Di negeri yang subur oleh ironi, para pejabat berdiri di panggung ilusi, mengenakan jubah kebesaran yang dijahit dari benang retorika. Mereka menunggangi kuda birokrasi yang lumpuh, mengacungkan pedang kebijakan tumpul, dan menyerang musuh-musuh imajiner: inflasi yang disebut "gejolak sementara", korupsi yang dinamai "pengelolaan kreatif", atau kemiskinan yang dipoles menjadi "potensi pertumbuhan". Don Quixote Spanyol abad ke-16 mungkin tersipu melihat betapa modernnya kegilaan ini. Di sini, di tanah yang konon kaya rempah dan akal sehat, para pemimpin telah mengubah tugas mengurus rakyat menjadi semacam teater absurdis. Mereka bersumpah melawan raksasa ketidakadilan, tapi yang ditikam hanyalah bayangan data yang diolah sedemikian rupa hingga menyerupai prestasi.
Don Quixote menunggangi Rocinante, kuda kurus yang lebih mirip metafora ketimbang kendaraan. Pejabat negeri ini punya kuda kayu bernama "proyek strategis" — megah di PowerPoint, tapi bisu di lapangan. Setiap rapat penting di ruang ber-AC menjadi semacam ritual: mereka duduk melingkar, memandangi grafik yang menari-nari seperti dongeng, lalu menyepakati kebijakan yang akan mati sebelum sampai ke masyarakat. "Kita perlu rebranding masalah!" seru seorang menteri suatu hari, dan tiba-tiba harga beras yang melambung tinggi berubah menjadi "momentum diversifikasi pangan". Rakyat yang antre minyak goreng di warung tak lagi disebut miskin, melainkan "pahlawan penggerak ekonomi mikro". Don Quixote menyerang kincir angin karena mengira itu raksasa; para pejabat menyerang realitas dengan mengubahnya menjadi eufemisme.
Mereka piawai dalam seni mencipta musuh. Bila tak ada krisis, mereka akan menemukan — atau merakit — ancaman baru. Seorang gubernur tiba-tiba mengumumkan perang melawan "budaya malas", padahal rakyatnya bekerja 12 jam sehari untuk sekadar bertahan. Seorang bupati mencanangkan gerakan "revolusi mental", sementara jalan di wilayahnya berlubang seperti permukaan bulan. Ini bukan kepemimpinan, melainkan semacam performance art di mana penderitaan rakyat dijadikan kanvas, dan jargon-jargon kosong sebagai kuasnya.
Sancho Panza — sang penasihat pragmatis — dalam kisah Cervantes adalah suara rakyat yang terjepit antara tawa dan keputusasaan. Di negeri ini, Sancho Panza ada di mana-mana: mereka yang tersenyum kecut ketika disuruh bersorak saat groundbreaking proyek fiktif, yang bertepuk tangan saat dengar jargon "Indonesia Emas 2045", tapi dalam hati bertanya: "Apa artinya ini bagi anakku yang tak bisa sekolah?" Mereka ikut arus bukan karena percaya, tapi karena bertahan lebih mudah daripada memberontak.
Ketika seorang menteri dengan bangga mengumumkan "penurunan angka kemiskinan menjadi satu digit", Sancho-Sancho ini tahu persis hitungannya: garis kemiskinan diubah, data dikurasi, dan mereka yang hidup dengan Rp19.000 per hari tiba-tiba "naik kelas" menjadi hampir miskin. Tapi mereka diam. Bukan karena bodoh, melainkan karena lelah. Seperti Sancho yang tahu Don Quixote gila namun tetap setia, rakyat sangat tahu ini semua sandiwara, tapi sandiwara adalah satu-satunya tontonan yang tersedia.
Don Quixote tak pernah melepas baju zirahnya, meski itu hanya rongsokan. Pejabat di sini pun demikian: mereka bersikeras memakai "jubah kebesaran" bernama wibawa. Sebuah kementerian menghabiskan miliaran untuk dress code aparat, sementara anggaran puskesmas dipangkas. Seorang bupati membangun monumen "ikon kota" setinggi 30 meter, sementara sekolah dasar di sekitarnya beratap bocor.
