Pangan adalah fondasi kedaulatan sebuah bangsa. Namun, di wilayah karst, pangan tidak pernah hadir dengan cara yang sederhana. Tanahnya tipis, berbatu, cepat kering, sehingga bercocok tanam seperti di dataran subur menjadi sebuah tantangan. Justru di situlah nilai penting kawasan karst: ia menuntut manusia untuk menemukan strategi pangan yang cerdas, yang tidak hanya bergantung pada kesuburan tanah, tetapi juga pada kreativitas, pengetahuan lokal, dan kearifan ekologis (Adji, 2014).
Di kawasan Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung, bentang karst tidak hanya menyimpan gua purba berpenghuni 55.000 tahun lalu (Simanjuntak, 2019), tetapi juga ruang hidup masyarakat yang bergenerasi menggantungkan diri pada sawah tadah hujan, kebun kecil, dan sistem agroforestri. Tanah tipis di lereng karst memang sulit diolah, tetapi masyarakat setempat telah lama mengembangkan pola tanam campuran—padi ladang, jagung, ubi, dan pohon buah—yang mampu bertahan di musim panjang tanpa hujan. Pengetahuan mereka tentang mata air, pola aliran bawah tanah, dan waktu menanam adalah warisan yang sama berharganya dengan benih itu sendiri (Widyastuti et al., 2020).
Gunung Sewu di Jawa memberikan gambaran serupa. Dengan tanah dangkal di antara bukit-bukit kapur, masyarakat mengembangkan lumbung padi kolektif, sumur gali dalam, dan kolam tadah hujan untuk memastikan tidak ada musim paceklik yang benar-benar melumpuhkan mereka (Santosa, 2016). Inovasi sederhana itu adalah cermin kedaulatan pangan yang tumbuh dari keterbatasan. Bukan melimpahnya tanah subur yang menjadi modal utama, melainkan kemampuan kolektif untuk menyiasati keterbatasan.
Jika kita menengok keluar negeri, kawasan karst di Vietnam Utara (Ha Long Bay dan Bac Son) menunjukkan pola serupa: masyarakat memadukan sistem sawah kecil dengan kebun karst, mengandalkan gua-gua sebagai penyimpanan air dan pangan. Di Tiongkok Selatan, masyarakat Dong bahkan menyesuaikan varietas padi dengan kondisi tanah dangkal dan irigasi terbatas, menjadikan pangan sebagai hasil adaptasi ekologis, bukan hanya hasil intensifikasi lahan (Yuan, 1991).
Namun, ancaman modern membuat kedaulatan pangan karst rapuh. Di Maros dan Pangkep, ekspansi tambang semen sering mengorbankan hutan karst, padahal hutan itulah yang menjaga resapan air dan mendukung sawah tadah hujan. Ketika hutan hilang, mata air mengecil, sawah kekeringan, dan masyarakat justru terdorong menjadi buruh pabrik yang mengolah tanah leluhurnya menjadi semen (Rahmadi, 2018). Ironi ini jelas: pangan sebagai dasar kedaulatan digantikan oleh upah sesaat, yang justru memperlemah kemampuan masyarakat untuk berdiri di atas kaki sendiri.
Padahal, jika ditimbang secara ekonomi-ekologi, kedaulatan pangan yang lahir dari sistem karst jauh lebih berkelanjutan. Satu mata air di kawasan Maros bisa menghidupi puluhan hektar sawah dan ribuan penduduk, dengan nilai pangan yang terus diperbarui dari musim ke musim. Bandingkan dengan keuntungan tambang yang berumur pendek: setelah cadangan habis, masyarakat kehilangan tanah, air, dan sekaligus kedaulatan pangannya (Widyastuti et al., 2020).
Karst mengajarkan bahwa kedaulatan pangan bukan hanya soal produksi besar-besaran, melainkan soal keberlanjutan dan keberdayaan masyarakat. Ia menuntut kita menghargai pangan yang lahir dari tanah tipis, air yang disimpan gua, dan kerja kolektif yang memastikan semua orang punya akses. Itulah sebabnya kedaulatan pangan di kawasan karst tidak bisa dipahami hanya dengan logika agribisnis, tetapi harus dilihat sebagai cermin kebudayaan dan politik ekologis.
Jika bangsa ini ingin mandiri, maka karst harus dilihat sebagai ruang strategis pangan. Bukan pinggiran, bukan lahan marginal, melainkan ruang di mana masyarakat membuktikan bahwa keterbatasan justru bisa melahirkan ketahanan yang tangguh. Kedaulatan pangan di karst adalah bukti bahwa bangsa yang cerdas bukan yang memiliki tanah subur tak terbatas, tetapi yang bisa merawat tanah keras dan tetap hidup dari sana.
Daftar Pustaka
- Adji, T. N. (2014). Hidrologi karst Gunung Sewu: Dinamika dan keberlanjutan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
- Rahmadi, A. (2018). Konservasi kawasan karst sebagai sumber air dan ekosistem unik. Jurnal Lingkungan Hidup Indonesia, 5(2), 45–57.
- Santosa, L. W. (2016). Strategi masyarakat karst Gunung Sewu dalam menghadapi keterbatasan lahan. Jurnal Geografi Lingkungan, 18(1), 35–50.
- Simanjuntak, T. (2019). Human occupation in Maros-Pangkep karst caves: New findings and interpretations. Arkeologi Indonesia, 40(1), 15–28.
- Widyastuti, D., Nugroho, S., & Priyono, A. (2020). Potensi akuifer karst di kawasan Maros-Pangkep sebagai sumber daya air berkelanjutan. Jurnal Geologi dan Sumberdaya Mineral, 21(3), 145–158.
- Yuan, D. (1991). Karst of China. Beijing: Geological Publishing House.
Posting Komentar
...