Ilusi Kontrol dan Daya Tipu Pikiran

     Di sebuah kasino yang penuh dengan denting mesin dan lampu berkedip-kedip, seorang pria berdiri di depan meja dadu. Ia meniup dadu itu pelan sebelum melemparkannya, seolah napasnya bisa membelokkan nasib. Di tempat lain, seorang mahasiswa menggandeng pensil “beruntung” saat ujian, percaya bahwa benda itu telah menolongnya lulus semester lalu. Lebih jauh lagi, seorang pemimpin politik memberi pidato sambil memegang benda keramat peninggalan nenek moyangnya, dengan keyakinan bahwa kekuasaan bisa dipanggil dan dikekang lewat simbol.

     Apa yang sesungguhnya terjadi di benak manusia ketika mereka mempercayai hal-hal ini? Mengapa manusia begitu sering merasa bahwa mereka punya kendali atas sesuatu yang sebenarnya tak bisa mereka kuasai?

     Fenomena ini dikenal dalam psikologi kognitif sebagai “ilusi kontrol” — sebuah keyakinan yang keliru bahwa seseorang memiliki pengaruh terhadap peristiwa yang sepenuhnya bergantung pada keberuntungan, probabilitas acak, atau kekuatan eksternal.

     Konsep “ilusi kontrol” pertama kali diperkenalkan secara formal oleh Ellen Langer, seorang psikolog dari Harvard, dalam penelitiannya yang berpengaruh pada tahun 1975. Dalam eksperimen-eksperimennya, Langer menunjukkan bahwa orang-orang cenderung merasa lebih percaya diri dan yakin akan hasil yang menguntungkan ketika mereka memiliki peran aktif, meskipun sebenarnya tidak ada hubungan kausal antara tindakan mereka dan hasil yang terjadi (Langer, 1975).

     Misalnya, peserta diminta membeli tiket lotre. Kelompok pertama diberikan tiket secara acak oleh peneliti, sementara kelompok kedua diperbolehkan memilih sendiri tiketnya. Ketika peneliti menawarkan untuk membeli kembali tiket mereka dengan harga lebih tinggi, kelompok yang memilih sendiri tiketnya meminta harga yang jauh lebih mahal — meskipun peluang menangnya sama-sama acak. Fakta bahwa mereka membuat pilihan sendiri memunculkan perasaan semu bahwa mereka punya kendali.

     Hal ini bukan hanya terjadi dalam konteks perjudian. Dalam kehidupan sehari-hari, kita melihatnya dalam bentuk keyakinan bahwa nasib bisa dipengaruhi lewat tindakan simbolik: memakai baju tertentu saat wawancara kerja, mengetuk kayu untuk menangkal sial, atau menaruh harapan lebih besar pada pemimpin “berkarisma” daripada pada sistem dan kebijakan yang rasional.

     Mengapa otak kita menciptakan ilusi kontrol? Mengapa kita mempercayai sesuatu yang keliru secara logis? Mengapa Kita Terjebak?

     Jawabannya berakar pada mekanisme adaptif dan kebutuhan psikologis. Menurut penelitian Paul Slovic dan Amos Tversky, manusia cenderung mempersepsi pola di tengah kekacauan sebagai cara untuk memprediksi dan mengendalikan dunia (Tversky & Kahneman, 1974). Dengan kata lain, ilusi kontrol sering kali adalah respons otak terhadap ketidakpastian — dan karena ketidakpastian menciptakan kecemasan, maka otak memilih menyederhanakan dunia dengan menanamkan rasa kendali, walau palsu.

     Martin Seligman, dengan teori "learned helplessness"-nya, menunjukkan bahwa manusia (dan hewan) akan merasa lumpuh jika terus-menerus berada dalam situasi tak terkendali. Maka, munculnya ilusi kontrol bisa dipahami sebagai antitesis dari keputusasaan — otak menciptakan harapan karena tak mampu menerima kekacauan sebagai bagian realitas.

     Ada juga sisi sosial. Dalam masyarakat yang menilai tinggi tanggung jawab dan kesuksesan individual, perasaan memiliki kontrol menjadi citra diri yang penting. Mengaku bahwa sesuatu berada di luar kendali sering dianggap sebagai kelemahan, kegagalan, atau bahkan dosa. Maka ilusi kontrol bukan hanya personal, tapi juga konstruksi budaya.

     Namun, ilusi kontrol tidak berhenti sebagai rasa aman semu. Ia bisa berkembang menjadi kesalahan berpikir, keputusan keliru, bahkan bencana.

     Salah satu bentuk paling berbahaya dari ilusi kontrol muncul ketika seseorang mengecilkan risiko, karena merasa dapat “mengatasinya”. Daniel Kahneman, dalam bukunya Thinking, Fast and Slow (2011), menyebut ini sebagai bagian dari bias overconfidence: manusia melebih-lebihkan kemampuan mereka untuk memprediksi dan mengontrol hasil, apalagi ketika mereka merasa “berpengalaman”.

     Contohnya dapat ditemukan di bidang investasi, kesehatan, bahkan politik. Investor yang percaya bahwa “insting” mereka akan selalu benar bisa mengabaikan data objektif. Pasien yang menolak pengobatan medis karena lebih percaya pada kekuatan pikirannya sendiri — merasa bisa mengontrol penyakit lewat “niat baik” atau “pikiran positif” — adalah wujud nyata dari bias ini.

     Dalam konteks sosial dan politik, ilusi kontrol sering mewujud dalam pengambilan keputusan otoriter, ketika pemimpin merasa dirinya satu-satunya yang memahami dan mengontrol arah bangsa. Hal ini memperkuat fenomena delusi kolektif, di mana masyarakat ikut larut dalam keyakinan palsu bahwa segalanya “di tangan pemimpin yang kuat” — padahal sistem, distribusi kuasa, dan realitas objektif jauh lebih kompleks.

     Meski demikian, ilusi kontrol tidak selalu harus dimusuhi. Dalam kadar tertentu, ia bisa menjadi mekanisme penopang semangat hidup, sumber harapan di tengah ketidakpastian yang menyesakkan. Masalahnya bukan pada keberadaan ilusi, tetapi pada ketidakmampuan membedakan kapan kita sungguh mengendalikan sesuatu dan kapan kita hanya merasa seolah-olah mengendalikan.

     Memahami ilusi kontrol adalah undangan untuk merenung lebih dalam tentang relasi kita dengan dunia. Ia mengajarkan kita untuk tetap bertindak, tetapi juga untuk mengenali batas. Bahwa kadang, yang kita genggam bukan realitas, tapi angin. Dan itu tak apa, selama kita tahu bahwa angin bukan milik kita.


Referensi:

  1. Langer, E. J. (1975). The Illusion of Control. Journal of Personality and Social Psychology, 32(2), 311–328.
  2. Tversky, A., & Kahneman, D. (1974). Judgment under Uncertainty: Heuristics and Biases. Science, 185(4157), 1124–1131.

  3. Kahneman, D. (2011). Thinking, Fast and Slow. New York: Farrar, Straus and Giroux.

  4. Seligman, M. E. P. (1975). Helplessness: On Depression, Development, and Death. Freeman.

ilusi kontrol—sebuah keyakinan yang keliru bahwa seseorang memiliki pengaruh terhadap peristiwa yang sepenuhnya bergantung pada keberuntungan, probabi

Posting Komentar

...

[blogger][facebook]

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.