Ketika Anak-Anak Humanisme Turun ke Bumi

     Liberalisme, sosialisme, dan fasisme—tiga wajah yang lahir dari rahim yang sama: humanisme modern. Mereka tumbuh dari ambisi serupa: menebus manusia dari nasib dan takdir, menjadikannya tuan atas dunia. Namun ketika dewasa, masing-masing menatap saudaranya dengan kecurigaan dan kebencian. Sebab ternyata, mereka mewarisi bukan hanya semangat pembebasan, tetapi juga dosa asal yang sama: kesombongan manusia terhadap batas dirinya sendiri.

     Humanisme, pada mulanya, adalah lagu kebangkitan. Di Eropa abad ke-15, ia muncul sebagai pembangkangan terhadap teologi yang menutup rapat pintu langit, terhadap dogma yang menjadikan manusia sekadar bayangan dosa. Ia menyerukan bahwa manusia adalah makhluk berakal, bebas, dan bermartabat. Ia memindahkan pusat gravitasi makna—dari langit ke bumi, dari Tuhan ke subjek manusia. Sejak saat itu, manusia tidak lagi menunggu keselamatan; ia berniat merancangnya sendiri.

     Dari semangat itulah tiga anak humanisme lahir. Mereka tidak muncul sekaligus, tidak pula seragam. Mereka bertumbuh dalam konteks sejarah yang berbeda, tetapi membawa pertanyaan yang sama: jika manusia adalah pusat, bagaimana dunia harus diatur?

     Fasisme adalah humanisme yang menatap dirinya di cermin lalu jatuh cinta pada bayangannya sendiri. Ia berkata: manusia adalah makhluk agung—tetapi hanya jika ia melebur dalam bangsa, ras, atau figur pemimpin. Dalam pandangan ini, manusia sejati tidak pernah berdiri sendirian. Ia hanyalah sel dalam tubuh raksasa bernama negara. Maka individualitas diganti loyalitas, kebebasan diganti disiplin, dan moral diganti ketaatan.

     Fasisme tidak menolak modernitas; ia memeluknya dengan gairah. Ia mencintai teknologi, organisasi, efisiensi, estetika kekuatan—semua warisan rasionalitas modern. Namun semuanya dibungkus dalam mitos. Negara menjadi tubuh hidup yang disakralkan, sejarah dijadikan narasi heroik, dan kekerasan dipoles sebagai takdir. Ia adalah modernitas yang kehilangan jarak kritis terhadap dirinya sendiri.

     Secara filosofis, fasisme mewarisi semangat humanisme Renaisans, tetapi dengan arah yang diputarbalikkan. Dari keyakinan bahwa manusia bisa “menjadi apa pun,” ia mengambil sisi kehendak dan kekuasaan, lalu membuang sisi kerentanan dan empati. Ia ingin menciptakan manusia baru—tetapi dengan cara menghapus manusia yang nyata. Tragedinya terletak di sini: ia menolak Tuhan, namun diam-diam memahat manusia kolektif menjadi Tuhan baru yang lebih kejam dan tidak bisa dipertanyakan.

     Jika fasisme adalah tubuh yang memuja kekuatan, sosialisme adalah suara hati yang menuntut keadilan. Ia lahir dari keprihatinan yang sah: bahwa manusia, dalam dunia industri dan kepemilikan yang timpang, direduksi menjadi alat. Sosialisme berangkat dari keyakinan humanis yang sederhana namun radikal—bahwa martabat manusia tidak boleh ditentukan oleh kepemilikan, kelas, atau nasib ekonomi.

     Berbeda dari fasisme yang memitoskan bangsa, sosialisme memusatkan perhatian pada struktur. Ia bertanya: bagaimana mungkin manusia bebas jika hidupnya ditentukan oleh sistem yang tidak ia kendalikan? Dari pertanyaan itu tumbuh keyakinan bahwa pembebasan manusia harus bersifat kolektif, struktural, dan material. Kebebasan tidak cukup sebagai hak moral; ia harus menjadi kondisi nyata.

     Namun di sinilah ketegangannya. Ketika sosialisme bergerak dari kritik menjadi proyek total, ia tergoda untuk menyederhanakan manusia. Manusia dilihat terutama sebagai makhluk ekonomi, rasional dalam kepentingan, dapat diarahkan oleh desain sistem yang benar. Kompleksitas emosi, ambiguitas moral, dan dorongan irasional dianggap gangguan yang kelak akan hilang setelah struktur diperbaiki.

