Masa depan ekonomi-politik Indonesia bisa dibayangkan seperti sebuah persimpangan jalan dengan tiga cabang. Tidak ada yang lurus mulus—semuanya penuh kerikil, belokan tajam, bahkan jebakan. Namun, dari titik sekarang, kita masih bisa memetakan arah ke mana kendaraan bangsa ini mungkin melaju. Ada skenario optimis, realistis, dan pesimis. Masing-masing bukan ramalan mutlak, melainkan bayangan tentang bagaimana kombinasi kapitalisme dan sosialisme akan dijalankan di negeri ini.
Skenario Optimis: Kapitalisme Sehat + Sosialisme Cerdas
Dalam skenario terbaik, Indonesia berhasil menyehatkan mesin kapitalismenya. Oligarki dibatasi, kompetisi pasar benar-benar terbuka, inovasi tumbuh, dan produktivitas meningkat. Pemerintah berani menerapkan regulasi antimonopoli, mendorong industri teknologi lokal, serta memperbaiki birokrasi agar ramah pada pelaku usaha kecil dan menengah. Kapitalisme tidak lagi identik dengan rente, melainkan dengan kerja keras, inovasi, dan meritokrasi.
Di sisi lain, sosialisme dijalankan secara cerdas. Alih-alih hanya membagi bansos tunai menjelang pemilu, negara membangun jaring pengaman jangka panjang: pendidikan gratis berkualitas, layanan kesehatan universal, sistem pensiun yang layak, dan infrastruktur publik yang bisa diakses semua lapisan masyarakat. Pajak progresif ditegakkan, kebocoran subsidi ditekan, dan hasil pembangunan benar-benar kembali ke rakyat. Dengan begitu, pertumbuhan ekonomi 6–7% tidak hanya memperkaya segelintir orang, tapi juga memperkuat daya beli mayoritas rakyat.
Jika jalur ini berhasil ditempuh, Indonesia bisa keluar dari jebakan kelas menengah. Kita tidak hanya menjadi pasar besar, tetapi juga produsen bernilai tinggi. Kesenjangan mengecil, kelas menengah membesar, dan stabilitas politik terjaga tanpa harus bergantung pada politik uang. Singkatnya, kita bisa menjadi versi tropis dari Eropa atau Skandinavia—dengan segala adaptasi lokal yang diperlukan.
Skenario Realistis: Status Quo
Lebih mungkin terjadi adalah skenario realistis: Indonesia tetap berada di jalur sekarang. Kapitalisme oligarkis tetap dominan, meski sesekali ada pembenahan kosmetik untuk menarik investor asing. Ekonomi tumbuh stabil di kisaran 5%, cukup untuk menjaga optimisme, tapi tidak cukup untuk melompat ke level negara maju.
Di sisi sosialisme, bansos tetap jadi senjata politik. Setiap pemilu, janji bantuan tunai dan subsidi terus diulang. Pemerataan struktural tidak banyak bergerak: pajak progresif masih lemah, kualitas pendidikan tidak merata, dan layanan kesehatan bergantung pada tambal-sulam anggaran. Namun, karena pertumbuhan ekonomi masih ada dan rakyat masih bisa bertahan, status quo ini bisa berlangsung cukup lama.
Indonesia dalam skenario ini akan menjadi negara kelas menengah permanen: cukup stabil untuk tidak runtuh, cukup makmur untuk menenangkan rakyat, tapi tidak pernah benar-benar melesat ke liga atas. Kita akan terus merayakan narasi besar tentang “bonus demografi” atau “Indonesia Emas 2045”, meski realitas di lapangan jauh lebih biasa.
Skenario Pesimis: Kapitalisme Rente + Sosialisme Kosmetik
Skenario paling buruk adalah ketika mesin kapitalisme semakin dikuasai rente. Oligarki semakin kuat, kartel mengendalikan harga kebutuhan pokok, dan birokrasi menjadi alat tawar-menawar politik. Kapitalisme dalam bentuk ini tidak lagi melahirkan inovasi atau produktivitas, melainkan hanya memindahkan kekayaan dari rakyat ke segelintir elit.
Di sisi lain, sosialisme makin terjebak dalam kosmetik. Bansos bukan sekadar alat politik, tapi juga menjadi candu yang membuat rakyat pasif. Alih-alih memperkuat kapasitas rakyat untuk mandiri, bantuan tunai malah dijadikan cara untuk meredam ketidakpuasan. Negara tampak peduli di permukaan, tetapi sesungguhnya hanya membeli waktu.
Konsekuensinya, kesenjangan makin melebar, frustrasi sosial meningkat, dan potensi instabilitas politik makin besar. Pertumbuhan ekonomi bisa tetap ada, tapi rapuh dan tidak berkelanjutan. Krisis global atau gejolak politik dalam negeri bisa dengan mudah mengguncang fondasi yang sudah keropos.
Persimpangan Jalan
Ketiga skenario ini tentu saja tidak berjalan di ruang hampa. Dunia terus berubah: krisis iklim, perang dagang, disrupsi teknologi, dan gejolak geopolitik akan memengaruhi arah kita. Namun, inti masalah tetap sama: apakah Indonesia berani menyehatkan kapitalisme dan mencerdaskan sosialismenya, atau terus bertahan di status quo, atau bahkan tergelincir ke skenario pesimis?
Yang jelas, jalan menuju skenario optimis bukan perkara sulap. Ia membutuhkan keberanian politik yang jarang kita lihat di republik ini. Jalan realistis lebih nyaman, karena menjaga stabilitas tanpa mengubah banyak hal. Jalan pesimis bisa terjadi jika elite semakin rakus dan rakyat semakin kehilangan daya tawar.
Pada akhirnya, masa depan Indonesia bukan ditentukan oleh doa atau slogan “Indonesia Emas 2045”, tetapi oleh pilihan politik yang diambil sekarang. Kita memang negeri kaya sumber daya, tetapi tanpa keberanian mengatur ulang mesin kapitalisme dan sosialisme, kita hanya akan terus mengulang lagu lama: “surga di katulistiwa” yang indah didengar, tapi pahit dijalani. (part 4 of 5)
Posting Komentar
...