Bahagia Tanpa Harapan

Sisifus Tersenyum: Bahagia Tanpa Harapan

     Ketika Camus menulis bahwa kita harus membayangkan Sisifus bahagia, ia tidak sedang mencoba menyulap penderitaan menjadi ilusi positif. Ia tidak sedang menawarkan pelarian dari kenyataan, tidak sedang membius kesadaran dengan kata-kata manis. Ia sedang menghadirkan sesuatu yang lebih radikal: keberanian untuk berkata ya kepada hidup, bahkan ketika hidup sama sekali tidak menjanjikan apa pun. Bahkan ketika batu yang didorong akan terus tergelincir turun, bahkan ketika puncak gunung tak pernah bisa dicapai. Dalam tokoh mitologis yang dihukum untuk mengulangi tugas tanpa akhir, Camus melihat manusia dalam bentuknya yang paling telanjang. Tak ada tujuan mulia, tak ada ganjaran surgawi, tak ada pelipur lara. Hanya usaha, dan kesadaran akan usaha itu. Dan dalam kesadaran itulah, manusia bebas. Dalam kesadaran itulah, ia menemukan kemungkinan untuk bahagia, bukan karena hidup punya makna, tapi justru karena ia sendiri yang berani memberinya makna.

     Sisifus tidak lagi menjadi korban ketika ia menyadari absurditas hukumannya. Ia tidak tunduk, tidak pula memberontak dengan harapan bisa lepas. Ia menerima nasibnya, dan di dalam penerimaan itu, ia menjungkirbalikkan seluruh logika penderitaan. Ia mengambil kembali martabatnya dari tangan para dewa, bukan dengan mengalahkan mereka, tetapi dengan menolak bermain dalam permainan mereka. Dengan tersenyum, Sisifus mengumumkan bahwa penderitaan tidak punya kata terakhir. Bahwa kesadaran manusia lebih besar daripada absurditas yang menjeratnya. Bahwa dalam perjalanan turun kembali ke lembah—perjalanan yang tanpa hasil, tanpa tepuk tangan, tanpa akhir—manusia bisa merayakan hidupnya. Inilah perlawanan paling sunyi, tapi juga yang paling dalam.

     Camus tidak menulis Mitos Sisifus untuk menjadi resep kebahagiaan. Buku itu lebih menyerupai pencarian yang jujur atas apa yang bisa kita lakukan ketika Tuhan telah mati, ketika nilai-nilai lama runtuh, dan ketika dunia tidak lagi menjawab pertanyaan-pertanyaan terdalam kita. Ia memulai dari pertanyaan yang sangat ekstrem: apakah hidup layak dijalani? Pertanyaan ini bukan retoris. Ia tahu bahwa setiap tahun, ribuan orang memilih untuk tidak lagi hidup. Bunuh diri, kata Camus, adalah satu-satunya persoalan filsafat yang sungguh-sungguh penting. Jika hidup memang absurd, jika tidak ada jawaban besar di ujung sana, jika penderitaan tidak dibalas dengan keadilan, untuk apa kita terus hidup?

     Namun di situlah letak keberanian Camus. Ia tidak menjawab dengan harapan, tidak pula dengan keputusasaan. Ia menolak melompat ke dalam iman, sebagaimana Kierkegaard. Ia juga menolak menarik diri ke dalam nihilisme total. Camus justru berhenti di tengah. Ia berdiri di antara jurang dan langit, dan berkata: mari kita lihat dunia apa adanya, dan tetap memilih untuk hidup. Mari kita tidak lari dari absurditas, tetapi memeluknya. Mari kita terima bahwa hidup tidak punya makna mutlak, dan justru karena itu, kita bebas untuk mengisinya. Di sinilah letak kebahagiaan yang ia maksud: bukan kebahagiaan karena sesuatu, tetapi kebahagiaan meskipun.

     Bahagia tanpa harapan bukan formula yang mudah dicerna. Kita terbiasa berpikir bahwa untuk bahagia, kita perlu harapan, impian, masa depan. Kita dididik untuk percaya bahwa hidup baru layak dijalani jika ada tujuan besar yang menanti. Tapi Camus menyodorkan kemungkinan lain. Ia menyodorkan gagasan bahwa mungkin, satu-satunya cara untuk benar-benar bebas adalah melepaskan harapan itu sendiri. Bukan dalam arti sinis, bukan menyerah, tapi justru agar kita bisa hadir sepenuhnya dalam hidup ini, tanpa syarat. Kita tidak lagi menjadikan masa depan sebagai alasan untuk menderita sekarang. Kita tidak lagi menunda kebebasan. Kita tidak lagi menunggu surga. Kita tinggal, sepenuhnya, di dunia ini.

     Itulah yang dilakukan Sisifus. Ia tidak bertanya mengapa. Ia tidak mencoba menjelaskan segalanya. Ia hanya mendorong batu itu. Dan di antara setiap langkah, di setiap tarikan napas, dalam tubuhnya yang lelah tapi hidup, ia menemukan semacam kemuliaan. Sebab hidup bukan soal hasil, tapi tentang bagaimana kita menjalaninya. Sisifus tidak tunduk kepada keputusasaan. Ia tidak membiarkan absurditas mengalahkan dirinya. Ia menjadi penguasa atas takdirnya sendiri, bukan karena ia bisa mengubahnya, tetapi karena ia mengubah cara memandangnya. Dan pada akhirnya, mungkin hanya itulah yang bisa kita lakukan. Kita tidak bisa memilih keadaan, tapi kita bisa memilih cara meresponsnya.

