Indonesia sering digambarkan sebagai tanah surga. Lagu Koes Plus menyanyikannya dengan sederhana: tongkat kayu ditancapkan bisa jadi tanaman. Imaji ini begitu kuat, diwariskan lintas generasi, seolah-olah Tuhan menurunkan anugerah paling lengkap justru di garis khatulistiwa. Tetapi bila kita lihat lebih jernih, narasi itu lebih sering menjadi candu daripada kompas. Kita lebih sibuk merayakan mitos ketimbang membangun sistem.
Narasi tentang “tanah surga” memang menenangkan. Ia memberi kebanggaan instan, bahkan semacam ilusi keabadian. Kita diajak percaya bahwa betapa pun kacaunya politik dan ekonominya, bumi Nusantara akan selalu bisa memberi makan. Bahwa nelayan bisa selalu pulang dengan perahu penuh ikan, petani bisa selalu panen tanpa gagal, dan rakyat bisa hidup makmur hanya dengan memetik apa yang tumbuh di halaman. Padahal, kenyataan tidak sesederhana itu. Nelayan kian terjepit oleh industrialisasi laut, petani bergulat dengan harga pupuk dan impor pangan, dan rakyat sering kali lebih sibuk mencari kerja ke luar negeri.
Di sinilah paradoks itu terasa. Indonesia lebih piawai menciptakan narasi ketimbang menata sistem. Kita pandai berorasi, melahirkan slogan, bahkan menuliskan puisi politik. Dari “gemah ripah loh jinawi” hingga “Indonesia Emas 2045”, kita bergelimang kata-kata indah. Namun, ketika tiba waktunya menyusun regulasi pajak yang adil, menata distribusi tanah, atau membangun sekolah berkualitas di pelosok, energi itu mendadak menguap. Sistem menuntut konsistensi, kerja panjang, dan disiplin—sesuatu yang sering kali kita abaikan.
Narasi yang terus diulang tanpa basis sistem akhirnya berubah menjadi April Mop nasional. Kita percaya sedang tinggal di surga, padahal masih berjuang membeli beras. Kita percaya sedang menuju negara maju, padahal masih sibuk mengurus kebocoran anggaran. Kita percaya demokrasi kita sehat, padahal rakyatnya masih terjerat politik uang. Narasi besar menjadi semacam penutup mata, membuat kita merasa aman di tengah ketidakadilan struktural.
Mengapa kita begitu nyaman dengan narasi? Mungkin karena ia lebih murah daripada sistem. Narasi tidak butuh birokrasi rapi, tidak butuh reformasi hukum, tidak butuh keberanian melawan oligarki. Ia hanya butuh mikrofon dan panggung. Ia bisa digoreng di media, diviralkan di media sosial, dan diwariskan dalam bentuk lagu-lagu nostalgia. Sistem, sebaliknya, menuntut keseriusan yang melelahkan. Ia butuh generasi yang berani menolak jalan pintas, berani menantang kenyamanan, dan berani menanggung risiko.
Ada bangsa-bangsa yang berhasil menyeimbangkan narasi dan sistem. Jepang membangun mitos tentang bangsa pekerja keras, lalu mewujudkannya dengan birokrasi yang tertib. Jerman merayakan narasi solidaritas pasca-perang, lalu mengikatnya dengan sistem sosial-demokrasi yang konkret. Indonesia, sebaliknya, sering berhenti di level mitos. Kita merayakan “gotong royong” dalam pidato, tetapi praktiknya lebih sering berbentuk patronase: bantuan turun bukan karena sistem, tapi karena kedekatan politik.
Apakah narasi selalu buruk? Tidak juga. Ia bisa menjadi energi. Lagu Koes Plus memang berlebihan, tetapi juga memberi semangat generasi yang percaya diri melangkah. Masalahnya, narasi tanpa sistem hanyalah mimpi yang menunda kenyataan. Surga di katulistiwa bukanlah pemberian otomatis; ia harus diorganisir, dikelola, dijaga dari kerakusan segelintir orang. Kalau tidak, surga itu bisa berubah menjadi ironi: tanah kaya raya dengan rakyat yang terus merasa miskin.
Mungkin saatnya kita belajar memandang narasi sebagai peta, bukan sebagai tujuan. Narasi boleh ada, bahkan harus ada, untuk memberi arah. Tetapi peta tanpa jalan hanyalah gambar. Jalan itulah sistem: regulasi yang jelas, lembaga yang kuat, distribusi yang adil. Selama kita hanya puas dengan bait lagu dan slogan, kita akan terus terjebak dalam April Mop nasional—tertawa bersama di atas panggung, lalu kembali resah di pasar dan sawah.
Indonesia memang tanah yang subur, kaya sumber daya, penuh peluang. Tetapi ia hanya akan menjadi “surga” jika kita berani mengubah narasi menjadi sistem. Dan itu, sayangnya, pekerjaan yang jauh lebih berat daripada sekadar menancapkan tongkat kayu.

Posting Komentar
...