Mengendalikan yang Tak Bisa Dikendalikan

     Di sebuah tanah lapang, ratusan orang berdiri dalam diam. Tangan mereka menggenggam lilin yang menyala, mata mereka menatap langit malam, dan bibir mereka bergerak pelan melafalkan sesuatu yang mereka sebut doa. Di layar besar, pemimpin mereka berseru lantang: “Kita akan menang! Karena kita satu suara!” Sorak-sorai pun pecah, genderang dipukul, dan bendera berkibar tinggi — tak satu pun dari mereka bertanya: menang dari apa? Satu suara untuk apa?

     Delusi kontrol massal bukan sekadar kepercayaan yang keliru. Ia adalah mimpi yang dibagikan, dijaga bersama, dan diperkuat lewat ritual, simbol, dan harapan yang dipertukarkan di ruang-ruang publik maupun batin. Jika ilusi kontrol pribadi adalah mimpi satu orang tentang dunia yang bisa dikendalikan lewat kemauan dan kehati-hatian, maka ilusi kontrol intersubjektif adalah mimpi kolektif — bahwa dunia bisa dibentuk dan dikekang oleh kehendak bersama, betapa pun keras dan tak masuk akalnya kenyataan itu sendiri.

     Dan seperti semua mimpi yang terlalu manis, ia bisa membuat kita lupa pada batas. Atau lebih berbahaya lagi: menyangkal bahwa batas itu pernah ada.

     Ilusi kontrol intersubjektif adalah bentuk bersama dari keyakinan palsu bahwa kita — sebagai komunitas, bangsa, atau kelompok sosial — memiliki kekuatan yang lebih besar dari yang sesungguhnya kita miliki untuk mempengaruhi jalannya peristiwa-peristiwa besar di luar kendali kita.

     Sebagaimana dijelaskan oleh Berger dan Luckmann dalam The Social Construction of Reality (1966), realitas sosial tidak berdiri sendiri seperti gunung atau sungai. Ia dibangun secara bertahap lewat proses internalisasi nilai, eksternalisasi tindakan, dan akhirnya objektivasi — yakni ketika sesuatu yang semula hanya disepakati bersama, mulai dianggap sebagai kenyataan “apa adanya.” Ketika sekelompok orang menyepakati suatu keyakinan, lalu membingkainya dalam institusi, simbol, atau kebiasaan, maka ia menjelma menjadi realitas sosial. Namun, realitas ini tetaplah intersubjektif — artinya, ia tergantung pada kesepakatan dan keterlibatan batin para pesertanya.

     Dalam konteks inilah delusi kontrol massal tumbuh: ketika keyakinan kolektif mulai meyakini bahwa kenyataan sosial itu bisa mendikte kenyataan objektif. Bahwa kehendak umat, bangsa, atau rakyat bisa “mengatur alam,” mengubah ekonomi, menggeser bencana, mengundang berkah, atau menyelamatkan dunia — semata-mata karena kita bersatu dan yakin.

     Bagaimana Delusi Ini Terbentuk?

     Delusi kontrol massal tidak muncul dari ruang hampa. Ia tumbuh dari kombinasi rumit antara kebutuhan psikologis, tekanan sosial, luka historis, dan mitos kolektif yang terus diulang-ulang.

     Pertama-tama, manusia adalah makhluk yang lekat pada makna. Kita cenderung mencari narasi bersama untuk menjelaskan hal-hal yang terasa tak terkendali — bencana alam, krisis ekonomi, kekalahan dalam perang, atau pandemi global. Dalam ketidakpastian seperti itu, narasi kontrol kolektif menjadi obat yang menenangkan: “Jika kita semua bertobat, hujan akan turun.” “Jika kita bersatu, ekonomi akan membaik.” “Kalau semua orang ikut doa ini, pandemi akan selesai.”

     Kedua, pemimpin atau figur otoritas sering menjadi sumbu dari nyala keyakinan ini. Dalam istilah Max Weber, mereka yang memiliki karisma profetik atau otoritas tradisional sering memegang peran kunci dalam membentuk pemahaman dunia. Ketika mereka berkata bahwa dunia bisa diubah hanya dengan kekuatan moral bersama, banyak orang yang mengamini — bukan karena rasionalitas argumennya, melainkan karena kepercayaan itu telah menyatu dengan identitas dan rasa aman komunitas.

