Keabadian yang Membunuh Makna

     Manusia selalu bermimpi tentang keabadian. Dari mitos kuno hingga laboratorium bioteknologi modern, kerinduan itu tak pernah padam: bagaimana caranya hidup selamanya, menunda kematian, menolak keterbatasan. Kita membayangkan keabadian sebagai puncak kemenangan: tidak ada lagi kehilangan, tidak ada lagi perpisahan, tidak ada lagi ketakutan. Namun, barangkali di sanalah justru ironi paling besar menanti—bahwa jika benar-benar abadi, hidup ini kehilangan maknanya.

     Makna lahir dari kefanaan. Kita menghargai sesuatu karena tahu ia bisa hilang. Kita mencintai seseorang karena sadar bahwa suatu hari akan berpisah. Kita menatap matahari terbenam dengan haru justru karena tahu bahwa ia tidak akan bertahan lama. Jika matahari terbenam itu abadi, ia hanya menjadi cahaya yang monoton.

     Paradoks ini menampar keras: semakin kita ingin melawan kefanaan, semakin kita merusak sumber makna itu sendiri. Keabadian bukanlah berkah murni, melainkan ancaman yang perlahan melarutkan segalanya menjadi hambar. Bayangkan hidup tanpa akhir—apa arti sebuah pelukan jika kita tahu kita punya sejuta tahun untuk memeluk lagi? Apa arti sebuah lagu jika ia berulang tanpa henti hingga semua nada kehilangan rasa?

     Absurdnya, manusia hidup dengan dua kerinduan yang saling meniadakan: kita ingin hidup selamanya, tapi justru karena hidup ini terbatas kita bisa merasakan keindahannya. Kita benci kematian, tapi tanpa kematian, hidup berhenti bernilai.

     Di alam liar, paradoks ini terasa begitu nyata. Seorang pendaki tahu betul: keindahan sebuah perjalanan ada pada kefanaan langkahnya. Malam di hutan hanya sakral karena ia tak abadi—api unggun padam, bintang-bintang bergeser, kabut pagi perlahan menghapus jejak. Jika semua itu berlangsung selamanya, perjalanan kehilangan arti. Kita mendaki bukan untuk menetap di puncak, tapi justru karena tahu kita harus turun kembali.

     Barangkali inilah alasan mengapa para penyair selalu bicara tentang “moment” yang singkat, bukan tentang “selamanya.” Karena yang singkat itu justru yang membakar hati. Dalam sebuah tatapan sekejap, kita bisa merasakan lebih banyak keindahan daripada dalam seribu tahun kebersamaan yang tak pernah berakhir.

     Namun, meski kita tahu paradoks ini, kita tetap merindukan keabadian. Jiwa manusia gelisah: bagaimana mungkin kita bisa mencintai sesuatu yang pasti akan hilang? Bagaimana mungkin kita menerima bahwa semua yang kita junjung tinggi, semua karya, semua ingatan, pada akhirnya akan lenyap ditelan waktu?

     Di sini kita menemukan absurditas yang tragis. Keabadian membunuh makna, tapi kefanaan melahirkan luka. Kita tak bisa hidup selamanya tanpa kehilangan rasa, tapi kita pun tak bisa menerima kehilangan tanpa hancur. Kita terjebak di antara dua ketidakmungkinan, dan dari situlah lahir air mata paling jujur.

     Mungkin itu sebabnya manusia menciptakan mitos, agama, dan seni. Semua itu adalah upaya licik untuk menipu waktu. Kita tahu tubuh akan hancur, tapi kita berharap ada jiwa yang bertahan. Kita tahu kata-kata akan lapuk, tapi kita menulis agar tetap ada yang tersisa. Kita tahu lagu akan berakhir, tapi kita menyanyikannya berulang agar gema terakhirnya menolak mati.

     Tentu, pada akhirnya semua itu pun mungkin akan hilang. Tetapi justru dalam keterbatasan itu, ada semacam kebijaksanaan yang pahit: bahwa makna bukan ditemukan dalam kekekalan, melainkan dalam keberanian untuk merangkul kefanaan.

     Albert Camus pernah berkata, absurditas bukanlah alasan untuk menyerah, melainkan alasan untuk hidup lebih intens. Jika segalanya akan berakhir, maka setiap detik justru menjadi lebih berharga. Jika cinta suatu hari akan hilang, maka pelukan hari ini adalah mukjizat. Jika hidup suatu hari akan runtuh, maka langkah kecil kita di tanah fana ini adalah perlawanan paling luhur terhadap ketiadaan.

     Keabadian sering kita anggap sebagai puncak keselamatan, tapi barangkali keselamatan justru ada di kefanaan. Sebab hanya yang fana bisa kita cintai sungguh-sungguh. Hanya yang terbatas bisa membuat kita menangis. Dan hanya dalam tangisan itu kita benar-benar hidup.

     Maka, mari kita biarkan keabadian tetap menjadi mimpi yang absurd. Kita tidak membutuhkannya. Kita hanya butuh keberanian untuk menerima bahwa segala sesuatu akan berlalu—dan justru di sanalah keindahannya.

     Seperti bunga yang mekar hanya sehari, ia lebih berharga daripada batu yang abadi. Seperti lagu yang berakhir, ia lebih indah daripada dengung tanpa henti. Seperti hidup yang singkat, ia lebih layak dirayakan daripada keabadian yang membeku.

     Keabadian mungkin hanya milik para dewa, jika memang ada. Tetapi manusia, dengan segala kefanaannya, justru menemukan makna yang tidak pernah bisa disentuh oleh keabadian. Kita tidak abadi, dan karena itu, kita hidup.

Label: ,

Posting Komentar

...

[blogger][facebook]

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.