Ketika Otoritarianisme Menjadi Model Bisnis Internasional

     Di abad ke-20, otokrat masih membutuhkan parade militer, podium menjulang, dan teks-teks ideologi yang tebal, kaku, dan seringkali berdarah-darah. Mereka menerapkan sensor dengan kapak tumpul dan represi dengan bayonet yang berkilauan di bawah sinar matahari. Namun, potret kekuasaan modern telah mengalami rebranding yang dramatis, jauh lebih memikat dan, secara aneh, lebih efisien. Otokrat masa kini telah mengganti seragam militer dengan setelan bisnis yang rapi, dan manual ideologi dengan laporan efisiensi korporat. 

     Perhatian mereka tak lagi tertuju pada bagaimana menutup keran informasi—sebuah tugas yang mustahil di era digital—tetapi bagaimana memenangkan hati khalayak, membangun dukungan emosional dengan menyalurkan amarah, rasa dendam yang tersimpan, dan hasrat abadi manusia untuk merasa unggul dari orang lain. Kekuatan mereka tidak lagi bersandar pada kekerasan yang vulgar, melainkan pada 'kelicinan algoritma' dan 'efisiensi pasar', beroperasi layaknya sebuah korporasi global yang rapi, sangat menguntungkan, dan tetap mematikan.

     Otoritarianisme baru ini telah berhasil melakukan transisi dari dogma religius ideologi menjadi jaringan modal yang fleksibel. Rezim-rezim hari ini tidak lagi bersatu karena kitab suci Marxisme atau Fascisme; mereka bersekutu karena satu kepentingan yang sangat pragmatis: mempertahankan kursi kekuasaan, melanggengkan kekayaan, dan berbagi 'playbook' kelicinan bertahan hidup di tengah badai kritik internasional. Di sinilah Autokrasi berubah menjadi 'Autocracy Inc.'—sebuah corporate-style governance global. 

     Para pemimpin, mulai dari otokrat lama hingga teknokrat oportunis dari negara-negara yang secara nominal demokratis, kini beroperasi dalam ekosistem global yang saling menopang. Mereka tak hanya berbagi investasi, tetapi juga bertukar taktik: dari metode sensor algoritmik terbaik hingga cara memanipulasi pemilu melalui narasi di media. Ideologi di sini bukan lagi dogma sakral yang harus diimani, melainkan sekadar alat negosiasi yang dapat diutak-atik sesuai kebutuhan pasar, menawarkan tampilan pluralisme yang sangat meyakinkan bagi investor dan lembaga pemberi pinjaman.

     Maka, bayonet dan tank telah pensiun. Kediktatoran modern tidak lagi memerlukan derap sepatu bot untuk menanamkan ketaatan; mereka cukup mengandalkan meme, algoritma yang cerdas, dan yang terpenting, penyaluran 'rasa takut' yang terstandardisasi. Ini melampaui sekadar represi klasik; ini adalah represi yang terselubung rapi dalam bahasa demokrasi dan ketertiban. 

     Di banyak negara, autokrasi tidak datang dengan seragam militer, melainkan melalui akun-akun anonim di media sosial, undang-undang bermata ganda yang disahkan dengan gemilang, dan dana hibah penelitian yang datang dengan seribu satu syarat. Yang ditekan kini bukan hanya oposisi politik—yang disisakan hanya sebagai tontonan yang kian layu—tetapi juga 'rasa ingin tahu' itu sendiri. Suatu masyarakat yang dilatih untuk tidak bertanya adalah surga bagi Autocracy Inc., karena di sana, keseragaman pikiran adalah return on investment terbaik.

     Dalam sistem yang terstandardisasi ini, warga negara telah direduksi dari status 'rakyat' yang memiliki kedaulatan menjadi sekadar 'konsumen kekuasaan'. Pemerintah, mengikuti cetak biru The McDonaldization of Society, mengubah pelayanan publik menjadi "franchise" yang menjual janji: stabilitas yang cepat, ketertiban yang seragam, dan paket nasionalisme kosong yang dapat dikonsumsi tanpa perlu berpikir. 

     Rakyat tidak lagi diminta untuk berpartisipasi atau memilih—cukup loyal. Demokrasi direduksi menjadi tampilan kosmetik, sedangkan politik hanyalah sebuah layanan satu arah, di mana semua kebutuhan dasar dipenuhi asalkan warga negara tidak pernah mempertanyakan siapa yang duduk di meja keputusan. Mereka disuguhi ilusi konsumerisme yang ramai dan bising, yang berhasil mengalihkan perhatian dari keheningan yang mencekam di pusat kekuasaan, membuat mereka nyaman dalam sangkar emas yang dihias dengan gemerlap lampu neon.

