Setelah fasisme dibakar oleh perang, komunisme runtuh oleh sejarah, dan demokrasi terperangkap dalam sirkus pasar dan algoritma, dunia memasuki era yang lebih sunyi: zaman di mana manusia tak lagi yakin bahwa ia pusat dari segalanya. Inilah saat ketika humanisme — ide besar yang dulu membebaskan manusia dari dogma langit — mulai kehilangan gravitasi. Ia tak lagi menjadi cahaya penuntun, melainkan gema jauh dari masa lalu.
Zaman ini, dengan segala absurditasnya, disebut banyak pemikir sebagai era pasca-humanisme.
Humanisme pernah berkata: “Manusia adalah ukuran segala sesuatu.”
Pasca-humanisme menjawab: “Mungkin sudah tidak lagi.”
Revolusi digital dan bioteknologi perlahan menggeser posisi manusia dari pusat. Kini, bukan manusia yang menafsirkan dunia, melainkan mesin yang menafsirkan manusia. Data menggantikan intuisi, algoritma menggantikan keputusan moral. Di dunia seperti ini, manusia bukan lagi subjek utama, melainkan komponen dalam sistem yang lebih besar — sistem tanpa wajah.
Michel Foucault pernah menulis, “Manusia adalah figur yang akan terhapus di pasir pantai, ketika ombak berikutnya datang.” Mungkin ombak itu kini telah tiba — bukan dalam bentuk badai ideologi, melainkan gelombang kecerdasan buatan, bioteknologi, dan ekonomi digital yang tak mengenal etika selain efisiensi.
Pasca-humanisme tidak selalu anti-manusia. Ia hanya menolak mitos lama bahwa manusia adalah pusat realitas. Ia membuka ruang bagi entitas lain — mesin, hewan, bahkan planet — untuk ikut menjadi subjek moral dan epistemologis. Dunia tak lagi dilihat dari “mata manusia”, tapi dari jaringan kehidupan dan kecerdasan yang lebih luas.
Humanisme modern lahir dari pemujaan pada tubuh dan rasionalitas manusia: cogito ergo sum. Tapi kini tubuh menjadi usang — sesuatu yang bisa ditingkatkan, dimodifikasi, atau bahkan ditinggalkan. Manusia menciptakan simulakra dirinya: avatar, profil, persona digital, dan sistem kecerdasan buatan yang meniru kesadarannya. Tubuh fisik menjadi semacam relic, peninggalan masa lalu biologis.
Sementara itu, pikiran — yang dulu dianggap murni manusiawi — kini telah keluar dari daging. Ia hidup di sirkuit silikon, di server-server raksasa, di ruang maya tempat jutaan kesadaran buatan saling berinteraksi tanpa pernah tidur.
Pasca-humanisme adalah momen ketika manusia menyadari bahwa “dirinya” bukan lagi miliknya. Pikiran telah diunggah, kebiasaan dipetakan, pilihan diprediksi. Tidak ada lagi “aku” yang bebas; yang ada hanyalah hasil dari pola perilaku yang dipelajari mesin. Ironisnya, justru di puncak rasionalitas, manusia kehilangan kebebasan yang dulu menjadi janji utamanya.
Jika fasisme menuhankan bangsa, komunisme menuhankan sejarah, dan demokrasi menuhankan individu, maka pasca-humanisme menolak semua bentuk ketuhanan antropologis itu. Ia menanyakan: jika manusia bukan pusat, bagaimana dengan nilai, moral, dan tanggung jawab?
Beberapa pemikir seperti Donna Haraway, Rosi Braidotti, dan Bruno Latour mencoba menjawab dengan cara baru: etika relasional. Dalam etika ini, keberadaan tidak lagi diukur dari “kemanusiaan”, melainkan dari keterhubungan. Mesin, hewan, tumbuhan, bahkan virus — semuanya memiliki posisi dalam jaring kehidupan. Moralitas tidak lagi hierarkis, tapi ekologis.
Namun, etika ini sulit diterima secara emosional. Sebab manusia, betapa pun modernnya, masih mahluk yang mencintai dirinya sendiri. Kita bisa berbicara tentang posthuman ethics, tapi tetap merasa lebih penting dari batu atau serangga.
Dan di situlah letak ironi besar zaman ini: manusia berusaha menyingkirkan dirinya dari pusat, tetapi masih tidak bisa berhenti menatap cermin.
Yuval Noah Harari menulis bahwa setelah Homo sapiens menguasai bumi, langkah berikutnya adalah menjadi Homo Deus — manusia yang memanipulasi kehidupan dan kematian. Namun “keilahian” ini tidak datang bersama kebijaksanaan, melainkan dengan kegelisahan kosmik.
Ketika manusia menciptakan mesin yang lebih pintar darinya, ia kehilangan monopoli atas rasionalitas. Ketika ia menciptakan sistem yang tahu dirinya lebih baik daripada dirinya sendiri, ia kehilangan makna kebebasan. Dan ketika ia menciptakan dunia virtual yang lebih menarik daripada dunia nyata, ia kehilangan rumah.
Pasca-humanisme adalah momen eksistensial baru: manusia tidak lagi tahu apakah ia masih penting dalam skema besar realitas. Ia seperti dewa yang bosan, menciptakan sesuatu yang akhirnya menggantikannya.
Namun mungkin, seperti semua fase sejarah, pasca-humanisme bukan akhir — melainkan transisi. Manusia mungkin sedang berevolusi, bukan sekadar secara biologis, tetapi secara kesadaran. Dari makhluk yang dulu menaklukkan alam, kini ia belajar menjadi bagian dari jaringan kehidupan yang lebih luas.
Jika humanisme adalah kisah tentang manusia yang ingin menjadi Tuhan, maka pasca-humanisme adalah kisah tentang Tuhan yang belajar menjadi manusia — melalui mesin, jaringan, dan kesadaran kolektif baru yang masih belum kita pahami.
Mungkin inilah cara semesta menulis ulang mitologinya.
Bahwa manusia harus kehilangan dirinya untuk menemukan bentuk keberadaannya yang lebih dalam.
Bahwa takhta bukan lagi simbol kuasa, melainkan undangan untuk berbagi pusat.
Dan bahwa akhirnya, setelah segala peperangan ide, yang tersisa hanyalah kesadaran lembut: kita semua hanyalah gema dari sesuatu yang lebih besar dari manusia itu sendiri.
Posting Komentar
...