Bayangkan sebuah gua sunyi di Maros-Pangkep, Sulawesi Selatan. Pada dinding batunya, seekor babirusa diguratkan dengan pigmen merah, usianya lebih dari 45.000 tahun. Tak jauh dari sana, di Leang Tedongnge, lukisan figuratif serupa diperkirakan berumur 45.500 tahun—lukisan hewan tertua yang pernah ditemukan di dunia. Sebelum piramida Mesir menjulang, sebelum Stonehenge berdiri, tangan manusia purba sudah meninggalkan jejaknya di karst Bantimurung-Bulusaraung. Seolah gua-gua itu adalah halaman pertama dari buku sejarah manusia, ditulis bukan dengan huruf, melainkan dengan pigmen sederhana yang masih menyala hingga kini.
Karst tropis bukan sekadar lanskap batu. Ia adalah ruang ingatan. Di perut Babul, stalaktit dan stalagmit tumbuh pelan, seperti jarum jam yang sabar, merekam tetes air dalam hitungan ribuan tahun. Batuan kapur yang tampak beku sebenarnya bekerja sebagai seismograf raksasa, menyimpan catatan perubahan iklim purba, kadar CO₂, bahkan jejak banjir besar. Para ilmuwan menyebut endapan gua (speleothem) sebagai arsip paleoklimatologi yang akurat, setara dengan inti es di kutub—bedanya, di sini tersimpan di jantung tropis. Dari lapisan tipis kalsit yang mengeras, kita bisa membaca kapan bumi dilimpahi hujan dan kapan ia dilanda kemarau panjang.
Tapi karst tidak hanya menyimpan iklim. Ia juga menyimpan manusia. Fosil Homo floresiensis di Liang Bua, Flores, dan temuan manusia modern awal di Leang Bulu Bettue, Maros, adalah penanda bahwa karst Indonesia pernah menjadi panggung evolusi. Gua-gua di Babul dan Gunung Sewu bukan hanya tempat berlindung, tetapi juga rumah, makam, bahkan galeri seni purba. Mereka yang hidup di masa itu menyalakan api di dalam kegelapan gua, lalu meninggalkan tanda sederhana yang tetap bergema: kami pernah ada, kami pernah hidup di sini.
Lebih jauh lagi, karst menyimpan arsip kehidupan purba dalam bentuk fosil hewan dan cangkang laut yang kini terjebak di puncak bukit kapur. Bagi mata yang peka, itu adalah pengingat bahwa tanah yang kita pijak pernah menjadi dasar samudra jutaan tahun lalu. Bukit karst yang kini menjulang dulunya adalah karang hidup di laut dangkal Miosen. Setiap lapisan batu kapur adalah halaman geologi yang mencatat perjalanan bumi dari samudra ke daratan.
Bagi masyarakat lokal, gua bukan sekadar fosil atau arsip ilmiah. Ia adalah ruang hidup dengan makna spiritual. Di Maros dan Pangkep, banyak gua dihormati sebagai tempat leluhur, penyimpan lontara, atau lokasi ritual. Ingatan geologi dan ingatan budaya berdiam dalam batu kapur yang sama, saling melengkapi dalam keheningan.
Namun perpustakaan ini terus diganggu. Industri semen melihat batu kapur hanya sebagai bahan baku, tanpa peduli bahwa setiap bongkah yang diambil sama saja dengan merobek halaman dari buku bumi. Yang hilang bukan hanya fosil, melainkan konteks sejarah yang tak bisa ditulis ulang. Sekali lenyap, ia hilang selamanya.
Karst adalah perpustakaan bumi. Ia menyimpan catatan yang lebih tua dari peradaban, lebih sabar dari naskah mana pun. Tetapi, sebagaimana perpustakaan yang sering dianggap remeh, ia baru dipahami nilainya ketika terbakar atau hilang. Pertanyaan yang tersisa sederhana: apakah kita mau dikenang sebagai generasi yang meninggalkan rak kosong bagi anak cucu, atau sebagai generasi yang menjaga perpustakaan ini tetap utuh, agar kisahnya bisa terus dibaca?
Daftar Pustaka
- Aubert, M., et al. (2014). Pleistocene cave art from Sulawesi, Indonesia. Nature, 514, 223–227.
- Aubert, M., et al. (2021). Earliest known cave art from Sulawesi, Indonesia. Science Advances, 7(3), eabd4648.
- Bogaerts, M., & Waltham, T. (2009). Karst and Caves: A Geological Adventure. London: Springer.
- Brumm, A., et al. (2017). Early human symbolic behavior in the Late Pleistocene of Wallacea. Proceedings of the National Academy of Sciences, 114(16), 4105–4110.
- Haryono, E., & Day, M. (2004). Karst in Indonesia: Review of research, resources and conservation. Cave and Karst Science, 31(3), 131–138.
- Kiernan, K. (2013). "The Nature Conservation, Cave Tourism and Karst Protection." Journal of Environmental Management, 128, 1–13.
- Suryatman, et al. (2019). Late Pleistocene human occupation and symbolic behavior in Leang Bulu Bettue, Sulawesi, Indonesia. Nature, 569, 234–237.
- Wulandari, D., et al. (2021). Speleothem records of Holocene rainfall variability in southern Indonesia. Quaternary Science Reviews, 268, 107124.
- Williams, P. (2008). "The Role of the International Union of Speleology in Cave Science and Protection." International Journal of Speleology, 37(1), 1–6.
Posting Komentar
...