     Ironi pahit dari fenomena ini terletak pada kenyataan bahwa negara-negara demokrasi, yang konon menjunjung tinggi kebebasan dan hak asasi, justru kerap menjadi 'mitra ekonomi paling tulus' bagi para otokrat. Ini adalah kolaborasi yang dibangun di atas kemunafikan dan cek tunai. Dari bank-bank rahasia di Swiss yang beroperasi seperti laundry service berkelas bagi uang haram, hingga properti mewah di London yang berfungsi sebagai 'safe deposit box' raksasa bagi dana gelap, sistem keuangan global menyediakan suaka bagi para kleptokrat untuk memarkir uang mereka. Uang kotor ini tak lain adalah hasil pemerasan dan represi domestik. 

     Autokrasi global ini tidak hanya hidup dari represi, tetapi dari 'kelengahan moral' negara-negara bebas yang bersedia menutup mata demi komisi dan keuntungan. Dalam dunia yang sakit ini, pasar saham menjadi lebih penting daripada hak asasi manusia; solidaritas global untuk kemanusiaan bukan hanya melemah—ia dicurigai, dicemooh, dan dijadikan bahan investigasi, sementara uang represi menikmati liburan abadi di resor-resor finansial mewah. Yang tersisa hanyalah kekuasaan global yang ditopang oleh kerusakan solidaritas lokal yang disengaja.

     Apa yang membuat rakyat tetap patuh, meskipun tanpa bayonet? Para pemimpin Autocracy Inc. modern membeli kesetiaan dengan kenyamanan. Mereka menawarkan illusion of stability yang sangat mahal harganya, menjebak warga dalam pusaran konsumerisme yang tak berkesudahan, dan meracik narasi kebanggaan palsu yang dikawinkan dengan pembangunan infrastruktur yang mencolok. Rezim-rezim ini tidak lagi memerlukan demokrasi; mereka hanya butuh narasi yang terlihat demokratis, seperti sebuah produk waralaba yang memiliki kemasan menarik: efisiensi tanpa keberpihakan, kontrol tanpa suara, dan penampilan terstandarisasi. 

     Konstitusi di mata mereka bukanlah kitab suci yang berisi janji luhur, melainkan 'brosur pemasaran' terbaik yang bisa mereka miliki. Undang-undang dapat ditafsir ulang, direvisi, atau diabaikan, selama itu memperkuat kursi kekuasaan, menjadikan hukum sebagai senjata legal untuk memperkuat ketidakadilan, sementara kebebasan berbicara dilindungi, tetapi hanya sebatas tidak mengganggu citra perusahaan negara.

     Setelah brosur pemasaran itu ditutup, dan kalkulasi untung-rugi Autocracy Inc. selesai dibukukan, harga sebenarnya tidak pernah tercatat dalam laporan tahunan. Kita memilih stabilitas yang cepat saji, kebanggaan nasionalisme yang instan, dan kenyamanan seragam yang dibayar dengan mata uang yang paling sunyi: pertanyaan yang tak terucap. Kita menikmati gemerlap lampu neon yang menghiasi sangkar emas, terbuai oleh ilusi bahwa kebebasan yang berantakan telah ditukar dengan kepuasan yang teratur dan terkemas rapi. 

     Otokrat masa kini tidak perlu lagi mempekerjakan sipir; mereka hanya menjual cetak biru sel itu kepada kita, dan kita, dengan gembira, mengajukan diri menjadi kepala petugas keamanan bagi keheningan kritis kita sendiri. Kita, para pelanggan setia ini, memastikan dinding-dinding emas itu bebas dari karat rasa ingin tahu, menjaga agar jiwa kita tetap diam di dalam batas yang telah ditetapkan. Dan dalam penyerahan diri yang final—bahwa kita menerima belenggu yang kita yakini sebagai pilihan—terletak guncangan yang paling mendalam bagi kemanusiaan abad ke-21.

Autokrasi tidak datang dengan seragam militer, melainkan melalui akun-akun anonim di media sosial, undang-undang bermata ganda yang disahkan dengan ge

Posting Komentar

...

[blogger][facebook]

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.