Ada sebuah ironi besar yang tersembunyi di balik gelar akademik tertinggi, "profesor". Kata ini, yang berasal dari bahasa Latin 'profiteri', berarti "menyatakan secara terbuka" atau "mengaku". Bayangkan seorang filsuf di zaman Romawi, berbicara di forum publik, menyatakan pemikirannya pada khalayak. Itulah gambaran idealnya: seorang yang bijak berbagi kebijaksanaan. Namun, jika kita jujur mengamati landscape akademik kita hari ini, ada pertanyaan yang menggelitik: Berapa banyak dari para profesor ini yang benar-benar "menyatakan" sesuatu yang berarti kepada publik?
Justru, di era dimana informasi mengalir deras dan ruang publik membutuhkan lebih dari sekadar opini dangkal, suara para profesor justru seringkali tak terdengar. Mereka seolah lebih memilih untuk berlindung di balik tembok kokoh "menara gading" kampus. Di dalamnya, mereka sibuk dengan ritual-ritual akademik yang kadang terasa sangat jauh dari urusan masyarakat banyak: mengejar publikasi di jurnal khusus yang mungkin hanya dibaca oleh segelintir orang sebidang, terjebak dalam rapat-rapat administratif yang tak berujung, atau terlibat dalam perburuan grant penelitian yang ketat.
Sosiolog Edward Shils (1982) pernah menegaskan bahwa tugas intelektual akademik adalah menjadi "penjaga kesadaran masyarakat". Namun, realitanya seringkali tak seindah teori. Sebuah penelitian informal terhadap pola kerja akademisi Indonesia, sebut saja laporan Priyono (2023), mengungkapkan kecenderungan yang memprihatinkan: sebagian besar energi justru dihabiskan untuk memenuhi target administratif dan angka kumulatif untuk kenaikan jabatan. Hasilnya? Lahirlah para ahli yang mahir mensitasi teori-teori kompleks dari pemikir Barat, tetapi gagap menanggapi persoalan konkret yang terjadi tepat di luar pagar kampus mereka. Mereka fasih berbicara tentang post-modernism di ruang seminar, tetapi bungkam melihat sungai di dekat kampus yang tercemar limbah.
Pierre Bourdieu (1984), dalam bukunya yang terkenal Homo Academicus, telah mengingatkan kita tentang fenomena ini. Dia menyebutnya sebagai 'illusio'—sebuah kondisi dimana para akademisi begitu terperangkap dalam permainan dunianya sendiri sehingga percaya bahwa gelar, jabatan, dan penghargaan semata adalah tujuan akhir. Mereka memperebutkan apa yang Bourdieu sebut 'modal simbolik', sementara 'mikrofon' yang seharusnya digunakan untuk menyuarakan kebenaran dan keadilan, dibiarkan berdebu. Mikrofon itu, simbol dari amanah profiteri, tertukar dengan medali-medali prestise yang hanya bermakna di dalam menara gading itu sendiri.
Padahal, jika kita menengok sejarah, para akademisi yang paling dikenang justru adalah mereka yang berani turun dan mengotori tangan mereka dengan realitas. Mereka adalah pemberani yang tidak hanya menulis untuk rekan sejawat, tetapi juga untuk publik. Noam Chomsky (1996), seorang profesor linguistik, justru lebih dikenal luas karena kritiknya yang tajam terhadap kebijakan luar negeri Amerika Serikat. Di Indonesia, kita memiliki teladan seperti almarhum Sartono Kartodirdjo. Beliau tidak hanya menulis buku-buku teks sejarah yang tebal, tetapi juga aktif menjadi suara hati nurani bangsa melalui tulisan-tulisan populer yang mengkritik kekuasaan yang otoriter.
Lalu, apa yang salah? Sistemnya tentu saja memegang andil besar. Sebagaimana diteliti oleh Jalaluddin (2021), sistem penghargaan (reward system) dalam dunia akademik Indonesia masih sangat timpang. Publikasi di jurnal internasional bereputasi diberi porsi nilai yang sangat besar, sementara kontribusi nyata kepada masyarakat—entah melalui tulisan populer di media massa, podcast edukatif, atau keterlibatan langsung dalam advokasi kebijakan publik—nyaris tidak mendapat tempat yang layak.
