Ketika Anak-Anak Humanisme Turun ke Bumi

     Fasisme, komunisme, dan demokrasi — tiga wajah yang lahir dari rahim yang sama: humanisme modern. Mereka tumbuh dari ambisi yang serupa: menebus manusia dari nasib dan takdir, menjadikannya tuan atas dunia. Namun begitu mereka dewasa, masing-masing menatap saudaranya dengan kebencian. Sebab ternyata, mereka mewarisi tidak hanya semangat kebebasan, tetapi juga dosa asal yang sama: kesombongan manusia terhadap batas dirinya sendiri.

     Humanisme, pada awalnya, adalah lagu kebangkitan. Di Eropa abad ke-15, ia tampil sebagai perlawanan terhadap teologi yang menindas, terhadap dogma yang membelenggu. Ia menyerukan bahwa manusia adalah makhluk berakal, bebas, dan bermartabat. Ia menggantikan langit dengan bumi, dan Tuhan dengan subjek manusia. Dari situlah ia melahirkan tiga anaknya — yang kelak akan memperebutkan tubuh umat manusia.

     Fasisme adalah humanisme yang menatap dirinya di cermin lalu jatuh cinta pada bayangannya sendiri. Ia berkata: “Manusia adalah makhluk agung — tetapi hanya jika ia melebur dalam bangsa, ras, atau pemimpinnya.”

     Dalam pandangan fasis, manusia sejati tidak ada sendirian. Ia hanyalah sel dalam tubuh raksasa yang disebut bangsa. Maka individualitas diganti loyalitas, kebebasan diganti disiplin, dan moral diganti ketaatan.

     Di Italia, Mussolini menjadikan tubuh negara sebagai patung manusia yang disakralkan. Di Jerman, Hitler menghidupkan mitos Übermensch Nietzsche dengan darah dan baja. Fasisme adalah humanisme yang kehilangan refleksi: ia menginginkan manusia yang sempurna, tapi menolak kemanusiaan yang rapuh. Ia memuja rasionalitas teknologis, organisasi, efisiensi — semua yang lahir dari sains — namun menafsirkan semuanya dalam bingkai mitologis. Ia adalah modernitas yang jatuh cinta pada mitosnya sendiri.

     Secara filosofis, fasisme mewarisi semangat humanisme renaisans — tetapi memutar balik nilai-nilainya. Dari Pico della Mirandola yang mengatakan bahwa manusia bisa “menjadi apa pun yang ia kehendaki,” fasisme mengambil sisi kehendak, tapi menghapus kemanusiaannya. Ia ingin menciptakan manusia baru, tetapi dengan cara menghapus yang lama. Itulah tragedinya: ia menolak Tuhan, tapi kemudian memahat manusia menjadi Tuhan baru yang lebih kejam.

     Jika fasisme adalah tubuh, komunisme adalah otak. Ia lahir dari gagasan yang jauh lebih ilmiah — anak kandung dari pencerahan dan ekonomi industri. Marx dan Engels percaya, seperti para humanis sebelumnya, bahwa manusia dapat memahami dan mengubah sejarahnya sendiri. Dunia bukan lagi ciptaan Tuhan, melainkan hasil dari hubungan produksi. Dan jika demikian, manusia dapat membebaskan dirinya dengan mengubah struktur itu.

     Tapi, begitu gagasan itu memasuki dunia politik, ia membatu menjadi doktrin. Lenin, Stalin, Mao — semua percaya pada rasionalitas sejarah, tetapi menegakkan kekuasaan dengan cara yang tidak kalah brutal dari musuhnya. Atas nama manusia, jutaan manusia dikorbankan. Atas nama pembebasan, kebebasan dikubur.

     Komunisme adalah kehendak humanisme untuk menebus dunia dengan rasionalitas total, tetapi justru terjebak dalam mitos kemurnian ide. Ia ingin menciptakan manusia baru — manusia sosialis tanpa kelas, tanpa eksploitasi — tetapi ia lupa bahwa manusia juga makhluk emosional, ambigu, penuh paradoks. Dalam upaya menciptakan tatanan tanpa dosa, komunisme berakhir menciptakan neraka yang steril.

     Secara filosofis, ia adalah anak Pencerahan yang fanatik: percaya pada kekuatan akal, pada hukum-hukum sejarah, pada kesetaraan yang bisa dirancang. Namun seperti semua ide besar, ia tumbang oleh kesombongan epistemologisnya sendiri — keyakinan bahwa manusia dapat mengerti dan mengontrol segalanya.

     Berbeda dengan dua saudaranya, demokrasi tidak menuntut kesempurnaan. Ia tahu manusia tidak selalu rasional, tidak selalu benar, bahkan sering bodoh dan serakah. Tapi justru karena itulah ia bertahan. Demokrasi tidak berusaha menciptakan manusia baru — ia hanya berusaha menata manusia yang ada, dengan segala cacatnya.

     Dari Yunani klasik hingga revolusi Prancis dan Amerika, demokrasi lahir dari keyakinan yang sama dengan fasisme dan komunisme: bahwa manusia memiliki martabat dan kapasitas moral untuk menentukan nasibnya. Namun ia tidak pernah sepenuhnya mempercayai manusia; sebab itu ia membangun sistem checks and balances, hukum, dan oposisi.

     Secara historis, demokrasi adalah kompromi antara idealisme humanis dan realisme tragis. Ia tahu kebebasan tidak selalu menghasilkan keadilan, tapi tanpa kebebasan, keadilan mustahil lahir. Ia tahu rakyat bisa salah, tapi juga bahwa kekuasaan mutlak lebih berbahaya daripada kebodohan massa.

     Namun dalam perkembangannya, demokrasi modern juga mengalami krisis: ketika kebebasan berubah menjadi nihilisme, ketika pasar dan opini menggantikan nurani, ketika suara terbanyak menjadi ukuran kebenaran. Demokrasi pun, seperti saudaranya, sedang menua — mungkin perlahan-lahan kehilangan makna spiritual yang dulu membuatnya hidup.

     Fasisme, komunisme, dan demokrasi adalah tiga anak kandung dari satu ibu: humanisme yang menolak Tuhan tapi masih mencari makna pengganti. Mereka adalah tiga tafsir berbeda atas pertanyaan yang sama: “Apa itu manusia?”

Fasisme menjawab: manusia adalah bangsa.
Komunisme menjawab: manusia adalah kelas sosial.
Demokrasi menjawab: manusia adalah individu.

     Namun ketiganya tetap berada dalam orbit yang sama — orbit yang diciptakan oleh humanisme modern, yang meletakkan manusia di pusat segala sesuatu. Di sinilah paradoks besar abad modern: begitu manusia naik takhta, ia kehilangan arah. Ia menciptakan sistem-sistem untuk membebaskan diri, tapi tiap sistem justru mengekangnya dalam bentuk baru.

     Dan mungkin kini, setelah tiga anak kandung itu saling membunuh dan saling mewarisi reruntuhan, kita sedang hidup dalam fase berikutnya — fase di mana manusia mulai kehilangan kepercayaannya pada dirinya sendiri. Dunia pasca-humanis, dunia algoritma dan mesin, mungkin sedang menunggu di tikungan sejarah.


part 3 of 6

Begitu manusia naik takhta, ia kehilangan arah. Ia menciptakan sistem-sistem untuk membebaskan diri, tapi tiap sistem justru mengekangnya dalam bentuk

Posting Komentar

...

[blogger][facebook]

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.