Membongkar Imajinasi tentang Karst

Dari Batu Kapur ke Taman Nasional

     Bagi banyak orang, istilah “gunung kapur” identik dengan sesuatu yang remeh. Gunung yang tandus, berdebu, gundul, lalu diangkut truk-truk besar untuk dijadikan semen. Imajinasi publik tentang karst sering berhenti pada gambaran muram: wilayah miskin, penuh lubang tambang, dan tidak layak huni. Padahal, di balik label sederhana itu tersembunyi salah satu ekosistem paling rumit sekaligus paling vital bagi kehidupan manusia. Menganggap karst hanya sebagai “gunung kapur” sama artinya dengan menyebut perpustakaan nasional hanya sebagai “gedung penuh kertas”.

     Di Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung (Babul), misalnya, imajinasi publik sering terpaku pada kupu-kupu. Julukan “Kerajaan Kupu-kupu” memang melekat sejak lama, dan memang benar: Alfred Russel Wallace yang singgah pada abad ke-19 terpesona oleh keragaman spesiesnya. Namun Babul lebih dari sekadar panggung serangga yang indah. Ia adalah lanskap karst tropis raksasa yang menyimpan ratusan gua, sungai bawah tanah, serta arsip kehidupan manusia berusia puluhan ribu tahun. Di Leang Bulu Sipong, ditemukan lukisan gua berusia sekitar 44.000 tahun, salah satu seni figuratif tertua di dunia (Aubert et al., 2019). Fakta ini saja cukup untuk mengguncang imajinasi: bahwa “gunung kapur” ternyata menyimpan sejarah seni manusia.

     Di banyak daerah Indonesia lain, stigma serupa masih berlangsung. Gunung Sewu di selatan Jawa disebut “tanah miskin”, karena sulit bercocok tanam di permukaan berbatu. Tak heran jika migrasi besar-besaran menjadi pola bertahan hidup warga sejak lama. Namun di balik wajah keras itu, karst menyimpan reservoir air raksasa yang kini dipahami sebagai kunci ketahanan pangan regional (Adji & Haryono, 2015). Begitu pula di Babul: air yang menyusup ke dalam batu kapur membentuk jaringan akuifer yang menjadi sumber utama bagi ribuan hektar sawah di dataran rendah sekitarnya. Apa yang dulu dianggap kering kerontang ternyata adalah “bank air” raksasa yang nyaris tak ternilai.

     Ironisnya, narasi publik jarang melihat karst dengan kaca mata semacam itu. Karst lebih sering diposisikan sebagai beban. Bagi pemerintah daerah, ia dianggap wilayah yang sulit dikembangkan. Bagi investor, ia hanya dihitung sebagai cadangan batu gamping untuk industri semen. Bagi sebagian masyarakat, ia dipersepsi sebagai tanah keras yang bikin repot. Imajinasi kolektif ini yang berbahaya, sebab begitu narasi “gunung kapur” mendominasi, maka ekspolitasi dianggap wajar. Tak ada yang merasa kehilangan bila “hanya” sebuah bukit kapur yang diratakan.

     Padahal, perubahan status karst menjadi taman nasional mestinya membongkar imajinasi itu. Penetapan Babul sebagai taman nasional pada 2004 bukanlah sekadar administrasi birokrasi. Itu adalah pengakuan bahwa karst adalah ruang hidup yang memiliki nilai ekologis, kultural, dan historis. Status taman nasional menegaskan bahwa karst adalah warisan yang harus dijaga, bukan hanya ditambang. Namun, apakah perubahan status otomatis mengubah cara pandang masyarakat? Belum tentu. Banyak warga di sekitar masih merasa karst sebagai beban, sebab janji ekonomi dari pariwisata atau konservasi sering tidak segera terasa.

     Di sinilah pentingnya membangun imajinasi baru. Imajinasi bukan soal khayal kosong, tetapi kerangka berpikir yang menentukan cara kita bertindak. Bila karst dipandang sebagai “batu mati”, maka kebijakan akan mengarah ke tambang. Bila ia dipahami sebagai “peradaban air”, maka arah pembangunan berubah: infrastruktur air, pertanian, pariwisata berkelanjutan, riset ilmiah. Perubahan imajinasi inilah yang bisa menggeser karst dari posisi marginal menjadi pusat kebanggaan nasional.

     Kita bisa belajar dari Vietnam, yang berhasil mengangkat Phong Nha-Ke Bang dari sekadar “gunung kapur” menjadi situs warisan dunia UNESCO. Imajinasi kolektif di sana bergeser: gua bukan lagi lubang gelap tak berguna, melainkan aset budaya dan ekowisata kelas dunia. Begitu pula di Slovenia, kawasan karst klasik yang bahkan melahirkan istilah “karst” itu sendiri kini menjadi simbol identitas nasional, hingga dijadikan obyek wisata sains dan pendidikan. Indonesia, dengan 15 juta hektar karst dari Sumater hingga Papua, memiliki modal yang tak kalah besar. Bedanya hanya soal narasi: apakah kita masih terjebak di kata “gunung kapur”, atau berani melihat karst sebagai warisan global.

     Mengubah imajinasi bukan pekerjaan sekejap. Ia perlu ditopang oleh riset ilmiah yang komunikatif, pendidikan publik yang membumi, serta kebijakan yang konsisten. Misalnya, publikasi hasil penelitian tentang lukisan gua purba Babul bisa disajikan dalam bentuk populer, bukan hanya jurnal akademik. Atau, pengetahuan lokal masyarakat tentang mata air bisa diangkat sebagai bagian dari kearifan ekologi, bukan dianggap tradisi pinggiran. Dengan cara itu, karst tidak lagi diposisikan di ruang bawah, tetapi dinaikkan ke panggung utama kesadaran bangsa.

     Pada akhirnya, membongkar imajinasi tentang karst berarti mengubah relasi kita dengan batu itu sendiri. Dari benda keras yang tak bernilai, menjadi ruang hidup yang menopang air, pangan, seni, hingga identitas manusia. Dari beban pembangunan, menjadi kebanggaan nasional. Jika Babul bisa dipandang bukan sekadar “gunung kapur”, melainkan taman nasional yang menyimpan jejak peradaban, maka karst tidak lagi sunyi dalam kesalahpahaman, melainkan berbicara lantang sebagai saksi sejarah dan guru kehidupan.


Daftar Pustaka

  1. Adji, T. N., & Haryono, E. (2015). Water balance in the Gunung Sewu karst area and its significance for water resource management. Environmental Earth Sciences, 74(12), 8293–8305. https://doi.org/10.1007/s12665-015-4735-8

  2. Aubert, M., Setiawan, P., Brumm, A., et al. (2019). Earliest hunting scene in prehistoric art. Nature, 576, 442–445. https://doi.org/10.1038/s41586-019-1806-y

  3. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). (2004). Penetapan Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung. Jakarta: KLHK.

  4. LIPI. (2010). Inventarisasi dan Identifikasi Flora dan Fauna di Kawasan Karst Bantimurung-Bulusaraung. Laporan Penelitian. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

  5. UNESCO. (2015). Phong Nha-Ke Bang National Park (Vietnam). World Heritage Centre. https://whc.unesco.org/en/list/951 

  6. Aubert, M., Setiawan, P., Brumm, A., et al. (2019). Earliest hunting scene in prehistoric art. Nature, 576, 442–445. https://doi.org/10.1038/s41586-019-1806-y

membongkar imajinasi tentang karst berarti mengubah relasi kita dengan batu itu sendiri. Dari benda keras yang tak bernilai, menjadi ruang hidup yang

Posting Komentar

...

[blogger][facebook]

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.