Politik Karst: Antara Negara, Industri, dan Rakyat

     Ketegangan itu berulang di banyak tempat: warga yang menggelar demonstrasi dengan poster sederhana, suara ibu-ibu yang lantang menolak tambang, berhadapan dengan aparat yang menjaga pintu masuk perusahaan. Di balik spanduk “tolak tambang” atau “selamatkan air kami”, ada cerita panjang tentang izin yang dikeluarkan negara, investasi industri yang menggiurkan, dan rakyat yang merasa tak pernah benar-benar didengar. Karst, dalam pusaran ini, bukan lagi sekadar bentang alam, melainkan arena politik yang keras, penuh tarik-menarik kepentingan.

     Negara kerap tampil sebagai wasit sekaligus pemain. Di satu sisi, ia berkewajiban melindungi kawasan karst sebagai bagian dari kekayaan alam yang rapuh. Regulasi sudah ada—mulai dari Keputusan Menteri ESDM No. 1456 K/20/MEM/2000 tentang kawasan karst, hingga pengakuan UNESCO terhadap Gunung Sewu sebagai Global Geopark. Namun di sisi lain, negara juga berperan sebagai pemberi izin, membuka pintu lebar bagi industri semen atau tambang batu kapur dengan alasan pembangunan. Dilema ini menciptakan ambiguitas: negara tampak melindungi, tetapi juga melegitimasi perusakan.

     Industri semen, dengan modal besar dan jaringan global, memosisikan karst sebagai sumber daya yang harus dieksploitasi. Retorika pembangunan selalu diulang: lapangan kerja, peningkatan PAD, kontribusi bagi ekonomi nasional. Tetapi masyarakat lokal tahu, keuntungan terbesar jarang jatuh ke tangan mereka. Bagi petani karst, kehilangan mata air lebih berbahaya daripada kehilangan janji kerja. Air adalah syarat hidup yang tak bisa diganti, sementara pabrik bisa direlokasi, bahkan ditutup.

     Konflik di Rembang, Pati, hingga karst Maros-Pangkep menunjukkan pola yang hampir sama: warga menolak tambang, negara memberikan izin, industri menyiapkan mesin, lalu lahirlah ketegangan. Di Rembang, aksi “Kartini Kendeng” menanam kaki dalam adukan semen menjadi simbol global perlawanan ekologis. Di Babul, Sulawesi Selatan, tekanan terhadap kawasan Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung memicu protes senyap dari masyarakat yang khawatir mata air hilang. Gema ini memperlihatkan betapa rapuhnya posisi rakyat ketika berhadapan dengan koalisi negara dan industri.

     Namun politik karst bukan hanya tentang konflik. Ia juga tentang ruang tawar dan ruang harapan. Di Yogyakarta, pengakuan Gunung Sewu sebagai geopark dunia menghadirkan wajah lain politik: negara, masyarakat, dan ilmuwan bekerja sama menjaga dan mempromosikan karst sebagai kebanggaan nasional. Di sini, politik karst tampil sebagai upaya kolektif membangun narasi positif: karst bukan tambang, melainkan warisan budaya dan alam yang tak ternilai.

     Sayangnya, wajah semacam ini masih jarang. Lebih sering kita melihat rakyat dipaksa menjadi penonton dalam panggung besar yang dikuasai negara dan industri. Padahal, tanpa rakyat, politik karst akan kehilangan basis moral. Rakyat bukan sekadar “penerima dampak”, melainkan subjek utama yang hidup di ruang karst, menjaga sawah, memelihara gua, dan melanjutkan tradisi. Mengabaikan mereka sama saja dengan meruntuhkan legitimasi politik itu sendiri.

     Refleksi penting muncul di sini: politik karst pada akhirnya adalah politik tentang kehidupan. Apa artinya pembangunan jika rakyat kehilangan sumber air? Apa gunanya investasi miliaran rupiah jika ekosistem runtuh dan anak cucu hanya mewarisi debu? Pertanyaan-pertanyaan ini menyingkap kelemahan paradigma pembangunan yang terlalu terpaku pada angka pertumbuhan ekonomi, tanpa melihat ongkos ekologis dan sosial yang tersembunyi di baliknya.

     Karst seharusnya mendorong kita menata ulang logika politik. Negara tak bisa terus menerus berdiri di sisi industri, hanya karena tergoda investasi. Ia harus mengingat mandat konstitusi: bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Kalimat itu jelas menempatkan rakyat sebagai tujuan akhir, bukan industri. Dengan kata lain, politik karst semestinya berpihak kepada kehidupan, bukan pada keuntungan sesaat.

     Menjadikan politik karst sebagai agenda nasional adalah kebutuhan mendesak. Bukan hanya untuk mencegah konflik sosial, tetapi juga untuk memastikan keberlanjutan ekologi. Kita perlu regulasi yang lebih tegas, partisipasi masyarakat yang nyata, dan keberanian politik untuk menolak investasi yang merusak. Lebih dari itu, kita perlu imajinasi baru: karst tidak dilihat sebagai beban pembangunan, melainkan sebagai aset strategis bangsa, setara dengan hutan hujan tropis dan terumbu karang.

     Jika kita gagal menjadikan karst sebagai agenda nasional, kita akan terus mengulang siklus konflik: izin keluar, rakyat protes, industri menambang, dan akhirnya ekosistem hancur. Tetapi jika kita berhasil, politik karst bisa menjadi model politik ekologis yang membanggakan, memperlihatkan bahwa bangsa ini bisa berpikir jauh ke depan.

     Karst adalah ujian. Apakah kita memilih berpihak pada kehidupan rakyat, atau menyerah pada mesin industri? Jawaban atas ujian ini akan menentukan bukan hanya nasib karst, tetapi juga nasib politik bangsa kita.


Daftar Pustaka

  1. Adji, T. N. (2014). Hydrogeological characteristics of karst in Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

  2. LIPI. (2019). Karst sebagai ekosistem penting dan rawan di Indonesia. Jakarta: LIPI Press.

  3. Sukamto, R. (2016). Konflik tambang semen dan masyarakat Kendeng. Jurnal Masyarakat dan Kebudayaan, 18(2), 145–162.

  4. UNESCO. (2015). Gunung Sewu UNESCO Global Geopark. Paris: UNESCO Publishing.

  5. Widiyanto, J., & Nasrullah, H. (2020). Potensi ekowisata karst di Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung. Jurnal Pariwisata Berkelanjutan, 5(1), 25–39.

Politik karst dibutuhkan sebagai agenda nasional, bukan hanya untuk mencegah konflik sosial, tetapi juga untuk memastikan keberlanjutan ekologi.

Posting Komentar

...

[blogger][facebook]

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.