Ada satu pemandangan yang kerap kita jumpai di kawasan karst: di satu sisi, lahan sawah yang hijau terbentang, tempat masyarakat menggantungkan hidup mereka dari tetes keringat dan irigasi sederhana; di sisi lain, pabrik semen berdiri megah dengan asap mengepul, menawarkan pekerjaan instan sekaligus merenggut kehidupan jangka panjang. Kontradiksi ini bukan sekadar benturan ruang, melainkan benturan visi tentang masa depan: apakah kita ingin hidup dari tanah yang berkelanjutan, atau dari batu yang habis sekali gali?
Bagi masyarakat desa karst, tanah tipis yang mereka kelola dengan tekun adalah warisan turun-temurun. Setiap petak sawah, ladang jagung, atau kebun singkong bukan hanya soal pangan, tetapi juga soal identitas. Hidup mereka melekat pada siklus alam yang ditentukan oleh air karst—air yang merembes perlahan, jernih, dan tak tergantikan. Namun bagi industri semen, karst hanyalah deposit batu kapur bernilai ekonomi, siap ditambang untuk menghidupi mesin pembangunan. Dua kepentingan yang sama-sama nyata, tetapi sering tak setara dalam meja perundingan.
Kisah konflik ini sudah berulang kali meletus di banyak tempat. Di Rembang, Jawa Tengah, perlawanan petani perempuan yang menanam kaki di kubangan semen menjadi simbol penolakan terhadap dominasi industri. Di Pati, Gunung Kendeng menjadi arena tarik-menarik antara janji lapangan kerja dan keresahan ekologi. Di Sulawesi Selatan, karst Maros-Pangkep yang masuk kawasan Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung (Babul) pun tak luput dari tekanan eksploitasi. Karst yang mestinya menjadi kawasan lindung justru sering dipandang sebagai “tambang potensial” yang menunggu giliran untuk dieksploitasi.
Ironisnya, argumen ekonomi sering dipakai sebagai kartu truf untuk membenarkan tambang: “lapangan kerja”, “pembangunan daerah”, “pajak daerah meningkat”. Namun, kalau ditelusuri, keuntungan yang diperoleh masyarakat sekitar sering kali tidak sebanding dengan kerusakan yang ditanggung. Pekerjaan di pabrik memang tersedia, tapi jumlahnya terbatas, sementara dampak lingkungan—air yang hilang, debu yang menyelimuti, lahan yang tergerus—ditanggung bersama oleh ribuan orang yang sebelumnya bisa hidup tanpa perlu menjual tanahnya.
Di titik ini, kita perlu bertanya ulang: apakah benar tambang adalah satu-satunya pilihan ekonomi di kawasan karst? Fakta menunjukkan, karst justru menyimpan potensi ekonomi alternatif yang kerap diabaikan. Pertama, ekowisata. Taman Nasional Babul di Sulawesi Selatan sudah lama dikenal sebagai “kerajaan kupu-kupu” dan surga speleologi, menarik wisatawan lokal maupun mancanegara. Di Gunung Sewu, Yogyakarta, jejak UNESCO Global Geopark membuktikan bahwa keindahan dan nilai ilmiah karst bisa menjadi magnet global. Wisata gua, panjat tebing, hingga wisata budaya desa karst telah membuka jalan bagi model ekonomi yang tidak merusak alam.
Kedua, pertanian berbasis kearifan lokal. Meski tanah karst tipis, masyarakat telah lama beradaptasi dengan sistem agroforestri, menanam palawija, buah-buahan, hingga memelihara ternak dengan memanfaatkan gua sebagai kandang alami. Diversifikasi ini terbukti tangguh, terutama ketika akses air dikelola dengan bijak. Ketiga, ekonomi berbasis riset dan pendidikan. Karst adalah laboratorium alam yang tak ada duanya. Universitas, lembaga penelitian, bahkan sekolah-sekolah bisa mengembangkan pusat studi, wisata edukasi, hingga program konservasi yang memberi pemasukan sekaligus menjaga ekosistem.
Memang, semua alternatif ini tidak menjanjikan keuntungan secepat tambang semen. Tetapi justru di situlah kearifan berpikir diperlukan. Ekonomi bukan hanya tentang angka jangka pendek, melainkan tentang keberlanjutan. Apalah artinya pendapatan daerah yang naik jika air hilang, sawah kering, dan masyarakat terpaksa migrasi karena tidak bisa lagi bercocok tanam?
Di sini, refleksi moral menjadi penting. Kita sering terjebak pada logika pembangunan yang serba instan, seakan-akan jalan pintas adalah solusi. Padahal, keberlanjutan menuntut kesabaran, pengelolaan kolektif, dan keberanian menolak godaan keuntungan cepat. Pembangunan sejati seharusnya melahirkan kesejahteraan yang merata, bukan mengorbankan banyak demi segelintir.
Karst adalah ruang yang rapuh, sekaligus ruang yang memberi kehidupan. Menjaganya bukan berarti menutup diri dari pembangunan, melainkan mengarahkan pembangunan ke jalur yang selaras dengan daya dukung alam. Jalan tengahnya jelas: mengembangkan ekowisata, agroforestri, dan riset sebagai sumber ekonomi alternatif, sambil memperketat regulasi agar eksploitasi industri tidak merampas hak hidup masyarakat.
Jika tambang adalah jalan buntu, maka jalan tengah inilah yang membuka kemungkinan baru: karst tetap lestari, masyarakat tetap hidup, dan pembangunan tetap berjalan. Persoalannya bukan apakah karst bisa ditambang, melainkan apakah kita mau belajar dari sejarah panjang kerusakan yang sudah terjadi.
Pada akhirnya, pilihan kita terhadap karst mencerminkan pilihan kita terhadap masa depan bangsa. Apakah kita hanya ingin membangun gedung-gedung dari semen, atau kita juga ingin menjaga tanah yang memberi kita makanan, air, dan identitas? Pertanyaan itu menuntut keberanian menjawab dengan jujur, karena tanpa keberanian, kita hanya akan jadi saksi dari kehilangan yang kita ciptakan sendiri.
Daftar Pustaka
- Adji, T. N., & Haryono, E. (2015). Water balance in the Gunung Sewu karst area and its significance for water resource management. Environmental Earth Sciences, 74(12), 8293–8305. https://doi.org/10.1007/s12665-015-4735-8
- Sukamto, R. (2016). Konflik tambang semen dan masyarakat Kendeng. Jurnal Masyarakat dan Kebudayaan, 18(2), 145–162.
- Widiyanto, J., & Nasrullah, H. (2020). Potensi ekowisata karst di Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung. Jurnal Pariwisata Berkelanjutan, 5(1), 25–39.
- Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). (2019). Karst sebagai ekosistem penting dan rawan di Indonesia. Jakarta: LIPI Press.
- UNESCO. (2015). Phong Nha-Ke Bang National Park (Vietnam). World Heritage Centre. https://whc.unesco.org/en/list/95
Posting Komentar
...