Catatan di Sela Perjalanan

Ada masa ketika ia berhenti menulis. Bukan karena kehabisan kata, tapi karena merasa tak ada yang benar-benar perlu dikatakan. Dunia terlalu ramai untuk mendengarkan sesuatu yang sunyi, dan ia terlalu letih menjelaskan sesuatu yang tak ingin dipahami. Maka ia diam, bukan sebagai tanda menyerah, melainkan semacam istirahat dari kebisingan makna.

Ia duduk di beranda rumahnya yang mulai tua, melihat bayangan daun bergetar di dinding. Dalam setiap gerak kecil cahaya, ia merasa waktu sedang menua tanpa pamit. Ada rasa aneh di dadanya—bukan sedih, bukan juga damai. Mungkin semacam penerimaan yang tidak ia rencanakan. Ia tidak lagi merasa perlu mengejar atau menjelaskan. Ia hanya ingin menyaksikan, seperti batu di tepi sungai yang membiarkan air lewat tanpa mencoba menahannya.

Terkadang, di tengah diam itu, ia tersenyum sendiri. Ia menyadari bahwa sebagian besar kehidupan adalah proses menyadari betapa sedikit yang benar-benar bisa kita kendalikan. Manusia membangun teori, menulis buku, merancang sistem, mendirikan gereja dan republik, tapi lupa bahwa semua itu hanya usaha kecil untuk menutupi fakta besar: kita semua sedang lewat.

Ia tidak ingin melawan kenyataan itu. Ia hanya ingin berjalan pelan, cukup sadar untuk merasakan embun di ujung daun, cukup jujur untuk mengakui bahwa banyak hal di dunia ini tak akan pernah sepenuhnya ia mengerti. Di titik itu, hidup menjadi sesuatu yang lebih lembut—tidak lagi perlu dimenangkan, hanya dijalani.


Di titik itu, hidup menjadi sesuatu yang lebih lembut—tidak lagi perlu dimenangkan, hanya dijalani.

Posting Komentar

...

[blogger][facebook]

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.