Ingin Bebas tapi Takut Kehilangan

     Kebebasan selalu tampak indah dari kejauhan, seperti puncak gunung yang berkilau disinari matahari. Kita membayangkan betapa lapang rasanya berdiri di atasnya, tanpa rantai, tanpa belenggu, hanya langit dan udara yang luas. Tetapi saat kita benar-benar melangkah ke arah sana, tibalah kegamangan: siapa kita tanpa tali pengikat, tanpa pijakan yang familiar, tanpa pagar yang mengurung kita?

     Paradoks kebebasan selalu hadir seperti ini: semakin kita ingin bebas, semakin kita merindukan penjara. Kita berteriak ingin lepas dari ikatan, tapi saat benar-benar dilepaskan, kesunyian yang menunggu di luar membuat kita ingin kembali ke jeruji yang hangat.

     Manusia tidak pernah benar-benar tahan dengan kebebasan total. Bukankah itu yang dialami para pengembara, ketika hutan, langit, dan jalan panjang membuka ribuan kemungkinan? Ada momen ekstasi—seakan dunia ini milik kita sepenuhnya. Namun, di balik ekstasi itu, hadir kecemasan yang menggigit: ke mana arah langkah selanjutnya? Tanpa peta, tanpa tujuan, kebebasan berubah menjadi jurang yang tak berdasar.

     Dalam kehidupan outdoor, paradoks ini terasa sangat telanjang. Kita ingin keluar dari hiruk-pikuk kota, mencari kebebasan di alam. Tapi begitu hutan menutup jalan, begitu kabut menelan kompas, begitu malam menurunkan sunyi yang pekat, hati kita meronta: "Di mana rumahku? Di mana tempatku berpijak?" Kebebasan mutlak ternyata tidak selalu membebaskan; kadang ia menelanjangi rapuhnya jiwa.

     Bahkan dalam ruang yang lebih metafisis, kita melihat paradoks serupa. Jiwa ingin melepaskan diri dari segala ikatan duniawi—aturan, norma, bahkan Tuhan sekalipun. Namun begitu ia melompat ke ruang hampa, ia menemukan dirinya tenggelam dalam ketakutan: siapa yang akan menopangku jika aku benar-benar sendirian?

     Nietzsche pernah menulis tentang “kematian Tuhan” sebagai pembebasan manusia. Tapi ia juga menyadari betapa mengerikannya dunia tanpa jangkar metafisis. Manusia yang ingin bebas dari ilusi akhirnya justru terdampar dalam nihilisme. Ironi pahit ini adalah inti dari paradoks: kita ingin bebas, tetapi kita takut pada kebebasan itu sendiri.

     Absurdnya, kita seperti anak kecil yang marah ingin keluar rumah. Begitu pintu dibuka, begitu langkah keluar menjejak tanah asing, rasa takut merayap: “Bagaimana jika tidak ada yang menunggu kepulanganku?” Kita ingin melepaskan diri dari orang tua, tapi diam-diam berharap mereka tetap ada di balik pintu, siap menyambut jika kita kembali.

     Bukankah itu yang sering kita alami juga dalam spiritualitas? Jiwa ingin terbang, ingin menolak segala doktrin, ingin menolak segala batasan, ingin merdeka. Tetapi di dalam kegelapan batin, kita justru mendamba sebuah suara yang berkata: “Aku di sini.” Kita ingin bebas dari Tuhan, tapi kita pun takut kehilangan-Nya.

     Paradoks kebebasan ini tidak hanya menimbulkan luka, tetapi juga kebijaksanaan. Luka, karena kita sadar tidak ada kebebasan absolut yang benar-benar kita sanggupi. Kebijaksanaan, karena kita belajar bahwa kebebasan bukan soal melarikan diri dari segala ikatan, melainkan memilih ikatan yang kita cintai.

     Seekor burung mungkin bebas terbang, tapi ia tetap membutuhkan dahan untuk hinggap. Seorang musafir mungkin bebas melangkah, tapi ia tetap membutuhkan air untuk bertahan hidup. Demikian juga jiwa manusia: ia bisa bebas, tapi ia tetap merindukan sesuatu yang bisa digenggam, meski hanya sekadar ilusi untuk bertahan dari kekosongan.

     Maka, barangkali kebebasan sejati bukanlah hilangnya pegangan, melainkan keberanian untuk menggenggam sesuatu dengan sadar. Kita bisa memilih ikatan, bukan dipaksa olehnya. Kita bisa menambatkan diri pada makna yang kita ciptakan sendiri, bukan hanya yang diwariskan. Di situlah kebebasan menemukan wajahnya yang paling manusiawi.

     Namun paradoks ini tidak pernah hilang. Selalu ada tarikan ke dua arah: ingin bebas, tapi juga ingin aman. Ingin merdeka, tapi juga ingin dipeluk. Kita hidup di antara dua kutub itu, berjalan di atas tali tipis yang tegang. Kadang kita condong ke satu sisi, kadang ke sisi lain, tapi jarang sekali kita bisa benar-benar berdiri di tengah.

     Mungkin memang begitulah manusia ditakdirkan: makhluk yang terlalu liar untuk dijinakkan, tapi juga terlalu rapuh untuk dilepas sepenuhnya. Kita ingin terbang, tapi tetap ingin tahu bahwa ada sarang yang menunggu. Kita ingin melawan arus, tapi juga ingin yakin ada pantai tempat berlabuh. Kita ingin kebebasan, tapi kita pun merindukan pegangan.

     Dan di sanalah, ironisnya, keindahan hidup berdiam. Seperti musik yang tercipta bukan dari nada semata, melainkan dari ketegangan antara bunyi dan diam. Jiwa manusia pun hidup dalam ketegangan paradoks ini, terus menari di antara kebebasan dan keterikatan.

     Kebebasan mutlak mungkin hanya milik para dewa—atau barangkali bahkan mereka pun tidak benar-benar bebas. Sedangkan manusia, dengan segala absurditasnya, menemukan makna justru dalam keterbatasannya. Ia bebas, tapi tetap merangkul pegangan. Ia merdeka, tapi tetap merindukan rumah.

     Paradoks itu menyakitkan, namun sekaligus menyelamatkan. Sebab tanpa rasa takut kehilangan pegangan, kebebasan bisa berubah menjadi kehancuran. Dan tanpa kerinduan akan kebebasan, pegangan bisa berubah menjadi penjara. Kita ada di tengah-tengah: tidak sepenuhnya merdeka, tidak sepenuhnya terikat, tapi justru di situlah kita menjadi manusia.

Memang begitulah manusia ditakdirkan: makhluk yang terlalu liar untuk dijinakkan, tapi juga terlalu rapuh untuk dilepas sepenuhnya.

Posting Komentar

...

[blogger][facebook]

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.