Jika kita menatap langit malam, sulit menolak pahitnya kenyataan: kita hanyalah titik remeh di tengah semesta yang nyaris tak terbatas. Bumi ini tak lebih dari sebutir debu di pinggiran galaksi, dan galaksi kita hanyalah setetes air di samudra kosmik yang tak terbayangkan. Semakin ilmu pengetahuan memperluas pandangan, semakin kecil pula kita rasakan diri sendiri.
Kesunyian kosmik itu menghantui. Jika semesta begitu luas, mengapa kita merasa penting? Jika bintang-bintang telah menyala miliaran tahun sebelum kita lahir, dan akan terus bersinar miliaran tahun setelah kita mati, apakah arti keberadaan kita?
Di sinilah paradoks itu bersemayam: di satu sisi, kita begitu kecil hingga nyaris tak berarti. Namun di sisi lain, kita merasakan keintiman yang tak bisa dijelaskan—seolah seluruh semesta bersekongkol agar kita hadir di sini, saat ini, dengan kesadaran yang mampu menatap balik ke langit dan berani bertanya.
Kesunyian kosmik adalah luka yang dingin. Tak ada jawaban dari bintang-bintang, tak ada bisikan dari galaksi. Hanya hening yang luas, hanya gelap yang tak bertepi. Namun entah mengapa, dalam hening itu kita merasakan sesuatu yang mirip pelukan: meski sunyi, semesta tidak pernah sepenuhnya asing.
Ada absurditas yang ganjil di dalamnya. Semesta begitu luas, acuh, tak peduli. Namun justru dari ketidakpedulian itu lahir rasa kedekatan. Seperti berjalan seorang diri di hutan lebat: pohon-pohon tak menoleh, angin tak menyapa, tanah tak memperhitungkan langkah kita. Tetapi dalam ketidakpedulian itu, kita merasa dekat—karena diam-diam kita berbagi keheningan yang sama.
Dari ketegangan inilah spiritualitas sering lahir. Kita gentar pada kesunyian kosmik, namun di dalamnya pula kita menemukan makna. Kita cemas karena tiada yang menatap balik, namun terharu karena di tengah hening itu ada ruang luas untuk menatap ke dalam diri.
Ada saat-saat di kehidupan outdoor ketika paradoks ini menggigit begitu nyata. Duduk sendirian di puncak setelah perjalanan panjang, tubuh letih, napas berat, pandangan menerobos cakrawala. Tak ada jawaban, tak ada penonton, tak ada hadiah. Namun sesuatu terasa suci—seolah dunia yang bisu itu, tanpa kata, menerima kehadiran kita. Kesunyian yang semula mencekam berubah menjadi keintiman yang tak terjelaskan.
Bagi sebagian orang, itu tanda Tuhan. Bagi yang lain, hanya proyeksi psikologis manusia yang kesepian. Namun apa pun namanya, pengalaman itu nyata: semesta yang tampak kosong justru memberi kita rasa terhubung.
Paradoks ini tragis sekaligus indah. Tragis, karena kita tak pernah tahu apakah benar ada makna di luar sana, atau semuanya sekadar cermin dari kerinduan kita sendiri. Indah, karena bahkan jika hanya cermin, pantulannya cukup untuk membuat mata basah oleh keharuan.
Barangkali semesta memang tak peduli. Justru karena itu, setiap perhatian kecil yang kita berikan menjadi tak ternilai. Sebuah pelukan, sebuah lagu, sebuah doa—semua adalah perlawanan kecil terhadap sunyi yang tak bertepi. Kita seperti anak kecil yang menggambar rumah di pasir pantai, tahu ombak akan segera menghapusnya, namun tetap menggambar juga. Karena dalam menggambar itu, ia merasa ada.
Mungkin inilah kebijaksanaan dari paradoks kosmik: kita tak perlu semesta memberi jawaban, cukup dengan berani bertanya. Kita tak perlu bintang menatap balik, cukup dengan menatap mereka dengan mata basah. Kita tak perlu keintiman dijamin, cukup dengan merasakannya, meski mungkin hanya ilusi.
Dan justru di situlah absurditas ini berubah menjadi kekuatan. Kesunyian kosmik tidak menghancurkan, melainkan menempa kita menjadi makhluk yang mampu merayakan hidup di tengah ketidakpedulian. Kita belajar menciptakan makna sendiri, menyalakan api kecil di tengah malam tanpa berharap malam berubah menjadi siang.
Pada akhirnya, mungkin semesta memang sunyi. Namun dalam sunyi itu, ada ruang luas bagi nyanyian, doa, dan tawa kita. Dan meski semesta tak menjawab, barangkali justru dalam ketidakjawaban itu kita menemukan kebebasan untuk merasakan bahwa kita sungguh ada.
Kesunyian kosmik dan keintiman misterius—dua sisi dari satu paradoks. Kita hanyalah debu, namun debu yang bisa bermimpi. Kita hanyalah setitik dalam gelap, namun setitik yang bisa menyalakan api. Semesta tak peduli, namun justru karena itu, kita belajar peduli satu sama lain. Dan mungkin, itu lebih dari cukup.
Posting Komentar
...