Kelelahan Eksistensial

     Kelelahan eksistensial adalah sebuah kondisi yang, meskipun tampak baru dalam konteks modern, sejatinya telah lama mengintai di bawah permukaan sejarah Homo sapiens. Dalam perjalanannya, manusia selalu membawa beban berat berupa pencarian makna, perasaan tak pernah cukup, dan ketakutan akan kehampaan. Nietzsche pernah berkata, “Manusia adalah tali yang direntangkan antara binatang dan manusia super—sebuah tali di atas jurang.” Dan pada setiap langkah di atas tali itu, manusia mendapati dirinya lelah, terombang-ambing antara apa yang ia inginkan dan apa yang ia takuti, antara kebebasan tanpa batas dan keterikatan yang ia ciptakan sendiri.

     Di tengah zaman yang kita sebut modern ini, kelelahan eksistensial menjadi semakin kentara. Ia adalah hasil dari ironi kehidupan yang tak kunjung selesai: semakin manusia mencari kebahagiaan, semakin ia merasa hampa. Dalam keinginannya untuk mengukur dan memahami segalanya, manusia terjebak dalam jebakan angka-angka, algoritma, dan grafik yang seolah-olah dapat menguraikan rahasia kebahagiaan. Namun, seperti yang dikatakan Camus, “Kita harus membayangkan Sisyphus bahagia.” Mungkin karena itu manusia terus mendorong batu ke atas bukit, meskipun ia tahu bahwa batu itu akan kembali jatuh.

     Kehidupan modern adalah simfoni paradoks. Di satu sisi, kita dikelilingi oleh kenyamanan yang tak pernah dibayangkan oleh generasi sebelumnya. Internet memungkinkan kita terhubung dengan siapa saja, kapan saja, di mana saja. Makanan tiba dengan satu ketukan jari. Pengetahuan tentang jagat raya ada di saku kita. Tetapi di sisi lain, kenyamanan ini menciptakan tekanan yang baru. Kita tidak lagi hanya bersaing dengan orang-orang di sekitar kita, tetapi dengan miliaran orang di dunia maya. Media sosial adalah panggung tanpa akhir, tempat kita berlomba-lomba menunjukkan siapa yang paling bahagia, paling sukses, paling dicintai. Namun, seperti halnya panggung teater, yang kita lihat hanyalah ilusi. Di balik layar, aktor-aktor ini sering kali duduk sendirian, lelah, dan bertanya-tanya mengapa mereka harus terus memainkan peran ini.

     Kelelahan eksistensial juga tumbuh dari perasaan bahwa manusia harus terus maju, terus berkembang, terus menjadi lebih baik. Revolusi industri mengajarkan kita bahwa produktivitas adalah kebajikan tertinggi, dan kapitalisme memperkuat gagasan bahwa nilai kita diukur dari seberapa banyak yang kita hasilkan. Charles Dickens menggambarkan dunia ini dengan tajam dalam novelnya
Hard Times, ketika ia menulis tentang pabrik-pabrik yang mencekik kehidupan manusia. Kini, pabrik-pabrik itu telah berubah menjadi kantor, layar komputer, dan telepon genggam, tetapi dampaknya tetap sama. Kita bekerja, bekerja, dan bekerja, tanpa pernah merasa cukup. Kita mengejar kebahagiaan seperti kuda yang dikejar bayangannya sendiri, tetapi semakin cepat kita berlari, semakin jauh kebahagiaan itu.

     Ironi ini mencapai puncaknya ketika manusia mulai bertanya-tanya apakah hidup mereka adalah nyata atau hanya simulasi. Nick Bostrom, dalam spekulasi ilmiahnya yang terkenal, menyatakan bahwa kemungkinan besar kita hidup dalam modul simulasi yang diciptakan oleh entitas yang lebih cerdas. Jika itu benar, maka apa artinya perjuangan kita, kebahagiaan kita, dan kelelahan kita? Apakah semuanya hanya sebuah permainan, sebuah eksperimen? Tetapi di sisi lain, bukankah manusia selalu hidup dalam simulasi? Simulasi agama, ideologi, tradisi, dan mitos yang mereka ciptakan untuk memberi makna pada kehidupan yang tampak tanpa tujuan.

