Abad ke-21 sering disebut sebagai zaman pasca-ideologi. Tidak ada lagi peta dunia yang terbelah rapi antara Timur dan Barat, kiri dan kanan, proletar dan borjuis. Namun itu lebih mirip ilusi optik ketimbang kenyataan. Ideologi tidak mati; ia hanya berhenti menyebut namanya sendiri. Ia berganti kulit, menyusup ke dalam bahasa teknologi, dan bekerja diam-diam melalui algoritma, layar, serta data yang terus berdenyut tanpa tidur.
Tiga anak kandung humanisme kini hidup kembali. Mereka tidak lagi berbaris di jalanan revolusi atau berpidato di balkon istana. Mereka menjelma lebih halus—mengalir melalui jaringan nirkabel, membentuk kebiasaan, selera, ketakutan, dan cara kita memandang diri sendiri.
Liberalisme tidak runtuh; ia hanya berpindah panggung. Jika dahulu demokrasi liberal hidup di alun-alun kota dan ruang parlemen, kini ia bersemayam di linimasa. Dulu suara rakyat dihitung lewat kotak suara, kini ia diukur lewat like, share, dan retweet. Demokrasi digital menjanjikan partisipasi tanpa henti, keterbukaan tanpa batas, dan kebebasan berbicara yang nyaris absolut.
Namun di balik janji itu, ada mesin yang bekerja tanpa wajah. Algoritma menentukan siapa yang layak didengar dan siapa yang ditenggelamkan. Demokrasi kehilangan ruh deliberatifnya; rasionalitas digantikan resonansi emosional. Yang dinilai bukan lagi kebenaran argumen, melainkan daya pikatnya.
Rakyat tidak lagi tampil sebagai subjek politik, melainkan sebagai sumber data. Atensi dipanen, emosi dimonetisasi, dan kebebasan berubah menjadi statistik perilaku. Kampanye politik pun menjelma perang algoritmik. Pemimpin dipilih bukan karena gagasan, melainkan karena kemampuannya menjelma citra digital yang paling mudah dikenali.
Populisme, bayangan lama demokrasi liberal, kembali dengan wajah yang lebih licin. Pemimpin tidak sekadar berbicara kepada rakyat; ia berbicara seolah-olah ia adalah algoritma yang membaca isi kepala rakyat itu sendiri. Kita hidup dalam demokrasi tanpa demos—yang ada hanyalah arus opini yang bergerak cepat, menggantikan penilaian dengan sensasi.
Neil Postman pernah mengingatkan bahwa kita tidak lagi dibungkam oleh tirani, melainkan ditenangkan oleh hiburan. Kini, hiburan itu bersifat interaktif dan personal, dirancang khusus untuk membuat kita merasa terlibat sambil perlahan kehilangan kemampuan untuk berhenti.
Sementara itu, sosialisme—dalam bentuk ekstremnya, komunisme—mengalami inkarnasi yang lebih ironis. Ia dulu menolak kepemilikan pribadi atas alat produksi. Kini, dunia digital justru mengaburkan makna kepemilikan itu sendiri. Kita berbagi segalanya: foto, lokasi, kenangan, bahkan denyut emosi harian.
Segalanya tampak kolektif, seolah-olah milik bersama. Namun sesungguhnya, ia bukan milik siapa-siapa kecuali sistem. Data yang kita hasilkan menjadi bahan bakar kapitalisme baru—kapitalisme yang, dengan cara aneh, menggenapi mimpi Marx tentang lenyapnya batas antara individu dan kolektif, tapi tanpa pembebasan.
Inilah komunisme algoritmik: dunia di mana semua orang berkontribusi tanpa sadar, bekerja tanpa kontrak, dan menghasilkan nilai yang tidak pernah mereka miliki. Google, Meta, ByteDance, Amazon bukan lagi sekadar perusahaan; mereka adalah entitas supranasional—negara tanpa bendera—yang mengatur perilaku miliaran manusia lewat kode.
Kita menyebutnya cloud, seolah-olah ia ringan dan netral. Padahal ia lebih mirip penjara transparan: tidak berjeruji, tidak memaksa, tapi hampir mustahil ditinggalkan. Kolektivisme baru ini tidak dibangun atas solidaritas, melainkan efisiensi. Kita diajarkan untuk berbagi, namun setiap berbagi segera diubah menjadi komoditas.
