Di negeri Persia yang bermandikan sinar mentari, di mana angin pasir berbisik tentang kisah-kisah kuno, sebuah fatwa tetiba menggelegar bagai amukan badai gurun. Beberapa purnama sebelum pandemi covid-19 menginvasi Iran, Ayatollah sang penjaga ruh revolusi republik para mullah, menjatuhkan vonis haram atas karya Yuval Noah Harari, sang penulis ulung. Buku "Sapiens" diharamkan, dinista sebagai racun beracun yang mencemari jiwa manusia.
Alasannya? Ajaran Darwinisme, teori evolusi yang terbentang dalam halaman-halaman buku itu, dianggapnya beracun, menentang keesaan Tuhan dan merusak fondasi agama. Sang Ayatollah, bagaikan seorang penjaga gerbang surga, melarang umatnya menapaki jalan terlarang ilmu pengetahuan.
Namun, benarkah Harari berniat menghancurkan menara keyakinan? Ataukah ia sekadar membuka gerbang pemahaman baru tentang manusia, spesies yang luar biasa ini?
Harari, sang pembawa obor pengetahuan, tak bermaksud menentang Tuhan. Ia justru mengajak manusia untuk menyelami keagungan ciptaan-Nya, manusia Sapiens, yang dengan kehebatannya telah mengubah dunia. Harari menekankan bahwa kekuatan sejati manusia terletak pada kemampuan intelektual dan imajinatifnya, bukan pada kekuatan fisik semata.
Sepanjang sejarah, jutaan spesies berevolusi dan punah. Homo, nenek moyang manusia, pun tak luput dari siklus alam yang kejam. Selain Homo Sapiens, seluruh spesies Homo lainnya, seperti Homo neanderthalensis dan Homo erectus, telah musnah, terkubur dalam debu waktu. Hanya Sapiens, sang manusia modern, yang mampu bertahan hidup dan mendominasi planet ini. Ini adalah prestasi yang luar biasa mengingat ketidakpastian dan tantangan yang dihadapi oleh nenek moyang kita selama ribuan tahun.
Bukan kekuatan otot yang menjadi kunci ketahanan Sapiens. Neanderthal, dengan otot yang jauh lebih besar dan tubuh yang lebih kokoh, pun tak mampu melawan kejamnya alam dan akhirnya punah sekitar 40.000 tahun yang lalu. Rahasia kekuatan Sapiens terletak pada satu kemampuan luar biasa: kemampuannya untuk membuat cerita. Ini bukan hanya tentang cerita dalam arti literal, tetapi tentang kemampuan untuk menciptakan narasi yang memberikan makna dan tujuan, yang memungkinkan manusia untuk bekerja sama dalam kelompok besar dan kompleks.
Kemampuan untuk menciptakan dan percaya pada cerita-cerita abstrak seperti agama, hukum, dan identitas nasional memungkinkan Homo Sapiens untuk membangun peradaban yang luas dan kompleks. Melalui bahasa dan narasi, manusia dapat berbagi visi bersama dan bekerja menuju tujuan kolektif, sesuatu yang tidak dapat dilakukan oleh spesies lain dengan cara yang sama. Inilah yang membedakan Sapiens dari makhluk hidup lainnya dan memungkinkan mereka untuk mendominasi planet ini.
Sejak awal peradaban, manusia telah menganyam cerita-cerita yang menenun jalinan kehidupan diantara manusia. Nenek moyang kita menciptakan cerita hantu di malam hari, menakut-nakuti anak-anak agar tak berkeliaran dalam kegelapan, sehingga si anak dapat terhindar dari predator buas yang mungkin sedang mengintai di dalam gelap.
Seorang ibu, dengan penuh kasih, mengarang cerita kepada buah hatinya bahwa duduk di ambang pintu akan mendatangkan kesialan, agar sang anak tak menghalangi pergerakan si ibu untuk beraktifitas bolak balik dari dapur ke ruangan lainnya.
Ketika seorang kepala suku menemukan seorang rakyatnya dilanda duka mendalam karena kematian ayahnya, ia pun menciptakan cerita tentang kehidupan setelah kematian. Ia menenangkan jiwa yang gundah dengan menuturkan harapan bahwa nanti si rakyat yang berduka dapat bereuni kembali dengan ayahnya di alam baka.
