Diskusi Kita yang Belum Tuntas

     Kemarin siang, kabar duka meninggalnya Buya Ahmad Syafi'i Ma'arif  mengguncang begitu banyak orang, termasuk saya. Namun setelah itu, saya malah teringat kepadamu sahabat, tentang pertemuan terakhir kita, tentang diskusi sepanjang perjalanan pulang dari Pangkep waktu itu, sebelum engkau direnggut pandemi covid-19 di September 2021.

     Sebenarnya kita jarang ngobrol. Kamu pendiam, lebih banyak mendengar ketimbang bersuara, apalagi untuk hal-hal bernada gosip tidak bermanfaat. Tetapi hari itu, banyak kata yang yang kita tuturkan. Banyak kalimat, banyak pemikiran dan analisa yang saling berbalas diantara kita. Hingga salah satunya yang sangat menarik perhatianmu ketika saya mengemukakan salah satu orasi ilmiah yang telah diterbitkan dalam bentuk paper. Orasi ilmiah yang diselenggarakan setiap tahun di Universitas Paramadina, salah satunya adalah orasi yang disampaikan oleh Buya Ahmad Syafi'i Ma'arif itu.

     Diskusi kita tentang Buya dalam papernya yang berjudul "Politik Identitas" membahas tentang ketegangan antara politik identitas dengan politik kebangsaan dalam konteks Indonesia. Buya menyoroti bahwa politik identitas, yang didasarkan pada faktor-faktor seperti agama, etnisitas, dan kebudayaan, dapat mengganggu stabilitas kebangsaan dan mengancam persatuan Indonesia.

     Pokok-pokok pikiran Buya Ahmad Suafi'i Maarif bahwa 'Politik Identitas' dapat memicu konflik antar kelompok di Indonesia. Jika politik identitas telah menggantikan politik kebangsaan sebagai fokus utama, maka hal ini dapat mengarah pada polarisasi masyarakat dan memperkuat perpecahan di antara kelompok-kelompok yang berbeda.
     Politik identitas harus diakui sebagai kebutuhan dasar kemanusiaan, namun harus dibatasi agar tidak melanggar hak-hak yang sama bagi semua orang. Kebangsaan harus tetap menjadi tujuan utama dan prinsip-prinsip demokrasi harus dipertahankan dalam setiap konteks politik identitas.
     Masyarakat Indonesia harus membangun semangat solidaritas dalam menanggapi politik identitas. Kita harus memiliki kesadaran dan rasa tanggung jawab bersama untuk memerangi setiap upaya yang dapat membahayakan persatuan dan keutuhan bangsa.
     Politik identitas dapat diatasi dengan mengembangkan pemahaman yang lebih baik mengenai prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia, dan mengurangi ketidaksetaraan ekonomi dan sosial yang dapat mendorong munculnya perasaan ketidakadilan di antara masyarakat.

     Dengan kata lain, Ahmad Suafi'i Maarif menunjukkan perlunya menjaga keseimbangan antara politik identitas dan kebangsaan di Indonesia, sehingga kedua hal tersebut dapat berdampingan secara harmonis demi mewujudkan persatuan dan kerukunan di antara seluruh komponen masyarakat Indonesia.

     Setelah pemaparan singkat saya, kita tenggelam dalam pikiran masing-masing. Beberapa saat lamanya, kamu bergumam pelan, bahwa mau membaca paper Buya itu secara lengkap. Setelahnya, baru melanjutkan diskusi tentang paper tersebut denganku. Saya tentu menyambut dengan sangat antusias. Engkau sebagai akademisi, tentu perlu menemukan sumber primer dari bahan diskusi yang akan menolong menghindarkan kita dari kekeliruan persepsi bahkan dari bias pemahaman.

     Karenanya saya menyarankan satu buku lagi berjudul 'Hate Spin', yang merupakan thesis doktoral dari Cherian George, seorang dosen Komunikasi di Singapura yang sekarang pindah ke Universitas Hong Kong. Kamu menoleh, menanyakan "apakah ada hubungannya dengan bukunya Buya?"

     "Ya, tentu saja" jawabku segera, Ada korelasi antara pandangan Buya dengan isi buku Cherian George itu. Dengan mengambil sampel penelitian di tiga negara: India, Amerika dan Indonesia, buku 'Hate Spin' membahas tentang bagaimana media massa dan politikus menggunakan isu-isu yang sensitif untuk menciptakan polarisasi dan kebencian antar kelompok masyarakat. Korelasi pandangan Buya diatas yang menganggap penting untuk menghargai perbedaan dan menghindari penyebaran kebencian, dapat bersesuaian dengan pesan yang disampaikan dalam bukunya Cherian George itu. Pembaca didorong untuk lebih kritis terhadap pesan-pesan yang disampaikan oleh media massa dan politikus, dan membuka mata akan dampak negatif yang bisa terjadi jika kita mudah terpancing emosi dan terbawa arus polarisasi dan kebencian yang tercipta.

      Dengan demikian, pandangan Buya sejalan dengan pesan utama buku "Hate Spin" yang menekankan pentingnya menghadapi masalah dan perbedaan dengan kepala dingin, dan bukan dengan memberikan respon yang emosional dan terbawa arus. Melalui pendekatan yang lebih kritis dan objektif, kita dapat menghindari jebakan polarisasi dan kebencian, dan membuka ruang untuk dialog untuk mwmperoleh pemahaman yang lebih baik di antara kelompok masyarakat yang berbeda-beda. 

     Sayang sekali sahabat, Engkau pergi begitu cepat, meninggalkan diskusi kita yang belum tuntas.

     Beristirahatlah dengan tenang disana sahabatku,  Dr. Fadliah Nasaruddin, SE.,Msi.,Ak.,CA. Sebelum saya menyusul kesana, kamu bisa diskusi langsung dengan Buya, yang papernya belum tuntas kita diskusikan itu. Dengan tulus saya doakan semoga berkah dan pertolonganNya selalu dilimpahkan untukmu. Al Fatihah.

Dr. Fadliah Nasaruddin, SE.,Msi.,Ak.,CA.

Sayang sekali sahabat, Engkau pergi begitu cepat, meninggalkan diskusi kita yang belum tuntas

Label:

Posting Komentar

...

[blogger][facebook]

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.