     Sosialisme, sebagai anak humanisme, percaya bahwa dunia bisa ditata secara adil jika akal diberi mandat penuh. Tetapi kepercayaan itu sering kali berubah menjadi keyakinan berlebihan—bahwa manusia dapat memahami dan mengendalikan seluruh proses sejarah. Di titik ini, ideal pembebasan berisiko membeku menjadi dogma. Niat membela manusia justru dapat berubah menjadi kecenderungan mengorbankannya demi gambaran masa depan yang dianggap lebih murni.

     Liberalisme lahir dari jalur yang berbeda. Ia adalah humanisme yang paling percaya pada individu—dan sekaligus paling curiga pada kesempurnaan manusia. Liberalisme tidak berangkat dari visi manusia ideal, melainkan dari kesadaran bahwa manusia rapuh, terbatas, dan cenderung menyalahgunakan kekuasaan. Karena itulah ia menempatkan kebebasan sebagai nilai utama, namun membungkusnya dengan hukum, institusi, dan batas-batas.

     Dalam liberalisme, manusia bukan bangsa, bukan kelas, melainkan subjek otonom. Ia berhak menentukan hidupnya sendiri, sejauh tidak merampas hak orang lain. Negara tidak dipuja, struktur tidak disakralkan. Kekuasaan diperlakukan sebagai sesuatu yang perlu diawasi, dibatasi, bahkan dicurigai.

     Namun liberalisme juga membawa paradoksnya sendiri. Ketika kebebasan dilepaskan dari tanggung jawab moral yang lebih dalam, ia mudah berubah menjadi kesendirian yang dingin. Pasar menggantikan makna, pilihan menggantikan nilai, dan suara terbanyak sering kali disalahartikan sebagai kebenaran. Individu menjadi bebas—tetapi juga terasing, tercerai dari ikatan makna yang lebih luas.

     Di sini liberalisme menunjukkan wajah paling manusiawinya sekaligus paling rapuh. Ia tidak menjanjikan keselamatan kolektif, tidak pula manusia baru. Ia hanya menawarkan ruang—ruang untuk gagal, salah, dan mencoba lagi. Dalam dunia yang lapar akan kepastian, tawaran ini sering terasa hambar, bahkan nihilistik.

     Liberalisme, sosialisme, dan fasisme adalah tiga anak kandung dari satu ibu yang sama: humanisme modern, yang menurunkan Tuhan dari singgasana dan menempatkan manusia di pusat semesta. Mereka berbeda dalam jawaban, tetapi berbagi pertanyaan yang sama: apa itu manusia, dan bagaimana ia harus hidup bersama sesamanya?

     Fasisme menjawab: manusia menemukan maknanya dalam kesatuan dan kekuatan.
     Sosialisme menjawab: manusia menemukan martabatnya dalam keadilan dan pembebasan bersama.
     Liberalisme menjawab: manusia menemukan dirinya dalam kebebasan individu.

     Namun ketiganya bergerak dalam orbit yang sama—orbit manusia sebagai pusat. Dan di situlah paradoks modernitas mulai terasa. Ketika manusia menjadi ukuran segala sesuatu, ia dibebani tugas yang terlalu besar: menjadi sumber makna, hukum, dan keselamatan sekaligus. Sistem-sistem yang ia ciptakan untuk membebaskan diri, perlahan berubah menjadi struktur baru yang menuntut pengorbanan.

     Mungkin karena itu, setelah anak-anak humanisme ini saling bertabrakan, saling mengoreksi, dan saling meninggalkan reruntuhan, kita kini hidup dalam kelelahan yang sunyi. Bukan lagi perang ideologi yang gegap gempita, melainkan keraguan yang meresap pelan. Manusia mulai ragu pada kemampuannya sendiri untuk menjadi pusat.

     Dan di tikungan sejarah itu, dunia pasca-humanis—dunia algoritma, mesin, dan kecerdasan buatan—tampak menunggu dengan sabar. Bukan sebagai musuh, mungkin, tetapi sebagai cermin baru. Cermin yang kembali bertanya, dengan nada yang lebih dingin dan jujur: apakah manusia benar-benar siap menjadi pusat dari segalanya?


part 3 of 6

Begitu manusia naik takhta, ia kehilangan arah. Ia menciptakan sistem-sistem untuk membebaskan diri, tapi tiap sistem justru mengekangnya dalam bentuk

Posting Komentar

...

[blogger][facebook]

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.