Cerita-cerita ini, bagaikan benang sutra yang menenun jalinan peradaban. Setiap kisah, setiap mitos, dan setiap legenda merupakan untaian halus yang menghubungkan masa lalu dengan masa kini, menciptakan jaringan yang kaya dan kompleks yang membentuk identitas budaya dan kolektif manusia. Dari abad ke abad, cerita-cerita itu berkembang, bercabang, dan berakar kuat dalam hati manusia, menyebar melalui lisan dan tulisan, melewati generasi demi generasi.
Ribuan, bahkan jutaan cerita telah diciptakan sepanjang sejarah manusia. Cerita-cerita ini tidak hanya menghibur, tetapi juga mendidik, menginspirasi, dan memberikan makna. Mereka memberikan panduan moral, menjelaskan fenomena alam, dan menawarkan solusi untuk tantangan-tantangan kehidupan. Dalam setiap cerita, terdapat pelajaran yang dapat membantu manusia memahami dunia dan tempat mereka di dalamnya. Semua cerita ini memiliki satu tujuan utama: survival - kelangsungan hidup.
Dalam setiap budaya, cerita-cerita tersebut mencerminkan nilai-nilai, kepercayaan, dan aspirasi masyarakatnya. Mereka mencatat kemenangan dan kegagalan, keberanian dan ketakutan, cinta dan kebencian. Cerita-cerita ini tidak hanya mengikat komunitas bersama-sama, tetapi juga membantu individu menemukan tempat mereka dalam masyarakat. Mereka memberikan rasa identitas, kebanggaan, dan tujuan.
Harari juga menggarisbawahi bahwa cerita-cerita ini, yang bisa berupa mitos, agama, ideologi politik, atau bahkan konsep uang, memberikan manusia alat untuk berorganisasi dan bekerja sama dalam skala besar. Misalnya, kepercayaan pada uang dan nilai yang diakui secara luas memungkinkan perdagangan dan ekonomi global. Agama dan mitos menciptakan komunitas yang kuat dan kohesif, dengan nilai-nilai dan norma-norma yang sama.
Dalam pandangan Harari, evolusi kemampuan untuk menciptakan cerita adalah lompatan besar yang memungkinkan Homo Sapiens mengatasi tantangan alam dan mengubah dunia di sekitar mereka. Dengan cerita-cerita ini, manusia dapat menginspirasi, menggerakkan, dan mengorganisasi jutaan individu, menciptakan struktur sosial yang rumit dan teknologi yang canggih.
Agama, menurut Harari, lahir dari kebutuhan manusia untuk memahami hal-hal yang tak terpahami. Dalam perjalanan sejarah, manusia sering dihadapkan pada fenomena alam yang menakutkan dan kejadian-kejadian yang tidak bisa dijelaskan dengan pengetahuan yang mereka miliki. Ketika manusia merasa lemah dan terancam oleh kekuatan alam yang dahsyat, mereka menciptakan cerita tentang kekuatan maha dahsyat, dewa-dewa yang dapat mengendalikan elemen-elemen alam seperti petir, angin, dan laut. Dengan cara ini, manusia dapat merasa lebih aman dan memperoleh rasa kontrol atas lingkungan yang sering kali tidak bersahabat.
Ketika manusia merasa bodoh, tidak mampu menjelaskan misteri alam dan keberadaan mereka, mereka menciptakan cerita tentang sang maha mengetahui. Dewa-dewa dan entitas ilahi yang dianggap memiliki pengetahuan sempurna tentang segala hal, baik yang terlihat maupun yang tersembunyi. Dengan mengatributkan pengetahuan yang tak terbatas kepada entitas ilahi, manusia tidak hanya mengisi kekosongan pengetahuan mereka tetapi juga menemukan kenyamanan dalam keyakinan bahwa ada makhluk yang mengetahui lebih dari mereka, yang dapat membimbing mereka melalui ketidakpastian hidup.
Ketika manusia merasa terbatas, menghadapi batasan fisik dan mental yang tak dapat mereka atasi, mereka menciptakan cerita tentang sesuatu yang maha segalanya. Entitas yang memiliki kekuatan tanpa batas, yang dapat melakukan hal-hal yang tidak mungkin bagi manusia, seperti menciptakan alam semesta atau mengatur nasib individu. Cerita tentang yang maha segalanya memberikan manusia harapan dan keyakinan bahwa ada kekuatan yang jauh lebih besar yang dapat mereka andalkan saat semua usaha dan upaya mereka sendiri gagal.
