Altruisme yang Ternyata Egois

     Dalam dunia alam liar, pengorbanan tampak tidak masuk akal. Seekor burung yang berteriak memperingatkan kawannya ketika ada elang justru memperbesar risiko dirinya dimangsa. Seekor lebah pekerja yang menyengat musuh akhirnya mati. Semut pekerja bahkan steril—tidak pernah bereproduksi—tetapi mereka bekerja mati-matian demi koloni. Jika benar hidup ini dikendalikan oleh gen egois, mengapa ada perilaku yang justru merugikan si pelaku?

     Inilah titik di mana Dawkins memberikan salah satu pencerahan terbesarnya. Altruisme dalam dunia hewan bukanlah bukti bahwa alam penuh cinta, melainkan strategi licin gen untuk menyelamatkan dirinya sendiri.

     Kuncinya ada pada konsep kin selection—seleksi berdasarkan kekerabatan. Gen tidak peduli di tubuh siapa ia tinggal. Selama gen yang sama ada di tubuh makhluk lain, membantu makhluk itu berarti juga membantu dirinya. Dengan kata lain, seekor hewan bisa mati demi kerabatnya karena dalam kerabat itu tersimpan salinan gen yang sama.

     Contoh klasiknya adalah aturan sederhana dari W.D. Hamilton yang dikenal sebagai Hamilton’s Rule: pengorbanan bisa “masuk akal” bila manfaat yang diberikan kepada kerabat (dikalikan kedekatan genetik) lebih besar daripada kerugian bagi si pengorban. Seekor individu bisa mati asalkan ia menyelamatkan cukup banyak kerabat yang berbagi gen dengannya. Dengan begitu, gen “egois” tetap menang.

     Lalu bagaimana dengan altruisme yang tampak di luar kekerabatan? Misalnya, seekor monyet yang berbagi makanan dengan kawannya yang bukan saudara. Di sini Dawkins membawa konsep lain: reciprocal altruism—altruisme timbal balik. Seekor individu bisa menolong bukan kerabatnya dengan harapan suatu saat akan mendapat balasan. Ini semacam “investasi sosial” yang dikelola gen: aku membantumu hari ini, besok kau membantuku, dan gen kita sama-sama punya peluang bertahan.

     Bila dipikir lebih jauh, kerangka ini juga menjelaskan banyak perilaku manusia. Mengapa kita memberi sumbangan, menolong tetangga, atau bahkan ikut berperang demi bangsa? Dari kacamata gen, semua itu bisa dibaca sebagai strategi tidak langsung—melindungi kelompok yang di dalamnya gen kita beredar, atau membangun reputasi baik yang akhirnya meningkatkan peluang kita (atau anak-anak kita) bertahan.

     Namun justru di sini letak keindahan sekaligus kekejaman pandangan Dawkins. Ia merobek ilusi romantis bahwa kebaikan adalah bukti kemurnian hati alam. Tidak, katanya, kebaikan pun bisa dijelaskan dengan kalkulasi dingin gen. Bahkan cinta kasih bisa dipahami sebagai perangkat halus agar kita rela mengorbankan diri demi gen.

     Tentu saja, bagi sebagian orang, pandangan ini terasa sinis, bahkan mereduksi makna luhur kemanusiaan. Tetapi Dawkins selalu menekankan: memahami bahwa gen egois menjelaskan pola perilaku tidak berarti kita harus hidup egois. Justru karena kita tahu sumber dorongan itu, kita bisa memilih melampauinya.

     Maka paradoks itu pun lahir: altruisme yang tampak tulus bisa jadi hanyalah strategi egoisme gen. Tetapi manusia, dengan kesadarannya, bisa membuat paradoks baru—menjadi benar-benar tulus, bahkan ketika gen tidak diuntungkan.


Posting Komentar

...

[blogger][facebook]

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.