Karst sebagai Peradaban Air

     Air selalu menjadi cerita pertama bagi manusia. Kita bisa bertahan tanpa api, tanpa logam, tanpa listrik, tetapi tidak mungkin tanpa air. Namun, dalam bentang karst, air bukanlah sesuatu yang mudah ditemukan. Ia menyelinap, menghilang dari permukaan, menembus retakan batu kapur, mengalir di dunia bawah tanah yang gelap, lalu muncul kembali di mata air yang kadang berjarak puluhan kilometer dari titik hujan pertama jatuh. Itulah sebabnya karst sering disebut sebagai peradaban air, bukan sekadar bentang alam. Ia menuntut manusia untuk belajar tentang sabar, cerdik, dan jeli membaca tanda-tanda yang tak tampak (Widyastuti et al., 2020).

     Di permukaan karst, hujan tidak menetap lama. Air tidak menggenang seperti di tanah liat atau rawa. Begitu menyentuh bumi kapur yang berpori, ia lenyap ke perut bumi, masuk ke dalam jaringan gua dan sungai bawah tanah. Dari luar, lanskap karst sering tampak kering, berbatu, bahkan gersang. Orang yang tidak mengenalnya mungkin menyangka tanah semacam itu tidak ramah kehidupan. Padahal, di balik wajah kerasnya, karst menyimpan cadangan air raksasa, reservoir alami yang bisa menopang kehidupan ribuan tahun (Rahmadi, 2018).

     Karena itu, bagi masyarakat yang hidup di wilayah karst, air adalah inti dari kebudayaan. Di kawasan Gunung Sewu, misalnya, masyarakat membangun sumur gali yang dalam, membuat kolam tadah hujan, atau menggali lorong-lorong bawah tanah untuk mencapai sungai yang tersembunyi (Adji, 2014). Di Bantimurung-Bulusaraung, gua-gua purba yang berusia lebih dari 50.000 tahun (Simanjuntak, 2019) tidak hanya menyimpan jejak manusia, tetapi juga sistem aliran air yang sampai kini menjadi penopang ekosistem taman nasional. Setiap tetes air yang terkumpul bukan hanya urusan kebutuhan rumah tangga, melainkan juga soal bertahan hidup di musim kering yang panjang. Di Tiongkok selatan, masyarakat Zhuang dan Dong bahkan punya ritual syukur untuk mata air karst yang mereka anggap sebagai anugerah leluhur (Yuan, 1991). Sementara di Eropa Timur, kota-kota tua berdiri di atas sistem akuifer karst yang kemudian berkembang menjadi pusat perdagangan karena jaminan suplai air bersih (Ford & Williams, 2007).

     Peradaban air di karst selalu dibangun di atas pengetahuan ekologis yang rumit. Tidak ada masyarakat yang bisa hidup di karst tanpa memahami cara kerja air. Mereka belajar mengenali gua mana yang menyimpan sungai, bukit mana yang menyimpan mata air, dan kapan waktu yang tepat untuk menampung air hujan. Pengetahuan itu diwariskan turun-temurun, seringkali dalam bentuk cerita rakyat, mitos, atau larangan adat. Larangan menebang pohon di sekitar mulut gua, misalnya, bukan semata-mata kepercayaan mistis, melainkan cara untuk melindungi zona resapan air agar mata air tetap mengalir (Suryadi, 2015).

     Namun, zaman modern membawa tantangan baru. Karst semakin sering dilihat hanya sebagai tambang batu gamping, bahan baku semen, atau lahan marginal yang bisa diubah dengan teknologi. Ketika tambang dibuka, hutan digunduli, atau gua-gua rusak, maka peradaban air yang rapuh itu goyah. Air tidak lagi meresap dengan baik, mata air mengering, dan masyarakat di sekitarnya menghadapi krisis yang sulit dipulihkan (Rahmadi, 2018). Kerusakan karst bukan hanya merusak bentang alam, tetapi merusak sejarah panjang pengetahuan manusia tentang cara hidup dengan air yang tersembunyi.

     Ironisnya, banyak kebijakan pembangunan masih memandang karst sebagai ruang kosong. Padahal, jika dihitung secara ekonomis, air yang disimpan di dalam sistem karst nilainya jauh lebih tinggi daripada hasil tambang sesaat. Sebuah mata air karst bisa menopang ribuan hektar sawah, menyediakan air minum bagi puluhan ribu orang, dan tetap mengalir ratusan tahun jika dijaga dengan benar (Widyastuti et al., 2020). Bandingkan dengan keuntungan pabrik semen yang hanya bertahan beberapa dekade, setelah itu meninggalkan lubang besar dan wilayah yang kehilangan daya dukung ekologisnya.

     Maka, gagasan karst sebagai peradaban air bukan sekadar romantisme ekologis. Ia adalah peringatan sekaligus tawaran. Peringatan bahwa hidup di karst berarti belajar kesabaran dan keberlanjutan, karena air tidak tersedia dengan cara mudah. Dan tawaran bahwa jika kita mau mengelola pengetahuan lokal, teknologi modern, dan kebijakan yang tepat, maka karst bisa menjadi model tata kelola air yang lebih cerdas daripada sistem buatan manusia. Bayangkan, jutaan tahun geologi telah membangun “mesin penyaring air” yang bekerja gratis, alami, dan berkesinambungan. Tugas kita hanya satu: jangan merusaknya.

     Air di karst mengajarkan kita sesuatu yang lebih luas tentang peradaban. Bahwa ketersediaan sumber daya bukan sekadar soal volume, melainkan soal distribusi, kesabaran, dan cara kita menaruh hormat pada sesuatu yang tidak kasatmata. Ia juga mengingatkan bahwa kehidupan tidak selalu terletak di permukaan yang tampak subur, tetapi sering tersembunyi di balik lapisan yang keras dan kering. Barangkali, pelajaran dari karst itulah yang paling penting: bahwa hidup selalu menuntut kita untuk membaca yang tak terlihat, dan menjaga apa yang pelan-pelan menyusun denyut peradaban.


Daftar Pustaka

  1. Adji, T. N. (2014). Hidrologi karst Gunung Sewu: Dinamika dan keberlanjutan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
  2. Ford, D., & Williams, P. (2007). Karst hydrogeology and geomorphology. Chichester: John Wiley & Sons.
  3. Rahmadi, A. (2018). Konservasi kawasan karst sebagai sumber air dan ekosistem unik. Jurnal Lingkungan Hidup Indonesia, 5(2), 45–57.
  4. Simanjuntak, T. (2019). Human occupation in Maros-Pangkep karst caves: New findings and interpretations. Arkeologi Indonesia, 40(1), 15–28.
  5. Suryadi, B. (2015). Pengetahuan lokal masyarakat karst dalam pengelolaan sumber daya air. Jurnal Antropologi Indonesia, 36(2), 120–135.
  6. Widyastuti, D., Nugroho, S., & Priyono, A. (2020). Potensi akuifer karst di kawasan Maros-Pangkep sebagai sumber daya air berkelanjutan. Jurnal Geologi dan Sumberdaya Mineral, 21(3), 145–158.
  7. Yuan, D. (1991). Karst of China. Beijing: Geological Publishing House.

Dalam bentang karst, air bukanlah sesuatu yang mudah ditemukan. Ia menyelinap, menghilang dari permukaan, menembus retakan batu kapur, mengalir di dun

Posting Komentar

...

[blogger][facebook]

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.