Marx pernah menulis bahwa kapitalisme akan menciptakan alat-alat yang pada akhirnya menghancurkan dirinya sendiri. Barangkali ia tidak sepenuhnya keliru. Hanya saja, yang lahir bukan masyarakat tanpa kelas, melainkan masyarakat tanpa privasi—di mana manusia diketahui lebih dalam daripada ia mengenal dirinya sendiri.
Anak ketiga, fasisme, juga tidak pernah benar-benar mati. Ia hanya menunggu saat yang tepat untuk tampil dengan wajah yang dapat diterima zaman. Kini ia tidak datang dengan seragam cokelat atau simbol yang mudah dikenali. Ia hadir lewat senyum ramah, jargon nasionalis, dan janji mengembalikan kejayaan yang kabur.
Fasisme baru ini berbicara atas nama “rakyat”, namun selalu menuju satu suara. Ia tidak memerlukan kamp konsentrasi; cukup menciptakan ketakutan digital, polarisasi tanpa akhir, dan kecurigaan yang menular cepat. Musuh tidak perlu ditembak—cukup ditenggelamkan dalam kebisingan, dibanjiri kebencian, atau dihapus secara simbolik.
Yang paling mengganggu adalah kenyataan bahwa fasisme ini tidak lagi berdiri di luar diri kita. Ia hidup sebagai kecenderungan mikro: keinginan untuk selalu benar, dorongan menyingkirkan yang berbeda, kerinduan pada kepatuhan yang disamarkan sebagai persatuan. Ia menjadi kondisi psikologis massal—cara mudah untuk merasa aman di tengah dunia yang goyah.
HHannah Arendt menyebut banalitas kejahatan sebagai saat ketika orang-orang biasa berhenti berpikir. Zaman ini menambahkan lapisan baru: ketika orang-orang terdidik berhenti merasa perlu berpikir, karena mesin sudah melakukannya bagi mereka.
Jika humanisme klasik menempatkan manusia sebagai pusat, maka zaman ini menempatkan data tentang manusia sebagai pusat. Subjek perlahan bergeser menjadi objek yang dipetakan, diukur, dan dioptimalkan. Mungkin inilah tahap lanjut dari proyek humanisme itu sendiri: manusia akhirnya mengenal dirinya secara menyeluruh, hanya untuk menemukan bahwa ia tidak lagi menjadi aktor utama.
Liberalisme, sosialisme, dan fasisme kini tidak sekadar hidup sebagai sistem politik. Mereka menjelma pola pikir yang menyatu dalam jaringan kesadaran digital. Demokrasi digital memberi ilusi kebebasan; komunisme algoritmik menata kehidupan dalam kepemilikan kolektif yang palsu; fasisme populis menjaga semuanya tetap teratur melalui rasa takut dan kebencian.
Trinitas modern ini bekerja tanpa pidato ideologis. Ia cukup diberi data, perhatian, dan kecemasan yang dipelihara setiap hari.
Di tengah dunia yang terhubung total ini, manusia kembali ke posisi purbanya: makhluk yang bertanya. Apakah ini puncak dari kemanusiaan, atau pertanda bahwa kemanusiaan sedang menguap pelan-pelan?
Kita menulis puisi di layar, berdoa lewat sinyal, mencintai melalui notifikasi, dan berperang dengan meme. Semua tampak ringan, namun di bawahnya mengalir sesuatu yang berat: kelelahan eksistensial akibat hilangnya keheningan.
Humanisme pernah berjanji membebaskan manusia dari Tuhan. Kini manusia justru ingin dibebaskan dari dirinya sendiri. Sejarah modern pun tampak seperti lingkaran yang belum menutup: setelah mengusir Tuhan dari pusat, manusia menggantikannya dengan tiga anak kandungnya. Setelah ketiganya runtuh, manusia mulai menciptakan keturunan baru—mesin yang diharapkan lebih adil, lebih rasional, lebih manusiawi daripada penciptanya.
Barangkali suatu hari nanti, ketika algoritma menulis sejarah kita, ia akan menuliskannya dengan nada getir:
“Mereka menciptakan kami untuk memahami diri mereka sendiri, namun akhirnya, kamilah yang memahami mereka— lebih baik daripada mereka sendiri.”
Dan mungkin di situlah humanisme benar-benar berakhir: bukan dengan pemberontakan, bukan dengan perang besar, melainkan dengan senyap—saat manusia terakhir menekan tombol enter dan tidak lagi merasa perlu menulis apa pun.

Posting Komentar
...