan bukti dari kejeniusan manusia dalam menafsirkan dunia. Dan seperti seorang seniman yang memahat keabadian dari batu, agama adalah mahakarya yang terus bertahan melewati zaman.

     Ternyata agama bukanlah satu-satunya fiksi. Uang adalah contoh lain. Sebuah benda mati yang dihidupkan oleh kesepakatan kolektif. Kertas yang tak lebih bernilai dari daun kering, kecuali karena miliaran manusia sepakat bahwa ia memiliki kekuatan untuk membeli kebahagiaan. Atau, setidaknya, begitu ceritanya.

     Harari mengajak kita merenungkan: bagaimana manusia, melalui fiksi-fiksi ini, menguasai dunia, melampaui batas-batas biologis mereka, dan menciptakan peradaban yang terus berkembang. Ia tidak meminta kita membuang keyakinan, tapi justru menghargainya sebagai karya seni tertinggi manusia.

     Dan di tengah semua ini, mungkin yang paling ironis adalah Harari sendiri, dengan bukunya, telah menciptakan sebuah narasi baru—sebuah cerita yang melintasi benua dan generasi, membuat kita, Homo sapiens, menoleh pada bayangan kita sendiri, bertanya-tanya tentang apa artinya menjadi manusia.

     Kisah manusia bukanlah tentang fatwa atau dogma, melainkan tentang perjalanan panjang dan penuh liku dari makhluk yang menciptakan dunia dengan kata-kata. Fiksi kita, dengan segala kebohongan dan kebenarannya, adalah alasan kita bertahan. Dan mungkin, pada akhirnya, cerita inilah yang akan membawa kita menuju evolusi berikutnya.

Harari tak berniat menghancurkan agama. Ia justru mengagumi kreatifitas manusia yang mampu melahirkan fiksi yang begitu memesona. Tak ada fiksi yang

Posting Komentar

Posting Komentar

...

Emoticon
:) :)) ;(( :-) =)) ;( ;-( :d :-d @-) :p :o :>) (o) [-( :-? (p) :-s (m) 8-) :-t :-b b-( :-# =p~ $-) (b) (f) x-) (k) (h) (c) cheer
Click to see the code!
To insert emoticon you must added at least one space before the code.

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.