Semakin Lambat ⏤ Semakin Cepat

     Ada satu hukum tak tertulis di gunung: siapa yang tergesa-gesa biasanya akan tiba paling lambat. Pemandangan klasik itu sering muncul di jalur pendakian: seorang pemula penuh semangat, melesat di awal, lalu terengah-engah setengah jam kemudian, terpaksa duduk di pinggir jalur, keringat bercucuran, sementara langkah-langkah lamban dari rombongan lain justru melewatinya dengan tenang. Itulah ironi pertama yang ditemui banyak orang dalam hidup di gunung: semakin cepat hasrat untuk sampai, semakin lambat gerak yang terjadi.

     Di permukaan, ini hanyalah soal stamina, ritme, manajemen energi. Tetapi semakin sering seseorang mendaki, semakin tampak bahwa hal itu adalah sebuah pelajaran eksistensial. Hidup manusia pun sering persis begitu: banyak yang berlari mengejar, hanya untuk jatuh kelelahan, sementara yang berjalan lambat dan sabar tiba dengan utuh. Ada absurditas di sini—bahwa keterburu-buruan, yang seharusnya mempercepat, justru menjadi jebakan.

     Ketidaksesuaian lain lahir dari beban di punggung. Setiap pendaki tahu, semakin lengkap peralatan yang dibawa, semakin berat langkah kaki. Tetapi di sisi lain, beban itu pula yang membuat perjalanan lebih ringan dalam arti lain: ada tenda untuk berteduh, jaket hangat untuk melawan dingin, logistik yang cukup untuk bertahan. Maka di sinilah ironi itu hidup: semakin berat seseorang memikul, semakin ringan ia menjalani. Seolah gunung sedang menertawakan perhitungan manusia tentang efisiensi: yang ringan bisa jadi membawa celaka, yang berat justru membuka jalan keselamatan.

     Pernah disaksikan seorang pendaki tersandung logistiknya sendiri. Ranselnya penuh barang, tapi banyak yang tak terpakai. Ia berjuang, pelan-pelan kehilangan ritme, bahkan hampir ingin menyerah. Lalu terdengar keluhannya, “Kalau tahu begini, mending bawa yang penting saja.” Tetapi, pada malam berikutnya, justru barang-barang tak terpakai itulah yang menyelamatkan seluruh rombongan dari hujan deras. Flysheet ekstra didirikan, lampu cadangan dinyalakan, termos yang semula dianggap remeh justru memberikan air hangat ketika suhu menusuk tulang. Saat itulah terasa jelas: beban adalah sebuah kontradiksi yang harus dirawat, bukan sekadar dikurangi.

     Lalu ada juga hukum sederhana yang kerap membuat pendaki baru tertawa getir: semakin canggih alat yang dibawa, semakin sulit kadang cara menggunakannya. Kompor portable yang katanya praktis bisa ngambek di suhu dingin. Sleeping bag supermahal ternyata tak sehangat sarung tua dari kampung. Parang tradisional bisa jadi lebih berguna daripada pisau lipat bermerk luar negeri. Teknologi, dalam dunia outdoor, sering kali bukan jawaban tunggal. Justru kesederhanaan dan keterampilanlah yang mengubah sesuatu yang tampak remeh menjadi alat penyelamat. Bukankah hidup juga begitu? Kecanggihan bisa jadi lumpuh tanpa kebijaksanaan menggunakannya.

     Semua ketidaksesuaian teknis ini bukan sekadar masalah logistik, tapi sebuah ironi yang mengandung kebijaksanaan. Ia menertawakan nafsu manusia akan kecepatan, ringan, dan canggih. Gunung seperti berkata, “Belajarlah menunda agar sampai. Belajarlah memikul agar selamat. Belajarlah sederhana agar tidak rumit.” Semua ini tidak masuk akal dalam rumus matematika, tetapi masuk akal dalam hukum alam.

     Ada luka kecil yang menyertainya—luka otot, luka ego, luka kesombongan. Luka itulah yang perlahan mengajari bahwa kebenaran tidak selalu berdiri di sisi logika lurus. Bahwa terkadang kebenaran justru menyamar dalam kontradiksi yang melelahkan. Dan di tengah absurditas itu, muncul sejenis kebijaksanaan yang tak bisa diajarkan di ruang kelas.

     Bagaimana menolong diri sendiri menjadi sarana untuk menolong tim, semakin jelas kaitannya dengan semua ironi teknis ini. Kalau seseorang memaksa diri terlalu cepat, ia justru jadi beban. Kalau ia salah mengatur logistik, ia justru mengacaukan tim. Kalau ia sombong pada keterampilan dasar, ia justru menjerumuskan orang lain. Menolong diri sendiri berarti berjalan lambat agar bisa terus melangkah, membawa beban yang tepat agar bisa berbagi, merawat alat agar bisa melindungi orang lain. Dan itu semua terdengar aneh hanya bagi yang belum merasakannya.

     Semua pelajaran ini mungkin tampak sederhana, tapi di situlah gunung mulai meneguhkan petuahnya: dunia ini sering kali tak seturut logika, namun justru di situlah kebenarannya tersembunyi. Dan barang siapa mau berjalan cukup lama dalam ritme lambat, ia akan menemukan bahwa yang absurd itu sebenarnya adalah cara alam menyelamatkan manusia.

Posting Komentar

...

[blogger][facebook]

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.