     Di tengah semua ini, sains dan teknologi, yang seharusnya menjadi alat untuk membebaskan manusia, justru menciptakan bentuk baru dari perbudakan. Stephen Hawking, dalam kecemerlangannya, berbicara tentang kemungkinan manusia melampaui batas biologis mereka melalui teknologi. Namun, seperti yang kita lihat hari ini, teknologi sering kali lebih memperbudak daripada membebaskan. Kita terikat pada layar, pada notifikasi, pada kebutuhan untuk terus terlihat relevan di dunia yang bergerak semakin cepat. Kita berburu validasi dalam bentuk likes dan followers, tetapi seperti seorang penambang di tambang tak berisi, yang kita temukan hanyalah kekosongan.

     Kelelahan eksistensial juga menemukan ekspresi dalam hubungan manusia dengan lingkungan. Perubahan iklim adalah pengingat brutal bahwa kemajuan manusia memiliki harga yang mahal. Para aktivis yang memperjuangkan keberlanjutan sering kali merasa seperti berteriak di tengah kerumunan yang tuli. Mereka tahu bahwa waktu hampir habis, tetapi mereka juga tahu bahwa banyak orang lebih memilih kenyamanan jangka pendek daripada masa depan yang lebih baik. Dalam hal ini, kelelahan eksistensial tidak hanya bersifat individu, tetapi juga kolektif. Ini adalah kelelahan spesies yang berdiri di tepi jurang, bertanya-tanya apakah ia memiliki keberanian untuk melompat atau akan jatuh begitu saja.

     Namun, di tengah semua ironi, paradoks, dan kelelahan ini, ada sesuatu yang luar biasa tentang Homo sapiens: mereka terus mencoba. Mereka terus bertanya, mencari, dan menciptakan, meskipun mereka tahu bahwa jawaban yang mereka temukan mungkin hanya menimbulkan lebih banyak pertanyaan. Seperti yang dikatakan Sartre, “Manusia dikutuk untuk bebas.” Kebebasan ini adalah sumber dari kebahagiaan dan kecemasan kita, dari pencapaian terbesar kita dan kesalahan terbesar kita.

     Ada sesuatu yang hampir indah dalam kelelahan ini. Ia mengingatkan kita bahwa kita hidup, bahwa kita peduli, bahwa kita memiliki sesuatu yang layak diperjuangkan. Kelelahan eksistensial adalah tanda bahwa kita tidak menyerah, bahwa kita tidak berhenti mencoba membuat dunia yang lebih baik, bahkan ketika dunia itu tampak menolak usaha kita.

     Dan mungkin, pada akhirnya, kelelahan ini adalah bagian dari perjalanan kita menuju Homo Deus, makhluk yang melampaui batasan biologisnya, yang menemukan cara baru untuk menciptakan makna di tengah kekosongan. Namun, bahkan jika kita mencapai titik itu, apakah kelelahan kita akan hilang? Atau akankah ia berubah menjadi sesuatu yang baru, sesuatu yang lebih kompleks? Tidak ada yang tahu. Tetapi mungkin itu adalah keindahan dari menjadi manusia: kita tidak tahu apa yang ada di depan kita, tetapi kita terus melangkah maju, meskipun dengan langkah yang gemetar.

     Kelelahan eksistensial bukanlah akhir dari cerita kita. Ia hanyalah bab dalam perjalanan panjang kita, sebuah pengingat bahwa hidup, meskipun sulit, selalu penuh dengan kemungkinan. Seperti Sisyphus yang terus mendorong batu, kita harus menemukan cara untuk membayangkan diri kita bahagia, bahkan di tengah kelelahan yang tak terelakkan ini. Karena pada akhirnya, hidup bukanlah tentang mencapai tujuan, tetapi tentang bagaimana kita menjalani perjalanan itu, dengan segala keindahan, ironi, dan kekacauannya.

Kelelahan Eksistensial adalah hasil dari ironi kehidupan yang tak kunjung selesai: semakin manusia mencari kebahagiaan, semakin ia merasa hampa.

Posting Komentar

...

[blogger][facebook]

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.