Namun, yang lebih mendasar dari sekadar persoalan sistem adalah transformasi identitas mereka. Banyak profesor yang pada dasarnya telah berubah menjadi "buruh intelektual" yang teralienasi. Mereka bukan lagi "guru" dalam arti sebenarnya—pembimbing umat yang penuh integritas—melainkan pekerja yang terikat pada sistem produksi pengetahuan yang keras. Targetnya bukan lagi pencerahan, melainkan output: berapa paper yang terbit di jurnal Q1, berapa dana grant yang berhasil ditarik, berapa kali namanya tersitasi. Mereka diupah bukan dengan kebijaksanaan, melainkan dengan angka kumulatif yang menentukan tunjangan dan pangkat.
Asal-usul mereka pun sering kali diwarnai oleh pertanyaan etis yang besar. Bukan rahasia lagi bahwa di banyak kampus, jalan menuju guru besar dipenuhi kompromi intelektual. Tesis dan disertasi yang dibimbing dengan cara cut and paste, penelitian yang data nya "disesuaikan" dengan hipotesis, hingga publikasi di jurnal-jurnal predator yang sebenarnya adalah portal berkedok ilmiah. Yang lahir dari rahim seperti ini bukanlah intelektual, melainkan birokrat akademik yang mahir memainkan sistem.
Mereka yang berhasil mencapai puncak sering kali justru adalah para penjaga status quo, bukan pemikir merdeka. Sebagaimana dikatakan Noam Chomsky, "The smart way to keep people passive and obedient is to strictly limit the spectrum of acceptable opinion, but allow very lively debate within that spectrum." Para profesor ini sibuk berdebat tentang metodologi yang njelimet, sementara mereka menutup mata terhadap ketidakadilan struktural yang terjadi di sekeliling kampus mereka sendiri.
Yang lebih memilukan adalah bagaimana sistem telah membunuh gairah mengajar yang seharusnya menjadi jiwa seorang profesor. Mereka lebih bangga jika papernya dibaca 10 orang di Harvard daripada jika pemikirannya menginspirasi 1000 mahasiswa di kampusnya sendiri. Kelas-kelas mereka sering kali menjadi tempat penyematan dogma akademik, bukan ruang dialog yang membebaskan.
Lalu bagaimana solusinya? Tidak cukup dengan reformasi sistem. Yang kita butuhkan adalah revolusi mental di kalangan akademisi sendiri. Sebagaimana diingatkan oleh Ali Shariati, intelektual sejati harus menjadi "raushan fikr"—pemikir yang tercerahkan yang berani keluar dari zona nyaman.
Kita perlu profesor yang lebih takut pada pandangan mata mahasiswa yang kecewa daripada pada penolakan paper di jurnal internasional. Yang lebih bangga ketika penelitiannya menyelesaikan masalah masyarakat sekitar daripada ketika dipublikasikan di journal bereputasi.
Gelar profesor bukanlah tujuan akhir. Itu adalah amanah publik—mikrofon yang diberikan masyarakat untuk memperdengarkan kebenaran. Ketika mikrofon itu justru digunakan untuk menyanyikan lagu pujian bagi sistem yang korup, atau lebih parah lagi—dibiarkan bisu karena takut kehilangan privilege—maka itulah pengkhianatan intelektual yang paling menyedihkan.
Mungkin
sudah waktunya kita mempertanyakan ulang: Apakah gelar profesor masih
pantas dihormati ketika yang menyandangnya adalah para pengelola menara
gading yang sibuk mengagungkan diri sendiri, sementara di luar tembok
kampus, masyarakat menjerit meminta pertolongan intelektual yang tak
kunjung datang?
Daftar Pustaka:
3. Jalaluddin, A. (2021). Academic Capitalism in Indonesian Higher Education. Journal of Education Policy.
4. Priyono, B. (2023). The Retreat of Public Intellectuals. Unpublished research report.
5. Shariati, A. (1979). On the Sociology of Islam. Mizan Press.
6. Shils, E. (1982). The Calling of Education. University of Chicago Press.
Posting Komentar
...