     Ketiga, delusi ini diperkuat lewat ritual massal, simbol, media sosial, dan pengabaian terhadap suara-suara yang berbeda. Keyakinan itu tidak hanya dipercaya, tapi dirawat dan diwariskan. Orang tidak percaya karena yakin — mereka yakin karena takut kehilangan tempat di dalam narasi bersama.

     Kita tidak bisa menampik bahwa delusi kontrol massal tidak hanya merugikan. Ia juga menawarkan kenyamanan, rasa kuat, dan makna. Dalam dunia yang luas dan terasa semakin tak terkendali, keyakinan bahwa “kita bisa mengubah takdir jika bersama” menciptakan ikatan emosional, solidaritas, dan bahkan harapan. Durkheim menyebut hal ini sebagai efek totemisme — ketika sebuah simbol atau ritual kolektif memberi rasa persatuan spiritual pada kelompok.

     Bahkan, banyak gerakan sosial dan revolusi historis bertumpu pada bentuk delusi ini. Ketika rakyat turun ke jalan karena percaya bahwa kehadiran mereka bisa “menjatuhkan tirani”, atau ketika lagu-lagu perjuangan menyebar dengan keyakinan bisa “mengguncang langit”, mereka tidak sedang berpikir rasional dalam arti ketat. Namun justru karena keyakinan bersama itu, mereka bergerak, bersatu, dan berani melawan.

     Dalam situasi tertekan, delusi kolektif bisa menjadi sumber daya hidup yang paling penting — bukan untuk menemukan kebenaran, tapi untuk bertahan dan berharap.

     Kerugian saat delusi menjadi dogma

     Namun, seperti semua pelipur lara yang terlalu manis, delusi ini menyimpan racun. Ia bisa membutakan kita dari kenyataan yang lebih kompleks, dan bahkan menolak kenyataan itu secara aktif.

     Pertama, ia menciptakan bias konfirmasi kolektif: setiap kejadian akan ditafsirkan sebagai pembenaran atas keyakinan bersama. Jika ekonomi membaik, itu karena doa kita. Jika memburuk, itu karena masih ada yang lalai. Tidak ada ruang untuk pertanyaan kritis, karena narasi menjadi biner dan tertutup.

     Kedua, delusi ini bisa mengorbankan individu. Mereka yang mempertanyakan, yang kritis, atau sekadar ragu — dicap pengkhianat, kafir, atau tidak setia. Inilah yang diperingatkan Hannah Arendt dalam The Origins of Totalitarianism (1951): ketika kebenaran kolektif menjadi absolut, maka kebebasan berpikir harus dibayar mahal.

     Ketiga, delusi ini berpotensi menghambat solusi rasional dan sistemik. Jika orang percaya bahwa kemiskinan bisa diberantas hanya dengan doa dan seruan moral, maka analisis struktural, kebijakan fiskal, dan distribusi sumber daya tidak lagi dianggap penting. Kita menggantikan tindakan dengan retorika.

     Menyadari bahwa ada delusi kontrol massal bukan berarti kita harus meninggalkan iman atau kebersamaan. Justru sebaliknya — ini adalah ajakan untuk menjaga keduanya agar tidak menindas, agar tidak berubah menjadi alat penghapus keragaman dan pertanyaan.

     Berpikir kritis bukan ancaman bagi solidaritas. Ia justru memastikan bahwa solidaritas tetap terbuka, inklusif, dan sadar akan batas-batasnya. Dunia tidak sepenuhnya bisa dikendalikan, baik oleh satu orang maupun oleh jutaan orang. Namun kesadaran atas batas itu — dan kesediaan untuk tidak menyangkalnya — bisa menjadi awal dari kebijaksanaan yang lebih jernih, dan kemanusiaan yang lebih utuh.


Referensi: 

  1. Berger, P. L., & Luckmann, T. (1966). The Social Construction of Reality. Anchor Books.
  2. Weber, M. (1947). The Theory of Social and Economic Organization. Free Press.
  3. Arendt, H. (1951). The Origins of Totalitarianism. Harcourt, Brace.
  4. Durkheim, E. (1912). The Elementary Forms of Religious Life.
  5. Langer, E. J. (1975). The Illusion of Control. Journal of Personality and Social Psychology, 32(2), 311–328.

Delusi kontrol massal adalah mimpi yang dibagikan, dijaga bersama, dan diperkuat lewat ritual, simbol, dan harapan yang dipertukarkan di ruang-ruang p

Posting Komentar

...

[blogger][facebook]

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.