Ada sebuah ironi yang jarang dibicarakan dalam sejarah modern: bahwa tiga ideologi besar yang mengubah abad ke-20 — demokrasi, komunisme, dan fasisme — sejatinya lahir dari rahim yang sama: humanisme. Tiga anak dari satu ibu yang luhur, yang masing-masing mengaku paling setia pada cita-cita kemanusiaan, tapi akhirnya saling membunuh di medan sejarah.
Humanisme lahir bukan dari ruang hampa. Ia muncul di Eropa, di masa ketika Gereja menguasai nalar dan tubuh manusia. Dogma-dogma menutup pintu langit dan bumi. Semua pengetahuan harus melewati sensor teologis.
Lalu datanglah mereka yang disebut umanisti — Erasmus, Petrarch, Pico della Mirandola, dan para pemikir yang percaya bahwa manusia memiliki martabat dan daya cipta sendiri. Pico menulis:
“Tidak ada bentuk yang telah Kami tetapkan bagi engkau, wahai manusia. Engkau dapat membentuk dirimu sesuai kehendakmu sendiri.”
Sebuah pernyataan revolusioner. Tuhan bukan lagi pusat segala sesuatu; manusia kini berdiri tegak di tengah semesta. Dari sanalah lahir pandangan dunia baru: bahwa manusia bukan makhluk yang ditentukan, melainkan makhluk yang menentukan.
Namun, seperti semua revolusi, gagasan itu membawa konsekuensi yang tak terduga.
Ketika manusia dijadikan ukuran segalanya, ukuran itu mulai menggeliat liar: siapa manusia yang dimaksud? Siapa yang berhak menentukan arah “kemanusiaan”?
Dari rahim itulah lahir tiga anak yang kelak mengguncang dunia.
Demokrasi adalah anak pertama — lembut dalam janji, idealis dalam cita-cita. Ia lahir dari keyakinan bahwa semua manusia setara dalam hak dan martabat. Para filsuf pencerahan — Locke, Rousseau, Montesquieu — menulis tentang kebebasan, kontrak sosial, dan kehendak umum. Dunia seperti menyalakan lilin baru setelah berabad-abad gelap oleh dogma.
Revolusi Prancis meneriakkan: Liberté, Égalité, Fraternité. Namun, bahkan di tengah teriakan itu, pisau guillotine bekerja dengan sabar, memenggal kepala demi kepala atas nama “rakyat.” Demokrasi lahir dari darah; dan darah selalu membawa aroma ambigu: kebebasan bagi sebagian, kematian bagi yang lain.
Tocqueville, pengamat paling tajam demokrasi modern, sudah memperingatkan bahwa sistem ini menyimpan bahaya baru: tirani mayoritas. Manusia dibebaskan dari raja, tapi diperbudak oleh opini massa; tak lagi takut pada Tuhan, tapi gentar pada penilaian publik.
Demokrasi, anak sulung humanisme, tumbuh dengan wajah ganda: satu menatap ke langit cita-cita, satu lagi menunduk ke tanah yang penuh kepentingan. Ia bermimpi tentang manusia yang rasional, tapi realitas memberinya manusia yang mudah digiring oleh propaganda.
Anak kedua lahir dari rahim yang sama, tapi dengan amarah yang berbeda. Ia melihat dunia modern dan berkata: “Kebebasan macam apa ini, jika yang kaya menghisap yang miskin?” Komunisme muncul dari perut revolusi industri — ketika anak-anak bekerja di pabrik, dan manusia dijadikan mesin penghasil laba.
Karl Marx dan Friedrich Engels menulis dengan api dalam dada: manusia telah terasing dari kerjanya, dari sesamanya, bahkan dari dirinya sendiri. Maka, pembebasan sejati hanya mungkin jika kepemilikan pribadi dihapus dan masyarakat hidup tanpa kelas.
Komunisme ingin menggenapi janji humanisme dengan membebaskan manusia dari struktur penindasan. Tapi ketika ide itu dijalankan, manusia kembali menjadi korban. Demi “pembebasan”, partai menjadi tuhan baru; demi “masyarakat tanpa kelas”, individu dihapuskan.
Sejarah memperlihatkan wajah tragis anak ini: Revolusi Bolshevik, gulag Stalin, Kamp Re-edukasi Mao. Komunisme ingin menghapus ketidakadilan, tapi justru menciptakan struktur kekuasaan paling total dalam sejarah modern. Di bawah bendera kemanusiaan, manusia sekali lagi dikorbankan.
