YOLO - YONO dan Dilema Modernitas

     Manusia modern adalah spesies yang tak pernah puas. Di satu sisi, kita dikejar oleh ilusi bahwa hidup ini singkat dan harus dijalani dengan semaksimal mungkin. Di sisi lain, kita dicekoki pesan bahwa kebahagiaan hanya bisa dicapai melalui penyederhanaan radikal. Konsep YOLO (you only live once) dan YONO (you only need one) adalah anak-anak kembar dari ketegangan ini, hasil evolusi budaya yang terus mencari jalan keluar dari rasa kosong yang tak pernah terisi. Namun, apakah keduanya benar-benar solusi, atau hanya jebakan lain dalam rantai paradoks kehidupan modern?

     YOLO, sebagai slogan hidup generasi milenial dan Gen Z, muncul dari semangat pemberontakan terhadap rutinitas membosankan. Dengan lantangnya, YOLO menyerukan, “Berani! Ambil risiko! Hidup hanya sekali!” Dalam kebisingan kota besar dan kilauan layar ponsel, YOLO menggemakan frasa carpe diem dari pujangga Romawi, Horatius, yang dulu mengajak manusia meraih hari dengan semangat penuh. Tapi, dalam praktiknya, apa yang diraih? Sebagian besar adalah pengalaman yang ditargetkan untuk satu tujuan saja: diunggah ke Instagram. Perjalanan jauh, makanan mahal, pesta meriah—semuanya diringkas dalam tagar #YOLO, seakan-akan hidup hanya akan berarti jika disaksikan oleh dunia.

     Tentu, tidak ada yang salah dengan sedikit hedonisme. Kita semua butuh waktu untuk bersenang-senang. Tetapi, di balik tampilan glamor YOLO, ada ironi yang merayap. Keberanian yang diklaim oleh YOLO sering kali tidak lebih dari keberanian yang dibeli dengan kartu kredit. Sebuah skydive di Bali? Mengagumkan! Namun, apakah itu benar-benar keberanian atau hanya penundaan dari kenyataan bahwa cicilan bulanan menanti? YOLO, yang pada awalnya bertujuan membebaskan, malah membelenggu manusia pada kebutuhan akan validasi sosial.

     Di sinilah YONO masuk dengan suara yang lebih tenang, namun tak kalah liciknya. YONO menasihati kita untuk berhenti mengejar segalanya. "Kamu hanya butuh satu," katanya, memberikan penghiburan bagi jiwa yang lelah dikejar-kejar oleh tuntutan YOLO. Pilih satu tujuan hidup, satu hubungan bermakna, atau satu barang berkualitas, dan kamu akan menemukan kebahagiaan. Pesan ini terdengar seperti balsam penyembuh bagi luka yang ditorehkan oleh budaya konsumerisme. Tapi tunggu dulu, apakah YONO benar-benar jawaban, atau hanya penawaran baru dalam kemasan minimalis?

     Lihatlah bagaimana minimalisme dijadikan komoditas. Buku-buku panduan tentang menyederhanakan hidup menjamur, dengan harga yang ironisnya tidak sederhana. Seminar dan lokakarya untuk menemukan “satu hal yang kamu butuhkan” sering kali dikemas dengan harga eksklusif yang seolah-olah ingin berkata, “Kamu hanya butuh satu hal—tapi kamu harus membelinya dariku.” YONO, seperti saudara kembarnya YOLO, akhirnya terjebak dalam jerat pasar. Keduanya tidak lebih dari dua sisi koin yang sama: janji kebahagiaan yang selalu bergantung pada sesuatu di luar diri kita.

     Namun, menarik untuk melihat bagaimana kedua konsep ini memiliki akar yang lebih dalam. YOLO, dengan dorongannya untuk mengejar pengalaman maksimal, mengingatkan kita pada ajaran eksistensialisme yang menekankan kebebasan individu untuk menciptakan makna hidup. Di sisi lain, YONO, dengan ajakannya untuk fokus pada yang esensial, sejalan dengan prinsip wu wei dalam Taoisme dan pengendalian diri dalam stoisisme. Keduanya bukanlah gagasan baru, melainkan transformasi modern dari pencarian makna yang telah berlangsung selama ribuan tahun.

     Pertanyaannya adalah, mengapa kedua konsep ini, meskipun didasarkan pada kebijaksanaan lama, tampaknya gagal memberikan kepuasan yang dijanjikan? Mungkin jawabannya terletak pada cara kita mengonsumsinya. Baik YOLO maupun YONO, ketika dipisahkan dari konteks filosofisnya dan dijadikan sekadar slogan budaya pop, kehilangan kedalamannya. Mereka tidak lagi menjadi jalan menuju kebijaksanaan, tetapi alat untuk menjual gaya hidup. YOLO mendorong kita untuk membeli lebih banyak pengalaman, sementara YONO mendorong kita untuk membeli versi "sederhana" dari pengalaman yang sama.

     Saya sama sekali tidak bertujuan untuk menjelekkan YOLO atau YONO, tetapi untuk mengingatkan kita bahwa di balik setiap slogan ada paradoks. Hidup memang hanya sekali, tetapi tidak berarti kita harus mengejar segalanya dalam satu tarikan napas. Kita mungkin hanya membutuhkan satu hal, tetapi menentukan apa 'satu hal' itu memerlukan introspeksi yang lebih mendalam daripada sekadar mengikuti tren minimalisme.

     Pada akhirnya, baik YOLO maupun YONO hanyalah cermin dari dilema manusia modern: ketegangan antara keinginan untuk memiliki semuanya dan kebutuhan untuk menemukan makna dalam kesederhanaan. Solusinya mungkin bukan memilih salah satu, tetapi menemukan cara untuk hidup di antara keduanya. Berani mengambil risiko sekaligus tahu kapan harus berhenti. Mengejar pengalaman tanpa melupakan kedalaman. Dan yang terpenting, mengingat bahwa kebahagiaan tidak terletak pada slogan, tetapi pada bagaimana kita menjalani hidup kita sendiri, dengan atau tanpa tagar.

YOLO sebagai slogan hidup generasi milenial dan Gen Z, muncul dari semangat pemberontakan terhadap rutinitas membosankan. “Berani! Ambil risiko! Hidup

Posting Komentar

...

[blogger][facebook]

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.