Dalam lanskap budaya dan sosial yang terus berubah, era post-truth hadir sebagai salah satu fenomena paling menantang dalam sejarah manusia. Istilah ini menggambarkan masa di mana fakta objektif menjadi kurang penting dibandingkan emosi, keyakinan pribadi, dan narasi yang menarik. Namun, untuk memahami fenomena ini secara mendalam, kita perlu menggali tidak hanya dari perspektif modern tetapi juga menelusuri akar evolusionernya yang membentuk cara manusia berkomunikasi, berpikir, dan memahami kebenaran.
Post-truth bukanlah sesuatu yang muncul secara tiba-tiba. Fenomena ini dapat dilihat sebagai hasil dari perkembangan panjang sejarah intelektual dan budaya, dari pemikiran filsuf seperti Nietzsche hingga transformasi sosial yang dipicu oleh teknologi digital. Friedrich Nietzsche, pada abad ke-19, telah menyuarakan gagasan bahwa kebenaran sering kali merupakan ilusi yang diciptakan untuk mendukung struktur kekuasaan tertentu. Dalam esainya yang berjudul On Truth and Lies in a Nonmoral Sense, Nietzsche menegaskan bahwa manusia menciptakan kebenaran sebagai konvensi sosial, sesuatu yang bermanfaat tetapi bukan refleksi dari kenyataan objektif. Pandangannya membuka jalan bagi filsafat postmodernisme yang di kemudian hari semakin mempertanyakan validitas kebenaran universal.
Filsafat postmodern, dengan tokoh-tokoh seperti Michel Foucault dan Jean Baudrillard, lebih jauh mengeksplorasi hubungan antara pengetahuan, kekuasaan, dan representasi. Foucault menunjukkan bagaimana kebenaran sering kali merupakan konstruksi sosial yang didikte oleh mereka yang memiliki otoritas. Baudrillard melangkah lebih jauh dengan menyatakan bahwa di era media massa, simulasi sering kali menggantikan realitas. Konstruksi ini tidak hanya mengubah cara manusia melihat kebenaran tetapi juga bagaimana kebenaran itu sendiri didefinisikan. Dalam dunia yang semakin terhubung, realitas menjadi semakin sulit dibedakan dari representasi, menciptakan ruang bagi fenomena seperti post-truth.
Namun, fenomena ini tidak hanya dapat dijelaskan melalui lensa filsafat modern. Perspektif evolusioner memberikan pandangan yang lebih luas tentang bagaimana manusia merespons informasi dan kebenaran. Sebagai spesies, manusia telah mengembangkan kemampuan unik untuk berbicara, berbagi cerita, dan menciptakan mitos. Kemampuan ini tidak hanya menjadi alat untuk berburu atau bertahan hidup tetapi juga membangun kohesi sosial dalam kelompok. Dalam konteks masyarakat pemburu-peramu, kepercayaan pada cerita bersama sering kali lebih penting daripada fakta objektif. Sebuah mitos yang menyatukan kelompok dapat memberikan keuntungan adaptif yang lebih besar dibandingkan dengan kebenaran yang tidak relevan secara langsung dengan kelangsungan hidup.
Kecenderungan manusia untuk merespons narasi dan emosi juga tercermin dalam berbagai bias kognitif yang telah menjadi bagian dari warisan evolusi kita. Bias konfirmasi, misalnya, mendorong manusia untuk mencari informasi yang mendukung keyakinan yang sudah ada. Efek ini mungkin bermanfaat dalam konteks kelompok kecil di mana kepercayaan yang sama diperlukan untuk kerja sama, tetapi dalam dunia modern yang terfragmentasi secara digital, bias ini memperkuat polarisasi dan memperburuk fenomena post-truth. Begitu pula dengan efek emosi, di mana informasi yang membangkitkan rasa takut, marah, atau bangga lebih cepat diingat dan lebih mungkin memengaruhi perilaku dibandingkan fakta yang disampaikan secara netral. Kombinasi dari bias-bias ini membentuk dasar psikologis dari mengapa narasi emosional sering kali lebih berhasil dibandingkan fakta objektif dalam memengaruhi opini publik.