Fasisme, anak terakhir, lahir dari luka yang sama — tapi menolak semua ajaran saudara-saudaranya. Ia berkata: “Manusia tidak setara. Yang kuat harus memimpin yang lemah. Kemanusiaan sejati ada pada darah, bangsa, dan kemuliaan.”
Jika demokrasi adalah kebebasan, dan komunisme adalah kesetaraan, maka fasisme adalah kemuliaan. Ia lahir di Eropa setelah Perang Dunia I, dari rasa hina dan marah bangsa-bangsa yang kalah. Mussolini di Italia dan Hitler di Jerman menafsirkan kembali humanisme menjadi nasionalisme mistik.
Nietzsche sering dituduh sebagai inspirasi mereka, meski sesungguhnya ia menulis tentang Übermensch dalam makna spiritual dan eksistensial, bukan rasial. Tapi ide-ide besar jarang mati dalam kemurnian; ia selalu dipakai oleh kekuasaan untuk menjustifikasi dirinya.
Maka lahirlah Reich Ketiga, Partai Fasis Nasional, Kultus Pemimpin. Di balik retorika kebesaran bangsa, dunia menyaksikan Auschwitz, Nanking, dan Hiroshima. Fasisme bukan sekadar ide politik — ia adalah refleksi dari sisi gelap humanisme itu sendiri: keinginan manusia menjadi tuhan atas sesamanya.
Abad ke-20 adalah masa ketika ketiga anak itu saling berperang: Demokrasi liberal melawan komunisme Soviet, keduanya melawan fasisme Eropa. Masing-masing mengaku berjuang demi “kemanusiaan.”
Tapi di medan perang, kemanusiaan itu menjadi statistik, bukan nilai. Manusia dikorbankan demi cita-cita manusia. Inilah paradoks paling pahit dari sejarah modern: bahwa cita-cita tertinggi humanisme — pembebasan manusia — justru melahirkan perbudakan baru, hanya berganti nama dan ideologi.
Hannah Arendt melihat ini sebagai gejala totalitarianisme: ketika ide menggantikan moral, dan politik menggantikan nurani. Sementara Camus, dengan pandangan yang lebih lembut, berkata bahwa manusia modern hidup dalam absurditas — karena ia terus mencari makna setelah membunuh Tuhan yang dulu memberikannya.
Kini, setelah dua perang dunia dan kehancuran ideologi, kita hidup dalam masa baru: post-humanisme. Manusia tidak lagi pusat; teknologi, algoritma, dan kecerdasan buatan mulai mengambil alih sebagian fungsi kesadaran.
Kita menciptakan mesin yang meniru pikiran kita, lalu bertanya-tanya apakah ia akan menggantikan kita. Ironisnya, ini hanyalah bab berikutnya dari kisah lama: manusia terus berupaya mencipta sesuatu yang lebih besar darinya, hanya untuk menemukan dirinya kembali di bawah kuasa ciptaannya sendiri.
Sejarah humanisme mungkin akan berakhir bukan dengan perang, tapi dengan pergeseran: dari “manusia sebagai pusat makna” menjadi “manusia sebagai sisa makna.”
Humanisme, sang ibu tua, kini menatap dunia yang ia lahirkan: kota-kota raksasa, sistem politik yang rumit, teknologi yang melampaui pemahaman, dan manusia-manusia yang tampak bebas tapi kesepian. Ia melihat tiga anaknya — demokrasi yang letih oleh kebohongan, komunisme yang pudar oleh sejarah, dan fasisme yang terus mengintai dalam bentuk baru — dan ia tahu, semuanya lahir dari rahim yang sama: hasrat manusia menjadi pusat.
Mungkin inilah takdir manusia modern: menjadi pencipta sekaligus korban ciptaannya sendiri. Ia menolak Tuhan demi kemerdekaan, lalu menciptakan ideologi untuk menggantikannya. Ia menghancurkan tirani lama, hanya untuk menegakkan tirani baru.
Namun di antara puing-puing itu, masih tersisa bara kecil — kesadaran bahwa meski segala sistem gagal, ada satu hal yang belum padam: kerinduan untuk tetap menjadi manusia.
“Ketika manusia menjadikan dirinya pusat semesta,” tulis seorang filsuf,
“ia lupa bahwa pusat itu adalah lubang hitam — yang perlahan menelan dirinya sendiri.”

Posting Komentar
...