     Bagi Camus, ini bukan sekadar sikap pribadi. Ini adalah etika. Etika yang tidak dibangun di atas hukum mutlak, tetapi di atas keberanian eksistensial. Etika yang tidak menjanjikan pahala, tetapi keutuhan diri. Dalam dunia yang tak peduli, etika ini mengharuskan kita untuk tetap peduli. Dalam dunia yang absurd, etika ini menolak untuk menjadi absurd juga. Kita tidak perlu alasan kosmik untuk berbuat baik. Kita hanya perlu menyadari bahwa orang lain juga seperti kita: makhluk yang sadar akan ajalnya, yang tahu bahwa hidupnya tak akan kekal, yang mendorong batu mereka masing-masing. Dalam kesadaran akan absurditas bersama itulah, kita bisa menumbuhkan rasa solidaritas. Kita tahu betapa beratnya hidup, dan karena itu kita memilih untuk tidak menambah beban orang lain.

     Camus menyebut ini sebagai etika keanggunan. Sebuah cara hidup yang tidak mengutuk dunia, tapi juga tidak berkompromi dengannya. Kita tetap mencintai matahari, bahkan ketika ia akan tenggelam. Kita tetap mendengar tawa, meskipun kita tahu bahwa di luar sana orang-orang dibunuh. Kita tetap menulis puisi, sekalipun dunia hancur. Karena justru dengan itulah kita menolak menyerah. Justru dengan itulah kita menunjukkan bahwa absurditas bukan akhir dari segalanya. Ia hanya permulaan dari cara hidup yang lebih jujur, lebih merdeka, dan lebih manusiawi.

     Ketika Camus menyebut Sisifus bahagia, ia tidak sedang menggoda kita untuk ikut dalam tragedi. Ia sedang mengajarkan keberanian yang tidak histeris. Ia sedang menyampaikan bahwa makna tidak selalu datang dari luar. Kadang, makna lahir dari gerakan berulang yang kita pilih jalani dengan sadar. Dari pekerjaan yang tak berujung tapi dilakukan dengan kesetiaan. Dari kesunyian yang kita isi dengan perhatian. Dari luka yang tidak sembuh, tapi tetap kita rawat. Hidup bukanlah teka-teki yang harus dipecahkan, melainkan pengalaman yang harus dijalani. Dan Sisifus, dalam segala absurditasnya, adalah lambang dari manusia yang tidak menyerah untuk tetap menjadi manusia.

     Dalam kehidupan modern yang penuh distraksi dan pelarian, gagasan Camus terasa membebaskan sekaligus menantang. Kita hidup dalam budaya yang selalu mendorong kita untuk mencari makna di luar diri. Kita mengejar status, pengakuan, cinta yang sempurna, pekerjaan yang ideal. Kita dibombardir dengan pesan bahwa hidup akan lebih baik nanti, jika kita bekerja lebih keras, berpikir lebih positif, menjadi lebih sukses. Tapi Camus berkata: berhentilah. Lihatlah di sekelilingmu. Hidup ini tidak sempurna, dan tidak akan pernah sempurna. Tapi ia tetap hidup. Dan karena itu, ia layak dijalani.

     Ini bukan panggilan untuk puas, tapi untuk hadir. Bukan dorongan untuk pasrah, tapi untuk bertahan dengan kepala tegak. Camus tahu bahwa penderitaan tidak bisa dihapus. Tapi ia percaya bahwa kita bisa mengubah cara menghadapinya. Kita bisa menolak mengubah diri menjadi korban atau pelaku. Kita bisa tetap memilih kebebasan, bahkan dalam penjara. Kita bisa memilih untuk tersenyum, bahkan ketika batu itu tergelincir kembali ke bawah.

     Sisifus tersenyum bukan karena ia bodoh, tapi karena ia tahu bahwa para dewa tidak bisa menyentuh kesadarannya. Mereka bisa mengutuk tubuhnya, tapi tidak jiwanya. Dalam senyumnya terdapat seluruh kemerdekaan manusia. Sebuah pengakuan bahwa meskipun hidup tidak masuk akal, kita tetap bisa memilih untuk menjalani hidup itu dengan cara yang tidak kalah mulia. Mungkin di sana, justru di sana, kebahagiaan sejati itu muncul.

     Dalam dunia yang kehilangan banyak alasan untuk bahagia, Camus tidak menawarkan pengganti yang artifisial. Ia menawarkan keberanian untuk bahagia tanpa alasan. Dan mungkin, hanya mungkin, itu adalah bentuk kebahagiaan yang paling jujur. Bahagia bukan karena kita punya segala hal, tapi karena kita memilih untuk hidup, apa pun keadaannya. Karena kita tahu bahwa hidup ini bukan tentang hasil akhir, tapi tentang keteguhan di tengah ketidaktahuan. Karena kita tahu bahwa setiap tarikan napas adalah kemenangan kecil atas absurditas.

     Itulah mengapa Sisifus menjadi simbol manusia Camusian. Bukan pahlawan, bukan martir, bukan penyelamat. Hanya seorang manusia yang terus berjalan, terus bekerja, terus sadar. Dan dalam kesadaran itulah, ia merdeka. Dalam kesadaran itulah, ia bahagia. Bukan karena hidup mudah, tapi karena ia menolak untuk menyerah.(part 6 of 8)


Camus menghadirkan sesuatu yang lebih radikal: keberanian untuk berkata ya kepada hidup, bahkan ketika hidup sama sekali tidak menjanjikan apa pun.

Label: ,

Posting Komentar

...

[blogger][facebook]

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.