Evolusi sosial juga berperan penting dalam memahami post-truth. Selama ribuan tahun, manusia hidup dalam hierarki sosial di mana narasi yang mendukung otoritas sering kali lebih diterima daripada fakta yang bertentangan. Dalam masyarakat modern, pola ini masih terlihat, terutama dalam politik dan media massa. Ketika pemimpin atau kelompok tertentu menggunakan narasi untuk memperkuat posisi mereka, mereka sering memanfaatkan respons emosional yang tertanam dalam psikologi manusia. Di era digital, strategi ini diperkuat oleh algoritma media sosial yang memprioritaskan konten yang memicu keterlibatan emosional, baik itu dalam bentuk suka, komentar, atau berbagi.
Era post-truth juga mencerminkan ketidakcocokan antara evolusi psikologis manusia dan dunia digital yang berkembang pesat. Otak manusia, yang dirancang untuk bertahan hidup dalam lingkungan pemburu-peramu, tidak sepenuhnya siap menghadapi arus informasi yang berlebihan. Informasi yang kompleks dan bertentangan menciptakan tekanan kognitif, sehingga orang cenderung mencari jalan pintas dengan mempercayai narasi yang paling sederhana atau paling menarik secara emosional. Dalam konteks ini, teknologi digital menjadi akselerator fenomena post-truth, menciptakan dunia di mana kebenaran menjadi semakin sulit dibedakan dari kebohongan.
Dalam perspektif evolusioner, narasi post-truth juga dapat dilihat sebagai strategi adaptif dalam lingkungan sosial modern. Sebuah narasi palsu tetapi menarik dapat memberikan keuntungan selektif bagi individu atau kelompok dalam mendapatkan pengaruh atau dominasi. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Yuval Noah Harari dalam Sapiens, manusia memiliki kemampuan untuk menciptakan "fiksi bersama," seperti mitos agama atau ideologi politik, yang memungkinkan kerja sama dalam skala besar. Post-truth, dalam banyak hal, adalah ekspresi dari kemampuan ini yang diadaptasi untuk era digital.
Namun, dampak dari fenomena ini tidak hanya bersifat adaptif tetapi juga menciptakan tantangan serius bagi masyarakat modern. Polarisasi yang dihasilkan oleh post-truth menghambat dialog antar kelompok, merusak demokrasi, dan mengancam kepercayaan terhadap institusi seperti sains dan media. Ketika kebenaran menjadi sesuatu yang relatif, upaya untuk mengatasi tantangan global seperti perubahan iklim atau pandemi menjadi jauh lebih sulit. Dalam konteks ini, post-truth bukan hanya masalah epistemologis tetapi juga ancaman eksistensial bagi kelangsungan peradaban manusia.
Untuk menghadapi tantangan ini, penting bagi kita untuk mengakui akar evolusioner dari fenomena post-truth sambil mencari cara untuk beradaptasi dengan realitas modern. Salah satu langkah penting adalah meningkatkan literasi media dan pendidikan kritis, sehingga individu dapat lebih baik dalam membedakan fakta dari narasi yang menyesatkan. Di sisi lain, institusi seperti media dan sains perlu berinovasi dalam cara mereka berkomunikasi, menjadikan fakta lebih menarik dan relevan secara emosional tanpa mengorbankan integritas. Dalam jangka panjang, tekanan seleksi dalam masyarakat digital mungkin mendorong evolusi mekanisme kognitif baru yang lebih baik dalam menyaring informasi dan mengidentifikasi kebenaran.
Post-truth, meskipun tampak seperti tantangan modern, adalah cerminan dari sifat manusia yang telah berkembang selama ribuan tahun. Dalam era ini, kita dihadapkan pada pilihan untuk memahami akar fenomena ini dan beradaptasi, atau membiarkan bias dan emosi kita terus mendikte masa depan. Dengan memahami post-truth melalui lensa evolusi, kita dapat melihatnya tidak hanya sebagai masalah tetapi juga peluang untuk memperbaiki cara kita berkomunikasi, berpikir, dan berhubungan satu sama lain di dunia yang semakin kompleks.
Posting Komentar
...