Melawan Tirani Gen

     Jika gen adalah “aktor utama” dalam panggung evolusi, maka kita, manusia, bisa dipandang sebagai panggung itu sendiri—atau lebih tepatnya, sebagai wadah sementara tempat mereka berdrama. Richard Dawkins dalam The Selfish Gene menulis kalimat yang provokatif sekaligus membebaskan: “Kita, satu-satunya spesies di bumi yang mampu memberontak melawan tirani replikator egois.” Kalimat itu adalah semacam undangan: apakah kita akan tunduk pada hukum dingin seleksi alam, atau berusaha melangkah ke luar dari takdir biologis yang membentuk kita?

     Kebanyakan organisme menjalani hidup tanpa pernah menyadari bahwa tindakannya diarahkan oleh program genetik. Burung membangun sarang, lebah menari untuk memberi tahu arah nektar, rusa jantan bertarung demi betina—semuanya adalah naskah lama yang ditulis oleh gen. Namun manusia berbeda. Kita memiliki kesadaran reflektif, mampu menatap ke dalam diri dan bertanya: Mengapa aku melakukan ini? Haruskah aku melanjutkannya? 

     Di titik inilah pemberontakan lahir. Kesadaran memungkinkan kita untuk menilai ulang dorongan-dorongan biologis: agresi, nafsu, bahkan dorongan untuk menyingkirkan yang lemah. Kita bisa memilih untuk menahan diri, membangun norma, atau menciptakan etika yang justru melawan “kepentingan” gen. Praktik kontrasepsi, misalnya, adalah keputusan sadar yang secara terang-terangan menentang dorongan genetik untuk bereproduksi sebanyak-banyaknya.

     Munculnya budaya lalu memberi kita perangkat tambahan untuk melawan gen. Tradisi, hukum, pendidikan, dan seni membentuk perilaku manusia tanpa harus mengikuti naskah biologis. Kita bisa mengajarkan kasih sayang, solidaritas lintas kelompok, bahkan keberanian melawan ketidakadilan, bukan karena gen kita “menginginkannya”, melainkan karena kita memilih jalan itu.

     Dawkins sendiri melihat budaya, lewat meme, sebagai replikator tandingan. Jika gen menuntut keberlangsungan fisik, maka meme bisa mendorong ide-ide yang justru melawan kepentingan biologis. Gagasan tentang kesetaraan gender, gerakan vegetarian, atau kesadaran ekologis adalah “meme” yang sering kali merugikan strategi gen, tetapi memperluas horizon kemanusiaan.

     Meski begitu, pemberontakan melawan tirani gen tidak berarti kita bisa melepaskan diri sepenuhnya dari biologi. Kita tetap tubuh yang lapar, lelah, dan rentan. Namun di ruang di mana pilihan terbuka, kita bisa menegakkan etika. Kita bisa merawat anak orang lain, bahkan orang asing yang tak ada kaitan genetik, hanya karena kita percaya itu benar. Kita bisa memilih solidaritas alih-alih egoisme murni. Di sinilah manusia menguji batas: apakah kita hanya “mesin bertahan hidup”, atau makhluk yang bisa melampaui programnya sendiri?

     Justru pada titik inilah Dawkins tidak menutup refleksinya dengan pesimisme. Ia menyarankan agar kita memanfaatkan kesadaran untuk membangun dunia yang lebih baik: bukan tunduk pada gen yang buta, melainkan menciptakan tatanan yang sadar. Pesannya seperti gema yang masih terdengar hingga kini: kita tidak harus menjadi budak gen. Dengan segala kelemahan dan potensi yang kita miliki, kita bisa menulis naskah baru di atas panggung kehidupan.


Posting Komentar

...

[blogger][facebook]

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.