Dengan demikian, agama tidak hanya berfungsi sebagai sistem kepercayaan tetapi juga sebagai alat psikologis yang membantu manusia mengatasi ketakutan, ketidakpastian, dan kelemahan mereka. Cerita-cerita agama ini, dengan segala kemuliaan dan keagungannya, telah menyebar dan bertahan melalui zaman, memberikan fondasi bagi nilai-nilai moral, norma sosial, dan identitas budaya.
Harari tak berniat menghancurkan agama. Sebaliknya, ia justru mengagumi kreativitas manusia yang mampu melahirkan fiksi yang begitu memesona dan mendalam. Menurutnya, agama adalah salah satu bentuk fiksi paling kuat dan kompleks yang pernah diciptakan oleh manusia. Tak ada fiksi yang lebih dahsyat dan kompleks dari agama, dengan karakternya yang abadi dan kekuatannya yang tak terbantahkan.
Agama bukan sekadar cerita, melainkan narasi besar yang telah mempengaruhi jutaan, bahkan miliaran orang sepanjang sejarah. Karakter-karakter dalam agama, seperti dewa-dewi, nabi, dan tokoh suci lainnya, memiliki keabadian yang melampaui batas-batas zaman. Mereka tidak hanya menjadi bagian dari cerita-cerita sakral, tetapi juga membentuk identitas, moralitas, dan nilai-nilai masyarakat.
Kekuatan agama terletak pada kemampuannya untuk menyatukan orang-orang di bawah payung keyakinan bersama. Ia memberikan makna, tujuan, dan arah dalam kehidupan manusia. Dalam fiksi agama, ada janji-janji besar tentang keselamatan, keadilan, dan kehidupan setelah kematian yang memberikan penghiburan dan harapan bagi banyak orang. Dengan demikian, agama berfungsi sebagai pilar penting dalam struktur sosial dan psikologis manusia.
Harari melihat agama sebagai refleksi dari kebutuhan mendalam manusia untuk menemukan makna di dunia yang seringkali tak terduga dan penuh tantangan. Di dalam fiksi agama, manusia menemukan penjelasan atas misteri alam semesta, asal-usul kehidupan, dan nasib setelah kematian. Ini adalah fiksi yang tidak hanya bercerita, tetapi juga menawarkan solusi terhadap kegelisahan eksistensial manusia.
Selain itu, Harari mengakui bahwa agama telah memainkan peran besar dalam perkembangan peradaban. Institusi-institusi keagamaan telah mendirikan sekolah, rumah sakit, dan pusat-pusat kebudayaan. Agama juga telah menjadi sumber inspirasi bagi karya seni besar, musik, dan sastra yang memperkaya warisan budaya manusia.
Dengan segala kekuatannya, Harari menekankan pentingnya menghargai agama sebagai salah satu pencapaian tertinggi dari kreativitas manusia. Meskipun kita hidup di zaman yang semakin sekuler, di mana sains dan teknologi mengambil peran dominan dalam menjelaskan dunia, keberadaan agama tetap menunjukkan kejeniusan manusia dalam menciptakan fiksi yang abadi dan berpengaruh.
Fiksi agama, dengan segala kompleksitas dan keindahannya, adalah bukti nyata kekuatan manusia. Tak ada fiksi yang lebih dahsyat dari agama, dan Harari mengajak kita untuk merenungkan keajaiban ini, bukan dengan ketakutan, tapi dengan rasa kagum dan rasa ingin tahu.
Mungkin, fatwa sang Ayatollah lahir dari kesalahpahaman. Mungkin, ia belum menyelami kedalaman pemikiran Harari. Mungkin, ia belum merasakan keagungan manusia Sapien, sang pencipta cerita yang luar biasa.
Harari mengajak kita untuk membuka mata, untuk melihat dunia dengan perspektif baru. Ia tak meminta kita untuk meninggalkan keyakinan, tapi untuk merangkul ilmu pengetahuan dan memahami bahwa agama adalah salah satu karya seni terhebat yang pernah diciptakan manusia.
Rangkaian narasi yang memukau ini bukan tentang fatwa dan perdebatan, tapi tentang perjalanan manusia dan fiksinya yang luar biasa. Ini adalah kisah tentang bagaimana kita, sebagai manusia, terus berevolusi, menenun narasi demi narasi, demi kelangsungan hidup dan pencarian makna dalam hidup yang penuh misteri.
Kisah Sapien, sang pencipta cerita, adalah kisah yang tak boleh terbungkam. Ia adalah kisah tentang kemampuan bertahan hidup, tentang kreatifitas, dan tentang kekuatan luar biasa manusia untuk terus berkembang di panggung evolusi.
Posting Komentar
...