Tubuh selalu kita anggap sebagai pusat diri: daging, tulang, otot, saraf—semua seolah menegaskan bahwa kitalah “pemilik” tubuh ini. Tetapi Richard Dawkins, dengan nada dingin khasnya, meruntuhkan kenyamanan itu. Ia menyebut tubuh bukanlah pusat, melainkan sekadar survival machine—mesin bertahan hidup—yang diciptakan gen demi melindungi dan menyebarkan dirinya.
Bayangkan tubuh seperti kapal sementara. Awak sejatinya bukan kita, melainkan gen yang bersembunyi di kabin tersembunyi, terlindung dari guncangan luar. Kapal bisa karam, terbakar, atau tenggelam, tetapi selama gen berhasil berpindah ke kapal baru—melalui reproduksi—mereka tetap hidup. Tubuh bisa kita banggakan, rawat, hiasi, bahkan sakralkan, tetapi dari perspektif gen, tubuh hanyalah kendaraan sewaan.
Logika ini menjelaskan mengapa tubuh tidak abadi. Kita menua, rusak, lalu mati, sementara gen melompat ke tubuh lain yang lebih segar. Evolusi tidak peduli pada umur panjang individu, melainkan pada keberhasilan gen berpindah. Tubuh adalah cangkang sekali pakai, diciptakan dengan satu agenda: cukup tangguh bertahan sampai gen berhasil diteruskan. Setelah itu, tubuh bisa dibiarkan merapuh.
Dawkins menggambarkan ini dengan metafora kuat: organisme adalah “mesin” yang dibangun gen untuk melindungi dirinya dari dunia luar yang keras. Semua yang kita lihat pada tubuh—mata yang tajam, sistem imun, perilaku menghindar dari predator—adalah fitur desain mesin ini. Tidak ada tujuan lain selain menjaga gen tetap aman dan punya kesempatan bereplikasi.
Namun tubuh bukan mesin pasif. Ia juga menjadi medan strategi gen. Naluri lapar, rasa takut, bahkan dorongan cinta, adalah tombol-tombol kontrol yang dipasang gen agar tubuh bertindak sesuai kepentingannya. Seekor rusa yang melarikan diri dengan lompatan anggun dari singa, seekor burung yang membangun sarang rumit, atau manusia yang jatuh cinta hingga tergila-gila—semuanya adalah “software” yang dijalankan mesin tubuh demi satu urusan sederhana: gen bisa terus berpindah.
Cara pandang ini tentu terasa menyinggung ego manusia. Kita terbiasa berpikir tubuh ini milik kita, jiwa ini bebas. Dawkins seperti menyodorkan cermin yang kejam: kita tidak lebih dari robot organik yang diprogram gen, mesin yang dipakai lalu dibuang.
Namun ada paradoks yang menarik. Justru dengan tubuh, gen bisa bereksperimen dengan aneka bentuk. Tubuh menjadi panggung kreativitas evolusi: dari mata elang yang tajam, gigi taring singa yang menakutkan, hingga otak manusia yang bisa menulis puisi. Semua keindahan dan keajaiban dunia hayati lahir dari permainan mesin bertahan hidup yang diciptakan gen. Jadi meski tubuh fana, ia tetap luar biasa—sebuah karya seni sementara dari tangan buta evolusi.
Dan sekali lagi, Dawkins memberi catatan penting: kita, manusia, bisa melawan. Mesin ini bukan sepenuhnya penjara. Dengan otak yang cukup besar, dengan kesadaran yang bisa menelaah asal-usulnya, kita bisa berkata “tidak” pada gen. Kita bisa memilih untuk tidak memiliki anak, untuk merawat orang asing, untuk menciptakan karya seni yang tak punya manfaat evolusioner langsung. Mesin bisa membangkang pada pemrogramnya.
Tubuh, dalam pandangan Dawkins, adalah mesin bertahan hidup gen. Tetapi bagi kita, tubuh juga bisa jadi medan perlawanan. Kita bisa menulis ulang nasib mesin ini, menjadikannya bukan sekadar kendaraan gen, melainkan wadah kebebasan yang lahir dari kesadaran.
Posting Komentar
...