Epilog: Kebun Voltaire dan Biji-Biji yang Tak Pernah Padam
Kebun Ferney masih berdiri, meski berabad-abad telah menggerogoti dinding-dindingnya. Di bawah pohon apel tua yang dahulu ditanam Voltaire, akar-akarnya menjalar ke dalam tanah seperti jaring-jaring rahasia yang menghubungkan masa lalu dan kini. Di sini, di antara dedaunan yang berbisik, bayang-bayang Candide, Zadig, dan Micromégas bergerak pelan—tak lagi sebagai tokoh fiksi, tapi sebagai roh yang mengawasi dunia yang mereka kritik.
Candide, si optimis yang patah hati, kini menjelma jadi aktivis iklim muda di Berlin. Tangannya tak lagi memegang cangkul, tapi spanduk bertuliskan System Change, Not Climate Change!. Di depannya, para politikus berpidato tentang “pertumbuhan hijau” sambil mengizinkan tambang batu bara baru. “Ini yang terbaik dari semua kemungkinan?” Candide modern itu menggerutu, mengutip Pangloss dengan sarkasme yang sama pedasnya. Tapi ia tak menyerah: di tengah kota, ia dan kawan-kawannya menanam kebun urban di atas bekas parkiran mobil—kol-kol yang tumbuh di antara aspal adalah jawaban mereka pada filsafat usang.
Zadig, sang detektif logika dari Babilonia, kini bersembunyi di kode-kode algoritma. Di suatu server di Islandia, AI bernama Zadig_AI bekerja membongkar dokumen rahasia korupsi, tapi setiap kali hampir menuntaskan misinya, ia di-reset oleh para teknokrat yang takut pada kebenaran. “Akal budi tanpa keberanian adalah ilusi,” mungkin akan bisik Zadig seandainya ia bisa menembus layar. Sementara itu, di media sosial, para bot menyebarkan narasi bahwa “ketimpangan adalah hukum alam”—suara Arbogad abad ke-21 yang mencoba membungkam rasionalitas dengan fatalisme.
Micromégas, sang raksasa dari Sirius, mungkin sedang duduk di suatu nebula, mengamati manusia yang masih bersikap seolah Bumi adalah pusat semesta. Ia menyaksikan Elon Musk mengirim mobil listrik ke Mars sambil mencemari langit dengan roket, atau ilmuwan yang mematok harga “karbon dioksida” di pasar saham seolah alam adalah komoditas. “Mereka masih mengukur jiwa dengan timbangan yang sama,” gumam Micromégas, tertawa getir. Tapi di sudut lain galaksi, ia melihat perempuan-perempuan adat Amazon yang memetakan hutan dengan drone buatan sendiri—upaya kecil yang mungkin akan ia kirimi buku kosong bertuliskan Hakikat Segala Sesuatu, seperti dulu.
Di Gaza, seorang perempuan tua menanam za’atar di antara puing-puing rumahnya. “Ini kebunku,” katanya pada kamera jurnalis, matanya berbinar seperti perempuan tua dalam Candide yang kehilangan pantat. Ketika rudal menghantam lagi, ia kembali menanam—setiap biji adalah perlawanan, setiap tunas adalah tawa di hadapan absurditas. Ia tak membaca Voltaire, tapi ia hidup dalam semangat yang sama: bertahan bukan dengan heroisme, tapi dengan tekad menggarap tanah yang tersisa.
Voltaire, di suatu dimensi yang tak terjangkau waktu, mungkin sedang duduk di bangku kayu di kebunnya. Ia melihat Greta, Zadig_AI, perempuan Gaza, dan aktivis kebun urban—mereka semua adalah biji apel yang ia tanam dulu. “Lihatlah,” bisiknya pada Émilie du Châtelet yang mendampingi, “mereka menertawakan kesombongan zaman dengan cara mereka sendiri.” Di tangannya, ia memegang prasasti usang dari Ferney: Di sini, seorang manusia mencoba berpikir. Tapi di sudut bawah, dengan tinta segar, seseorang menambahkan: …dan biji-bijinya masih tumbuh di retakan dunia.
Malam ini, di kota-kota yang tak pernah tidur, di antara deru mesin dan hiruk-pikuk digital, biji apel tua dari Ferney jatuh di tempat tak terduga: di sela-sela panel surya di gurun Atacama, di antara kabel-kabel server bawah laut, bahkan di pot bunga kecil di kontrakan sempit Tamalanrea. Mereka bertunas—liar, tak diundang, dan keras kepala—seperti ide-ide Voltaire yang masih menggigit tiga abad kemudian. Di sanalah Pencerahan sejati bersemayam: bukan dalam patung atau buku usang, tapi dalam tindakan kecil yang nekad menantang angin.(part6 dari 6)
Posting Komentar
...