Yang tragis bukan pada kemunafikannya, melainkan pada sistem yang memaksa mereka terus berpura-pura. Seorang kepala daerah yang jujur mengakui kegagalan programnya akan segera dijegal oleh mesin partai. Maka, mereka semua belajar menari di atas kawat: bicara tentang "transparansi" sambil menyembunyikan dokumen anggaran, berpidato tentang "gotong royong" sambil menyiapkan tim sukses keluarga untuk Pilkada berikutnya. Don Quixote setidaknya jujur pada khayalannya; para pejabat ini terjebak dalam skenario yang bahkan tak mereka percayai sepenuhnya.
Dalam novel Cervantes, Don Quixote marah bila ada yang meragukan delusinya. Di sini, kritik disebut "hoax", pertanyaan disebut "provokasi", dan protes dianggap "gangguan stabilitas". Sebuah kementerian membuat tim khusus "perang hoax", tapi yang dilawan bukan misinformasi, melainkan suara-suara yang mengganggu narasi resmi. Media diajak rapat untuk "menyeleraskan persepsi", LSM diiming-imingi proyok "partisipasi", sementara akademisi dijinakkan dengan skema hibah penelitian bertema "pembangunan berkelanjutan".
Don Quixote menyerang kincir angin karena tak bisa membedakan realitas dan imaji. Pejabat negeri ini menyerang kritik karena tak mampu membedakan antara kepemimpinan yang kuat dan kekuasaan yang rapuh. Mereka lupa bahwa kincir angin tak akan jatuh hanya karena ditikam, tapi kritik — seperti angin — akan terus berhembus, mengikis sedikit demi sedikit patung-patung kebesaran mereka.
Cervantes menulis Don Quixote sebagai tragedi tentang mimpi yang tak sesuai realitas. Di sini, mimpi-mimpi itu dijadikan alat. Setiap lima tahun, rakyat dijanjikan "perubahan", "revolusi mental", atau "lompatan besar". Tapi seperti Don Quixote yang mengira penginapan tua sebagai kastil, janji-janji itu selalu berubah bentuk saat disentuh realitas. Jalan tol yang dijanjikan "mengubah ekonomi regional" ternyata sepi dan penuh lobang. Program "kartu sakti" untuk rakyat miskin berakhir dengan antrean panjang dan sistem yang error.
Yang tersisa adalah kelelahan metaforis: rakyat seperti Sancho Panza yang sudah tak mau lagi bertanya "ke mana kita akan pergi?" Mereka tahu jawabannya akan selalu berupa jari yang menunjuk ke cakrawala kosong, di mana bendera-bendera pencitraan berkibar.
Ketika Panggung Telah Runtuh
Don Quixote akhirnya sembuh dari delusinya menjelang ajal. Tapi di negeri ini, penyakit ini justru menular. Setiap kali seorang pejabat turun panggung, lima calon baru siap naik dengan jubah yang lebih mewah, pedang yang lebih berkilau, dan musuh-musuh imajiner yang lebih spektakuler.
Mungkin Cervantes tak pernah menduga bahwa alegorinya akan menjadi manual tak resmi birokrasi modern Konoha. Di sini, kegilaan bukan lagi tragedi individu, melainkan sistemik. Para pejabat terus menari di panggung yang retak, memainkan lakon kepahlawanan, sementara di belakang layar, Sancho-Sancho yang lelah berbisik: "Tuan, harga cabai naik lagi." Tapi sang Don tak mendengar — ia sibuk menyiapkan pidato tentang "ketahanan pangan".
Rupanya, negeri ini bukan kekurangan Don Quixote, melainkan kelebihan. Bedanya, Don Quixote Cervantes akhirnya bangun dari mimpinya. Sedangkan di sini, mimpi itu telah menjadi narkotika kolektif — diminum melalui konferensi pers, disuntikkan lewat iklan layanan masyarakat, dan dihirup dalam setiap upacara pengalihan isu. Kita semua terjebak dalam novel absurdis yang tak kunjung tamat, di mana setiap bab baru hanya mengulang lelucon yang sama: bahwa musuh terbesar bukanlah kemiskinan atau kebodohan, melainkan kenyataan itu sendiri.
Dan seperti Don Quixote yang mati sebagai orang waras, mungkin suatu hari nanti — saat statistik tak lagi bisa dimanipulasi, jargon-jargon telah kehabisan tenaga, dan rakyat memilih diam sebagai bentuk protes terakhir — para pejabat ini akan tersadar. Tapi saat itu, mungkin sudah terlambat: mereka akan menemukan bahwa yang mereka pimpin bukanlah ksatria atau raksasa, melainkan bayangan sendiri yang memudar di cermin sejarah.
Posting Komentar
...